Hukuman Pelaku Homoseksual dan Lesbian menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP

Homoseksual adalah penyimpangan seksual yang dilakukan oleh orang yang memiliki kelainan seksual. Kelainan menyimpang ini pertama kali dilakukan oleh kaum Nabi Luth yang kemudian dijatuhi hukuman oleh Allah Subhanahu Wata’ala karena melanggar fitrah Allah yang diberikan kepada manusia.

Homoseksual (liwath) merupakan perbuatan asusila yang sangat terkutuk dan menunjukkan pelakunya seorang yang mengalami penyimpangan psikologis dan tidak normal. Berbicara tentang homoseksual di negara-negara maju, maka kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Di negara-negara tersebut kegiatannya sudah dilegalkan. Yang lebih menyedihkan lagi, bahwa ‘virus’ ini ternyata juga telah mewabah di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bagaimana sesungguhnya masalah besar ini menurut kacamata hukum pidana Islam dan KUHP pasal 292 tentang pelaku Homoseksual? Apa ancaman yang akan diterima pelakunya?

Beberapa uraian berikut akan merangkum pendapat dari dua sumber hukum tersebut.

Menurut KBBI, Homoseksual adalah gabungan dari kata Homo dan Seksual. Homo berarti sama atau serupa dan Seksual berarti persetubuhan antara lelaki dan perempuan.

Menurut Andi Hamzah dalam Termonologi Hukum Pidana hal. 75 menyebutkan bahwa secara etimologi, homoseksual merupakan ketertarikan terhadap sesama jenis kelamin, sedangkan terminologi homoseksual merupakan kecenderungan untuk melampiaskan nafsu syahwat seseorang terhadap seseorang yang berjenis kelamin yang sama dengannya.

Hukuman Pelaku Homoseksual dan Lesbian menurut Hukum Pidana Islam

Para Imam Fikih memasukkan sanksi atau hukuman liwath kepada golongan hadd. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Hawi Al-Kabir, alasan pendapat ini karena homoseksual termasuk dosa besar yang Allah menghukum keras pelakunya pada masa kaum nabi Luth, dengan demikian pelaku liwath juga dihuhum dengan keras.

عن ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط، فاقتلوا الفاعل والمفعول به

Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam bersabda, “Siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan Nabi Luth, maka bunuhlah pelakunya dan objeknya”.

Perintah membunuh pelaku liwath menunjukkan sanski liwath telah ditentukan kadarnya oleh syariat, dan dimasukkan dalam golongan Hadd.

Adapun dari sisi bentuk hukuman liwath, para ulama berbeda pendapat apakah hukumannya disamakan dengan hukuman zina, lebih berat dari zina atau lebih ringan dari zina. Mereka yang berpendapat hukumannya harus lebih berat daripada hukuman zina mengatakan sanksi pelaku liwath adalah dibunuh. Mereka yang berpendapat hukuman liwath lebih ringan daripada hukuman zina mengatakan bahwa sanksi liwath adalah ta’zir. Dengan kata lain, para ulama membagi menjadi tiga pendapat tentang hukuman liwath yaitu: dibunuh, disamakan dengan hukuman zina, dan di ta’zir.

Pendapat Pertama: Dibunuh

Ini adalah pendapat Abu Bakar Ash Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Kholid bin Al-Walid.

Terkait cara membunuhnya, para ulama yang berpendapat pelaku liwath dihukum bunuh berbeda pendapat. Imam Ibn al-Qayyim di dalam bukunya, ad-Dâ’Wa ad-Dawâ telah meringkasnya sebagai berikut.

Sudah menjadi kesepakatan   Ulama atas keharaman perbuatan homoseksual dan lesbian. Mereka akan mendapatkan hukuman (had) bunuh di dunia. Namun para ulama berbeda pendapat dalam pelaksanaan hukuman bunuh bagi pelakunya. Perbedaan itu dapat di klarifikasikan sebagai berikut:

Dibakar

Terdapat riwayat yang valid dari Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah menemukan di suatu daerah pinggiran perkampungan Arab seorang laki-laki yang menikah dengan sesamanya layaknya wanita yang dinikahkan. Maka, ia pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau meminta pendapat para shahabat yang lain, di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengambil pendapat yang sangat tegas. Ia mengatakan, “Menurutku, hukumannya dibakar dengan api.” Maka Abu Bakar pun mengirimkan balasan kepada Khalid bahwa hukumannya ‘dibakar.’

Abu Bakar berkata: “ keduanya dibunuh dengan pedang sebagai hukuman had di dunia, kemudian kedua palakunya dibakar dengan api sebagai balasan keduanya dan sebagai pelajaran bagi selainnya.”

Berkata Al-Hafidz Al-Mundhiri: “Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, dan Hisam bin Abdul Malik Radhiyallahu ‘Anhum membakar dengan api para pelaku homoseksual. Mereka lakukan itu semua setelah mereka bunuh kedua palakunya  dengan pedang atau dengan cara rajam dengan batu.”[1]

Baca juga:   Fatwa Ulama dalam kondisi tertekan (Kasus al-Quran Makhluk pada masa Imam Ahmad)

Dilempar dengan Batu Setelah Dijungkalkan dari Tempat Yang Tinggi

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Perlu dicari dulu, mana bangunan yang paling tinggi di suatu perkampungan, lalu si homoseks dilempar darinya dengan posisi terbalik, kemudian dibarengi dengan lemparan batu ke arahnya.” Ibnu ‘Abbas zmengambil hukuman (Hadd) ini sebagai hukuman Allah subhanahu wata’ala atas homoseks.

Bukan hanya pelaku utamanya saja yang dihukum, Ibn ‘Abbas-lah yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah si pelaku (yang mengajak) dan orang yang dilakukan terhadapnya (pasangan).” (Diriwayatkan oleh para pengarang kitab as-Sunan, dinilai shahih oleh Ibn al-Qayyim)

Di rajam

Pendapat inilah yang dianggap mendekati kepada kebenaran. Yaitu pelaku homoseksual mendapatkan hukuman hadd di rajam secara mutlak, baik pelakunya muhsan maupun ghairu muhshan. Karena Allah telah mensyari’atkan hukuman jaram pada ummat terdahulu. Sebagaimana ayat yang berkenaan dengan kaum Luth:

لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِّن طِينٍ

“Agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah.”(Adz-Dzariyaat: 33)

Pendapat Kedua : Dihukum sebagaimana Pelaku Zina

Pendapat ini menurut Sa’id bin Al-Musayyab, Atho’ bin Abi Robah, Al-Hasan Al- Bishri, Az-Zuhri, Yahya, dan Muhammad bin Al-Hasan, bahwa siapa pun yang melakukan liwath dia dihukum dengan hukuman sebagaimana pelaku zina. Dengan makna: Jika pelaku liwath itu muhson/tsayyib/ sudah menikah/ pernah menikah, maka ia dihukum rajam, sementara jika dia ghoiru muhson/ belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali.

Menuru Ibnul Jauzi, sebagian ulama kalangan Syafi’iyyah dalam riwayat yang lain berpendapat bahwa hukuman hadd bagi pelaku liwath adalah hukuman rajam, baik yang melakukan perbuatan liwath ini sudah menikah maupun belum menikah. Akan tetapi, pendapat kalangan ini pada umumnya memberikan hukuman bagi pelaku liwath dengan hukuman zina, karena terjadinya ‘ilaj yang yang dilakukan oleh pelaku liwath dengan cara memasukkan kemaluannya ke dalam dubur laki-laki. Dengan demikian, pelaku liwath termasuk kedalam keumuman dalil masalah zina, baik muhsan maupun gahiru muhshan.

Pendapat Ketiga : hukuman Ta’zir

Pendapat  menurut Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakhoi, Al[1]Muayyad billah, Al Murtadho, Al-Hakam bin U’taibah dan juga Asy[1]Syafi’I pelaku liwath tidak perlu dikenai hukuman hadd baik yang lebih keras dari had zina atau setara dengan had zina, tetapi pelaku liwath dijatuhi hukuman ta’zir. Disebabkan karena, hukuman ini mendidik, yang mana berat dan ringannya suatu hukuman diserahkan kepada penguasa atau pemerintah yang berkuasa.

Hukuman ta’zir dijatuhkan atas kejahatan ataupun pelanggaran yang tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadist mengenai macam dan kadar hukuman yang akan diberikan kepada pelaku liwath.

Menurut M.Nurul Irfan dalam “Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual“, h.113, bahwa sebagian ulama kalangan Syafi’iyyah dan tokoh-tokoh besar ulama kalangan Malikiyah menolak pendapat bahwa hukuman yang dijatuhi kepada pelaku liwath adalah hukuman mati sebagai ta’zir, mereka cenderung memilih untuk menahan para pelaku liwath di dalam penjara hingga seumur hidup dengan tujuan agar perilaku ini tidak menyebar luas di lingkungan masyarakat, dan pendapat ini diikuti pula oleh sebagian para ulama kalangan hanabilah.

Menurut Achmad Wardi Muslich dalam bukunya: “Hukum Pidana Islam” bahwa hukuman penjara yang diberikan kepada pelaku liwath tidak dibatasi dengan waktu, melainkan terus berlanjut hukuman tersebut hingga pelaku liwath itu mati atau hingga pelaku liwath tersebut bertaubat memohon ampun kepada Allah.

Perbedaan pendapat yang telah dijelaskan di atas dari zaman sahabat Rasullah saw hingga tabi’in sangat memudahkan umat islam dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku liwath yang berkembang di masyarakat. Hukuman yang telah dikemukakan oleh para ulama ini membentuk variasi hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku liwathsesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Dalam hal ini, penulis lebih condong dengan pendapat pertama yang menjatuhkan hukuman bagi pelaku liwath dengan hukuman mati, dengan harapan agar perilaku seksual yang menyimpang ini tidak lagi berkembang dan di ikuti oleh generasi yang akan datang. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum Islam sendiri yang mengedepankan kemaslahatan bagi manusia baik secara jiwa dan raga dengan maksud agar terpelihara agama, jiwa, harta dan keturunan.

Dosa Homoseks ini lebih berat dibandingkan dengan dosa perbuatan zina, karena dampak negatif dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku liwath termasuk paling besar di antara dosa-dosa besar, merupakan sejelek-jelek perbuatan keji, dan pelakunya memiliki fitrah yang menyimpang dan lalai dari Allah swt.

Baca juga:   Nifas dan Hukum-hukumnya

Dapat diambil kesimpulan dari beberapa pendapat Ulama di atas bahwa perbuatan sodomi dihukum dengan hukuman yang sangat berat, berupa hukuman mati, atau hukuman rajam sampai mati, karena begitu kejinya perbuatan tersebut dan besarnya dosa para pelakunya. Sehingga diharapkan kejahatan ini dapat dicabut sampai keakar-akarnya dan tidak ada jalan bagi pelaku untuk mengulangi perbuatan tersebut. Agar ini merupakan upaya preventif supaya orang lain takut mengerjakannya. Hal ini juga berarti melaksanakan perintah Nabi SAW yang berbunyi: “Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum luth maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”. (HR. Ahmad)

Sebagian ulana mengatakan : “Kekejian liwath satu tungkat di bawah kekufuran, bahkan dosanya mungkin lebih besar daripada pembunuhan. Tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan ini di dunia sebelum kaum luth”.

Kewajiban orang yang mengalami kelainan ini adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal seperti itu dan menyingkirkan jauh-jauh dari dirinya, serta berusaha dengan segala cara melupakan perbuatan buruk tersebut. Disamping itu jika terjerumus karena keinginannnya sendiri bukan karena paksaan, maka segeralah bertaubat kepada Allah swt dari dosa besar tersebut sebelum kematian mendatanginya tiba-tiba, sehingga tidak bermanfaat lagi baginya penyesalan.

Pelaku hendaknya mengingat azab Allah swt terhadap umat-umat terdahulu. Allah swt bahkan mengzab kaum Luth dengan dua hukuman di dunia; meneggelamkan mereka dengan membalikkan bumi tempat mereka berada kemudian dihujani bebatuan panas dari api neraka yang perintahnya datang dari sisi Allah swt. Sementara Firaun yang mengaku dirinya tuhan dan kaumnya hanya dihukum dengan meneggelamkan mereka; azab kaum A’d hanya angin puting beliung saja; hukuman untuk Tsamud hanya dengan suara yang menggelegar keras saja. Ini semua menunjukkan betapa hina dan kejinya perilaku homoseks.

Hukuman Pelaku Homoseksual dan Lesbian menurut KUHP

Dalam Hukum Pidana, aturan mengenai liwath di atur dalam buku KUHP tentang kejahatan, Bab XIV Kejahatan Kesusilaan pada Pasal 292.

Namun demikian, dalam hukum positif pula diperlukan sebuah bukti sebelum menjatuhkan hukuman bagi pelaku liwath. Dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ayat 1 dan 2 berbunyi :

  1. Alat bukti yang sah yaitu :
  • a. Keterangan saksi
  • b. Keterangan ahli
  • c. Surat
  • d. Petunjuk
  • e. Keterangan terdakwa

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pada pasal 292 KUHP yang isinya berbunyi: “Bahwa orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama lamanya lima tahun.

Yang dimaksud dengan Perbuatan Cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (Kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.

Berdasarkan pasal di atas, bahwasannya Homoseksual (liwath) termasuk ke dalam perbuatan cabul, orang yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang telah dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa dengan jenis kelamin yang sama. Dewasa dalam hal ini berati telah cakap hukum atau telah berumur 21 tahun, atau belum mencapai umur tersebut tetapi sudah menikah. Adapun jenis kelamin yang samaberati laki-laki dengan laki-laki.

Sesuai dengan asas bahwa tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan, maka unsur kesalahan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP yaitu:

  1. Unsur Kesengajaan, yaitu pelaku sudah mengetahui bahwa teman yang akan digaulinya tersebut bekum dewasa.
  2. Berupa culpa, yaitu seharusnya telah menyadari teman yang akan digauli belum dewasa.

Sedangkan jika dilihat dari Pasal 292 terdapat beberapa unsur[1]unsur, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

  1. Unsur-unsur Objektif (a) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bersifat cabul. (b) Pelaku yang melakukannya adalah orang yang telah dewasa (c) Objeknya merupakan orang dengan jenis kelamin yang sama yang belum dewasa.
  2. Unsur-unsur Subjektif (a). Orang yang diketahui belum dewasa (b). Orang yang sepatutnya dan dikira belum dewasa

KUHP memberikan ancaman berupa hukuman Pidana terhadap orang dewasa yang melakukan hubungan seksual sesama jenis kepada orang yang belum dewasa, yang berati bahwa hukuman pidana hanya dikenakan kepada orang yang telah dewasa saja yang melakukan hubungan sesama jenis kelamin kepada orang yang belum dewasa. Dalam pasal ini yang disebut dengan pembuat adalah orang yang sudah dewasa, maksudnya adalah hanya orang dewasa yang membuat perilaku ini, sedangkan orang yang belum dewasa tidak bisa dikatakan sebagai pembuat perilaku tersebut.

Baca juga:   Lupa Tujuan Hidup

Dalam KUHP dijelaskan yang menjadi objeknya adalah orang dengan jenis kelamin yang sama yang belum dewasa. Jadi apabila objeknya adalah orang dari jenis kelamin yang sama dan sama-sama dewasa, maka tidak akan dikenakan hukuman pidana menurut Pasal 292 KUHP.

Dari segi subjektifnya adalah diketahuinya belum dewasa, atau sepatutnya belum dewasa. Hal ini berdasarkan bahwa aturan Pasal 292 KUHP hanya untuk melindungi orang yang belum dewasa dari pelaku liwath sehingga unsur kesalahan yang ada adalah melakukan hubungan seksual terhadap orang yang belum dewasa dengan jenis kelamin yang sama.

Menurut penulis, yang tertuang yang terdapat pada Pasal 292 KUHP ini merupakan kepastian hukum yang telah di atur oleh pemerintah demi menjaga keamanan, kenyamanan, dan ketentraman dalam berkehidupan masyarakat.

Namun dalam Pasal 292 KUHP pemerintah masih membatasi umur bagi pelaku hubungan sejenis, dan memberlakukan hukuman Pidana hanya bagi pelaku yang melakukan hubungan sesama jenisnya kepada orang yang belum dewasa dengan ancaman lima tahun penjara. Dan di dalam Pasal 292 KUHP belum diterapkan hukuman bagi pelaku sesama jenis yang melakukan hubungan sesama jenis kepada yang sama-sama telah dewasa.

Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan bagian kedua Tentang Ketentuan Hukum Nomor 4 dan 7 yang berbunyi:

  • (1).Pelaku liwath dikenakan hukuman had dan ta’zir oleh pihak yang berwenang.
  • (2). Aktifitas liwath hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zir.

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia diatas menjelaskan bahwa penyimpangan seksual yang dilakukan oleh pelakum liwath tidak sesuai dengan ajaran agama, dimana didalam agama di ajarkan agar membantu manusia untuk mencapai dan mendapatkan kemaslahatan dalam hidup, bukan sebaliknya yang akan menyeret manusia pada kerusakan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan Hukum Pidana Positif. Persamaan antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif sama-sama memandang bahwa perilaku liwath merupakan perbuatan yang sangat tidak dibenarkan dan dilarang berdasarkan hukum, Hukum Pidana Islam Hukum Pidana Positif memberikan ganjaran terhadap pelaku liwath.

Perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan KUHP Pasal 292 mengenai hukuman bagi pelaku liwath terletak pada berat dan ringannya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman yang diterapkan Hukum Pidana Islam bagi pelaku liwath jauh lebih berat dibandingkan dengan KUHP Pasal 292.

Hukuman Pidana bagi pelaku liwath dalam KUHP Pasal 292 belum sepenuhnya diterapkan oleh pemerintah di Indonesia, karena penjatuhan hukuman bagi pelaku liwath adalah 5 tahun penjara dan hanya dijatuhkan kepada orang yang telah dewasa terhadap orang yang belum dewasa, hal inilah yang menimbulkan banyaknya asumsi dari para pakar hukum dan aparat hukum yang masih menjadi pro dan kontra mengenai hukuman yang diberikan bagi pelaku liwath di Negara Indonesia.

Terkait hal ini penulis lebih sependapat dengan Hukum Pidana Islam dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku liwath dibandingkan dengan KUHP Pasal 292, karena Hukum Pidana Islam yang dijatuhkan kepada pelaku liwath lebih mampu mengurangi angka penyimpangan seksual yang ada dimasyarakat

Mengobati Perilaku Seks Menyimpang

Selanjutnya ada beberapa terapi yang bisa dipraktekkan untuk mengobati perilaku seks menyimpang ini:

  • Taubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah, menyesali kekeliruan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
  • Memanfaatkan waktu untuk melakukan ketaatan kepada Allah swt, memperbanyak dzikir, karena dengan ketaatan kepada Allah swt, seseorang akan memiliki kehidupan yang baik.
  • Berteman dengan orang-orang shalih dan bergabung dengan majelis mereka. Dan menjauhi pertemanan dengan orang-orang yang berperangai buruk.
  • Menutup celah dan pintu peluang terperosok pada perbuatan keji tersebut antara lain berupa : menundukkan pandangan dari pemuda tampan dan hindari berdua-duaan dengan mereka dan menjauhi hal-hal yang merangsang syahwat.
  • Menikah merupakan sarana ampuh mengobati penyakit homoseks.
  • Berdoa dan kembali kepada Allah swt.
  • Melakukan ziarah kubur untuk mengingat kematian
  • Meminta bantuan psikiater bila hal itu diperlukan.

Demikian, dan semoga Allah swt mengangkat bala dari setiap orang yang tertimpa bala’, Amien.

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Link Terkait:

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *