TAFSIR yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Tafsir Al-Azhar karya Prof. Hamka yang banyak dirujuk oleh para pengkaji Al-Quran, penjelasannya mudah dan menyejukkan, detail dan mengikuti perkembangan zaman.
Biografi Buya Hamka
HAMKA nama adalah akronim (kependekan) dari nama sebenarnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama lain Haji Rasul adalah termasuk keturunan Abdul Arif yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang Pahlawan Paderi, dikenal dengan sebutan Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah adalah salah satu ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai: Syekh Muhammad Jamil Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad, dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri. Ia menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minangkabau setelah kembali dari Mekah pada 1906 sekaligus teman dekat pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
Buya Hamka terlahir dari dunia penuh gejolak pada zamannya. Pertama, masa Revolusi Kemerdekaan R.I. dan, kedua, karena faktor modernisasi atau pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia. Ayahnya sendiri adalah tokoh pembaharu yang memperkenalkan sistem pendidikan modern dan organisasi Muhammadiyah di Minangkabau.
Buya Hamka menjalani masa pendidikan sekitar tujuh tahun lebih antara 1916 hingga 1924. Menginjak usia 29 tahun, Buya Hamka memulai aktivitas kerjanya dengan menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi. Buya Hamka meneruskan karirnya sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 sampai 1958. Setelah itu, dia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjabat sebagai Guru Besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Di samping, sebagai pegawai tinggi agama yang dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia sejak 1951 sampai 1960.
Buya Hamka meletakkan jabatannya setelah Presiden Soekarno memberinya pilihan untuk tetap menjabat sebagai petinggi negara atau melanjutkan aktivitas politiknya di Masyumi. Di bidang keilmuan, Buya Hamka lebih banyak melakukan studi mandiri seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Beliau adalah seorang penulis yang banyak menghasilkan karya, hasil-hasil karya tulisnya baik yang berhubungan dengan sastra dan agama semuanya berjumlah sekitar 79 karya.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya memasukkannya ke madrasah yang ia dirikan di Sumatera, Padang Panjang namanya at-Thawalib yang artinya santri-santri. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan dai Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan tersebut pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.
Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi orator utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjara inilah beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Guru-guru Buya Hamka dan teman seperjuangannya
Dalam salah satu bukunya “Falsafah Hidup” Buya Hamka menyebutkan tentang beberapa nama gurunya yang sangat mempengaruhi jalan hidup dalam agama termasuk dalam menciptakan buah pikiran, buku-buku dan syair-syair.
- Dr. H.A. Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Haji Rasul
- Syeikh Ibrahim Musa
- R.M. Surjopranoto
- Ki Bagus Hadikusumo
- A.R. Sutan Manshur (mendapat julukan ‘Bintang Barat Muhammadiyah). Pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980. Dan berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah.
- H. Fachroedin, wakil ketua P. B Muhammaddiyah
- K.H. Mas Manshur
- H.O.S Cokroaminoto yang mengajarinya tentang Peradaban Barat
- A. Hasan
- M. Natsir
- K.H Ahmad Dahlan
- KH Ibrahim
- KH Mukhtar Bukhari
- KH Abdul Mu’thi
- KH Mas Mansyur
Buku-buku Buya Hamka
Prof. Dr. Hamka adalah seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah koran seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Selain itu ia memiliki sekitar lebih 115 karya pada bidang sastra, sejarah, tasawuf, dan agama, di antara karya-karya beliau antara lain:
- Tafsir Al-Azhar, tafsir ini merupakan karya utama dan terbesar Prof. Dr. Hamka, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1984
- Falsafah Hidup, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1994
- Tasawuf Modern, buku ini ditulis ketika ia berada di Medan pada tahun 1940 M
- Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1952
- Mengembalikan Tasawuf ke pangkalnya, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1958 yang berasal dari ceramahnya di PTAN Yogayakarta sebagai guru besar ilmu Tasawuf disana.
- Tasawuf,Perkembangan dan Pemurniannya, diterbitkan oleh Pustaka Pajimas tahun 1984. Buku ini ditulis untuk mengingatkan umat islam dari praktek tasawuf yang dicampuri dan diselewengkan dari makna kesucian islam.
- Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad
- Studi Islam yang terbit tahun 1985
- Islam dan Demokrasi
- Islam dan Kebatinan
- Ekspansi Ideologi
- Falsafah Ideologi
- Urat Tunggang Pancasila
- Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi
- Muhammadiyah di Minangkabau
- Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura
- Novel Di Bawah Lindungan Kaabah, buku ini menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setahu kami novel ini di Indonesia telah filmkan sekitar tahun 90-an.
- Novel Merantau ke Deli, novel ini juga menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura
- Khatib Ummah
- Layla Majnun
- Mengembara di Lembah Nil
- Di Tepi Sungai Dajlah
Anugerah yang pernah diterima Hamka
- Anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958
- Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974
- Dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia
Metodologi Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka
Buya Hamka termasuk dalam kategori mufasir generasi kedua di Indonesia, karena generasi pertama yang masih menggunakan bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan Melayu-Minang, seperti al-Kitab al-Mubin karya K.H. Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab Tafsir al-Ibriz oleh K.H. Bisri Mustofa dalam bahasa Jawa (1950). Sementara mufasir generasi kedua umumnya sudah menggunakan huruf Latin dan bahasa Indonesia.
[1] Sebab Penamaan Tafsir Al-Azhar
Nama tafsir Al-Azhar diambil dari nama masjidAl-Azhar dimana Buya Hamka sering memberikan pelajaran tafsir seusai shalat subuh, yang mana nama Al-Azhar itu langsung diberikan oleh syekh Mahmud Syaltut, Syeikh (rektor) universitas Al-Azhar di Kairo, seraya berharap semoga masjid Al-Azhar tersebut menjadi Al-Azhar di Indonesia sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo.
Dinamakan Al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang didirikan olehnya di Kebayoran Baru. Nama yang diilhami dari Syekh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual tumbuh di Indonesia. Buya Hamka awalnya mengenalkan tafsirnya tersebut melalui kuliah subuh pada jama’ah masjid al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Penafsirannya dari Surah al-Kahf, Juz XV. Catatan yang ditulis sejak 1959 tersebut telah dipublikasikan dalam majalah ‘Gema Islam’ yang terbit pertama pada 15 Januari 1962 sebagai pengganti majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel oleh Presiden Soekarno tahun 1960.
[2] Metode Tafsir Hamka
- Menggunakan metode tafsir Tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai sisi berdasarkan urutan ayat dalam Al-Quran.
- Menggunakan corak tafsir Adab Ijtima’i (sosial kemasyarakatan) yaitu menjelaskan petunjuk ayat Al-Quran yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya menyelesaikan masalah-masalah kehidupan dengan petunjuk Al-Quran. Tafsir Al-Azhar mendialogkan teks dengan realita yang dialami untuk menguatkan ayat, sehingga ayat yang dibahas menjadi hidup dan relevan untuk zaman sekarang.
- Tidak terikat oleh fanatisme mazhab dan mentarjih dari berbagai mazhab/konklusi hukum.
- Berpegang pada riwayat Al-Quran dan Hadits dalam masalah ghaib dan israiliyat/mubham.
- Tafsir modern yang menjadikan Al-Quran sebagai sumber hidayah (ittijah al-hudaai)
- Pemikiran yang tertuang di tafsirnya, banyak terpengaruh oleh Gerakan pencerahan keislaman Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
- Buya Hamka banyak mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, perkataan sahabat dan tabiin sehingga, tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menjadi karya tafsir yang harmonis antara tafsir bil matsur dan bil ma’qul, menggabungkan riwayat dan dirayat.
- Berpegang pada riwayat Al-Quran dan Hadits dalam masalah ghaib dan Israiliyat/mubham.
- Tafsir al-Quran ini lengkap sampai 30 juz, tidak disusun terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah sesuai keragaman kemampuan pemahaman masyarakat islam yang amat majemuk.
- Mendialogkan teks dengan realita yang beliau alami untuk menguatkan keterangan ayat.
- Tafsir Al-Azhar disusun tanpa membawakan pertikaian mazhab-mazhab fiqih.
- Penulis berusaha tidak ta’ashub kepada suatu faham mazhab tertentu, dan sedaya upaya menguraikan maksud ayat dan memberi kesempatan orang untuk berpikir.
- Bukan tafsir ensiklopedis seperti tafsir zaman dahulu dan menitik beratkan Al-Quran sebagai hidayah (ittijah alhudaai)
- Pertama menuliskan tafsir dengan menerbitkan tafsirnya di majalah, seperti layaknya Muhammad Abduh.
[3] Motivasi Hamka menulis Tafsir Al-Azhar
- Hamka melihat mufasir klasik sangat fanatik terhadap mazhab mereka, sekalipun suatu makna lebih dekat kepada suatu mazhab, tetapi tetap digiring kepada suatu mazhab.
- Munculnya generasi pemuda muslim Melayu yang ingin belajar Islam lebih mendalam dan haus untuk mengetahui rahasia-rahasia Al-Quran.
- Meninggalkan pusakan berharga untuk umat Islam di Indonesia dan menyiapkan kader kader da’i yang profesional.
- Hutang budi kepada Al-Azhar Mesir yang memberikannya gelar honoris causa.
Cetakan pertama Tafsir Al-Azhar oleh Penerbit Pembimbing Masa dari juz 1 sampai juz 4, lalu diterbitkan juz 5 sampai juz 30 oleh Pustaka Islam Surabaya. Kemudian, Yayasan Nurul Islam Jakarta menerbitkan juz 5 sampai juz 14.
[4] Sumber Tafsir
- Al-Quran
- Hadits
- Aqwal Sahabat, Tabi’in.
- Tafsir Ma’tsur.
- Tafsir bir Ra’yi Jaiz.
- Tafsir bi Laun Al-Adabi Al-Ijtima’i.
[5] Sistematika penafsiran Al-Azhar
- Ayat
- Terjemahan
- Munasabah
- Tafsir ayat/kosa kata
- Sebab turunnya ayat dan
- Kandungan ayat (kesimpulan).
[6] Awal Penulisan
Tafsir Al-Azhar mulai ditulis Hamka sejak menjelang tahun 1960, Tafsir ini diselesaikannya lengkap 30 juz ketika berada dalam tahanan pemerintahan rezim Sukarno pada tanggal 12 Ramadhan 1383 atau 27 Januari 1964. Tahanan penjara terhadap pengarang dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi (pro-malaysia) terhadap pemerintah tanpa pernah dibuktikan secara hukum, memberikan hikmah amat besar dengan terselesaikannya karya besar tesebut.
Sesuatu yang menjadi penghibur beliau ialah kunjungan dari sabat dan jamah-jamah beliau baik dari Aceh, Sumatra Timur, Palembang, Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, NTB, dll. Salah seorang utusan yaitu ulama Mesir yang merupakan dosen di sana menyampaikan bahwa ulama-ulama Al-Azhar Mesir mendoakan moga-moga beliau lekas terlepas dari bencana itu.
Ulama-ulama Mesir itu bila berjumpa dengan pelajar-pelajar Indonesia selalu menanyakan nasib beliau, dan mendoakan agar iman beliau bertambah. Bahkan beratus-ratus teman beliau ketika mengerjakan haji mendoakan beliau di Multazammoga-moga keadilan Allah berlaku, kejujuran menang dan kecurangan tumbang.
Ketika Buya Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat pada negara dan dipenjara selama 2 tahun 7 bulan; ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan tafsirnya. Ia menyatakan rasa syukur kepada para ulama, para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang, ulama dari Mesir, ulama di Al-Azhar, Syekh Muhammad Al-Ghazali, Syekh Ahmad Sharbasi, dari Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain.
Pada 1967, Tafsir Al-Azhar pertama kali diterbitkan. Tafsir tersebut menjelaskan latar hidup penafsirnya secara lugas. Ia menggambarkan watak masyarakat dan sosio-budaya yang terjadi saat itu. Selama 20 tahun, tulisannya mampu merekam kehidupan dan sejarah sosio-politik umat yang getir dan menampakkan cita-citanya untuk mengangkat pentingnya dakwah di Nusantara.
Tafsir Al-Azhar ditulis berasaskan pandangan dan kerangka manhaj yang jelas dengan merujuk pada kaedah bahasa Arab, tafsiran salaf, Asbab an-Nuzul, Nasikh-Mansukh, ilmu hadis, ilmu fiqih dan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sini, penafsiran Buya Hamka di samping menggunakan metode tahlili secara umum juga melakukan perbandingan-perbandingan (muqaran) terhadap realitas sosialnya.
[7] Perkataan Buya Hamka tentang Tafsir al-Azhar
“Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim, hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya, aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka semoga dengan meninggalkan tafsir ini adayang diingat-ingat orang dari diriku sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat, yang dapat aku kerjakan di dalam saat-saat aku teraniaya.”
[8] Tuduhan Pluralisme
Ada sebagian orang liberal yang menggunakan tafsir al-Azhar untuk menjustifikasi pendapat Pluralisme mereka, pada dasarnya mereka salah representasi atau salah memahami tafsir karena tafsir Buya Hamka tidaklah bermaksud kepada Pluralisme.
Manipulasi ini juga dilancarkan kepada Syaikh Rasyid Ridha, seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya: Islam dan Pluralisme: Akhlaq al-Quran menyikapi perbedaan, pada buku tersebut ia mengutip pendapat Rasyid Ridha yang dikatakan bahwa tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi Muhammad saw.
Ada sejumlah penulis yang keliru dalam mengungkapkan pemikiran Hamka, bahkan ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga seolah olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama.
Contohnya adalah buku yang diterbitkan Universitas Paramadina berjudul “Bayang-Bayang Fanatisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid” (2007) yang diberi pengantart Dawam Rahardjo dan Yudi Latif.
Pada artikel di buku tersebut yang berjudul Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah yang ditulis oleh Ayang Nutriza NWAY mengutip pendapat Hamka secara serampangan dan menuliskan kesimpulan berikut:
“Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis “Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damain di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [..] Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, janga agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran.
Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal shaleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat tabg begini dengan penuh toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam Al-Quran. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern”. Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Salman Al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani dan Islam. Rasululah Saw menjawab dengan Qs. 2:62 tersebut”. (hal, 306-307)
Referensi:
- Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1984
- Buya Hamka, Falsafah Hidup, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1994
- Buya Hamka, Tasawuf,Perkembangan dan Pemurniannya, diterbitkan oleh Pustaka Pajimas tahun 1984, cet.XI
- Prof.Dr.Musthafa Hilmi, Qawaid al-Manhaj as-Salafi fi al-Fikr al-Islami, (Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet III.
- Muhammad Muhibudiien Abu Zaid, Khashaish Ahlu al-Hadits wa as-Sunnah”, (Mesir, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet. I
- Makalah seminar sehari tentang Buya Hamka di Insits, 9 Juni 2017, link catatan seminar https://ahmadbinhanbal.com/sehari-bersama-buya-hamka/
Artikel di blog ini tentang Buya Hamka
- Seminar sehari tentang Buya Hamka di Insits, 9 Juni 2017, link catatan seminar https://ahmadbinhanbal.com/sehari-bersama-buya-hamka/
- Tasawuf Modern Hamka, Juni 13, 2017. Link: https://ahmadbinhanbal.com/tasawuf-modern-hamka/
- Kisah Buya Hamka dan Seputar Pelaksanaan 2 Hari Raya Idul Adha di Indonesia, Juli 9, 2022. Link: https://ahmadbinhanbal.com/kisah-buya-hamka-dan-pelaksanaan-2-hari-raya-idul-adha/
https://polldaddy.com/js/rating/rating.js
https://polldaddy.com/js/rating/rating.jshttps://polldaddy.com/js/rating/rating.jspaling suka dengan hamka
Alhamdulillah.