Islam Asia Tenggara: Akar Historis dan Distingsi

Makalah ini dibuat di kelas Magister Sekolahpasca Sarjana UIN Jakarta, klik link PDF ini untuk membaca di Researchgate untuk sitasi makalah.

Sitasi: Jumal Ahmad, Islam Asia Tenggara: Akar Historis dan Distingsi, Researchgate, 2017, http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.2.28479.20644

Abstrak

Kian banyak kalangan yang berusaha memahami Islam di Asia Tenggara atau sering disebut sebagai ’Islam Indonesia‟. Alasan Islam Indonesia dipilih karena dalam pengejawantahan kehidupan sosial budaya Islaminya Indonesia memiliki distingsi tersendiri, yang tidak ditemukan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.

Kaum Muslimin Indonesia memang memiliki sistem dan tradisi sosial budaya yang khas dan distingtif jika dibandingkan dengan umat Islam di tempat-tempat lain. Karena itulahlah Islam Indonesia memiliki wilayah budaya Islamnya sendiri—dari delapan Islamic cultural spheres yang ada di muka bumi.

Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tanpa kekerasan dan peperangan, namun dalam hal teori masuknya Islam di Asia Tenggara masih menjadi polemik yang belum menemui titik temu, sebagian mengatakan Islam Asia Tenggara berasal dari Gujarat, sebagian dari Makkah, sebagian lagi dari Persia dan ada peneliti yang mengkompromikan itu semua.

Penyebar Islam di Nusantara adalah para sufi pengembara sekaligus berprofesi sebagai pedagang yang berperan utama dalam syiar Islam. Keberhasilan para sufi dalam syiar Islam lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas, ketimbang perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha).

Peradaban Melayu-Indonesia atau sekarang disebut Asia Tenggara merupakan bagian integral dari peradaban Islam secara keseluruhan. Integralisme ini terlihat pada kesatuan akidah, ibadah dan muamalah pokok yang wajib diimani dan diamalkan kaum muslimin (Great Culture). Di samping menampilkan wataknya yang terkait dengan Islam ‘universal’, peradaban Islam Asia Tenggara pada saat yang sama menampilkan ciri-ciri dan karakter yang distingtif dan khas yang berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah lainnya (Little Culture).

Karakter distingtif ini bisa kita temukan pada penampilan fisik Melayu dan budaya materialnya dipengaruhi oleh lingkungan alam, geografi dan bahkan cuaca Nusantara. Semua kenyataan ini memunculkan gaya hidup, adat istiadat dan tradisi yang khas pula.

Kata Kunci: Islam Asia Tenggara, distingsi

Pedahuluan

Peradaban Islam Asia Tenggara merupakan bagian integral dari peradaban Islam secara keseluruhan. Integralisme ini terlihat dari kesatuan akidah, ibadah dan muamalah pokok yang wajib diimani dan diamalkan.

Selain itu, Islam Asia Tenggara juga menampilkan ciri-ciri dan karakter yang distingtif dan berbeda dengan Islam di Timur Tengah yang menjadi tempat asal Islam atau daerah Islam lainnya.

Dalam makalah singkat ini akan kita bahas akar historis dari Islam Asia Tenggara tentang siapa yang berperan menyebarkan Islam, Islam di Indonesia sebagai Islam yang moderat dan terakhir tentang distingsi Islam Asia Tenggara dengan Islam di daerah lain.

Pembahasan

Akar Historis Islam Asia Tenggara

Kehadiran Islam di bumi Nusantara berlangsung secara sistematis, terencana, dan tanpa kekuatan militer, dibawa oleh para ulama-alim yang memang membawa misi khusus menyebarkan Islam. Berbeda dengan kedatangan agama Kristen pertama kali yang dibawa oleh kolonialis, khususnya dari Belanda. Para dai membawa misi kedamaian, bukan peperangan. Yang dibawa adalah ilmu, bukan senjata.

Islamisasi dengan damai dilukiskan Thomas W. Arnold sebagai berikut:

“Sketsa di atas hanyalah merupakan bagian kecil daripada sejarah dakwah Islam di kepulauan Nusantara…Tetapi cukup bukti-bukti yang menunjukkan adanya pelaksanaan dakwah Islam yang berjalan dengan penuh damai selama 600 tahun terakhir…ajakan dan bujukanlah yang mewarnai gerakan dakwah itu”.[1]

Istilah ‘Islam Nusantara’ pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).

Dengan cakupan seperti itu, ‘Islam Nusantara’ sama sebangun dengan ‘Islam Asia Tenggara’ (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan ‘Islam Melayu-Indonesia’ (Malay-Indonesian Islam).[2]

Harry J. Benda membagi wilayah Nusantara/ Asia Tenggara ke dalam tiga wilayah kultural, yaitu : Pertama, Kawasan yang disebut Indianized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah di Indiakan (Indonesia), Kedua, Kawasan yang disebut Sinicized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah di Cinakan (Vietnam), Ketiga, Kawasan yang disebut Hispanized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah di Spanyolkan (Philipina).

Teori tentang daerah asal pembawa Islam ke Indonesia disebutkan oleh Prof. Azyumardi Azra menjadi tiga daerah asal yaitu Mekah, Gujarat, dan Benggal. Berbeda dengan A.M. Suryanegara ia mengemukakan yaitu dari Mekah,Gujarat dan Persia.

Teori Gujarat

Pijnepel (1872 M) adalah orang yang mengemukakan pertama kali, ini berdasarkan perjalanan Sulaiman, Markopolo dan Ibn Batutah, dilanjutkan dengan dukungan Snouck Hurgronye dengan alasan : pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara; kedua, hubungan dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin; ketiga, Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan dagang antara Sumatra dan Gujarat. Sejarawan pendukung teori ini antara lain Stutterheim, Schriekie (Indonesian Sociological Studies), Clifford Geertz (The Religion of Java), Harry J.Benda (A History of Modern South East Asia) Van Leur (Indonesian Trade and society), T.W. Arnold (The Preaching of Islam).

Teori Mekkah

Tahun 1958 M, muncul kritikan terhadap teori pertama, seperti tokoh Hamka dalam acara Dies Natalis IAIN ke-8 di Yogyakarta. Kemudian mendapat kritikan juga dalam seminar di IAIN medan, tentang “Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia”, di perkuat seminar yang sama di Aceh 10-16 Juli 1978 M, yang diikuti oleh Indonesia, Malaysia, India, Australia dan Prancis. Sejarawan Barat yang sependapat teori ini adalah Crawfurd (1820 M), Keyzer (1859 M), Veth (1878 M).

Alasan kuat teori ini menurut Hamka adalah bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Ia juga mendasarkan bahwa mazhab terbesar yang dianut sebagian umat Islam Nusantara adalah Mazhab Syafii dan mazhab yang sama dianut di Mekkah masa itu, alasan ini jarang diungkap sejarawan Barat masa awal.

Alasan lain dikemukakan oleh S.M.N. al-Attas bahwa sebelum abad ke-17 M. seluruh literatur keagamaan yang relevan tidak mencatat satu pengarang pun muslim India atau berasal dari India. Penulis yang dipandang Barat sebagai berasal dari India terbukti berasal dari Arab atau Persia. Termasuk penggunaan gelar Syarif, Said, Muhammad, Maulana juga identik dengan asal Mekah. Kemudian bukti lain adalah pada tahun 1297 M Gujarat masih berada dibawah naungan kerajaan Hindu, setahun kemudian baru ditaklukkan tentara muslim.

Teori Persia

Teori ini dipelopori oleh Hoesin Djajaningrat dari Indonesia, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia abad ke-7 M. Teori ini memfokuskan tinjauannya pada sosio-kultural di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang ada kesamaan dengan di Persia. Diantaranya adalah perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia.

Hamka menolak teori ini dengan alasan, bila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan masuknya Islam salam suatu wilayah, bukankah identik langsung berdirinya kekuasaan politik Islam.

Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan pendapat di atas dengan menyebutkan memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke -7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.[3]

Baca juga:   Tips Menautkan Artikel ResearchGate ke Google Scholar

S.M.N Al-Attas merangkum beberapa teori yang diajukan oleh sarjana barat tentang cepatnya Islam diterima di kasawan Asia Tenggara, teori-teori itu dapat dirumuskan sebagai berikut ;

  1. Faktor perdagangan membawa Islam ke kepulauan ini.
  2. Faktor pedagang-pedagang, pegawai-pegawai yang kawin dengan penduduk lokal (bukan Islam), faktor ini dipandang lebih mudah terjadinya proses pengislaman di kalangan masyarakat.
  3. Faktor permusuhan antara orang-orang Islam dengan Kristen yang mempercepat penyebaran Islam, terutama pada abad ke-15 dan ke-17.
  4. Faktor politik yang dianggap sebagai motif dan mudahnya penyebaran Islam.
  5. Faktor penghargaan nilai ideologi Islam dianggap lebih rasional bagi memeluknya.
  6. Faktor otoktoni, atau keadaan di mana sesuatu itu dianggap telah ada, sejak purbakala sebagai kepunyaan atau sifat kebudayaan suatu masyarakat. Di sini faktor otoktoni diwakili oleh tasawuf yang dipandang banyak mengandung persamaan dengan kepercayaan lama. Dan faktor inilah yang dianggap memudahkan penerimaan agama Islam di kalangan masyarakat atau penduduk lokal.

Azyumardi Azra menyebutkan sebab-sebab terjadinya konversi masal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdangangan sebagai berikut:

  1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak portable (siap pakai di mana pun dan berlaku kapan pun). Oleh karena itu, para penganut kepercayaan ini mencari sistem keimanan yang berlaku universal, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di mana pun mereka berada dan mereka temukan dalam Islam. Hasilnya ketika wilayah Arab Melayu terekrut ke dalam perdagangan internasional, para pedagang Muslim mancanegara memainkan peranan penting mendorong konversi masal yang terjadi di pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi entitas politik Muslim.[4]
  2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang Muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang kaya. Seperti dicatat seorang Spanyol yang mengamati Islamisasi awal Filipina: “Orang Moro (Muslim) itu memiliki banyak emas”. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.[5]
  3. Kejayaan Militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Majapahit dipercaya telah dikalahkan para pejuang Muslim yang tidak bisa ditundukkan secara magis. Penduduk setempat percaya bahwa mereka yang perkasa dan tangguh itu karena memiliki kekuatan-kekuatan adikodrati.
  4. Memperkenalkan Tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asian Tenggara yang sebagian bersar belum mengenal tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah mengenal huruf Sanskrit. Pengenalan tulisan Arab memberikan kesempatan lebih besar untuk mempunyai kemampuan membaca (literacy).
  5. Mengajarkan Penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Mereka membuat teks-teks yang ditulis untuk menyampaikan kebenaran yang dapat dipahami dan dihapalkan.
  6. Kepandaian dalam penyembuhan. Di jawa terdapat legenda yang mengaitkan penyebaran Islam dengan epidemi yang melanda penduduk. Sebagai contoh Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang syaikh dari Pasai.
  7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Misalnya, orang yang taat akan diberi balasan surga di akhirat. Pandangan lama tentang dunia akhirat penuh dengan kemungkinan yang menakutkan, sebaliknya Islam memperkenalkan janji surga yang menyenangkan.[6]

Siapa yang memainkan peran penting utama dalam menyebarkan Islam di Nusantara masjh menjadi perdebatan. Van Leur berpandangan bahwa para pedagang Arab-lah yang memiliki peran penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Sementara Anthony Johns menilai bahwa proses islamisasi lebih banyak dilakukan oleh agen-agen sufi.[7] Abdurrahman Mas’ud mengkompromikan dua pendapat ini dengan menyatakan cukup beralasan bahwa antara saudagar dan sufi terdapat dalam diri seorang individu. Sunan kudus misalnya, saah seorang dari Walisongo yang sangat dihormati, seorang alim, sufi sekaligus saudagar yang kaya raya.[8]

Menurut Alwi Shihab berdasarkan disertasinya bahwa pandangan yang paling luas diterima menyatakan Islam berhasil diterima secara damai oleh masyarakat Indonesia lewat ajaran-ajaran para sufi. Jika dibandingkan dengan cabang-cabang disiplin Islam yang lain, tasawuf pada umumnya diakui sebagai disiplin yang paling besar perannya dalam penyebaran Islam di Indonesia.[9]

Azyumardi Azra sependapat dan menyebutkan bahwa penyebar Islam adalah para sufi pengembara sekaligus berprofesi sebagai pedagang yang berperan utama dalam syiar Islam. Keberhasilan para sufi dalam syiar Islam lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas, ketimbang perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha). Di samping itu para sufi suka menawarkan pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat.

Para Sufi menyebarkan Islam melalui dua cara: 1) Dengan membentuk kader mubalig agar mampu mengajajarkan serta menyebarkan agama Islam di daerah asalnya. 2) Melalui karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat. Misalnya Hamzah Fanshuri menulis antara lain Asrar al-Arifin fi Bayan ila al-Suluk wal Tauhid, juga Syair Perahu yang merupakan syair Sufi.[10]

Jasa para sufi dalam mengislamkan wilayah Melayu cukup besar, hal ini ditandai berkembangnya tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Mukti Ali menegaskan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui tarekat dan tasawuf. Kartodirdjo menjelaskan bahwa faktor yang turut mendorong proses Islamisasi di Indonesia ialah aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam.

Di Jawa, peran Islamisasi ada pada tangan sembilan orang suci yang lebih dikenal sebagai Wali Sanga. Pelopor-pelopor Islamisasi tersebut yaitu Sunan Ampel (Sunan Rahmat), Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Kegiatan-kegiatan mereka dalam mengislamkan raja-raja atau penguasa dan masyarakat Jawa, khususnya di wilayah pantai utara, seringkali dituturkan oleh hikayat, sejarah dan tradisi lokal. Di antara kesembilan wali, Sunan Kali Jaga selalu disebut peranannya dalam proses Islamisasi lewat perangainya yang terpuji dengan pendekatan budaya yang dia lakukan. Merujuk pada legenda, dia memperkenalkan Islam dengan pertunjukan wayang, memainkan gamelan dan sebagainya.[11]

Walisongo melakukan penyebaran Islam dengan pendekatan tradisi, kultural dan tasawuf. Islam yang dibawa oleh para penyeru tersebut bercorak Sunni Syafi’i. Dan ternyata pendekatan ini berhasil. Prosesnya berlangsung secara gradual dan bertahap mampu mengislamkan kepulauan Nusantara, hingga zaman itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam berdasarkan madzhab Syafi’i.[12]

Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren. Siswa agama disebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau ajengan. Merujuk pada tradisi setempat, Sunan Giri mendirikan pesantren di Giri, Gresik, yang mana murid-muridnya datang juga dari Maluku. Syaikh Abdul Kahfi membangun pesantrennya di Gunung Jati di Cirebon. Syaikh Kuro mendirikan pesantren di Karawang. Murid diambil dari berbagai tempat dan setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan pesantren baru. Jadi, pesantren sebagai pusat pendidikan tradisional dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses islamisasi. Ia memiliki peran yang lebih luas dan jangkauan geografis yang lebih besar saat siswa atau santrinya berasal dari tempat-tempat jauh terpencil.[13]

Baca juga:   Pembelajaran Reflektif Meningkatkan Peran Mahasiswa Mendapatkan Pembelajaran Bermakna

Islam Indonesia, Islam yang Moderat

Islam Nusantara dinilai Azyumardi Azra sebagai istilah yang tidak valid. Alasannyanya, istilah islam nusantara yang digunakan sebelum Perang Dunia (PD) kedua itu meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam, wilayah selatan Filipina Selatan, dan selatan Thailand.

Setelah Perang Dunia kedua usai, penerapan ajaran Islam di negara tersebut berbeda-beda. Karakter islam di Indonesia dan Malaysia berbeda sekali. Di Malaysia, Islam menjadi agama resmi negara. Sehingga jika merujuk pada historisnya, seharusnya tidak ada lagi penggunaan istilah islam nusantara. Lebih tepatnya, istilah tersebut diubah menjadi Islam Indonesia.

Jadi, istilah yang valid adalah Islam Indonesia, bukan mencakup Malaysia Islam. Terlepas dari tepat tidaknya penggunaan istilah Islam nusantara.[14] Namun dalam memandang praktik keagamaan penyebutan Islam Nusantara dianggap valid.[15]

Menurut Azyumardi Azra, Islam Indonesia adalah Islam Flowery atau Islam yang berbunga-bunga alias beragam. Wajah Islam Indonesia adalah wajah Islam yang tersenyum, toleran, akomodatif dan inklusif. Islam Indonesia melekat dalam budaya, sehingga tak bisa dipisahkan

Azyumardi Azra juga memandang Islam Indonesia sebagai “Islam with a smiling face” yang penuh damai dan moderat, sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM dan kecenderungan-kecenderungan lain di dunia modern.[16] Islam Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya. Sementara budaya Indonesia adalah toleran, tenggang rasa, mengalah dan sebagainya.[17]

Prof. Oman Fathurrahman yang setuju dengan istilah Islam Nusantara mengatakan, “Ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi. Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi. Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat, Islam Nusantara itu adalah Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia”.

Beliau juga menambahkan Islam Nusantara ada namun minim pada thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.[18]

Istilah lain yang dikembangkan adalah Islam Indonesia sebagai ‘ummatan wasathan’. Istilah ini pertama kali diperkenalkan sejak Menteri Agama Tarmizi Taher (1992-1997) lewat bukunya yang berjudul ‘Aspiring for the Middle Path Islam: Religious Harmony in Indonesia’.

Pada level kemasyarakatan, Islam Washtiyyah terwujud dalam berbagai organisasi besar Islam, yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekaan RI. Daftar organisasi Islam Washatiyyah itu bisa sangat panjang mulai dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Washliyah, Perti, Mathla‟ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, DIII, dan banyak lagi. Organisasiorganisasi ini mengambil  “jalan tengah” bukan hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaannya, tetapi juga dalam sikap sosial, budaya dan politiknya.[19]

Menurut catatan Tim PUSHAM UII, Proses Islamisasi dengan damai itu segera berubah ketika Indonesia memasuki era reformasi 1998 dengan munculnya berbagai kelompok Islam Radikal. Kemudian untuk pertama kali diadakanlah konferensi ulama se-ASEAN, yaitu The Jakarta International Islamic Conference, dengan tema “Strategi Dakwah Menuju Ummatan Wasathon dalam Menghadapi Radikalisme”, untuk menyiasati maraknya radikalisme di Indonesia.

Konferensi ini diselenggarakan atas prakarsa Majelis Tabligh dan Dakwah Muhammadiyah bekerjasama dengan Lembaga Dakwah NU, pada tanggal 13-15 Oktober 2003 di Gedung JCC Jakarta. Konferensi inilah yang mengilhami kehadiran Center for Moderate Moslem (CMM) yang dikomandoi Muhammadiyah dan NU, untuk mengusung “Islam Jalan Tengah” bagi Islam Indonesia, di tengah kerasnya tarik-menarik antara kelompok atau gerakan Islam radikal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).[20]

Menteri Agama, yang saat itu dipegang oleh Suryadharma Ali pernah menyatakan bahwa “Islam Indonesia adalah Islam moderat yang mengutamakan toleransi dan kebhinekaan”.[21] Wakil Presiden Jusuf Kalla pada saat membuka Konferensi ke-VI Umat Islam Indonesia, di Pagelaran Keraton Yogyakarta, pada 9 Februari 2015 mengatakan: “Indonesia harus menjadi referensi pemikiran Islam dunia yang moderat. Islam yang jalan tengah”.[22]

Distingsi Islam Asia Tenggara

Peradaban Melayu-Indonesia atau sekarang disebut Asia Tenggara merupakan bagian integral dari peradaban Islam secara keseluruhan. Integralisme ini terlihat pada kesatuan akidah, ibadah dan muamalah pokok yang wajib diimani dan diamalkan kaum muslimin.

Tetapi pada saat yang sama, peradaban Asia Tenggara juga menampilkan ciri-ciri dan karakter yang distingtif dan khas yang berbeda dengan peradaban Islam di wilayah-wilayah lainnya.

Karakter distingtif ini bisa kita temukan pada penampilan fisik Melayu dan budaya materialnya dipengaruhi oleh lingkungan alam, geografi dan bahkan cuaca Nusantara. Semua kenyataan ini memunculkan gaya hidup, adat istiadat dan tradisi yang khas pula.

Agama Islam adalah salah satu faktor terpenting pemersatu Islam Asia Tenggara. Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan menjadi supra identity yang mengatasi batas-batas geografis, sentimen etnis, identits kesukuan, adat istiadat dan tradisi lokal lainnya.

Selain itu, Bahasa juga menjadi faktor penting pemersatu Islam Asia Tenggara. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa bahasa ini sebelum kedatangan Islam digunakan hanya di lingkungan terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli dan Semenanjung Malaya. Terdapat bahasa-bahasa lain di Dunia Melayu, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Tetapi bahasa Melayu yang lebih egaliter dibanding bahasa Jawa, diadopsi sebagai lingua franca oleh para penyair Islam, ulama dan pedagang.

Kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat ketika bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab. Bersamaan dengan adopsi huruf Arab, maka dilakukan pula pengenalan dan penyesuaian tanda-tanda pada aksara Arab tertentu untuk kepentingan bahasa lokal di Nusantara, sehingga kemudian memunculkan “tulisan jawi”. Kedudukan bahasa Melayu ini menjadi semakin lebih kuat lagi ketika para ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa Melayu huruf Jawi.

Pada masa inilah bahasa Melayu memainkan peranan yang penting dalam kegiatan perdagangan dan dakwah Islamiyah, sehingga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca di nusantara. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa masa-masa ini tidak hanya mengantarkan wilayah Melayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi juga kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat kawasan ini pada masa sebelumnya.[23]

Selanjutnya Azyumardi Azra menyebutkan bahwa sejak abad ke-16 intelektualitas di Nusantara semakin solid karena beberapa alasan. Pertama, sejak masa ini mulai meningkatkan perjalanan menuntut ilmu yang dilakukan murid-murid dari Nusantara ke Arabia, khususnya Makkah dan Madinah. Kedua, sejak masa ini murid-murid Jawi yang kembali ke Nusantara dan menjadi ulama terkemuka menghasilkan karya-karya intelektual yang monumental dalam bahasa Melayu yang dengan cepat tersebar ke berbagai wilayah Nusantara. Ketiga, sejak masa ini pula berlangsung perdebatan-perdebatan intelektual di kalangan para ulama Nusantara mengenai subjek-subjek tertentu. Contohnya perdebatan doktrin dan penafsiran konsep “wihdatul wujud” yang dirumuskan Ibn Arabi.[24]

Azyumardi Azra menyebutkan Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fiqh Syafi’i–meski juga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat Sufi yang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu.[25]

Baca juga:   Analisis Fatwa MUI No. 53 Tahun 2014 tentang Hukuman Mati bagi Produsen, Bandar dan Pengedar Narkoba

Mohd Farid Mohd Shahran, seorang sarjana Malaysia, dalam artikel nya berjudul Kerangka Teologi Islam di Alam Melayu: Kekuatan dan Cabaran berpendapat:

 “Madzhab teologi yang mendominasi Islamisasi di alam Melayu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah aliran Asya’irah. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan kemudiannya telah diteruskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Fath al-Syahrastani, Abd Qahir al-Baghdadi, Abu Ishaq al-Isfarayini dan Muhammad Yusuf al-Sanusi.

Aliran ini dicirikan dengan keutamaan dalil wahyu dalam penghujahan disamping memperkukuhnya dengan kehujahan akal dan pengambilan jalan tengah antara pendekatan ultrarasional Mu’tazilah yang mengutamakan pandangan akal dan juga pendekatan sempit sebahagian ahli Hadis yang terlalu menenkankan pendekatan tekstual”.[26]

Azyumardi Azra menyebutkan, kaum Muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari para ulama otoritatif, tetapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah Muslim Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing.

Kedelapan  ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia atau Iran; Turki, Anak Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan Belahan Dunia Barat (Western hemisphere). Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun berbeda-beda.

Prof. Azyumardi Azra dalam  Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn menyebutkan 7 distingsi lain yang membedakan Islam di Indonesia dengan daerah lainnya yaitu: 1.  Penetration pacifique, Islam dibawa dengan kedamaian, bukan dengan senjata dan peperangan, 2. Culturally embedded, Masuk lewat budaya, 3. a rich heritage, kaya akan budaya, 4. The Pancasila State, Indonesia berasaskan Pancasila, 5. The role of women, peran wanita, 6. Mainstreim organisations, Organisasi Masa, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya  dan 7. Radical groups, kelompok radikal seperti NII dan DI/TII.[27]

Penutup

Dari pembahasan yang singkat ini kita bisa mengetahui bahwa penyebar ajaran Islam di Indonesia adalah pedagang yang sekaligus juga seorang sufi, kemudian mereka membentuk pesantren yang menerima murid dari seluruh Nusantara kemudian mereka menyebarkan Islam di daerah mereka sendiri.

Islam di Asia Tenggara memiliki distingsi, ciri dan khas sendiri yang membedakan dengan Islam di daerah atau wilayah lainnya.

Referensi:

Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D., Dari Haramain ke Nusantara, Jejak IntelektualArsitek Pesantren, Jakarta, Kencana, 2006

Alwi Shihab, “The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with ChristianMission in Indonesia” (Disertasi–Temple University, 1995)

Azyumardi Azra, “Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths” dalamKumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat ofTerrorism in Southeast Asia (Singapore: World Scientific Publishing Co.Pte. Ltd, 2003

Mafri Amir, Reformasi Islam Dunia Melayu-Indonesia: Studi Pemikiran, Gerakandan Pengaruh Syaikh Muhammad Thahir Jalal al-Din (1869-1956), oleh Dr. CV Sejahtera, 2008

Azyumardi Azra, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global http://www.uinsgd.ac.id/_multimedia/document/20121220/20121220133459_makalah-azra.pdf (diakses 06 November 2017)

Azyumardi Azra, Islam Nusantara. Link: http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1 ( diakses 06 November 2017)

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan

Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Terlalu Besar untuk Bisa Gagal, Link:  http://nasional.kompas.com/read/2017/06/04/21360011/azyumardi.azra.isla            m.di.indonesia.terlalu.besar.untuk.bisa.gagal (diakses 06 November 2017)

Azyumardi Azra: Istilah Islam Nusantara Tak Valid, link:             http://www.dakta.com/news/1895/dakta-promosi (diakses 06 November 17

Indonesia Diharapkan Jadi Barometer Islam Moderat dalam http://www.nu.or.id/       (diakses pada 05 November 2017).

Islam Nusantara: Islam Indonesia, Link:            http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/25/nqgl54-islam-            nusantara-islam-indonesia-2 (diakses: 06 November 2017)

Jasa Walisongo dalam Islamisasi Tradisi di Bumi Ahlussunnah, link:             http://inpasonline.com/jasa-walisongo-dalam-islamisasi-tradisi-di-bumi-            ahlussunnah/ (diakses 06 November 2017)

Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset dalam http://m.koran-            sindo.com/node/325385, (diakses pada 05 November 2017).

Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo          Persada, 2005

Prof. Oman Fathurraman dalam Muktamar NU ke-33 di Makasar, Link:             http://www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-            nusantara (diakses 05 November 2017)

Toto Suharto, Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret             Pendidikan Islam Moderat di Indonesia, Jurnal Islamica, Vol. 9, No.1             September 2014

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009 Note


[1] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, terj. A. Nawawi Rambe (Jakarta: Widjaya, 1985), 352 dalam Toto Suharto, Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia, Jurnal Islamica, Vol. 9, No.1 September 2014, hal. 82

[2] Azyumardi Azra, Islam Nusantara. Link: http://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1 ( diakses 06 November 2017)

[3] Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 9

[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, hal. 62

[5] Ibid, hal. 72

[6] Ibid, hal. 63-64

[7] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009, hal. 21-28

[8] Abdurrahman Mas’ud, MA., Ph.D., Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta, Kencana, 2006, hal. 54

[9] Alwi Shihab, “The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in Indonesia” (Disertasi–Temple University, 1995), 18-19.

[10] Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 12

[11] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009, hal. 28

[12] Jasa Walisongo dalam Islamisasi Tradisi di Bumi Ahlussunnah, link: http://inpasonline.com/jasa-walisongo-dalam-islamisasi-tradisi-di-bumi-ahlussunnah/ (diakses 06 November 2017)

[13] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 32

[14] Azyumardi Azra: Istilah Islam Nusantara Tak Valid, link: http://www.dakta.com/news/1895/dakta-promosi (diakses 06 November 2017)

[15] Islam Nusantara: Islam Indonesia, Link: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/25/nqgl54-islam-nusantara-islam-indonesia-2 (diakses: 06 November 2017)

[16] Azyumardi Azra, “Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths” dalam Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2003), 45.

[17] Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Terlalu Besar untuk Bisa Gagal, Link: http://nasional.kompas.com/read/2017/06/04/21360011/azyumardi.azra.islam.di.indonesia.terlalu.besar.untuk.bisa.gagal (diakses 06 November 2017)

[18] Prof. Oman Fathurraman dalam Muktamar NU ke-33 di Makasar, Link: http://www.nu.or.id/post/read/59035/apa-yang-dimaksud-dengan-islam-nusantara (diakses 05 November 2017)

[19] Azyumardi Azra, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global Link: http://www.uinsgd.ac.id/_multimedia/document/20121220/20121220133459_makalah-azra.pdf (diakses 06 November 2017)

[20] Toto Suharto, Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia, Jurnal Islamica, Vol. 9, No.1 September 2014, hal. 82

[21] Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset dalam http://m.koran-sindo.com/node/325385, (diakses pada 05 November 2017).

[22] Indonesia Diharapkan Jadi Barometer Islam Moderat dalam http://www.nu.or.id/ (diakses pada 05 November 2017).

[23] Azyumardi Azra, Intelektualitas Dunia Melayu-Indonesia: Refleksi Masa Lalu, Menyongsong Masa Depan. Kata pengantar buku: Reformasi Islam Dunia Melayu-Indonesia: Studi Pemikiran, Gerakan dan Pengaruh Syaikh Muhammad Thahir Jalal al-Din (1869-1956), oleh Dr. Mafri Amir, MA, CV Sejahtera, 2008, hal. X

[24] Ibid, hal. xii-xiii

[25] Pengantar Sejarah Islam oleh Prof. Azyumardi Azra, kelas perdana SPs UIN Jakarta

[26] Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran, hal. 6 dalam http://inpasonline.com/sunni-asyari-dan-identitas-muslim-nusantara/ (diakses 06 November 2017)

[27] Azyumardi Azra, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn” dalam Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (eds.), Islam in Indonesia:Contrasting Images and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), hal. 63-74


Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *