Imam Al Ghazali adalah seorang ulama besar yang memahami Hadis Rasulullah. Imam Ghazali mempunyai guru-guru terkemuka dalam bidang ilmu Hadis. Al- Ghazali belajar Hadits langsung dari para ulama.
Dia pernah belajar Sunan Abi Daud dari Abu al Fath al Hakimi, al Thusi dengan metode sama’. Juga mendengarkan banyak Hadis dari para ulama fiqh (fuqaha’). Ibn Asakir menyatakan bahwa al Ghazali mendengarkan Shahih al Bukhari dari Abu Sahl Muhammad ibn Abdullah al Hafshi.
Ibn al Sam’ani juga menyatakan bahwa al Ghazali banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan Hadits Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim dari al Hafizh Abu al Fityan Umar ibn Abi al Hasan al Ruasi. Selain itu al Ghazali juga meriwayatkan Hadits tentang Maulid Nabi Muhammad saw dari al Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al Huwari.
Jika Imam Al-Ghazali dikatakan mempelajari dua kitab shahih al Bukhari dan Shahih Muslim di sisa usianya, bisa jadi itu adalah proses penyempurnaan. Artinya di masa mudanya Al- Ghazali telah mempelajari kedua kitab itu dengan metode yang lain, seperti wijadah, ijazah atau lainnya. Kemudian disempurnakan di masa tuanya dengan metode sama’. Menurut Dr. Ardiansyah mustahil Al-Ghazali yang dianggap sebagai faqih tidak memahami ilmu hadis.
Pembelajaran Al-Ghazali terhadap dua kitab shahih di atas justru menunjukkan sosok Al-Ghazali sebagai ulama sungguhan. Kebesaran namanya tidak menghalangi untuk terus belajar kepada ulama yang dinilai memiliki otoritas.
Dengan demikian, Al Ghazali selalu berusaha meningkatkan kualitas dan otoritas keilmuannya dalam ilmu Hadits. Hal ini belum tentu dilakukan orang yang dianggap pengkaji Hadits atau ahli Hadits saat ini. Dimana, banyak diantara mereka belajar Hadits hanya lewat buku, bukan talaqqi kepada guru dengan metode sama’ atau qira’ah.
Imam Al-Ghazali mengakui kelemahannya dalam ilmu hadis sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Qanun At-Takwil (وبضاعتي في علم الحديث مزجاة) bahwa pengetahuannya dalam bidang hadis sedikit. Menurut uraian Dr. Ardiansyah, ungkapan beliau adalah iqtibas dari Surat Yusuf ayat 38.
Menurut Ibnu Katsir, ada beberapa makna mujzah. Ada yang menafsirkan dengan sedikit (qalil), rendah (radi’), tidak laku (kaasidah) dan sebagainya. Begitu juga menurut Fakhruddin Al-Razi, sesuatu disebut mujzah jika kurang atau bernilai rendah.
Pernyataan Al-Ghazali di atas juga mesti dipahami sesuai konteksnya, bahwa yang melatarbelakangi lahirnya kata-kata tersebut adalah jawaban terhadap beberapa masalah metafisikan yang diajukan kepadanya. Menurut para pengkaji, penanya dalam kitab tersebut adalah Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, pakar bidang hadis penulis syarh Sunan At-Tirmidzi.
Pernyataan Al-Ghazali bahwa pengetahuan hadis beliau sedikit memang ada benarnya jika dibandingkan dengan imam Bukhari, Muslim dan lainnya, bahkan dari ulama hadis yang mengkritiknya seperti At-Turthusi dan As-Subki. Tapi jika dibandingkan dengan ulama saat ini, apalagi kalangan awam, bisa jadi pengetahuan ilmu hadis Al-Ghazali lebih banyak dan lebih luas.
Dr. Arrazy Hasyim menyebutkan dua makna dari pernyataan Al-Ghazali di atas.
Makna pertama, sebagai bentuk ketawadhuan dari Al-Ghazali. Ini sama dengan pernyataan Imam Abdullah bin al-Mubarak ketika mengatakan, “Aku menyintai orang-orang saleh, namun aku bukan dari golongan mereka. Aku pernah memarahi orang saleh, padalah aku lebih buruk dari mereka.”.
Makna kedua, ungkapan itu dipahami sesuai dengan zahir kalimat. Artinya, al-Ghazali memang tidak mendalami ilmu Hadis. Namun, hal ini dapat ditepis dari dua hal, pertama tradisi pembelajaran hadis yang pernah ia ikuti —sebagaimana dijelaskan sebelumnya-, dan kedua dengan memperhatikan beberapa karyanya, terutama kitab al-Mankhul. Dua hal ini mengindikasikan dengan kuat bahwa al-Ghazali mendalami ilmu Hadis.
Selengkapnya di Imam Al-Ghazali dan Ilmu Hadis