M. Quraish Shihab adalah seorang ulama yang dikenal banyak oleh umat Islam di Indonesia, beliau juga salah seorang penulis buku yang produktif, selain buku dia juga menulis artikel seputar Al-Quran yang banyak tersebar di media cetak dan media online.
Dalam artikel itu beliau termasuk orang yang berpendapat bahwa bunga yang dilarang hanyalah bunga yang berlipat ganda, adapun jika bunga yang wajar dan mendhalimi diperkenankan.
Beliau berpendapat bahwa huruf “al” pada lafadz “wa harrama al-riba” menunjuk kepada sesuatu yang telah disebut terdahulu. Sementara kalam Allah di sini telah didahului dengan kalam yang lain tentang riba yang dijelaskan sebelumnya yaitu surat Ali Imron:130 “la ta’kulur-riba ad’afan muda’afah“ maka yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda, adapun jika tidak berlipat ganda maka tidak dilarang.
Untuk menjawab terhadap pendapat beliau, maka hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: kata “al” pada “al-bai’a” dan “ar-riba” memberi arti jenis, hal ini merupakan penggunaan kata aslinya. Allah tidak menyebut jual beli atau riba tertentu dalam firmanNya “wa ahalallahul-bai’a wa harramar-riba“ sehingga kata “al-bai’a“ dan “ar-riba“ merupakan lafad yang bersifat umum. Ia mengandung makna kebolehan setiap jenis jual beli dan mengharamkan semua jenis riba secara umum. Pengharaman jenis tertentu dari jual beli atau kebolehan jenis tertentu dari riba harus mendatangkan dalil lain.
Ayat tersebut berlaku secara umum di setiap jual beli dan riba. Dalil secara umum setiap jual beli adalah mubah, mencakup segala bentuk jual beli, sedangkan dalil secara umum tentang riba adalah haram, mencakup keseluruhan riba. Adapun dalil yang mengecualikan hukum jual beli tertentu, atau hukum riba tertentu dari hukum secara umum, hal tersebut merupakan dalil khusus. Berdasarkan hal ini pemahaman ayat tersebut adalah setiap jual beli itu mubah, tidak mengeluarkan jual beli dari kebolehannya kecuali ada dalil yang mengkhususkan, demikian pula setiap riba adalah haram kecuali dengan dalil khusus. Maka pembolehannya membutuhkan sebuah dalil. Sementara tidak ada dalil khusus yang mengeluarkan suatu jenis riba dari keharamannya.
Seandainya riba dalam “wa harramar-riba“ adalah riba yang pernah disebut, maka riba yang disebut tidak hanya riba yang ada dalam surat Ali Imron saja, namun segala riba yang telah disebut dalam nash-nash syara’ baik dari Al Qur’an dan Hadis sebelumnya. Ayat dan Hadis telah datang menghukumi riba, hukum ini mencakup riba fadl, nasi’ah dan tidak terbatas pada riba yang berlipat ganda saja.
Selain itu, Firman Allah terakhir tentang riba, QS. 2:279 “Wa intubtum falakum ru-usu amwalikum“ menjelaskan tentang cara bertaubat bagi orang yang ingin kembali dari bertransaksi riba yaitu dengan membolehkan mengambil hutang pokoknya saja. Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap pendapat yang menyatakan bahwa riba yang haram hanya riba yang berlipat ganda saja, karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan keharusan mengembalikan pokok hutangnya tanpa ada pertambahan sedikitpun. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba. Demikianlah, Allah telah mengharamkan riba dengan nash Al Qur’an dari permulaan hingga ayat yang terakhir.
Di sisi lain, menurut Mukhtar Yahya, surat Ali Imran: 130 tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya, yaitu Allah telah mengharamkan riba yang berlipat ganda, maka pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa untuk riba yang selain berlipat ganda adalah halal. Hujjah tersebut tidak sah, karena ayat tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya untuk diambil mafhum mukhalafahnya. Salah satu syarat tersebut yaitu: dalalah manthuq ayat bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “muda’afah ad’afan” hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang Jahiliyah. Orang Jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran berkata kepada yang berutang: “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum ada pembayarannya, maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya sampai hutang itu menjadi berlipat ganda. Berikutnya, turunlah ayat tersebut di atas.
Ibn Jarir Thobari, dalam Kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, yang dikutip Muh. Zuhri dalam buku Riba Dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, ketika menanggapi ayat dalam Surat Ali Imron yang melarang bunga yang berlipat ganda, mengatakan bahwa:
Dari Mujahid, katanya tentang riba yang dilarang oleh Allah, bahwa di kalangan orang Jahiliyah, orang yang berpiutang berkata kepada yang berhutang: “Ambillah ini, bayarlah nanti; tetapi ingat tambahan”. Yang berhutangpun mengambilnya dan membayar pada masa mendatang sesuai dengan permintaan tadi.
Dari Qatadah, bahwa riba Jahiliyah adalah bila seseorang berhutang, karena tidak sanggup membayar pada masa yang disepakati, ia dikenakan tambahan atas hutang pokok untuk pelunasan berikutnya.
Riba pada masa jahiliyah dan bunga bank berbentuk sama, dimana harta terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika orang berhutang 100.000 rupiah, dengan bunga sekitar 10 % dari hutang, maka dengan perhitungan yang sederhana bagi orang yang berhutang harus membayar 10.000 dalam setiap tahun dan hutang pokok tetap, artinya hutang menjadi berlipat dari aslinya setiap 10 tahun. Terlebih pada bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat.
Dengan demikian, pelarangan mengambil riba secara berlipat ganda memberikan pemahaman bahwa ia merupakan larangan dari segala bentuk riba, baik yang pernah dilakukan orang Arab atau orang-orang sekarang. Pengharaman Allah terhadap riba adalah mencakup segala jenis riba baik nasi’ah, fadl, maupun riba yang berlipat ganda.
Oleh karena itu penting sekali memahami kembali surat Ali Imran 130 secara cermat, mengaitkannya dengan spirit ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, demikian juga fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh.
Memahami secara mendalam makna mafhum mukhalafah dalam pemahaman teks-teks Quran dan Sunnah, jenis-jenisnya, serta syarat-syarat pengambilan hukum dariapdanya.
Di akhir tulisan ini dapat kita tambahkan bahwa M. Quraih Syihab mempunyai pendekatan yang berbeda dengan ulama Ahli Fiqih, dalam merumuskan sebab pelarangan riba. Pendekatan ulama Ahli Fiqih lebih condong kepada makna tekstual ayat atau hadits, dimana setiap bentuk berlebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan.
Sementara pendekatan M. Quraish Syihab lebih menekankan pada pemahaman makna substansial dari ayat atau hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlah hutang dinamakan riba. Tetapi kelebihan yang terdapat unsur penganiayaan dan penindasan (dhulum)
Dan ternyata, pendekatan dari Quraish Syihab inilah yang sampai hari ini menjadi mainstream umat Islam di Indonesia.
Referensi:
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Al-Ma’arif, Bandung, 1993
Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, Raja Grafindo Persada, 1996
Artikel ‘Mengenal lebih jauh tentang Riba’ dari sofware sharee.
Trims,,
Kembali, semoga bermanfaat.