Perintah Menunaikan Amanat

Amanat merupakan segala sesuatu yang dibebankan kepada seseorang atau dipercayakan kepadanya. Amanat ini mencakup hak-hak Allah, seperti berbagai macam kewajiban. Juga mencakup hak-hak hamba, seperti barang-barang yang dititipkan. Oleh karena itu, seseorang berkewajiban untuk menunaikan dangan sebaik-baiknya. Dia harus menunaikannya kepada pemiliknya dan tidak menyembunyikan, mengingkari, atau membelanjakannya tanpa adanya izin yang dibenarkan syariat:

Allah swt berfirman: ” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”. (QS Annisa’:58)

Begitupula sabda Rosulullah di dalam hadis al-Hasan dari Samuroh: “Tunaikanlah amanah kepada yang memberikan amanah dan jangan khianati orang yang berkhianat kepadamu”. (HR.Ahmad dan Ahlussunan)

Hal itu mencakup seluruh amanah yang wajib bagi manusia, berupa hak-hak Allah Ta’ala terhadap para hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nadzar dan selain dari itu, yang kesemuanya adalah amanah yang diberikan tanpa pengawasan hamba-Nya yang lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba yang lainnya, seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan tanpa pengawasan saksi.

Itulah ysng diperintahkan oleh Allah Swt untuk ditunaikan. Barang siapa yang tidak melakukannya di dunia ini, maka akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat, sebagaimana yang terdapat di dalam hadis shahih, bahwasannya Rosulullah Saw bersabda: “Sungguh kamu akan tunaikan hak kepada ahlinya, hingga akan diqishas untuk (pembalasan) seekor kambing yang tidak bertanduk terhadap kambing yang bertanduk “

Diriwayatkan bahwa surat Annisa’:58 di atas, turun pada perihal Usman bin Abi Thalhah al Hajabiy dimana kunci ka’bah berada padanya, karena dia seorang kuncen (juru kunci). Kemudian Rosulullah saw memintanya pada pagi hari penaklukan kota makkah, lalu beliau shalat dua rakaat kemudian keluar. Al abbas Radiyallahu Anhu berkata “Berikanlah padaku wahai Rosulullah agar terhimpun antara saqayah dan sadanah”maka Allah Taala menurunkan ayat ini dan setelahnya, lalu beliau saw membacakannya kepada orang-orang, kemudian memanggil Usman bin Abi Thalhah dan memberikan kunci kepadanya. Akan tetapi pelajaran itu diambil dari keumuman lafadz bukan karena sebab yang khusus. Oleh karena itu maka ayat ini mencakup semua jenis amanat, maka wajib bagi orang yang diberi amanat untuk menjaga dan memeliharanya, sehingga ia dapat mengembalikannya kepada pemiliknya

Baca juga:   Hukum Meremehkan Shalat

Diantara yang masyhur dalam masalah ini adalah bahwa ayat ini baik turun berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, yang pasti hukumnya tetap berlaku umum. Untuk itu, Ibnu Abbas dan Muhammad bin al-Hanafiyah berkata “Hukumnya nuntuk oranng yang baik dan dzalim. yaitu perintah untuk semua orang”.

Larangan Mengkhianati Amanah

Suatu amanah adalah sebuah perbuatan yang harus dilaksanakan, meskipun sangat berat beban yang diberikan atau dipikulkan kepadanya, karena dengan ia melaksanakannya kepercayaan orang-orang yang telah mempercayainya akan semakin bertambah, sebagaimana Rosulullah Saw dalam menjaga amanah yang di berikan kepada beliau tatkala disuruh mengembala domba-domba kaum Quraish dan sewaktu di amanahi untuk menjual dagangannya Khodijah, sehingga beliau dijuluki “Alamin”dan juga karena hal itu(larangan mengkhianati amanat) merupakan perintah Allah Swt agar seseorang melaksanakannya dan melarang supaya tidak mengkhianatinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengethui”. (QS Alanfal:27)

Beranjak dari ayat tersebut, dapat diketahui dengan jelas, bahwa sesungguhnya Allah telah melarang pada Rosulullah pada khususnya dan umatnya pada umumya dari perbuatan mengkhianati amanah, akan tetapi sebaliknya yaitu mereka disuruh untuk menunaikan dan menepati amanah yang telah dibebankan, karena mereka semuanya telah mengetahuinya berdasarkan ayat-ayat yang telah diturunkan oleh Allah dan sunnah-sunnah Rosulnya. Amanah adalah segala macam amal perbuatan yang diamanahkan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Maksudnya adalah kewajiban, ia juga berkata :” Jangan berkhianat “ ,maksudnya adalah jangan melanggar amanah itu.

Berkhianat dari Amanah adalah Sifat Orang Munafik

Salah satu ciri orang munafik adalah mengkhianati apa yang telah dipercayakan kepadanya, jadi apabila seorang muslim telah melakukan perbuatan tersebut berarti ia dengan tidak sengaja atau tanpa disadari ia telah menjadi golongan orang-orang munafik, dikarenakan mengkhianati amanah tersebut. Menghkhianati amanah adalah salah satu sifat orang munafik.

Baca juga:   Kajian D'lisya Masjid Agung Al-Azhar: Pemuda Langit bersama Ust. Arifin Jayadiningrat

Sebagaimana sabda Rosulullsh saw: “Dari Abi Hurairah Ra, bahwa Rosulullah Saw telah bersabda:” Tanda-tanda orang munafik iitu ada tiga, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika dipercaya ia berkhianat”.(Muttafaq a’laihi)

Hadis ini menjelaskan agar kaum muslimin senantisa waspada dan menjaga dirinya dari ketiga sifat tersebut, terutama dalam menjaga amanah yang telah dibebankan kepadanya meskipun sekecil apapun amanah yang dipikul olehnya, ia tetap harus berusaha memeliharanya dan menunaikannya kepada orang yang berhak memperolehnya, karena semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Swt di akherat. Oleh karena itu jannganlah kita mengkhianati sekecil apapun amanah yang telah dipercayakan kepada kita agar tidak termasuk atau dikatagorikan sebagai orang munafik.

Amanah adalah Amalan yang Berat

Rosulullah saw bersabda: “Bahwa amanat merasuk ke dalam lubuk hati orang-orang” Berdasarkan hadis ini Rosulullah memberikan penjelasan bahwa di dalam Islam, ahlak bukanlah suatu hiasan agar manusia tertipu oleh fatamorgana yang terdapat di suatu tempat yang dikira oleh orang yang haus sebagai air, sehingga ketika dia mendatanginya, dia tidak mendapatkan apapun di sana.

Allah memberitahukan dahwa Dia sudah pernah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung untuk menjalankan amanat agama, dan Dia akan menjadikan bagi mereka balasan berupa balasan pahala dan siksaan, serta mengamanati agama ini kepada mereka. Maka semuanya mengatakan : “Tidak, kami akan tunduk mengikuti perintah-Mu, kami tidak menginginkan pahala dan tidak juga hukuman. Kemudian Allah SWT menurunkan taklif, perintah dan larangan dengan semua persyaratannya kepada manusia. Jika menunaikannya, maka mereka akan diberi pahala, dan jika mengabaikannya, maka mereka akan disiksa. Maka merekapun menerimanya dengan segala kelemahan, kebodohan, dan kedzalimannya kecuali yang diberikan taufik oleh Allah.

Baca juga:   Penelitian Ilmiah Pengaruh Bacaan Al-Qur’an pada Syaraf, Otak dan Organ Tubuh

Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan uantuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia iitu amat dhalim dan amat bodoh”. (QS Al ahzab: 72)

Ala’ufi berkata dari Ibnu Abbas:”Yang dimaksud dengan Al-Amanah adalah ketaatan yang ditawarkan kepada mereka sebelum ditawarkan kepada Adam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah Allah berfirman kepada Adam :”Sesungguhnya Aku memberikan amanah kepada langit dan serta gunung-gunung, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya?”Ya Robbku apa isinya ?Allah berfirman :”Jika engkau berbuat baik, engkau akan diberikan balasan. Dan jika engkau berbuat buruk, engkau akan disiksa. Lalu Adam menerimanya dan menyanggupinya”

Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas Ra:” Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah Swt kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia-nyiakannya, niscaya Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, akan tetapi karena ta’zim (menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya”.

Dari ayat tersebut dan atsar-atsar dari para ulama’, sudah memberi penjelasan pada kita semua bahwa sesungguhnya amanah adalah suatu perbuatan yang sangat berat, sehingga langit, bumi dan gnung-gunung enggan untuk memikulnya akan tetapi mengapa manusia terutama pada zaman sekarang meremehkan tentang perkara tersebut, padahal Allah telah memberi peringatan bagi orang yang mengkhianatinya baginya adalah adzab yang sangat pedih. Nau’dzubillahi min dzalik.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

  1. Syukron Alhamdulillah, khobar tentang amanah telah jelas bagi ku mudah mudahan dapat memeliharanya amiin. eh…sedikit ada masalah mohon bahasan tentang hukum orang junub memegang tablete atau leptop yg didalamanya ada ayat ayat Al-Quran, sedangkan kita diamanati untuk memelihara dan menjaga kitab suci Al-Quran dari mulai memegang membawa menyimpan sampai mentelaah memehami isi kandungannya. terima kasih sebelumnya wassalamu a’laikum

  2. Syariat Islam memiliki hukum yang khusus untuk orang yang sedang junub sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab fiqih yang membahas tentang Thaharah. Maka hendaknya seorang muslim/ah memiliki perhatian tentang hal ini.

    Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang boleh tidaknya menyentuh mushaf bagi orang yang sedang junub.

    Junub secara bahasa merupakan lawan dari qurb dan qarabah yang bermakna dekat, sehingga junub artinya jauh. Istilah junub secara syar’i, diberikan kepada orang yang mengeluarkan mani atau orang yang telah melakukan jima’. Orang yang demikian dikatakan junub dikarenakan menjauhi dan meninggalkan apa yang dilarang pelaksanaannya oleh syariat dalam keadaan junub tersebut. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 16/47)

    Semangat untuk membaca Al-Quran telah diperintahkan oleh Allah swt kepada kita semua, terkhusus kepada umat Islam baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana ayat yang pertama diturunkan yaitu QS Al-Alaq : 1-5. Kata Iqra’ disini bisa bermakna luas seperti mendalami, menelaah, meneliti dan mengetahui sesuatu, akan tetapi ‘membaca’-lah yang pertama kali dipakai sesuai dengan arti harfiahnya.

    Oleh karena itu, hendaknya sebagai orang islam kita memiliki semangat dan motivasi untuk senantiasa membaca Al-Quran, meskipun sedikit-sedikit lebih disukai daripada banyak akan tetapi cuma sekali.

    Memang di zaman sekarang sudah serba canggih dan akan banyak kita jumpai aplikasi Al-Quran untuk smartphone, tablet atau untuk desktop sehingga teks-teks Al-Quran tidak hanya terdapat di mushaf saja, tetapi juga terdapat di berbagai media elektronik.

    Satu hadits diriwayatkan dari Tirmidzi menyebutkan bahwa wanita yang sedang junub tidak boleh membaca Al-Quran.

    لاَيــَقْرَأْ الْجُنُبُ وَاْلأَحَائِضُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ. وَفِي لَفْظٍ لاِبْنِ مَاجَةَ : كَانَ يُقْرِأُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ

    الْحَالِ مَالَمْ يَكُنْ جُنُبًا

    “ Orang – orang junub dan orang – orang yang haid tidak boleh membaca sesuatupun dari Al Qur’an …! “ Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan, “Beliau membacakan Al Qur’an kepada kami di setiap keadaan selama tidak dalam keadaan junub.”

    Hadits ini seolah membatasi ruang lingkup dalam membaca Al-Quran, hanya orang yang tidak junub yang boleh membaca Al-Quran, sedangkan orang yang junub tidak boleh membaca Al-Quran.

    Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan pelacakan validitas keshahihan hadis at-Tirmidzî, karena mengingat bahwa dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an. Semua periwayatan ayat-ayat dalam al-Qur’an berlangsung secara mutawâtir, sedangkan hadis Nabi SAW sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad. Oleh sebab itu, al-Qur’an karena
    periwayatannya yang mutawâtir menjadi qat’i al-wurûd dan tidak membutuhkan penelitian tentang otentitasnya, sementara hadis Nabi karena periwayatannya sebagian secara ahad yang bersifat ẓanni al-wurûd, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keasliannya apakah benar berasal dari Nabi atau bukan.

    Syaikh Sulaiman Al-Ulwan telah menulis makalah yang mendedah masalah ini di Majalah Al-Hikmah dalam bahasa Arab Vol 5 bulan Syawal tahun 1415 dengan judul حكم قراءة الجنب للقرآن Beliau menyebutkan bahwa ulama terbagi menjadi dua pendapat:
    1. Tidak boleh membaca Al-Quran secara mutlak.
    2. Boleh membaca Al-Quran secara mutlak
    Dan beliau merajihkan pendapat yang kedua dan hadits-hadits marfu’ yang melarang membaca Al-Quran adalah bercatat atau terdapat Illah dan tidak ada dalih shahih yang bisa dijadikan pegangan, oleh karenanya hal ini dikembalikan kepada hukum asal yaitu terus menenurus mengingat Allah di waktu malam dan siang dengan dzikir atau membaca Al-Quran.

    Hadits yang diriwayatkan Tirmidzi ini bersambung secara sanadnya, karena satu dengan yang lainnya menjadi guru dan murid dan memungkinkan untuk bertemu. Namun dilihat dari kualitas perawi, terdapat perawi yang dinilai dhaif yaitu Ismail bin Ayyasy yang dinilai dhaif jika meriwayatkan hadits selain negerinya sendiri yaitu Syam. Dan dalam hadits ini dia meriwayatkan hadits dari Musa bin Uqbah yang berasal dari Madinah.

    Alasan beliau selanjutnya adalah keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Nabi saw selalu berdzikir dalam setiap keadaan dan bentuk dzikir disini masih umum baik dengan Al-Quran atau dengan yang lain.

    Maka hadis at-Tirmidzî tentang larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub nilainya berstatus daif. Dengan demikian hadis riwayat at-Tirmidzî ini tidak dapat dijadikan hujjah terhadap larangan membaca al-Qur’an bagi wanita haid dan orang junub.

    Imam al-Bazzâr dalam kitab ‘Illal al-Râzi mengatakan bahwa yang benar hadis ini adalah mauquf yakni terhenti pada sahabat Ibnu Umar, artinya ini bukanlah sabda Rasullah akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar saja. [Muglaṭa, Syarah Ibnu Mâjah, no.756, (Maktabah Syamilah]

    Al-Hâfizh Ibnu Hâjar al-Asqalânî mengatakan bahwa didalam kitab Bukhâri tak ada satupun hadis yang menyangkut soal ini, yakni melarang orang junub dan perempuan haid membaca al-Qur’an, dan ini diakui kebenarannya. [Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1985) jilid 1, hlm. 124]

    Link Artikel Syaikh Sulaiman bin Nashr Ulwan bisa anda lihat di http://majles.alukah.net/

    Video:
    Syaikh Utsaimin: ما حكم الشرع فيمن يقرأ القرآن وهو جنب ؟
    http://www.youtube.com/watch?v=S13CWGyACBo
    Syaikh Muhammad Uraifi: هل يجوز للحائض قراءة القرآن عبر الأجهزة؟
    http://www.youtube.com/watch?v=dGigB61hMzI

    Terkait pertanyaan anda agar lebih menjurus bisa anda lihat keterangan dari Syaikh Muhammad Uraifi dalam sebuah acara Qalbi Ma’ak di atas.

    Jazakumullah atas komentar anda di blog sederhana saya.:-)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *