Menurut Majid Irsan Kailani, penulis buku Al-Fikr at-Tarbāwy ‘inda Ibn Taimiyah (pemikiran pendidikan menurut Ibnu Taimiyah), Ibnu Taimiyah adalah di antara tokoh yang mendapatkan banyak pembahasan yang luas dari segi pemikiran dan kiprahnya. Sampai sekarang, Ibnu Taimiyyah masih mendapatkan perhatikan. Pemikirannya terus dikaji dari waktu ke waktu, termasuk yang berkaitan dengan isu saat ini. Sebagai contoh, dalam hal penjajahan di negara-negara Islam, Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Jihad dan perubahan sosial menjadi relevan.
Setelah kemerdekaan negara-negara Islam, para pengkaji mulai memberikan fokus kajian terhadap pandangan Ibnu Taimiyah dalam bidang politik dan undang-undang. Seperti kajian yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Muhammad al-Mubarak, Dr. Umar Farukh, Dr. Muhammad Yusuf Musa, Abu Hasan al-Nadwi, Muhammad Bahjah al-Bittar, Mahdi al-Istanbuli, dan banyak lagi yang lain.
Adapula pula kajian di tingkat Magister dan Doktor, seperti Qamarudin Khan dari Pakistan yang membahas Pemikiran Ibnu Taimiyah, atau Muhammad Umar Memon yang menerjemahkan Buku Ibnu Taimiyah berjudul Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim dan membuat ulasan dalam Buku yang lain berjudul Ibn Taimiyah’s Struggle Againts Popular Religion.
Kajian lebih serius dilakukan oleh seorang pengkaji dari Universitas Edinburgh, Perancis, Henri Loust yang berjudul Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taki-d-Din Ahmad b. Taimiya, canoniste ḥanbalite, né à Harrān en 661/1262, mort à Damas en 728/1328, yang membahas teori Ibnu Taimiyah dalam politik dan sosial.
George Makdisi, seorang peneliti dari Barat juga mengkaji dan menulis beberapa Artikel tentang Ibnu Taimiyah, antara lain; 1) Ibn Taimiyah’s Antoraph Manuscript on Istihsan, 2) Ibn Taimiya: A Sufi of The Qadriya Order, 3) The Tanbih of Ibn Taymia of Dialectic. Artikel Makdisi lebih bersifat mempertahankan penentangan Mac Donald terhadap Ibnu Taimiyah.
Selain itu, Christopher Melchert menulis tentang pengaruh kuat dari Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam fikih Hanbali.
Bukan hanya kajian tingkat Master dan Doktor, ketokohan Ibnu Taimiyah juga menjadi bahan kajian di seminar antar bangsa dan dalam negeri. Di Damsyik pernah ada Minggu Ibnu Taimiyah yang dihadiri banyak sarjana dan pemikir Islam yang membahas sumbangan Ibnu Taimiyah dan menghasilkan buku atau Jurnal tentang Pemikiran Ibnu Taimiyyah dalam berbagai aspek.
Di Malaysia, pada tahun 1980 pernah ada seminar pemikiran Ibnu Taimiyah yang diadakan oleh ABIM berusaha Dewan Bahasa Dan Pusaka (DBP), Malaysia.
Di Indonesia pun banyak seminar Dan kajian tentang pemikiran Ibnu Taimiyah. Bahkan beberapa masjid dan Pondok Pesantren menggunakan nama Ibnu Taimiyyah untuk tempat mereka.
Pendek kata, ketokohan Ibnu Taimiyah dan pemikirannya tetatpi relevan sampai sekarang. Ia akan terus dikaji dan mendapatkan tempat penting di kalangan ilmuwan dan masyarakat.
Artikel ini sumbangan kecil penulis kepada para pembaca untuk memahami latar belakang kehidupan Ibnu Taimiyah Dan beberapa aspek pemikirannya.
Semoga usaha kecil ini mendapatkan berkah dari Allah Swt.
Nama Ibnu Taimiyyah
Nama asli Ibnu Taimiyah adalah Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Qasim Muhammad bin Khuddlar bin Ali bin Taimiyah al-Harrani al-Hambali.
Diberi kuniah Abu al-Abbas. Berasal dari kabilah Bani Numair. Terkenal dengan laqab Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah atau lebih populer Ibnu Taimiyah saja.
Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang sebab penamaan dengan Taimiyah.
- Pendapat lain menyebutkan bahwa nenek dari Muhammad adalah seorang ibu yang suka memberi nasehat, namanya Taimiyah, sehingga keluarga dinisbahkan kepadanya dan terkenal dengan nama ini.
Nisbahnya adalah al-Harrani karena kampung kelahirannya di kota Harran. Al-Dimasyqi karena ia berpindah dan tinggal di kota Damsyiq. Al-Hanbali karena ia menjadi pengikut Mazhab Hanbali atau Imam Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Taimiyah lahir pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M di kota Harran.
Harran adalah satu daerah yang terletak ditenggara negeri Syam, tepatnya dipulau Ibnu Amr antara sungai Tigris dan Eufrat. Sekarang daerah Urfa, Turki. Harran merupakan tempat perkembangan ilmu dan budaya. Dahulu pernah menjadi pusat perkembangan Sabi’ah dan ilmu filsafat Yunani. Berubah menjadi pusat perkembangan Hanabilah atas hasil usaha nenek moyang Ibnu Taimiyah.
Kelahirannya bertepatan dengan lima tahun setelah kota Baghdad ditaklukan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan.
Latar Belakang Keluarga Ibnu Taimiyah
Keturunan Ibnu Taimiyyah adalah dari kalangan ulama Mazhab Hanbali yang menjadi Mazhab Fikih utama di Harran. Mayoritas mereka memiliki aktivitas dalam bidang pendidikan, fatwa dan kepenulisan.
Syaikh al-Din yang lahir pada tahun 542 H adalah seorang ahli Fikih Mazhab Hanbali yang terkenal di Harran, khususnya dalam bidang Fikih waris. Ia memiliki banyak murid, termasuk anaknya yaitu Saif al-Din Abd Ghani dan anak saudaranya, Majd al-Din Abdus Salam.
Syaikh Islam Majduddin Abu al-Birkan adalah kakek dari Ibnu Taimiyah. Seorang fakih Hanbali, Imam, ahli hadits, ahli ushul, nahwu seorang hafiz. Kepakarannya dalam berbagai bidang membuatnya menyebabkannya mencapai derajat Mujtahid Mutlak dan dinilai sebagai Syaikhain dalam mazhab Hanbali yaitu al-Muwaffaq Ibnu Qudamah dan Majduddin. Di antara Karyanya antara lain Muntaqa al-Akbar, al-Muswaddah fi Ushul al-Fiqh, al-Ahkam al-Kubra, dan al-Muharrar fi al-Fiqh.
Pamannya Ibnu Taimiyyah bernama Fakhruddin, terkenal sebagai seorang cendekiawan dan penulis Muslim ternama.
Ayah dari Ibnu Taimiyah adalah Abd Halim Abdus Salam, seorang syaikh, khatib hakim di kotanya. Ia mendapatkan Pendidikan awal dari ayahnya sendiri dan para ulama di kota Harran hingga menjadi ulama dalam bidang hadis dan Fikih Hanbali, terutama Fikih waris.
Ibu Ibnu Taimiyah bernama Sitti an-Ni’am binti Abdirrahman.
Ketika terjadi serangan dari Mongol, Abdul Halim dan keluarga berusaha pindah dan mengevakuasikan diri ke Damsyik. Di sana ia mengajar di Masjid Besar al-Umawi dan dilantik menjadi Mahaguru atau Direktur dari Dar al-Hadith al-Sukriyah sampai wafat. Jenazahnya dikuburkan di Tanah Pekuburan As-Sufiyyah.
Mereka semua adalah faqih Hanbali dan alim kebanggaan Harran pada zamannya.
Pendidikan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah tumbuh dengan penjagaan yang baik, sederhana dalam pakaian dan makanan hingga akhir hayatnya. Ia juga anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, gemar berpuasa, dan berjuang dalam amar ma’ruf nahi munkar. Ia juga gemar membaca, meneliti dan menjadi seorang pengajar.
Ia mulai belajar agama ketika ia masih kecil, berkat kecerdasan dan kegeniusannya Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda, pada usia 7 tahun sudah dapat menghafal Al-Quran dan telah mampu menghafal Jami’ ash-Shahihain karya al-Humaidi. Di masa ini, Ibnu Taimiyah belajar fikih Hanbali, tafsir dan bahasa Arab dari ayahnya sendiri.
Di masa remaja, Ibnu Taimiyah memiliki perhatian lebih kepada hadis Nabi. Ia telah mendengar Musnad Imam Ahmad secara utuh berkali-kali. Selama 10 tahun di Damaskus, sampai umurnya menginjak 17 tahun, jumlah gurunya sudah mencapai 200 orang.
Atas kecerdasannya itu, saat umurnya belum mencapai 20 tahun (17 tahun), ia sudah diberikan kepercayaan untuk mengajar dan memberikan fatwa serta menulis kitab.
Pada usia 21 tahun, Ibnu Taimiyah menggantikan posisi ayahnya yang baru wafat sebagai pengajar di Masjid Besar al-Umawi dan di Dar al-Hadith al-Sukriyah. Ia juga mulai mengajar di Madrasah al-Hanbaliyah di Damaskus. Pada masa ini, Ibnu Taimiyah banyak mengkaji dan membahas mazhab Hanbali.
Dalam bidang ilmu Hadis, Ibnu Taimiyah telah menghafal Jami’ baina Sahihain Karya al-Humaidi dan mempelajari sekurang-kurangnya kitab Musnad Ahmad, Kutub al-Sittah, Sunan Daruquthni, al-Muwaththa’ dan Mu’jam al-Thabrani.
Pendidikan bidang hadisnya, bukan sekedar mengetahui nas-nas hadis melalui ilmu dirayah saja, tetapi meliputi ilmu riwayah yang berkaitan dengan rijal hadis, sehingga sulit menemukan ilmuan lain yang setara dengannya.
Dalam bidang ilmu tafsir, Ibnu Taimiyah mengkaji lebih dari 100 judul tafsir. Hasilnya, ia mampu memberikan pujian dan kritikan ilmiah terhadap tafsir-tafsir tersebut. Pemikiran dan pendapat Ibnu Taimiyah sudah kami tulis dalam skripsi bahasa Arab berjudul Ara’ Ibnu Taimiyyah fi Tafsir al-Quran.
Dalam bidang ilmu Kalam, Ibnu Taimiyah mengkaji pandangan-pandangan para ahli kalam dan menilainya berdasarkan neraca al-Quran dan hadis. Ia kemudian mampu menghasilkan satu metode dengan mengambil jalan terbaik antara aliran salaf dan khalaf.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam bahasa Arab sangat mengagumkan, hal ini dibuktikan dengan kemampuannya menemukan lebih dari 80 kesalahan dalam kitab Sibawaih fi an-Nahw karya Abu Bashr Sibawaih.
Dalam bidang fikih, ushul, faraid, matematika dan bidang lain, ia juga memiliki kemampuan yang mengagumkan. Hal ini disebabkan anugerah kecerdasa, susah lupa apa yang dipelajari dan mudah memahami ilmu.
Rihlah Ilmiah
Sejak umur 6 tahun, Ibnu Taimiyah sudah pergi meninggalkan desa halamannya di Harran karena ingin lepas dari serangan Tartar. Ia menetap bersama keluarganya di Damsyiq, mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan dan menjadi pakar saat berusia 21 tahun.
Di usia 21 tahun, Ibnu Taimiyah mulai memperdalam ilmu filsafat. Ia belajar secara talaqi kepada ulama Hanabilah dan ulama Asyariyah. Filsafat menurut mazhab Hanbali haram namun ada pengecualian yaitu jika mempelajari ilmu filsafat itu untuk membantahnya atau membela Islam menjadi boleh dan bahkan diperlukan. Sebagaimana keterangan Ibnu Rajab ketika menyebut biografi Ibnu Taimiyah.
Umur 31 tahun, Ibnu Taimiyah mengikuti rombongan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Umur 32 tahun, Ibnu Taimiyah dipenjara di Damaskus karena dianggap memprovokasi masyarakat dalam kasus penghinaan seorang Nasrani bernama Assaf kepada Nabi Muhammad. Pada momen inilah ia menulis kitab al-Sharimul Maslul ala Syatim al-Rasul.
Umur 44 tahun ia pergi ke Mesir atas perintah Sultan karena dituduh menyebarkan akidah menyeleweng. 4 tahun kemudian, dia dilarang masuk ke Iskandariah oleh Jashnikir atas saran penasihatnya, Nasr al-Munbiji karena ingin menghalau pengharuh Ibnu Taimiyah.
Setelah 8 bulan di Iskandariah, ia diperintahkan kembali ke Kairo. Ibnu Taimiyah tinggal di Mesir selama kurang lebih 7 tahun sebelum kembali ke Damsyiq pada tahun 712 H untuk berjihad melawan Tartar.
Dalam perjalanan ke Damsyiq dari Mesir pada tahun 712 H, Ibnu Taimiyah singgah di Baitul Makdis karena mendengar bahwa tentara Tartar tidak jadi menyerang Syam.
Ibnu Taimiyah juga ikut perang di Kasrawan untuk memerangi golongan Syiah dan perang Sakhub di bulan Ramadan.
Guru dan Murid Ibnu Taimiyah
Guru Ibnu Taimiyah
Guru Ibnu Taimiyah berjumlah kurang lebih 200 orang, di antaranya adalah
- Syamsuddin al-Maqdisi
- Ahmad bin Abu bin al-Khair
- Ibnu Abi al-Yusr
- al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir
Murid Ibnu Taimiyah
- Ibnu Qayyim al-Jauziyah
- Ibnu Rajab al-Hanbali
- …
Ibnu Taimiyah Tidak Menikah
Ibnu Taimiyah tidak menikah, tidak pula memiliki wanita simpanan, bukan karena tidak menyukai nikah, karena itu merupakan sunah Nabi Muhammad saw., namun, karena kesibukan beliau dengan ilmu, mengajar, dakwah serta berjihad. Beliau menghabiskan seluruh waktu untuk meneliti, membaca, dan menelaah.
Hukum nikah itu bisa wajib, sunah, mubah, & haram. Tergantung keadaan tiap orang. Melajang dalam Islam dilarang jika: 1) tidak ada tujuan & 2) menganggap sebagai jalan satu-satunya menuju Allah.
Ibnu Taimiyyah dan ulama lainnya seperti Imam al-Nawawi melajang karena mengabdi di jalan ilmu dengan menulis puluhan karya untuk umat Islam.
Wafat
Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang diperjuangkannya, ia harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah dan dimusuhi.
Setidak-tidaknya delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir kalinya pada tahun 727 H, tekanan terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-kitab dan alat tulis ke dalam selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di tahun itu.
Tidak lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini untuk menghadap Tuhannya.
Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.
Referensi:
Nur Fajri Ramadhan, Daurah Hanabilah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Hanabilah Indonesia, 8 Februari 2025. Kami sampaikan terima kasih atas ilmu yang disampaikan Ustadz Nur Fajri. Semoga Allah memberikan limpahan rahmat dan keberkahan untuknya.
Laoust, Henri. Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taki-d-Din Ahmad b. Taimiya, canoniste ḥanbalite, né à Harrān en 661/1262, mort à Damas en 728/1328. Le Caire: Impr. de l’Institut français d’archéologie orientale, 1939. Print.
Hoover, Jon, “Ibn Taymiyya”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2024 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2024/entries/ibn-taymiyya/>.
Hoover, Jon, “Ibn Taymiyya”, Oxford Bibliographies, 24 April 2012, DOI: 10.1093/OBO/9780195390155-0150
Majid Irsan al-Kailani, Al-Fikr at-Tarbāwy ‘inda Ibn Taimiyah, Madinah: Maktabah Dar al-Turats, 1986.
Jumal Ahmad, Manhaj Wa Ara’ Ibn Taimiyyah fi Tafsir al-Quran, Skripsi di Pesantren Tinggi al-Islam, Bekasi. 2010. Link: Academia.Edu
Mohamad Kamil HJ AB Majid, Pemikiran Kontroversi Imam Ibnu Taimiyyah: Tokoh Pembaharuan Islam yang Disanjung juga Dikririk hebat Lantaran Pemikirannya, PTS Publishing House, Malaysia: Selangor, 2020.
https://plato.stanford.edu/entries/ibn-taymiyya
FAQ
Artikel di Blog tentang Ibnu Taimiyah