Homoseksual Dan Pendidikan Seks Dalam Islam

Beberapa hari ini media televisi dan media cetak Indonesia dihebohkan dengan terungkapnya kasus pelecehan seksual di sebuah sekolah bertaraf Internasional di daerah Jakarta Selatan yaitu Jakarta Internasional School atau JIS. Saya pernah melewati depan sekolah ini, dan waktu lewat saya bertanya kepada ustadz saya yang berprofesi sebagai konsultan pendidikan karakter di Sekolah Highscope Indonesia atau SHI yaitu Arifin Jayadiningrat, saya bertanya kepada beliau tentang perbedaan SHI dengan sekolah internasional lainnya, kata beliau bedanya terletak pada paradigma yang dibangun semenjak kecil sampai dewasa selama di SHI dan memang moto dari SHI adalah Leading Human Development Paradigm.

Melanjutkan tulisan ini, saya mengumpulkan beberapa bahasan tentang homoseksual dan pendidikan seks dalam Islam dari beberapa buku, makalah dan artikel di internet yang bisa saya dapatkan, semoga bahasan sedikit ini bisa menambah wawasan kita seputar homoseksual dan pendidikan seks dalam Islam. Oh ya…dulu saya pernah memposting beberapa tulisan tentang sodomi, hukuman bagi pelaku homoseks dalam Islam dan transgender atau waria, silahkan melihat tulisan tersebut di laman ini.

Realita Homoseksual

Gerilya kaum homoseks di bidang medis telah berhasil mengeluarkan “homoseksualitas” dari daftar penyakit Internasional (International Classification of Diseases) oleh WHO pada 17 Mei 1990. Homoseksual juga ditetapkan oleh Asosiasi Psikiater Amerika (APA) sebagai bukan penyakit, kekacauan mental atau problem emosional, tetapi dianggap sebagai sebuah varian orientasi seksual.

Psikiater Prof. Dadang Hawari dan psikolog Rita Soebagio peneliti di INSITS menyatakan tidak setuju jika homoseks dinilai bukan penyakit dan tidak perlu disembuhkan seperti yang diklaim Asosiasi Psikiater Amerika (APA). Meski begitu mereka mengakui bahwa terapi homoseks relative lebih sulit maka pencegahan semenjak dini harus dilakukan dan pencegahan yang paling kuat menurut mereka adalah dengan pendidikan agama sejak dini. Hal ini juga sudah dibuktikan oleh ilmuwan Barat bernama Dr. Graf Remafedi dari Universitas Minnesota Amerika Serikat  dan ilmuwan yang tergabung dalam The National Association for Research ang Therapy of Homosekxuality (NARTH).

Pendidikan karakter dan pendidikan agama memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Dan periode yang paling sensitif dan menentukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu factor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak selain itu pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak.

Baca juga:   Kenikmatan Hidup

Para ahli belum sepakat soal penyebab utama homoseksual. Adapun faktor-faktor yang sering disebut adalah organobiologik, psikologik, lingkungan dan perang orang tua. Namun faktor yang sering disebut sebagai penyebab utama adalah pola asuh dan lingkungan. Contoh pola asuh yang salah  adalah orang tua yang mengasuh atau memperlakukan anak laki-laki seperti anak perempuan karena tidak punya anak perempuan.

Menurut Prof. Dadang Hawari, para ahli membagi homoseks dalam dua kelompok yaitu.

  1. Ego Distonic Sexual Orientation (EDSO). Yaitu keadaan dimana seseorang merasa seksualitasnya tidak sesuai dengan citra diri yang diinginkan, sehingga menyebabkan orang tersebut mengubah orientasi seksualnya. Orang ini biasanya melakukan hubungan sesame jenis untuk menambah gairah hubungan seksnya dengan lawan jenis, namun mereka merasa bahwa hasrat homoseks mereka sebagai sesuatu yang tak diinginkan dan sumber petaka. EDSO termasuk gangguan jiwa.
  2. Ego Sintonic Sexual Orientation (ESSO).  Mereka adalah pelaku homoseks yang berdamai dengan dirinya sendiri dan menganggap perilakunya itu “normal” sebab tidak disertai keluhan-keluhan kejiwaan

Tahapan Pendidikan Seks

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan tahapan termasuk dalam hal pendidikan seksual. Islam tidak secara tiba-tiba mengajarkan hal ini pada usia remaja atau menjelang remaja. Tetapi mengajarkannya sudah jauh-jauh hari.

Pembahasan tentang perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan misalnya, seringkali kita kesulitan untuk menjelaskannya karena tabu dan harus memerlihatkan aurat. Padahal kalau hal ini diajarkan semenjak kecil akan menjadi mudah.

Dari semenjak kecil sekali, anak-anak sudah bisa diajari tentang perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Di rumah ada ayah, ibu, kakak atau adik yang berbeda jenis kelaminnya. Maka bisa kita kenalkan di awal bahwa ayah adalah laki-laki dan ibu adalah perempuan, kakak Ahmad adalah laki-laki dan Kakak Alfiyah adalah perempuan.

Dan Subhanallah..anak usia balita pun sudah bisa menilai laki-laki dan perempuan di antaranya adalah lewat tanda pakaian yang kita pakai. Seorang anak perempuan bisa mengatakan: Saya perempuan dan kakak laki-laki karena dia melihat perbedaan yang jelas; karena saya memakai jilbab dan kakak tidak.

Baca juga:   Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan

Dalam sebuah hadits Rasulullah juga sudah melararang bahkan mendapat laknat jika seorang laki-laki berpenampilan mirip perempuan dan sebaliknya. “Allah melaknat para wanita yang mirip dengan laki-laki dan laki-laki yang mirip dengan wanita” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Dalam hal fikih keseharian kita pun sangat dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang sangat jauh. Seperti cara berpakaian yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan batas aurat yang tidak sama.

Demikian juga dalam shalat, shaf perempuan selalu di belakang laki-laki. Shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling depan dan shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Islam memberikan batas yang jelas dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, Islam juga mengajarkan untuk memisahkan tempat tidur anak-anak jika sudah menginjak usia 10 tahun. Sebagaimana hadits Nabi berikut: “Ajarilah anak-anak kalian shalat pada usia 7 tahun. Pukullah mereka (karena meniggalkan)nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Pemisahan tersebut dilakukan pada saat anak-anak mencapai usia sepuluh tahun, yaitu pada saat naluri seksual sedang mulai tumbuh. Dan yang dimaksud dengan ‘memisahkan tempat tidur anak-anak’ adalah dua orang atau lebih tidak tidur dalam satu selimut dan dalam satu tempat tidur. Kalau dalam satu tempat tidur dengan selimut terpisah, maka tidak apa-apa dan semakin jauh semakin baik.

Al-Allamah Waliyullah Ad-Dahlawi dalam kitab Hujjatullah Balighah mengatakan: “Diperintahkan untuk memisahkan tempat tidur mereka, karena usia tersebut sudah menginjak usia remaja. Sehingga, dikhawatirkan dapat menyebabkan timbulnya syahwat. Oleh karena itu, harus mencegah jalan kerusakan sebelum terjadi.”

Inilah kebesaran Islam, di saat seperti ini mungkin seorang anak akan bertanya kepada orang tua, kenapa saya tidak boleh tidur dengan kakan/adik? Disinilah orang tua harus memberikan jawaban yang baik. Yang pertama adalah menjelaskan bahwa ini perintah Nabi dan perintah Nabi pasti selalu baik dan penuh berkah lalu dilanjutkan dengan hikmah syariat ini.

Baca juga:   Anak Meniru Ayah

Kemudian penjelasan berlanjut kepada masalah interaksi dengan lawan jenis dimulai dengan menjelaskan bahwa ada cara yang berbeda berinteraksi dengan lawan jenis antara yang mahrom dan yang bukan mahrom.

Mengikuti Sunnah Nabi saw dengan tidur miring ke kanan menjauhkan anak dari banyak bentuk penyelewengan seksual di waktu tidur. Rasulullah saw menegaskan bahwa tidur terlentang adalah tidurnya syaithan. Jika anak tidur tengkurap, hal ini akan menyebabkan sering terjadinya pergesekan pada organ reproduksinya, sehingga dapat membangunkan syahwatnya. Apabila orang tua mendapati anak mereka tidur dalam keadaan demikian, hendaknya segera mengubah posisi tidurnya dan memberi nasihat agar anak tidur miring ke kana dan tidak tengkurap, hal ini sesuai petunjuk dokter untuk tidak tidur tengkurap karena menyebabkan berbagai penyakit.

Menjauhi dan menghilangkan rangsangan rangsangan terkait yang muncul. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Janganlah seorang laki laki melihat aurat laki laki, jangan pula seorang perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki laki tidur satu selimut dengan laki laki begitu juga perempuan jangan tidur satu selimut dengan perempuan yang lain”. (HR. Muslim)

Membiasakan anak-anak bermain dengan alat ataupun jenis permainan sesuai dengan jenis kelamin mereka. Rasulullah SAW memerintahkan para orang tua mengajari anak-anak laki-laki berlatih memanah, berkuda, dan bermain pedang. Sedangkan, anak-anak perempuan, sebagaimana dilakukan Aisyah RA saat masih kecil, biasa bermain boneka.

Kita harus memberi tahu bahwa kasih sayang Allah tidaklah memihak. Allah akan mengubah kondisi suatu kaum hanya jika mereka berusaha untuk merubahnya (QS. 13: 11). Berjuang dan mempertahankan hal-hal yang menyucikan hati dan mengangkat jiwa manusia, bukan hawa nafsu yang menimbulkan dosa, dan mewujudkannya dalam perbuatan dan membiarkannya bertahan.

Jangan sering menyendiri, minta dukungan keluarga dan orang terdekat serta tetap bergaul dengan masyararat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya syetan itu bersama orang yang menyendiri, sedangkan ia akan menjauh dari dua orang.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani). []

Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *