Pendahuluan
Dalam Islam, Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Semua jumhur ulama mengakui hadits sebagai sumber hukum. Bagi kaum Muslim di Indonesia, yang mayoritas beraliran sunni, hadits menjadi sumber penting yang dijadikan sebagai sandaran utama. Bahkan, upaya-upaya mengabaikan hadits di kalangan Muslim Indonesia dianggap sebagai upaya menghancurkan salah satu sendi agama Islam itu sendiri.
Namun demikian, tidak seperti al-Qur’an yang metode periwayatannya dilakukan secara mutawatir dan sudah ditulis sejak masa kenabian Muhammad Shallallahu Alaihiwasallam., sehingga ia menjadi niscaya sebagai sumber hukum, tidak demikian halnya dengan hadis. Hadits, yang baru ditulis pada akhir abad II H dan periwayatannya yang tidak semuanya dilakukan secara mutawatir, perlu diteliti lebih dulu sebelum bisa diamalkan.
Untuk itulah, para ulama di masa lalu berusaha mengembangkan sebuah metode dimana hadis selanjutnya bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Secara umum, ada dua besaran atau objek kajian dalam hadis, yaitu kegiatan mendapatkan, mengkaji, dan mempelajari materi hadits dan (ilmu riwayah al-hadits) dan kegiatan mengkaji status hadis dengan mengukur apakah ia bisa diterima atau ditolak (ilmu dirayah al-hadits).
Dari dua besaran kegiatan mempelajari hadis ini, disiplin ilmu terakhir lah yang banyak berkaitan dengan aktivitas mengamalkan atau aktivitas mendapatkan hukum (istinbat al-hukm) dari hadis, yang darinya dikenal dua metode kritik hadis, yaitu metode kritik sanad (periwayatan), dan metode kritik matn (teks/ redaksi).
Untuk konteks wilayah Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, diantaranya muncul nama Musthafa Ya’qub yang disebut sebagai pakar dalam bidang hadits. Dia saat ini bertugas sebagai salah seorang Imam besar di Masjid Istiqlal Jakarta. Selain itu, dengan kemampuannya ia mendirikan sebuah pesantren yang secara khusus mempelajari hadits.
Ada beberapa alasan kuat, mengapa Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah yang beralamat di Jalan SD Inpres no 11 Pisangan Barat Ciputat-Tangerang itu ia dirikan pada tahun 1997.
Diantaranya yang pertama adalah karena masih adanya umat Islam yang tidak tahu persis tentang hadis, apakah hadis itu shahih, dhaif atau bahkan palsu.
Alasan kedua, juga masih banyak sekali para asatidz atau kiyai kalau ditanya tentang sebuah hadis, ia kemudian tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Ia tidak mentargetkan jumlah santri dengan jumlah yang sebanyak-banyaknya. Saat ini, hanya ada 60 orang santri yang aktif secara khusus mengikuti materi yang berada dalam bimbingannya.[1]
Kajian Hadis Musthafa Ya’qub
Untuk mengetahui bagaimana pendekatan dan operasionalisasi kritik hadis oleh Prof. Ali Mustafa Ya’qub, uraian ini akan mengambil contoh satu hadis yang merupakan salah satu sub judul bahasan dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah yang ia tulis.
Pada bagian pertama bukunya, beliau mencoba mengkritik hadis yang sudah amat populer bagi publik Muslim di Indonesia, yaitu hadis yang berkenaan dengan kewajiban menuntut ilmu, walaupun ke negeri Cina. Redaksi lengkap hadis dimaksud ialah sebagai berikut:
“Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin”
Artinya: “Tuntulah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.”
Sebelum mengurai kritik hadis ini, lalu masuk kepada permasalahan yang lebih jauh, Ali Mutafa Ya’qub memulai uraian dengan cerita seorang mahasiswa yang ditanya oleh masyarakat tentang siapakah yang meriwayatkan hadis tersebut, dan mengapa hadis tersebut menyebut Cina, bukan Eropa yang kini justru dianggap lebih maju.
Dari cerita itu, beliau menilai ada dua pokok masalah dalam hadis ini yang amat krusial untuk dijawab. Pertama, menyangkut transmisi periwayatannya, yang artinya menyangkut kririk sanad, dan kedua, menyangkut disebutnya “Cina” dan bukan Eropa, yang artinya menyangkut materi atau substansi hadis.
Dalam penelusuran Ali Mustafa Ya’qub, hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina diriwayatkan oleh beberapa rawi/ periwayat, antara lain: Ibn ‘Ady (w. 356 H) dalam al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal, Abu Nu’aim (w. 430 H) dalam Akhbar Ashbihan, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn Hibban (w. 254 H) dalam al-Majruhin, dan lain-lain. Mereka semua ini, menerima hadis dari: al-Hasan bin ‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dan dari Anas bin Malik, (dari Nabi Shallallahu Alaihiwasallam.).
Dari beberapa keterangan yang berhasil dihimpun mengenai kualitas hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina, beliau menyimpulkan bahwa hadis ini berstatus palsu (maudhu). Artinya, hadis ini bukan merupakan sabda atau perkataan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihiwasallam.
Faktor yang menyebabkan hadis ini palsu ialah karena dalam susunan sanad (rangkaian periwayat/ rijal al-hadis) terdapat nama Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, yang dikenal oleh para ulama hadis sebagai tidak mempunyai kredibilitas sebagai periwayat hadis, dan suka memalsu hadis. Baik al-‘Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Abu Hatim, sepakat bahwa Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman merupakan orang yang tidak dapat dipercaya.
Sedangkan dari segi materi hadis, baik Ibn Hibban maupun Ahmad bin Hanbal sama-sama menentang keras keberadaan sabda Nabi Saw. seperti ini. Ibn Hibban bahkan mengatakan bahwa hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina adalah hadis bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya).
Selanjutnya, Ali Mustafa Ya’qub tidak lupa mencari dan mendata hadis sejenis (yang kandungan materinya sama) dari beberapa riwayat lain. Setelah ditelusuri, ada tiga jalur lain (sanad), sebagai berikut:
1. Ahmad bin ‘Abdillah, dari – Maslamah bin al-Qasim, dari – Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, dari – ‘Ubaidillah bin Muhammad al-Firyabi, dari – Sufyan bin ‘Uyainah, dari – al-Zuhri, dari – Anas bin Malik, dari – (Nabi Saw.).
Hadis dengan riwayat/ sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam.
2. Ibn Karram, dari – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, dari – al-Fadhl bin Musa, dari – Muhammad bin ‘Amr, dari – Abu Salamah, dari – Abu Hurairah, dari – (Nabi Saw.).
Hadis dengan sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Karram, dan tercantum dalam al-Mizan karya al-Dzahabi.
3. Ibn Hajar al-‘Asqalani, dari – Ibrahim al-Nakha’i, dari – Anas bin Malik.
Hadis dengan sanad ini diriwayatkan sendiri oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan dicantumkan dalam karyanya sendiri, Lisan al-Mizan.
Sayangnya, sebagaimana penelusuran Ali Mustafa Ya’qub, ketiga jalur sanad ini tetap saja tidak merubah status hadis diatas yang divonis sebagai palsu.
Sebab-sebabnya ialah: pada sanad pertama, tercantum nama Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, yang dinilai oleh al-Dzahabi sebagai al-Kadzdzab (pendusta besar); pada sanad kedua, tercantum nama Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, yang termasuk sebagai pemalsu hadis; sedang pada sanad ketiga, sesuai keterangan Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa Ibrahim al-Nakha’i sesungguhnya tidak pernah mendengar apapun dari Anas bin Malik.
Biasanya, sebuah hadis dhaif yang didukung oleh riwayat lain yang dhaif juga, maka statusnya bisa meningkat menjadi, paling minimal hasan li ghairihi. Namun sayangnya, dalam kasus hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina ini kasusnya berbeda, yakni tidak ada satu pun dari keempat jalur hadis yang ada mempunyai status atau kualitas dhaif sekalipun.
Mengingat, dari jalur sanad keempatnya sudah diyakini bahwa hadis tersebut adalah palsu. Karena itulah, menurut Ali Mustafa Ya’qub, ungkapan Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina tidak boleh lagi disebut sebagai hadis, meskipun kalangan masyarakat awam menganggapnya sebagai hadis. Paling bagus, ungkapan itu hanyalah sebuah kata-kata mutiara.
Dan boleh jadi, karena begitu cepatnya kata mutiara ini menyebar, ia lama-kelamaan dianggap hadis, apalagi masyarakat mengetahui bahwa memang sudah sejak dulu masyarakat Cina terkenal mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Menurut Ali Mustafa Ya’qub hal penting yang harus digaris bawahi bahwa kepalsuan hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina, adalah dalam redaksi lengkapnya berbunyi: “Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.” Redaksi ini, sebenarnya bisa dipenggal menjadi dua kalimat: pertama, “uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini”; kedua, “thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.”
Penggalan kalimat pertama lah, yang menyebabkan hadis ini palsu. Sedangkan penggalan kedua, jika ia berdiri sendiri, lalu disampaikan kepada umat, maka ia sebenarnya mempunyai status shahih.
Jadi, jika ada orang mengatakan bahwa ia membaca, menyampaikan, atau mendapat hadis, yang artinya berbunyi: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,” maka hadis itu statusnya adalah hadis shahih. Sebab, hadis itu memang berasal dari Nabi Shallallahu Alaihiwasallam. yang antara lain, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam, oleh al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Shagir dan al-Mu’jam al-Awsath, dan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad.
Studi Kritik Hadits
Meskipun demikian terlihat jeli dalam penelitiannya terhadap hadits, namun tidak dapat dipungkiri pula kapasitas Prof. Musthafa Ya’qub sebagai “pakar” hadits tetaplah belum lengkap sebagaimana yang ia akui sendiri: ”Kami adalah tidak lebih dari seorang santri pinggiran yang baru belajar hadits kemarin sore” (mudah-mudahan ini sebagai ungkapan ketawaduannya).
Hal ini jika dikomparasikan dengan kapasitas para ulama abad 20 ini. Sebut saja misalnya, Syeikh Nashiruddin Al-Albani, Syeikh Abdullah Bin Baz, Syeikh Ibnu Al-Utsaimin ataupun Syeikh Yusuf Qardhawi. Meskipun nama-nama para ulama tersebut juga tidak terlepas dari berbagai kesalahan sebagai manusia yang tidak ma’shum
Namun demikian, makalah ini sama sekali tidaklah bermaksud membanding-bandingkan kemampuan antar individu atau bahkan menjatuhkan seseorang baik yang disebut sebagai pakar atau bahkan ulama.
Makalah ini hanya akan secara singkat mengulas tentang beberapa catatan terhadap Musthafa Ya’qub sebagaimana judul besar diatas. Selain itu makalah ini juga bersifat sejenis dengan aertikel atau opini yang tidak akan secara mendetail menyebutkan satu persatu sumber yang menjadi rujukan.
Musthafa Ya’qub menyebutkan beberapa hadits Nabi Saw. Yang menurut para ulama ahli hadits adalah sebagai hadits shahih tetapi bagi dia hadits-hadits berikut ini adalah sebagai hadits matruk (semi palsu) dan bahkan maudhu’ ( palsu). Hadits-hadits dimaksud adalah sebagai berikut[3]:
. 1 .Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab dating menghadap Nabi Saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudia bertanya, “Apakah itu wahai Ubay?” Ubay menjawab “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan bahwa mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka meminta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan raka’at, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “maka hal itu merupakan ridha Nabi Saw karena beliau tidak berkata apa-apa”
Bagi Musthafa Ya’qub, Hadits ini kwalitasnya lemah sekali karena didalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah.
2 .Nabi Saw. Pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan raka’at dan witir.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid dari Jabir bin Abdullah.
Bagi Musthafa Ya’qub, hadits ini matruk (semi palsu) karena didalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah juga.
3 .Rasulullah Saw. Tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selai bulan Ramadhan dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat raka’at, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga raka’at. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, :Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat witir ?” Beliau menjawab, wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur”. (Dari Aisyah, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizdi, Nasa’i).
Dalam bukunya Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan (hal 49-141), Musthafa Ya’qub telah melakukan beberapa kesalahan ilmiyah, yaitu[4] : melakukan talbis dan tadlis, melakukan takalluf, melakukan “pencelaan” terhadap ulama dan dapat pula disebut bahwa ia membantah dan “membodohi” dirinya sendiri.
Pada bab terpanjang dalam bukunya tersebut yaitu bab Shalat Tarawih 8 dan 20 raka’at (hal 49-75), Musthafa Ya’qub telah melakukan beberapa kesalahan berikut ini[5]:
1. Takhrijnya, terhadap dua hadits Jabir bin ‘Abdillah diatas tentang perbuatan dan persetujuan Nabi Shallallahu Alaihiwasallam Tentang shalat tarawih 8 raka’at
Ia mengatakan bahwa hadits ini sangat lemah atau semi palsu karena didalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah seorang rawi yang sangat lemah haditsnya. Tentu kesimpulannya mengatakan hadits ini semi palsu adalah kekeliruan yang nyata, menyelisihi takhrijnya para ahli hadits (tidak hanya sebagai pakar); walaupun hal itu boleh saja jika memang benar.
2. Kekeliruan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil terhadap seorang rawi
Kesimpulannya terhadap Isa bin Jariyah bahwa ia adalah rawi yang matruk yaitu pendusta yang dituduh berdusta ketika meriwayatkan hadits, tentu juga merupakan sebuah kekeliruan. Karena tidak ada ulama ahli hadits yang men-Jarh (mencela) Isa bin Jariyah sebagai pendusta, bahkan memberikan ta’dil (pujian) walaupun pujian dalam nilai yang rendah.
Seperti yang dikatakan oleh Abu Zuhrah kepada Isa bin Jariyah: Laa Ba’tsa Bihi (tidak mengapa dengan riwafa Ya’qubyatnya).Selain Abu Zuhrah, al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai salah seorang dari Amirul Mukminin Fil Hadits juga mengatakan di dalam kitabnya Taqribut Tahdzib: “Fiihi Layyin (padanya terdapat kelemahan)”.
Satu bentuk jarh (celaan) yang ringan, yang haditsnya dapat terangkat menjadi hasan kalau ada syahidnya bahkan bisa naik lagi menjadi shahih kalau ada syawahidnya. Dan kenyataannya bahwa hadits Isa bin Jariyah telah memiliki syahid dari hadits ‘Aisyah riwayat Bukhari dan Muslim sehingga terangkatlah menjadi hadits hasan lighairihi.
- Ia menolak hadits ‘Aisyah diatas sebagai syahid (penguat) bagi riwayat Jabir di atas, yang dengannya riwayat Jabir diatas yang derajatnya dha’if naik menjadi hasan lighairihi
- Kekeliruan terakhir Musthafa Ya’qub dalam buku tersebut adalah ia juga menyatakan bahwa hadits Aisyah tersebut bukanlah untuk shalat tarawih, tetapi untuk shalat witir. Jika demikian halnya maka seolah-olah ia lebih faqih dari Amirul Mukminin Fil Hadits. Karena Imam al-Bukhari menyebutkan hadits Aisyah tersebut di dalam kitab Shahihnya dalam bab shalat tarawih (no. 2013). Padahal dalam shalat tarawih itu sendiri terdapat shalat witir, sehingga kedua shalat ini adalah hal yang berbeda.
Selain beliau tidak mengakui hadits-hadits diatas sebagai dalil untuk melaksanakan shalat tarawih, beliau juga melakukan kesalahan dengan menggunakan dalil qiyam ramadhan berikut ini sebagai pembolehan melaksanakan tarawih sampai seratus raka’at.
“Nabi tidak membatasi jumlah raka’at shalat malam ramadhan. Mau sepuluh raka’at silakan. Mau dua puluh raka’at silakan. Mau seratus raka’at silakan”[6].
Ungkapan Musthafa Ya’qub tersebut didasari atas dalil yang umum (tidak khusus tentang shalat tarawih) berikut ini.
“Rasulullah saw. Bersabda, Baransiapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni”. (Hadits riwayat Bukhari)
Padahal hadist tersebut bersifat umum, yang dapat dimaknai sebagai qiyam ramadhan dengan melaksanakan berbagai macam ibadah yang disunnahkan seperti: tilawah al-qur’an, berinfak dan bershadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya yang tidak secara khusus disebutkan dalilnya. Adapun shalat tarawih yang terdapat ketentuan khusus dengan dalil-dalil yang khusus pula maka tidak dapat dibebaskan pelaksanaaanya dengan jumlah raka’at yang umum (tidak terbatas) sebagaimana pendapat diatas.
Penutup
Demikianlah beberapa catatan kecil bagi Prof. Ali yang masih dapat pula untuk diberikan catatan lebih lanjut baik bagi beliau maupun bagi yang memberi catatan itu sendiri. Yang jelas, dan telah disepakati oleh para ulama dan bahkan tidak hanya sekedar disepakati tetapi juga dilaksanakan diseluruh negeri-negeri dan masyarakat muslim bahwasannya shalat tarawih adalah jumlahnya terbilang, bukan tak terbilang atau tidak terbatas sebagaimana yang diyakini oleh ustadz Ali Musthafa itu.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
[1] www.republika.co.id
[2] …………. Minggu, 2007 November 04
[3] Ali Musthafa Ya’qub, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 4, 2007, hal 52-6
[4] Abu Ubaidah, Syaikh Al-Albani Dihujat, Jakarta, Pustaka ‘Abdullah, tt, hal. xxiv
[5] Abu Ubaidah, Syaikh Al-Albani Dihujat, hal. xxv-xxix
[6] Mustahaf Ya’qub, Hadis-hadis Palsu……, hal. 54
Kalau ada bilangan dalam shalat tarawih tentu para ulama fiqih seperti syafi’i, hanafi, maliki, hambali tidah berbeda pendapat dalam masalah tarawih ini, toh mereka juga berbeda pendapat dalam jumlah rakaat shalat tarawih