Menyingkap Tabir Tragedi Karbala – Sejarah merupakan potret kehidupan masa lampau yang patut ditelaah dan ditadaburi. Ibnu Khaldun (W. 808 H) dalam Muqaddimah-nya mengatakan, tujuan dari membaca sejarah bukanlah sebagai narasi pertunjukan semata, akan tetapi lebih dari itu, agar pembaca sejarah bisa memperoleh peringatan dan pelajaran berharga dari suatu kejadian yang telah berlalu.
Sejarah Islam tidak selamanya berjalan mulus, ada banyak kejadian yang memilukan. Tercatat dalam beberapa literatur klasik seperti al–Bidâyah wa al–Nihâyah, bahwa pertumpahan darah tidak lepas dari perjalanan panjang sejarah Islam. Lebih miris lagi, tatkala kejadian saling bunuh itu dialami oleh sesama umat Islam demi mencapai sebuah takhta kekuasaan. Perang saudara antarmuslim itulah yang kemudian dikenal dengan peristiwa fitnah.
Awal mula fitnah terbesar yaitu ketika terbunuhnya Usman RA yang lantas memunculkan kekacauan dahsyat di kalangan internal umat Islam. Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti kepemimpinan sebelumnya juga tidak luput dari fitnah. Peperangannya dengan Siti Aisyah harus mengorbankan sekian jiwa kaum muslimin. Sampai akhirnya, Sahabat Ali harus terbunuh di tangan Ibnu Muljam.
Periode pertama fitnah terbesar di atas kemudian dipungkasi dengan perjanjian damai antara Muawiyah RA dan Hasan RA. Namun, gejolak pertumpahan darah kembali muncul ketika Yazid bin Muawiyah naik takhta menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Muhammad Ahmad Hasballah, seorang sejarawan muslim dalam bukunya Târikh al-‘Âlam al-Islâmiy ‘Ashr al-Daulah al-Umawiyyah menjelaskan, sekalipun banyak tragedi memilukan di masa kekhalifahan Yazid, tidak dimungkiri bahwa dia juga memiliki kontribusi positif selama memimpin. Di antaranya, Yazid adalah pemimpin pertama yang memerintahkan untuk menghiasi Kakbah dengan kain penutup kiswah berbahan sutera. Dia turut pula melakukan reformasi birokrasi dan administrasi pemerintahan sebagaimana pembenahan yang dilakukan oleh Muawiyah RA. Pada masa kepemimpinan Yazid, perluasan hilir sungai di Damaskus berhasil dilakukan, sehingga debit aliran air pun semakin bertambah.
Namun di sisi lain, keberhasilan Yazid itu tidak bernilai dan seakan mengalami distorsi sejarah. Penyebab utamanya, lantaran di masa kekhalifahan Yazid, cucu Nabi SAW, Husein RA terbunuh dalam peperangan yang masyhur disebut dengan “Tragedi Karbala”. Peristiwa ini menjadi rentetan fitnah terbesar kedua dalam sejarah Islam sebagaimana disinggung oleh Thaha Husein dalam bukunya al-Fitnah al-Kubrâ. Kematian Husein RA lalu menimbulkan goncangan yang luar biasa di kalangan umat Islam pada waktu itu. Sehingga, memunculkan persepsi beragam terhadap kepribadian seorang Yazid bin Muawiyah.
Ibnu Taimiyyah dalam salah satu bukunya menjelaskan, “Terdapat 3 kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap sosok Yazid. Pertama; kelompok yang beranggapan Yazid sebagai seorang munafik bahkan kafir. Oleh karena dialah yang bertanggung jawab besar atas tebunuhnya cucu Rasulullah SAW. Kelompok ini dikenal dengan kalangan Rafidhah; yang juga ikut mencela dan mengafirkan terhadap tiga Sahabat utama: Abu Bakar, Umar dan Usman. Kedua; kelompok atau golongan yang mengatakan bahwa Yazid adalah sosok pemimpin yang taat dan adil. Bahkan, kesalehan Yazid bin Muawiyah lebih utama dibanding dengan para Sahabat Nabi SAW. Ketiga; pendapat mayoritas ulama Ahlusunnah, bahwa Yazid adalah seorang pemimpin kaum muslim di masanya yang tetap memiliki sisi baik dan buruk. Dia bukanlah dari kalangan Sahabat, bukan juga tergolong sebagai waliyullah.”
Dari sini dapat disimpulkan, pandangan moderat terhadap sosok Yazid adalah tidak perlu memuji apalagi mencela atas setiap kebijakannya selama memimpin. Sebagaimana Abu Muhammad al-Muqaddasi tatkala ditanya tentang bagaimana menyikapi sosok Yazid bin Muawiyah, dia menjawab, “Tidak pantas mendapat celaan ataupun pujian.”
Lantas, benarkah Yazid yang menjadi dalang utama di balik pecahnya peristiwa Karbala? Jawaban dari pertanyaan ini perlu diperinci lebih lanjut.
Pertama; tidak diragukan lagi tanggung jawab besar meletusnya perang yang tidak seimbang antara pasukan Yazid dengan pengikut Husein RA adalah atas instruksinya. Dia tidak memberikan perintah secara gamblang kepada Abdullah bin Zayyad sebagai panglima perang agar jangan sampai membunuh Husein RA. Yazid juga memilih diam, sekaligus tidak berusaha mencegah pertempuran ketika mendengar kabar bertemunya kedua kubu dan masing-masing mulai bersiap untuk saling serang.
Kedua; penduduk Kufah turut andil sebagai penyebab terjadinya peristiwa Karbala. Oleh sebab merekalah yang meminta Husein RA untuk mengunjungi daerah tempat mereka tinggal dengan janji berbaiat kepadanya. Namun, penduduk Kufah berkhianat dan membiarkan Husein RA bersama segelintir pengikutnya bertempur sengit dengan pasukan Abdullah bin Zayyad yang jumlahnya mencapai 4000 orang.
Ketiga; Husein RA sebagai manusia pun memiliki porsi kesalahan, sebab beliau keluar dari baiat mayoritas kaum muslim pada waktu itu. Seakan berkeinginan menjadi oposisi dari kekhalifahan yang sah. Nasihat dari beberapa Sahabat semisal Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan Abu Sa’id al-Kuhdri tidak diindahkan. Padahal, mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan Husein RA dan para pengikutnya. Paman beliau, Ibnu Abbas RA pun telah mewanti-wanti agar tidak keluar dari Madinah, sebab cemas bilamana terjadi pertumpahan darah sebagaimana di masa kekhalifahan Usman RA. Akan tetapi, Husein RA bersikukuh dengan keputusannya dan melakukan perjalanan menuju Kufah pada awal bulan Muharram tahun 61 H.
Kemudian fakta historisnya, penyebab utama dan sosok yang paling dipersalahkan atas terbunuhnya Husein RA beserta para pengikutnya adalah Syamr bin Dzi al-Jausyan. Dialah provokator awal yang menyebabkan pecahnya tragedi Karbala. Sampai-sampai Sayyid Abdul Fattah Bilath, seorang peneliti sejarah menjulukinya dengan al-Rajulu al-Syaithân. Lantaran, diceritakan bahwa Syamr adalah pembunuh dan pemenggal kepala Husein RA.
Berdasarkan beberapa paparan di atas, Yazid bin Muawiyah tidak serta-merta bertanggung secara jawab penuh atas terjadinya fitnah terbesar kedua dalam sejarah Islam ini. Yazid juga tidak patut dihina, dicaci-maki dan dibenci secara membabi buta dengan dalih sosok yang dikambinghitamkan atas tragedi Karbala.
Membaca sejarah Islam idealnya memang tidak cukup hanya berdasar pada satu sumber literasi atau periwayatan. Sebab, sejarah haruslah dipandang secara objektif dan berimbang, agar tidak menimbulkan persepsi-persepsi keliru yang menjustifikasi tokoh-tokoh tertentu secara brutal. Apalagi hanya berdasar asumsi semata yang disandarkan pada sumber-sumber fiktif. Hendaknya pembacaan terhadap sejarah Islam juga mendahulukan praduga dan prasangka baik kepada sesama muslim. Disertai pula sikap kritis, kredibel dan mendahulukan keutamaan-keutamaan subjek sejarah di samping fakta sisi buruknya. Kajian menyeluruh dengan membandingkan antarsumber periwayatan sejarah pun dirasa perlu, agar peristiwa yang terjadi (semisal tragedi Karbala) benar-benar dapat tersingkap. Wallâhu a’lam.
Sumber: Bedug.net, tulisan oleh Nizam Noor Hadi