Dalam kajian Kitab Ulama kali ini, kita akan menelaah salah satu karya penting dari ulama kontroversial yang dikenal dengan gelar Syaikhul Islam, yaitu Ibnu Taimiyah. Karya yang akan dikaji adalah Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyyah fī Naqḍ Kalām al-Shī‘ah wa al-Qadariyyah, yang lebih dikenal dengan nama Minhajus Sunnah.
Latar Belakang Polemik
Polemik antara Ibnu Taimiyah dan al-Hilli merupakan bagian dari pergulatan otoritas keagamaan di dunia Islam abad pertengahan. Meskipun bernuansa teologis, perdebatan ini juga mencerminkan kondisi sosial-politik dan dinamika intelektual antar mazhab. Kedua tokoh ini menghasilkan karya yang sangat berpengaruh dalam tradisi polemik antara Sunni dan Syiah hingga masa kini.
Perkembangan Ilmu Hadis di Kalangan Syiah
Pada masa awal, mazhab Syiah tidak terlalu memberi perhatian terhadap ilmu hadis. Hingga pertengahan abad ke-7 H, belum ditemukan karya serius Syiah dalam disiplin hadis. Mereka tidak membahas konsep-konsep seperti kodifikasi, klasifikasi hadis (ṣaḥīḥ, ḍa‘īf, muttashil), ataupun cabang-cabang ilmu hadis sebagaimana berkembang di kalangan Ahlus Sunnah. Fokus utama mereka saat itu lebih tertuju pada filsafat, logika, fikih, dan ilmu rasional lainnya.
Perubahan baru terjadi melalui tokoh bernama Ibnu Tawus yang terpengaruh oleh perkembangan ilmu hadis Sunni, khususnya Muqaddimah Ibnu Shalah. Ia menulis karya dengan terminologi hadis menyerupai metode Sunni, namun upayanya ini mendapat penolakan dari internal Syiah. Mereka beralasan bahwa pendekatan tersebut asing bagi tradisi Syiah yang lebih mengedepankan pendekatan rasional.
Ibn al-Mutahhar al-Hilli dan Minhaj al-Karamah
Salah satu murid Ibnu Tawus yang terkenal adalah Ibn al-Mutahhar al-Hilli, seorang ulama besar Ushuliyyah Syiah. Di antara karyanya, sebuah syarah atas Mukhtasar Ibn al-Hajib, karya yang sangat berpengaruh dan memiliki banyak syarah, tujuh di antaranya paling terkenal dan dikenal sebagai Syuruh al-Siyarah.
Ia menulis kitab Minhaj al-Karamah fī Ma‘rifah al-Imāmah, yang berisi pembelaan terhadap doktrin imamah Syiah serta kritik terhadap ajaran Ahlus Sunnah. Dalam buku ini, al-Hilli:
- Menyebut bahwa sebagian Syiah awal bahkan cenderung kepada mujassimah (antropomorfisme), sebelum beralih kepada pemikiran rasional pada abad ke-4 H.
- Menyatakan bahwa Syiah lebih dekat dengan teologi Mu‘tazilah, khususnya dalam isu nama dan sifat Tuhan serta takdir.
Buku Minhaj al-Karamah ditulis untuk penguasa Mongolia di Persia pada saat itu, Oljaitu, yang juga dikenal sebagai ‘Khodah Bandeh’ oleh kaum Syiah dan ‘Setan Bandeh’ oleh kaum Sunni Persia.
Oljaitu awalnya beragama Kristen kemudian memeluk Islam, mengembangkan ketertarikan pada Syiah atas pengaruh Al-Hilli. Karya Al-Hilli yang berjudul ‘Minhaj Al-Karamah fi Ma’rifatil Imamah’, bertujuan untuk mempengaruhi keyakinan penguasa terhadap Syiah Rafidhah. Oljaitu akhirnya mengadopsi Syiah sekitar tahun 709-710 H dan menyatakannya sebagai agama resmi negara, ia mengharuskan penyebutan Dua Belas Imam yang ‘maksum’ dalam khotbah Jumat.
Buku ini didistribusikan secara luas kepada para penguasa dan orang awam yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, sangat populer di kalangan Syiah dan menyebar luas hingga ke Damaskus.
Beberapa penuntut ilmu membawanya kepada para ulama di sana, sebagian ulama Sunni menolak untuk membacanya karena dianggap terlalu panjang dan mengandung muatan polemik yang berat.
Ibnu Taimiyyah dan Minhajus Sunnah
Setelah melihat pengaruh luas Minhaj al-Karamah, para ulama mendesak Ibnu Taimiyah untuk meresponsnya. Ia kemudian menulis Minhajus Sunnah, sebuah karya monumental yang membantah pemikiran al-Hilli, sekaligus mengkritik pandangan Mu‘tazilah, dan Qadariyyah secara panjang lebar. Ia menunjukkan semangat pembelaannya terhadap pemurnian akidah sesuai dengan pemahaman salaf.
Dalam kitab ini, Ibnu Taimiyah menegaskan pentingnya pemurnian akidah sesuai pemahaman salaf. Beberapa topik penting yang dibahas antara lain:
- Imamah sebagai Rukun Iman
Al-Hilli menegaskan imamah sebagai bagian dari rukun iman. Ibnu Taimiyah membantah keras karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an atau Sunnah yang mendukung hal itu. - Kemampuan Imam (ʿIlm al-Ghayb, Ismah, dll.)
Al-Hilli mengangkat konsep infalibilitas para imam dan kemampuan supranatural mereka. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa klaim ini menyerupai sifat ketuhanan dan termasuk bid‘ah. - Kritik terhadap Khulafā’ Rāsyidūn
Al-Hilli menolak keutamaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah membela ketiganya dan menyangkal keutamaan eksklusif Ali. - Peristiwa Ghadir Khumm
Al-Hilli menggunakan riwayat Sunni untuk mendukung pengangkatan Ali. Ibnu Taimiyah menolak interpretasi tersebut sebagai bentuk penyimpangan sejarah. - Kritik terhadap Syiah dan Konsep Bid‘ah
Ibnu Taimiyah menganggap doktrin Syiah sebagai bentuk penyimpangan dan pengaruh luar, serta ancaman terhadap kemurnian ajaran Islam.

Kritik Hadis dan Metodologi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyyah sangat aktif dalam merespons pandangan-pandangan teologis dari berbagai kelompok, terutama Mu’tazilah, dan Qadariyah. Perbincangan tentang hal ini cukup panjang dalam Minhajus Sunnah, meskipun pembahasan serupa juga dapat ditemukan dalam karya-karya lain seperti Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql dan Bayan Talbīs al Jahmiyyah.
Dalam jilid-jilid akhir Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah menunjukkan keunggulan dalam kritik hadis dan sanad. Ia sangat ketat dalam menilai validitas hadis, bahkan melemahkan beberapa riwayat yang dianggap sahih oleh al-Hafiz Ibnu Hajar.
Ibnu Taimiyyah cenderung menolak hadis yang tidak terkenal (masyhur) atau tidak tersebar luas di kalangan umat, apalagi jika hanya muncul dalam kitab-kitab gharib. Menurutnya, hadis seperti ini tidak layak dijadikan hujjah, terlebih jika sanadnya lemah. Sementara itu, Ibn Hajar lebih condong kepada pendekatan jam‘ al-thuruq (pengumpulan jalur-jalur hadis) sebagai sarana untuk menguatkan riwayat.
Pendekatan Ibnu Taimiyyah lebih ketat dibandingkan Ibn Hajar yang mengedepankan metode jam‘ al-ṭuruq (pengumpulan jalur riwayat) untuk menguatkan hadis. Perbedaan ini mencerminkan dua pendekatan metodologis besar dalam ilmu hadis: pendekatan Ibnu Taimiyah yang sangat selektif dan pendekatan Ibn Hajar yang lebih komprehensif.
Dalam Minhajus Sunnah, selain menyoroti kritik terhadap hadis, Ibnu Taimiyyah juga membantah isi Minhaj al-Karamah karya Allamah al-Hilli. Ia menanggapi berbagai topik penting dalam akidah, seperti nama dan sifat Allah, takdir, keimanan, Hari Akhir, serta isu-isu rasionalitas dan pendengaran.
Dampak dan Pengaruh Minhajus Sunnah
Kitab Minhajus Sunnah telah menyebar di kalangan masyarakat, hingga sampai kepada Ibn al-Hilli. Ada informasi yang tidak benar, bahwa Ibn Thahir bertemu dengan Ibn Taimiyyah dan mengatakan bahwa saya adalah si fulan, dan menyebutkan kata-kata, artinya Ibn Taimiyyah mengatakan saya tidak tahu takdirmu dan meminta maaf kepadamu.
Tidak benar karena pertemuan itu terjadi di Mekah, dan Ibnu Taimiyyah hanya melakukan satu kali ibadah haji di awal hidupnya, saat ia berusia tiga puluhan tahun, dan Minhaj al-Sunnah ditulis setelah tahun lima puluhan sekitar 50 tahun, jadi bagaimana dia bisa bertemu dengannya setelah itu.
Kitab ini mendapat pujian luas, bahkan dari kalangan ulama yang berbeda pandangan dengan Ibnu Taimiyah. Al-Subki, yang kerap mengkritik Ibnu Taimiyah, tetap memuji kedalaman karya ini. Bahkan sebagian kalangan Syiah pada abad ke-20 mengakui pengaruh kitab ini. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan sebagian keyakinan lama mereka setelah membaca Minhajus Sunnah.
Salah satu yang terpengaruh adalah Syari’ah Madari Hajjallah, ulama Syiah yang yang menulis sebuah buku tentang Minhaj al-Sunnah, menyatakan dalam surat-suratnya bahwa kritik hadis yang dia pelajari dari Minhajus Sunnah sangat mengguncang keyakinan tradisional Syiah, bahkan menyimpulkan bahwa hanya 5% riwayat Syiah yang sahih jika dinilai dengan metode kritik hadis yang ketat.
Ringkasan oleh Al-Dzahabi
Kitab ini juga diringkas oleh al-Hafiz al-Dzahabi. Meskipun ringkasan ini tidak berarti bahwa al-Dzahabi sepenuhnya setuju dengan setiap pendapat Ibnu Taimiyah, ia tetap mengakui keunggulan kitab ini dalam aspek kritik hadis dan argumentasi teologis.
Penutup
Polemik antara Ibnu Taimiyah dan al-Hilli tidak hanya menjadi bagian dari sejarah pemikiran Islam klasik, tetapi juga memberi warisan intelektual penting dalam memahami dinamika otoritas keagamaan, metodologi kritik hadis, dan interaksi teologis antar mazhab.
Sumber
Tariq Al-Jamil. (2010). “Ibn Taymiyya And Ibn Al-Mutahhar Al-Hilli: Shi’i Polemics And The Struggle For Religious Authority In Medieval Islam”. Ibn Taymiyya And His Times. Volume 4. https://works.swarthmore.edu/fac-religion/190
Minhajus Sunnah Li Ibni Taimiyyah, Abdul Halim Mudabbir, https://youtu.be/j96ST0xzths
