Metodologi Kritik Hadits Dalam Pandangan Syiah Imamiyah

Pendahuluan

Al-Sunnah adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur’an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Di samping Ahl al-Sunnah –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah –sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefikihan.[1]

Oleh karena itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh metodologi khas Syiah Imamiyah dalam melakukan kritik hadits. Dan itulah yang secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini.

Definisi al-Sunnah Menurut Syiah Imamiyah

Sebagaimana telah disinggung, Syiah Imamiyah memiliki batasan dan definisi tersendiri tentang al-Sunnah. Intinya, al-Sunnah menurut mereka adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-Ma’shum.”  Dan al-Ma’shum dalam pandangan Syiah Imamiyah tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini. Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syiah, ada memandang bahwa kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul kecuali Rasulullah saw.[2]

Muhammad Ridha al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan,

Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqaha’ adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah –setelah meyakini bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir al-Ma’shum.”

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl al-Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi –hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham –seperti Nabi melalui jalur wahyu-, atau melalui periwayatan (imam) ma’shum sebelumnya.

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. [3] 

Penjelasan ini menunjukkan bahwa perkataan para imam yang ma’shum, baik yang diperoleh melalui jalur ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah ilmu hadits)[4], maupun yang diriwayatkan dan diwariskan dari imam ma’shum sebelumnya dari Rasulullah (ilmu mustauda’), termasuk dalam bagian al-Sunnah yang kedudukannya sederajat dengan al-Sunnah yang berasal dari Rasulullah saw.

Bahkan lebih dari itu, Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam saat ia masih kanak-kanak maupun yang diucapkannya pada usia kematangan akalnya. Sebab, -menurut mereka-  para imam itu tidak mungkin melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka. Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,

“Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”[5]

 Ini karena “perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada mereka adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.”[6]

  Mereka juga meyakini bahwa ilmu mustauda’ yang melalui jalur pewarisan dari imam ma’shum sebelumnya itu terbagi menjadi dua: (1) kitab-kitab yang mereka warisi dari Rasulullah[7], dan (2) ilmu yang mereka terima secara lisan dari beliau saw. Pembagian ini kemudian mengantarkan kita untuk memahami inti aqidah mereka –dan merupakan rukun penting agama mereka-,  yaitu bahwa Rasulullah saw hanya menyampaikan sebagian syariat dan menyembunyikan yang lainnya untuk kemudian dititipkan kepada Imam ‘Ali. ‘Ali radhiayyallahu ‘anhu kemudian memperlihatkan sebagiannya semasa ia hidup, dan menjelang kematiannya barulah ia menitipkannya kepada al-Husain, putranya. Demikianlah seterusnya, setiap imam memperlihatkan sebagian “warisan” itu sesuai kebutuhan zamannya, hingga akhirnya mata rantai keimamahan itu berakhir pada sang imam yang dinanti (al-Muntazhar).[8]

Dengan demikian, pengetahuan tentang keshahihan dan kelemahan sebuah hadits –dalam pandangan Syiah Imamiyah- harus melalui jalur para imam yang ma’shum.  Selain dari mereka tidak mungkin melakukan itu, meskipun ia adalah seorang ‘alim yang berilmu tinggi. Al-Sunnah al-Nabawiyah –bagaimanapun juga- membutuhkan imam yang ma’shum untuk menjelaskan mana yang shahih, dan menyingkirkan yang palsu.[9] 

Satu catatan penting yang harus ditegaskan di sini adalah bahwa Syiah Imamiyah telah mempersempit cakupan al-Sunnah dengan batasan yang mereka yakini. Berdasarkan definisi dan penjelasan ulama mereka tentang al-Sunnah, maka periwayatan al-Sunnah –dalam madzhab Syiah- hanya dimungkinkan melalui jalur Ahl al-Bait. Dan itupun tidak semua Ahl al-Bait, sebab hanya yang mempunyai predikat ma’shum saja yang dapat melakukannya. Dan itu berarti hanya terbatas pada “para imam yang dua belas” saja, dan bahwa yang pernah bertemu Rasulullah saw dari mereka hanyalah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.[10]

Pertanyaannya adalah: apakah Amirul mu’minin, ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sanggup menyampaikan seluruh al-Sunnah itu kepada semua generasi, padahal ia tidak menyertai Rasulullah saw di setiap waktu? Bukankah Rasulullah saw pernah melakukan perjalanan jauh, lalu menugaskan ‘Ali sebagai ‘khalifah’ nya di Madinah –seperti dalam perang Tabuk-? Bukankah ‘Ali juga pernah melakukan perjalanan jauh, sementara Rasulullah tinggal di Madinah? Belum lagi apa yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga Nabi saw, sangat tidak mungkin ‘Ali mengikuti semua itu.

Kita juga mengetahui dari sejarah bahwa Islam menyebar ke berbagai wilayah, dan penyebaran itu tidak melalui jalur Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, menjadi sangat sulit dipahami pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Rasulullah saw hanya menyampaikan ilmu itu (baca: risalah Islam) kepada seorang pria yang termasuk Ahl al-Bait beliau.[11]

Di samping itu, ada hal lain yang sangat kontradiktif dalam pernyataan para ulama Syiah. Seperti diketahui dalam definisi mereka tentang al-Sunnah, bahwa perkataan para imam Syiah itu memiliki kedudukan yang sama dengan perkataan Nabi saw. Sebab para imam itu juga menerima “ilmu” dari Allah melalui jalur ilham, sebagaimana Nabi menerimanya dari jalur wahyu. Tapi Imam al-Shadiq dan Imam al-Ridha –dua diantara imam mereka- seringkali mengatakan,

“Sesungguhnya kami tidak pernah berfatwa kepada manusia berdasarkan pendapat kami sendiri. Sesungguhnya jika kami berfatwa kepada manusia dengan pendapat kami sendiri, niscaya kami akan termasuk orang yang binasa. Namun (kami memberi fatwa kepada mereka) berdasarkan atsar-atsar dari Rasulullah saw, yang kami wariskan dari generasi ke generasi. Kami menyimpannya seperti manusia menyimpan emas dan perak mereka.”[12]

Pernyataan ini –sebagaimana pernyataan-pernyataan beberapa tokoh Syiah lainnya- menunjukkan bahwa –menurut mereka- para imam itu tidak lebih sebagai perawi dari Rasulullah saw. Tentu saja ini kontradiktif dengan penjelasan ulama Syiah lainnya bahwa para imam itu memang benar-benar diangkat oleh Allah untuk menyampaikan hukum Allah langsung yang diperoleh melalui jalur ilham, bukan sekedar menerimanya dari imam ma’shum sebelumnya.[13]

Sikap Syiah Imamiyah Terhadap Teks-teks Hadits Mereka

Sikap para ulama Syiah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadits mereka sendiri, ternyata berbeda. Secara umum pandangan dan sikap yang berbeda ini terwakili dalam 2 kelompok besar, yaitu al-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun.[14]

Kelompok al-Ikhbariyyun adalah kelompok Syiah Imamiyah yang melarang ijtihad dan mencukupkan diri dengan mengamalkan “khabar-khabar” (baca: teks-teks hadits) yang terdapat dalam empat kitab hadits mereka; al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, al-Tahdzib dan al-Istibshar. Tidak hanya itu, mereka memandang bahwa apa yang terkandung dalam keempat kitab itu qath’i berasal dari para imam, dan karena itu, mereka tidak perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang sanadnya. Demikian pula membagi hadits-hadits dalam kitab-kitab itu menjadi shahih, hasan, dha’if, dan sebagainya, sama sekali tidak perlu. Mengapa? Sebab semuanya shahih belaka. Mereka juga menggugurkan dalil ijma’ dan ‘aqli. Ilmu Ushul fiqih tidaklah shahih, karena itu tidak perlu dipelajari. Intinya mereka mencukupkan diri dengan khabar-khabar yang terdapat dalam rujukan utama mereka. Karena itu mereka disebut juga al-Akhbariyah, sebuah penisbatan kepada al-akhbar (khabar-khabar).

Tokoh-tokoh kelompok ini diantaranya adalah al-Kulainy (w. 329 H) penulis al-Kafy, Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382 H), penulis Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dan al-Mufid (w. 413 H), penulis Awa’il al-Maqalat.

Sedangkan kelompok al-Ushuliyyun adalah mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan dalil ‘aqli. Mereka juga meyakini bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau dijadikan landasan hukum.

Baca juga:   Takhrij Hadits tentang Hadis Jangan Katakan Fulan Syahid

Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain adalah: al-Thusy (w. 460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha yang dianggap menyusun Nahj al-Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu’iy dan al-Khumainy (Khomeni).

Perbedaan ini bahkan sampai pada tingkat keluarnya fatwa keharaman untuk shalat di belakang satu sama lain, dan bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.[15] Meskipun keduanya masih termasuk dalam kelompok Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.

Perpecahan ini diduga memuncak ketika salah seorang ulama hadits mereka, Muhammad Amin al-Astarabady (w. 1033H) melemparkan tuduhan dan tikaman kepada  kelompok mujtahidin Syiah, yang kemudian membuatnya membagi kelompok Syiah menjadi ‘Akhbary dan mujtahid. Tidak hanya itu, ia juga memprovokasi pengikutnya untuk menyerang ilmu Ushul fiqih dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits mereka.[16]

Awal Munculnya Pembagian Derajat Hadits dan Perhatian Terhadap Sanad di Kalangan Syiah

Perbedaan antara kelompok al-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun ini nampaknya sudah lama terjadi. Jauh sebelum masa al-Astarabady. Namun di era al-Astarabady-lah perbedaan ini berubah menjadi permusuhan yang sangat sengit antara keduanya. Sebagai bukti misalnya –bahwa perbedaan ini sudah lama ada-, pandangan kelompok al-Ushuliyyun kemudian menyebabkan lahirnya ide pembagian hadits menjadi shahih, hasan, muwatstaq, dan dha’if di kalangan Syiah. Ulama Syiah pertama yang mengeluarkan ide ini adalah Ibnu al-Muthahhir al-Huliyy (w. 726H).[17] Itu artinya, awal mula munculnya pemikiran untuk memberikan “nilai” kepada sebuah hadits di kalangan Syiah adalah sekitar abad 7 Hijriyah. Dan ini bertepatan dengan “serangan” Ibnu Taimiyah terhadap Syiah Imamiyah dalam bukunya, Minhaj al-Sunnah. Salah satu kritik penting Ibnu Taimiyah adalah rendahnya perhatian dan pengetahuan Kaum Syiah terhadap ilmu ar-Rijal.[18]

Hal ini diakui sendiri oleh ulama mereka, al-Hurr al-‘Amily (w. 1104 H). Ia mengakui bahwa penyebab Kaum Syiah mulai meletakkan istilah shahih, hasan dan dha’if untuk hadits mereka serta memperhatikan sanad, adalah kritik yang ditujukan oleh Ahl al-Sunnah kepada mereka. Ia mengatakan,

“Salah satu faidah penyebutan (sanad) adalah…untuk membantah tuduhan ‘orang awam’ –maksudnya Ahl al-Sunnah- terhadap Syiah, bahwa hadits mereka tidak ‘mu’an’an’ dan hanya sekedar dinukil begitu saja dari kitab-kitab para pendahulu mereka.”[19]

Bahkan ia sendiri (al-‘Amily) memastikan bahwa pembagian derajat hadits yang dilakukan oleh Ibnu al-Muthahhir itu sepenuhnya adalah upaya untuk meniru Ahl al-Sunnah. Ia mengatakan,

“Mushthalah baru itu sesuai dan sama dengan i’tiqad dan mushthalah ‘orang awam’[20]. Bahkan setelah diteliti, memang sepenuhnya diambil dari kitab-kitab mereka.”[21]

Penjelasan ini setidaknya menyimpulkan beberapa hal:

Pertama, sanad-sanad yang sekarang kita temukan dalam riwayat-riwayat mereka itu disusun belakangan, lalu kemudian ditempelkan pada tekas-teks hadits yang diambil dari kitab pendahulu mereka.

Kedua, perhatian terhadap kritik sanad di kalangan Syiah baru muncul belakangan –setidaknya sejak abad ketujuh Hijriyah-. Itupun muncul demi menjaga madzhab mereka dari kritik Ahl al-Sunnah.

Ketiga, upaya penulisan ilmu Mushthalah Hadits versi Syiah –seperti yang diakui sendiri oleh ulama mereka- sepenuhnya hanya meniru apa yang telah dituliskan oleh “orang-orang awam” (baca: Ahl al-Sunnah).

Keempat, ini menunjukkan bahwa sejak awal pemunculan Syiah hingga –setidaknya- abad ketujuh Hijriyah, para ulama Syiah menerima sepenuhnya hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mu’tamad mereka, tanpa melakukan kritik terhadap sanad, apalagi matan.

Kritik Sanad Dan Matan Menurut Syiah Imamiyah

Sebagaimana juga Ahl al-Sunnah, Syiah Imamiyah juga memiliki metode kritik sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak sama dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahl al-Sunnah.

Metode Kritik Sanad Syiah Imamiyah

Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, kajian al-rijal, serta kajian seputar persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah Imamiyah.

Klasifikasi Perawi di Kalangan Imamiyah

Adapun terkait dengan klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan Syiah Imamiyah dapat dikatakan hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi oleh para ulama hadits Ahl al-Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang maqbul menurut mereka adalah:

  • 1.    Islam
  • 2.      Baligh
  • 3.      Berakal
  • 4.      ‘Adil
  • 5.      Dhabith

Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”.

Yang dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhab Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah.[22] Bahkan tidak hanya sekedar penganut madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. Al-Thusy mengatakan,

“Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang ‘imamiyah’ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam –alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”[23]

Karena itu, jika seorang penganut Imamiyah meriwayatkan hadits dari salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam, maka haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl al-Bait dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari mereka itu berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan oleh keturunan Fathimah r.a melalui al-Hasan r.a –misalnya- tidak dapat diterima. Bahkan yang melalui jalur al-Husain r.a sekalipun. Al-Thusy –misalnya- menolak riwayat Zaid ibn Ali Zain al-‘Abidin.[24]

 Lalu bagaimana sikap mereka terhadap riwayat yang berasal dari Ahl al-Sunnah? Sebagian ulama Syiah[25] membolehkan hal ini dengan beberapa ketentuan:

  1. Hadits itu diriwayatkan dari para imam yang ma’shum.
  2. Tidak menyelisihi riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah.
  3. Tidak menyelisihi amalan yang selama ini ada di kalangan mereka.

Salah satu yang melandasi pandangan ini adalah apa yang diriwayatkan Ja’far al-Shadiq bahwa ia mengatakan,

“Jika kalian mengalami suatu perkara yang tidak kalian temukan hukumnya dalam apa yang diriwayatkan dari kami, maka lihatlah dalam apa yang mereka (kaum awam atau Ahl al-Sunnah -pen) riwayatkan dari Ali a.s, lalu amalkanlah ia.”

 Oleh sebab itu, sebagian kelompok Syiah juga mengamalkan apa yang diriwayatkan oleh beberapa perawi Ahl al-Sunnah,-seperti Hafsh ibn Ghiyats, Ghiyats ibn Kallub dan Nuh ibn Darraj- dari para imam madzhab Imamiyah sesuai dengan syarat tersebut di atas.[26]

Adapun terkait dengan kajian al-rijal dari sudut al-jarh dan al-ta’dil, maka dalam tradisi hadits Syiah, ke’adalahan seorang perawi dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua hal: (1) tautsiqat khashshah, atau (2) tautsiqat ‘ammah. Tautsiqat pertama adalah sebuah pemberian rekomendasi untuk satu atau dua perawi tanpa adanya suatu predikat khusus untuk mereka. Sedangkan yang kedua adalah pemberian rekomendasi untuk sekelompok orang dengan batasan dan predikat khusus dan tertentu.[27]

Salah satu contoh tautsiqat khashshah –menurut mereka- adalah jika salah seorang imam ma’shum atau salah satu ulama terdahulu[28] memberikan rekomendasi akan ketsiqahan seorang perawi. Maka dalam kondisi semacam ini, ketsiqahan orang itu harus ditetapkan tanpa banyak komentar.

Ja’far al-Subhany mengatakan,

“Metode-metode seperti ini adalah termasuk metode yang dapat menetapkan ke’tsiqah’an seorang perawi tanpa perlu komentar lagi. Ini adalah metode-metode khusus yang dapat menetapkan ke’tsiqah’an individu tertentu. Dan ada pula metode-metode umum yang disebut dengan ‘tautsiqat ‘ammah’, yang dengannya ke’tsiqah’an sekelompok perawi dapat ditetapkan…”[29]

 Adapun tautsiqat ‘ammah yang dijadikan sandaran penting dalam madzhab Syiah Imamiyah terdiri dari beberapa kelompok berikut:

Pertama, Ashhab al-Ijma’. Mereka adalah kelompok yang disepakati (ijma’) keshahihan semua riwayat yang datang dari mereka. Rincian mereka adalah 6 orang dari murid-murid al-Baqir, 6 orang dari murid-murid al-Shadiq, dan 6 orang dari murid-murid Musa al-Kazhim.[30]

Banyak dari kalangan generasi awal –dan juga belakangan- Syiah Imamiyah yang meyakini bahwa keshahihan semua riwayat yang berasal dari kelompok ini juga mencakup semua hadits meski diriwayatkan dari orang yang fasik dan melakukan pemalsuan hadits.[31] Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian mereka membenarkan semua riwayat kelompok ini, meskipun mengandung hal-hal yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keyakinan bahwa al-Qur’an telah diselewengkan, sikap ghuluw terhadap para imam, dan yang lainnya. Hal ini jelas merupakan akibat dari peremehan mereka terhadap upaya penelitian yang mendalam terhadap al-Rijal dan juga sanad hadits-hadits mereka.

Kedua, Masyayikh al-Tsiqat. Mereka adalah beberapa orang –yaitu Muhammad ibn Abi ‘Umair, Shafwan ibn Yahya, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr al-Bizanty- yang tidak meriwayatkan dan memursalkan sebuah hadits kecuali dari perawi yang tsiqah.[32] Namun ada sebagian ulama Syiah yang kemudian tidak mengakui ini sebagai sandaran, dengan alasan sebagian dari mereka telah dituduh berdusta dan membuat hadits palsu, bahkan dianggap keluar dari akidah Imamiyah. 

Ketiga, disamping ketiga nama di atas, ada pula beberapa nama yang dikenal tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah. Mereka diantaranya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Ja’far ibn Basyir al-Bajaly, Muhammad ibn Ismail al-Za’farany, dan Ahmad ibn Ali al-Najasyi.[33] Namun sebagaimana sebelumnya, ada juga ulama Syiah yang tidak menyepakati ini.

Satu hal penting lain yang juga perlu disebutkan secara singkat di sini adalah sebab-sebab penetapan al-jarh terhadap seorang perawi. Seperti Ahl al-Sunnah, sebab-sebab al-jarh Syiah Imamiyah diantaranya adalah:[34]

  • Akidah yang batil. Tentu yang dimaksud adalah jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah.
  • Cacatnya ke’adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil.
  • Hafalan yang buruk.
  • Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu’afa dan majhulun.
  • Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah.
Baca juga:   Sunah dan Orientalisme dalam Sorotan

Namun yang menjadi tanda tanya adalah bahwa mereka tidak menganggap keyakinan bahwa al-Qur’an yang ada saat ini telah diubah dan dikurangi sebagai salah satu sebab jarh bagi seorang perawi. Al-Mufid –salah seorang ulama mereka- mengakui ini dengan mengatakan,

“(Penganut Imamiyah) telah bersepakat bahwa para imam yang sesat itu[35] telah menyeleweng dalam banyak penyusunan al-Qur’an dan mereka telah menyimpang dari apa yang diturunkan (oleh Allah) dan sunnah Nabi saw. Sementara Mu’tazilah, Khawarij, Zaidiyah, Murji’ah dan Ahl al-Hadits telah berijma’ menyelisihi Imamiyah.”[36]

 Ini adalah pengakuan penting bahwa semua kelompok Islam tidak terjebak dalam kesesatan yang dialami kelompok Imamiyah. Tidak mengherankan jika al-Thusy mengakui bahwa banyak penulis mereka yang menganut dan meyakini hal-hal sesat semacam itu. Perlu diketahui pula, bahwa ulama kontemporer Syiah yang giat menyerukan upaya  taqrib (pendekatan) Sunnah-Syi’ah dalam menyikapi tuduhan tahrif al-Qur’an terbagi menjadi 4 kelompok:

Mengingkari keberadaan paham ini dalam kitab-kitab mereka,  menampakkan seolah-olah mengkafirkan pelakunya, bahkan berusaha melekatkan tuduhan ini pada kitab-kitab Ahl al-Sunnah.

Mengakui keberadaannya dan berusaha memberikan alasan (justifikasi).

Mengakui secara terang-terangan dan berusaha memberikan argumentasi (hujjah) untuknya.

Menampakkan seolah-olah mengingkari hal ini, namun diam-diam menetapkannya dengan secara sembunyi-sembunyi.[37]

 Kajian ‘al-Rijal’ di Kalangan Imamiyah

Harus diakui bahwa para ulama Imamiyah juga memiliki upaya untuk menjelaskan kondisi semua perawi yang terdapat dalam berbagai referensi hadits mereka dari sisi ketsiqahan dan kedha’ifannya. Kalangan Imamiyah mengaku bahwa awal penyusunan referensi dalam bidang ini di kalangan mereka telah dimulai pada abad 2 H. Mereka beranggapan bahwa kitab ‘Ubaidullah ibn Abi Rafi’[38]  sebagai karya pertama mereka dalam bidang ini. Padahal ‘Ubaidullah ini sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan madzhab Imamiyah.

Penulisan ilmu ini menurut mereka terus berlanjut hingga abad 4 H. Namun –seperti pengakuan mereka- tidak ada satu pun karya dalam bidang ini yang sampai pada mereka, kecuali yang ditulis pada abad 4 dan 5 H. karya-karya itulah yang kemudian menjadi rujukan penting mereka selanjutnya. Diantaranya:

Rijal al-Kisysyi, karya Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal dengan al-Kisysyi (w. 340H). Ia hidup semasa dengan al-Kulainy (w. 329H), dan termasuk tokoh tsiqah penting di kalangan mereka.

 Fihris al-Najasyi, karya Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali ibn al-Abbas yang lebih dikenal dengan al-Najasyi (w. 450H).

Rijal Ibn al-Ghadhairy, karya Ahmad ibn al-Husain al-Ghadhairy (w. 412). Judul buku ini sebenarnya adalah Kitab al-Dhu’afa’. Isinya memuat perawi-perawi dha’if. Penulisnya bahkan mendha’ifkan banyak ulama dan perawi Imamiyah dengan alasan sikap ghuluw yang ada pada diri mereka. Tidak mengherankan jika kemudian ulama Syiah berbeda pendapat tentang validitas penisbatan buku ini pada Ibn al-Dhafairy setelah mereka sepakat bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dalam pandangan mereka.[39] Belakangan, Ja’far al-Subhany membenarkan penisbatan kitab ini kepada Ibn al-Dhafairy. Namun jarh dan tadh’ifnya tidak dapat diterima, dengan alasan kesimpulannya tidak didasarkan pada persaksian dan riwayat, melainkan hanya didasarkan pada ijtihad pribadinya.[40]

Masih ada karya lain dalam bidang ini di kalangan Syiah. Namun karya-karya itu dianggap sebagai sumber sekunder. Namun ada satu hal yang penting untuk dicatat, bahwa masih banyak perawi majhul tersebar dalam sanad-sanad referensi Syiah, terutama Ushul al-Kafi karya al-Kulainy. Ini berarti bahwa karya-karya mereka dalam bidang al-rijal belum mencakup semua perawi yang ada dalam rujukan hadits Imamiyah. Lebih dari itu, al-Bahrany (w. 1186H) –salah seorang ulama Imamiyah- mengakui bahwa jika semua aturan al-jarh wa al-ta’dil diterapkan pada sanad-sanad yang bertebaran dalam kitab-kitab hadits mereka, maka itu akan membatalkan banyak sekali hadits-haditsnya.[41]

Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah Imamiyah

Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma’shum. Meski sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah hujjah dan sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya.[42] Tetapi jika sanad itu bersambung kepada Nabi saw tanpa perantaraan seorang imam, maka hadits semacam ini tidak dapat diterima. Ini disebabkan oleh:

Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa sanad-sanad hadits mereka semuanya bersambung kepada para imam melalui perantara kitab-kitab al-Ushul[44] yang ada pada mereka. Namun dalam buku-buku lain –yang juga merupakan rujuan penting mereka- terdapat pengakuan ‘berbahaya’ yang menyatakan bahwa sanad-sanad kitab-kitab itu sebenarnya terputus. Tidak hanya itu, al-Thusy misalnya mengakui bahwa banyak dari penyusun kitab-kitab al-Ushul itu yang meyakini ‘madzhab yang batil’.[45] Dalam al-Kafy (1/104) disebutkan,

“Sesungguhnya para ulama kami meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdillah a.s, dan (saat itu) taqiyyah sangatlah kuat, sehingga mereka menyembunyikan kitab-kitab mereka (yang menyebabkan kitab-kitab itu) tidak diriwayatkan dari mereka. Maka ketika mereka semua meninggal, kitab-kitab itupun sampai ke tangan kami. Salah seorang imam mengatakan, ‘Sampaikanlah ia, karena ia adalah kebenaran’.”

Pertanyaan pentingnya adalah, siapakah yang menjamin bahwa dalam kondisi taqiyyah dan ketakutan itu, kitab-kitab yang kemudian sampai kepada mereka itu telah menjadi sasaran tangan-tangan jahat yang ingin menyesatkan kaum Syiah dengan cara menambahkan riwayat-riwayat palsu yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait?[46] Salah satu indikasi akan hal itu adalah banyaknya nash-nash Syiah yang menyentuh hal paling disucikan oleh kaum muslimin, al-Qur’an al-Karim.[47]

Seorang ulama Syiah, al-Muhaqqiq al-Qummy mengatakan,

“Riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab kami menunjukkan bahwa para pendusta dan pemalsu telah memainkan peran mereka dalam kitab-kitab ulama kami, dan bahwa mereka telah memasukkan (hal-hal baru) kedalamnya.”[48]

Al-Sayyid Abu Thalib al-‘Alawy al-Hasany mengatakan,

“Sesungguhnya banyak sanad-sanad Itsna ‘Asyariyah (Imamiyah –pen) yang didasarkan pada nama-nama yang sebenarnya tidak memiliki wujud. Saya mengetahui  dari para perawi mereka yang banyak meriwayatkan (hadits) ada yang menghalalkan pembuatan sanad-sanad palsu untuk riwayat-riwayat yang terputus jika sampai ke tangannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengumpulkan riwayat-riwayat Birisjamhur, lalu menisbatkannya kepada para imam dengan sanad-sanad yang ia buat sendiri. Ketika ia ditanya tentang itu, ia hanya menjawab, ‘Sandarakanlah hikmah itu kepada yang memilikinya.’”[49]

Bukti lain akan adanya peran “tangan-tangan jahat” terhadap kitab-kitab hadits Syiah Imamiyah adalah sebagai berikut:

Bukti-bukti ini sesungguhnya semakin menguatkan bahwa pada dasarnya Syiah Imamiyah pada awalnya –dan mungkin hingga kini- tidak memiliki perhatian yang cukup besar untuk mengkaji sanad-sanad hadits mereka. Seperti telah  dijelaskan sebelumnya, ulama Imamiyah –dalam hal ini al-‘Allamah al-Huliyy- baru ‘tersentak’ untuk mengkaji untuk mengkaji sanad ketika Ibnu Taimiyah menuliskan bukunya, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah yang mengkritik kurangnya perhatian Syiah akan sanad. Metode tashhih dan tadh’if yang kemudian digagas oleh al-‘Allamah al-Huliyy jika diterapkan pada hadits-hadits Syiah akan ‘membabat habis’ kebanyakan hadits mereka, dan hanya menyisakan sedikit saja. Ini diakui oleh Syekh Yusuf al-Bahrany, salah seorang ulama mereka.[54]

Ulama Syiah lain, Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111H)[55] telah mendha’ifkan sebagian besar hadits-hadits yang ada dalam kitab al-Kafy dalam kitabnya, Mir’at al-‘Uqul. Namun anehnya, ia mengatakan,

“Kita sesungguhnya tidak membutuhkan sanad keempat kitab al-Ushul ini. Dan bila kita menyebutkan sanadnya, maka itu hanya sekedar untuk ‘tabarruk’ (mencari berkah) dan meneladani sunnah para salaf.”[56]

Pengakuan lain datang dari Syekh Abu al-Hasan al-Sya’rany yang menyatakan,

“Sesungguhnya mayoritas hadits-hadits ushul yang terdapat dalam al-Kafy tidaklah shahih sanadnya, akan tetapi ia menjadi pegangan dan landasan dikarenakan kandungan matannya, dan kesesuaiannya dengan ‘akidah yang benar’ (maksudnya akidah Imamiyah –pen). Dan (untuk hadits yang semacam ini) sanad tidaklah perlu diperhatikan.”[57]

Penjelasan-penjelasan ini menunjukkan bahwa hingga kini pun, kajian sanad hadits Syiah Imamiyah masih menyisakan banyak pertanyaan yang perlu untuk dijelaskan.

Metode Kritik Matan Syiah Imamiyah

Secara umum, dalam hal ini, Syiah Imamiyah melakukan kritik matan dengan 4 cara –yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh Ahl al-Sunnah-, yaitu:

Akan tetapi, dalam prakteknya banyak hal-hal musykil yang kemudian menjadi pembeda antara Ahl al-Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan. Hal itu akan dijelaskan sebagaimana berikut.

Pertama, menimbangnya matan hadits kepada al-Qur’an.

Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-Qur’an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,

“…Maka janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur’an. Sebab jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan.”[58]

Namun yang menjadi masalah adalah –seperti telah disinggung sebelumnya-, bahwa Syiah Imamiyah sendiri meragukan keabsahan al-Qur’an yang ada sekarang ini. Hanya sebagian kecil dari kalangan al-Ushuliyyun dan al-Ikhbariyyun yang meyakini bahwa al-Qur’an yang ada saat ini selamat dari tahrif (penyelewengan), dan bahwa Allah telah menjaganya dari tangan-tangan jahat yang akan merubahnya. Oleh sebab itu, mereka –yang meyakini kesucian al-Qur’an ini- memandang bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dalam tasyri’, dan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits mereka ada yang shahih dan tidak.

Maka menghadapi kenyataan ini, kalangan Syiah yang meyakini adanya tahrif pada al-Qur’an pun menjadi dilematis. Betapa tidak, terlalu banyak hadits dari para imam mereka yang memerintahkan untuk merujuk pada al-Qur’an dan bahwa ia adalah sumber pertama dalam tasyri’ yang tidak mengalami tahrif dan perubahan. Akibatnya, mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan bahwa para imam itu memerintahkan mereka untuk berpegang pada al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini, meskipun telah diselewengkan –menurut mereka- hingga datangnya al-Qa’im al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-Qur’an yang shahih yang dikumpulkan oleh Imam ‘Ali r.a.

Baca juga:   Mengapa Kepemimpinan Syiah Diserahkan Kepada Keturunan Husain?

Syekh al-Mufid (w. 413H) menyatakan,

“Sesungguhnya hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang menunjukkan) bahwa mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada dalam mushhaf (al-Qur’an) dan tidak melampaui batas, baik dengan menambah atau menguranginya, hingga datang al-Qa’im a.s yang akan membacakan al-Qur’an (yang benar –pen) sesuai dengan yang diturunkan Allah Ta’ala dan dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”[59]

Dan yang harus diingat adalah bahwa masalah terjadinya tahrif dan pengurangan dalam al-Qur’an hampir dapat dikatakan telah menjadi ijma’ Syiah terdahulu, kecuali 4 orang yang tidak meyakininya. Mereka adalah Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382H), al-Syarif al-Murtadha (w. 436H), al-Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thibrisy (w. 548H). Dan menurut DR. Nashir al-Qifary, sebagian besar ulama dan pemikir Syiah Imamiyah kontemporer telah mulai meyakini ‘sterilitas’ al-Qur’an dari berbagai tahrif dan bahwa ia adalah sumber tasyri’ pertama. Salah satunya misalnya yang ditunjukkan oleh Sayyid Murtadha al-Radhawy dalam bukunya al-Burhan ‘ala ‘Adam Tahrif al-Qur’an. Hanya sangat disayangkan, karena buku ini justru berusaha melekatkan tuduhan tahrif ini melalui jalur Ahl al-Sunnah. Yaitu bahwa Ahl al-Sunnah-lah yang mengada-ada terhadap Syiah dalam hal ini.[60]

Kedua, menimbangnya dengan al-Sunnah.

Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin.[61] Namun sebagaimana telah dijelaskan pula, bahwa definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-ma’shum.

Oleh sebab itu, sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil al-Qur’an yang umum, atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang imam –karena ia ma’shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak berbicara kecuali berdasarkan wahyu.[62]

Akan tetapi mereka kemudian dibuat bingung oleh banyaknya perbedaan riwayat antara satu imam dengan imam lainnya. Bagaimana jika perkataan imam yang datang kemudian berbeda dengan perkataan imam yang datang sebelumnya? Al-Thusy bahkan menggambarkan bahwa tidak ada satu riwayat pun, melainkan ada riwayat lain yang menyelisihinya. Bahkan –ia juga mengakui- kesimpangsiuran ini membuat sebagian pengikut Imamiyah keluar dan meninggalkan madzhab ini.[63]

Al-Thusy sendiri mencoba mengompromikan perbedaan ini dengan mengatakan, bahwa perbedaan itu disebabkan karena sebagian imam harus melakukan taqiyyah demi menyelamatkan diri. Bahkan dalam kitab al-Kafy, ditemukan nash dari imam mereka yang justru memerintahkan untuk menampakkan pertentangan pendapat antara imam bila berhadapan dengan orang banyak.[64] Akibatnya, ulama Syiah menjadi bingung untuk membedakan, mana perkataan yang diucapkan karena taqiyyah, dan mana yang tidak. Sehingga lahirlah prinsip bahwa “segala yang menyelisihi kaum awam (baca: Ahl al-Sunnah) itulah jalan petunjuk.”[65]

Ketiga, menimbangnya dengan ijma’.

Syiah –sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu sumber tasyri’ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma’ menurut Syiah dengan mengatakan,

“Ijma’ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang (imam) yang ma’shum. Maka jama’ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma’nya menjadi hujjah karenanya (perkataan imam –pen), bukan karena kesepakatan mereka.”[66]

 Tentu menjadi jelas, bahwa ijma’ semacam ini tentu tidak memiliki arti, sebab tetap saja yang menjadi dasar penetapannya adalah ada-tidaknya perkataan imam ma’shum dalam ijma’ tersebut. Mereka sebenarnya tidak mengakui ijma’ sebagai hujjah. Yang menjadi hujjah tetaplah perkataan imam yang ma’shum. Pengakuan bahwa ijma’ adalah hujjah bagi mereka hanyalah pengakuan kosong belaka.[67] Sebagai contoh, jika Imam al-Jawad –yang ‘menjabat’ sebagai imam saat ia berusia 7 tahun- mengeluarkan sebuah pendapat, maka pendapatnya itulah yang menjadi hujjah, meskipun ummat Islam sedunia menyelisihi apa yang ia katakan.[68]

Keempat, menimbangnya dengan akal.

Secara umum, Syiah Imamiyah juga mengakui akal sebagai sumber tasyri’ keempat. Dan yang dimaksud dengan akal di sini adalah “hukum-hukum yang digali sendiri oleh akal”, seperti keharusan menolak semua kemudharatan, dan menghukumi jahatnya memberikan hukuman tanpa penjelasan.[69]

Akan tetapi akal tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa adanya dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ –dengan semua definisi dan keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu-. Bahkan dengan semua keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu, mereka sebenarnya tidak akan pernah menimbang hadits-hadits mereka dengan akal sehat, sebab pada akhirnya semua bergantung pada riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab al-Ushul mereka. Syekh al-Mufid menggambarkan tentang “tidak berfungsinya” akal menghadapi teks-teks hadits Imamiyah,

“Seandainya ia (maksudnya imam mereka yang masih kanak-kanak) mengatakan sebuah perkataan yang tidak ada seorang manusia pun sepakat dengannya, itu sudah cukup untuk menjadi hujjah dan dalil.”[70]

Intinya, bahwa Syiah Imamiyah tidak terlalu memfungsikan rambu-rambu kritik matan tersebut. Sebab, seandainya mereka memfungsikan rambu yang keempat saja –menimbang dengan akal sehat-, maka –seperti kata DR. al-Qifary- mereka akan menemukan begitu banyak matan-matan hadits yang jelas kedustaannya atas Islam; baik karena menyerang Kitabullah, memerangi sunnah Nabi saw, mengkafirkan generasi terbaik ummat ini, dan menyebutkan akidah-akidah yang tidak ada dalam al-Qur’an. Ini saja sudah cukup untuk mempertanyakan hadits-hadits mereka.[71]

Penutup

Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar memang ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah Imamiyah secara khusus dalam proses melakukan kritik terhadap sanad dan matan. Meskipun kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru ‘terlambat’ untuk menyadari itu. Bahkan, -seperti diakui oleh ulama mereka sendiri- perhatian terhadap sanad itu muncul bukan karena memang hal itu penting, akan tetapi sekedar untuk memunculkan ‘pembelaan’ di hadapan Ahl al-Sunnah.

Akhirnya, masih banyak hal yang perlu dijawab oleh kalangan Syiah Imamiyah terkait dengan hal ini. Semoga kelak ada sebuah kesadaran untuk benar-benar mendasarkan keberagamaan dan ketaatan pada Allah dengan landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Awa’il al-Maqalat fi al-Madzahib al-Mukhtarat: Luthfullah al-Shafy. Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah Qum. Cetakan pertama 1398 H.

2.Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar: Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H), Mua’assasah al-Wafa’ Beirut. Cetakan kedua 1983 M.

3. Da’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah: Hasan al-Amin. Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan keempat 1989 M.

4. Al-Fahrasat: Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy. Al-Mathba’ah al-Haidariyah, Nejef. Cetakan kedua 1960 M.

5. Al-Imam al-Shadiq: Muhammad Abu Zahrah. Dar al-Fikr al-‘Araby, Kairo. T.t.

6. Al-Istibshar fi Ma Ikhtalafa min al-Akhbar: Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy (w. 460 H). Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan kedua 1992 M.

7. Al-I’tiqadat: Abu Ja’far Muhammad ibn Babawaih al-Qummy (w. 381 H). Cetakan Iran 1320 H.

8. Kulliyat fi ‘Ilm al-Rijal: Ja’far al-Subhany. Dar al-Mizan Beirut. Cetakan pertama 1990 M.

9. Lu’lu’ah al-Bahrain fi al-Ijazat wa Tarajum Rijal al-Hadits: Yusuf ibn Ahmad al-Bahrany (w. 118 6H). Tahqiq: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum. Dar al-Adhwa’ Beirut. Cetakan kedua 1986 M.

10.  Ma’a ‘Ulama’ al-Najf: Muhammad Jawab Mughniyah. Dar al-Jawad Beirut 1984 M.

11.  Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqdh Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyah: Taqiyy al-Din Ahmad ibn Taimiyah. Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim. Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo. Cetakan kedua 1989 M.

12.  Miqyas al-Hidayah fi ‘Ilm al-Dirayah: ‘Abdullah al-Mamqany (1351 H). Tahqiq:  Muhammad Ridha al-Mamqany. Mu’assasah Alu al-Bait, Beirut. Cetakan pertama 1991 M.

13.  Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbar Ali al-Rasul (Syarah kitab al-Kafy): Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H). Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran. Cetakan kedua 1363 H.

14.  Nasy’at Ulum al-Hadits wa Mushthalahihi: DR. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib. Kulliyat Dar al-‘Ulum, Universitas Kairo 1965 M.

15.  Qawa’id al-Hadits: Muhyi al-Din al-Musawy al-Gharify. Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan kedua 1986 M.

16.  Raudhah al-Jannat fi Ahwal al-‘Ulama’ wa al-Sadat: Muhammad Baqir al-Khawansary (w. 1313 H). Al-Mathba’ah al-Haidariyah 1950 M.

17.  Tarikh al-Imamiyah wa Aslafihim min al-Syi’ah: DR. Abdullah Fayyadh. Mu’assasah al-A’lamy li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan ketiga 1986 M.

18.  Tautsiq al-Sunnah Baina al-Syi’ah al-Imamiyah wa Ahl al-Sunnah: Ahmad Haris Suhaimi. Dar al-Salam, Mesir. Cetakan pertama 2003 M.

19.  Al-Syi’ah Hum Ahl al-Sunnah: DR. Muhammad al-Tijany al-Samawy. Mu’assasah al-Fajr, London. Cetakan pertama 1993 M.

20.  Ashl al-Syi’ah wa Ushuluha: Muhammad Husain Alu Kasyif al-Ghtha’. Dar al-Adhwa’ Beirut. Cetakan pertama 1991 M.

21.  Al-Ushul al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqaran: Muhammad Taqiy al-Hakim. Dar al-Andalus. Cetakan kedua 1989 M.

22.  Ushul Fiqih: Muhammad Ridha al-Muzhaffar. Dar al-Nu’man, Nejef. Cetakan kedua 1967 M.

23.  Ushul al-Kafy wa Furu’uh: Muhammad ibn Ya’qub al-Kulainy (w. 329 H). Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan pertama 1399 H.

24.  Ushul Madzhab al-Syi’ah al-Imamiyah al-Itsnay ‘Asyariyah: DR. Nashir ibn Abdillah ibn Ali al-Qifary. Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah. Cetakan pertama 1993 M.

Sumber:

Buku Kumpulan Makalah seminar Syiah “Mengapa kita menolak Syiah”

http://alfanarku.wordpress.com

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *