Kalau Anda punya tetangga yang suka menyetel radio atau pemutar musik keras-keras, sehingga kebisingannya sampai terdengar ke rumah Anda, apa yang akan Anda lakukan? Reaksi orang bisa berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu, ada yang tidak. Yang merasa terganggu, ada yang datang menegur, ada pula yang memilih untuk menahan diri saja.
Bertetangga, Bertenggang Rasa
Tetangga kita tidak merasa ada yang salah dalam sikapnya. Dia asyik dengan kebiasaannya itu, tidak ada masalah, karena setahu dia tidak ada yang terganggu. Tapi kalau ia lebih bertenggang rasa, ia akan tahu bahwa perbuatannya itu tak patut.
Kenapa ia perlu menyetel musik keras-keras sampai terdengar di rumah tetangga? Musik dengan volume suara yang lebih rendah tetap bisa ia nikmati.
Menghadapi tetangga yang menyetel musik keras-keras, saya dan Hafi memilih untuk menahan diri, menghiraukan musik yang keras itu dan tidak menikmatinya. Istilah lainnya, kami mengingkari dengan hati.
Kami pun berusaha memposisikan diri kami di posisi mereka. Tetangga kami adalah para pekerja penjual krupuk dan penjual somay. Setiap pagi penjual krupuk menggoreng krupuk dan membungkusnya di plastik-plastik kecil, kegiatan rutin seperti ini akan terasa nyaman jika ditemani musik, demikian juga dengan tetangga penjual somay.
Sabar adalah jalan ninja kami bertetangga.
Kesabaran yang dianjurkan Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya.
“Sesungguhnya Allah mencintai tiga golongan dan membenci tiga golongan. -Lalu beliau menyebutkan di antara mereka- seorang laki laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya,
lalu dia bersabar atas gangguannya, sampai (akhirnya) Allah mencegah kejahatannya dengan sebab (proses) kehidupan (seperti berpindah tempat) atau dengan kematiannya.” [Dishahihkan oleh al Albani dalam shahih at Targhib no. 2569]
Hasan Al-Bashri dan Tetangga Nasrani
Akhlak salaf shalih dalam bermuamalah dengan tetangga layak menjadi suri tauladan, salah satu contonya adalah Hasan Al-Bashri dan istrinya dengan tetangganya yang Nasrani.
Berikut kisah Hasan Al-Bashri dengan tetangganya.
Di rumah susun yang tidak terlalu besar ia tinggal bersama istri tercinta. Di bagian atas adalah tempat tinggal seorang Nasrani. Kehidupan berumah tangga dan bertetangga mengalir tenang dan harmonis meski diliputi kekurangan menurut ukuran duniawi.
Di dalam kamar Hasan Al-Bashri selalu terlihat ember kecil penampung tetesan air dari atap kamarnya. Istrinya memang sengaja memasangnya atas permintaan Hasan Al-Bashri agar tetesan tak meluber. Hasan Al-Bashri rutin mengganti ember itu tiap kali penuh dan sesekali mengelap sisa percikan yang sempat membasahi ubin.
Hasan tak pernah berniat memperbaiki atap itu. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya.
Jika dirunut, atap kamar Hasan Al-Bashri tak lain merupakan ubin kamar mandi seorang Nasrani, tetangganya. Karena ada kerusakan, air kencing dan kotoran merembes ke dalam kamar Sang Imam tanpa mengikuti saluran yang tersedia.
Tetangga Nasrani itu tak bereaksi apa-apa tentang kejadian ini karena Hasan Al-Bashri sendiri belum pernah mengabarinya. Hingga suatu ketika si tetangga menjenguk Hasan Al-Bashri yang tengah sakit dan menyaksikan sendiri cairan najis kamar mandinya menimpa ruangan Hasan Al-Bashri.
“Imam, sejak kapan engkau bersabar dengan semua ini,” tetangga Nasrani tampak menyesal.
Hasan al-Bashri hanya terdiam memandang, sambil melempar senyum pendek.
Merasa tak ada jawaban tetangga Nasrani pun setengah mendesak. “Tolong katakan dengan jujur, wahai Imam. Ini demi melegakan hati kami.”
Dengan suara berat Hasan Al-Bashri pun menimpali, “Dua puluh tahun yang lalu.”
“Lantas mengapa engkau tidak memberitahuku?”
“Memuliakan tetangga adalah hal yang wajib. Nabi kami mengajaran, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangga’. Anda adalah tetangga saya,” tukasnya lirih.
Tetangga Nasrani itu seketika mengucapkan dua kalimat syahadat.
Saya tidak lebih baik dengan Imam Hasan Al-Bashri, maka saya dan istri lebih perlu mencontohi beliau dalam kesabaran bermuamalah dengan tetangga.
Jumal Ahmad – ICD
Jazakallahu khairan