Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin.
Sistem KMI (dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin) telah diterapkan oleh Pondok Modern Gontor sejak puluhan tahun yang lalu, sebagai kurikulum khas Gontor. Sistem tersebut kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren yang didirikan oleh alumni Gontor dengan melihat kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
- Sistem Kulliyatul Mu’allimîn Al-Islâmiyyah (KMI) merupakan hasil “ijtihad” para pendiri Pondok Modern Gontor; K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkasyi, yang dilakukan sejak tahun 1926, dalam rangka melakukan “modernisasi” terhadap sIstem pendidikan pesantren sebagai “Indigenous Culture” (budaya asli) bangsa Indonesia, sehingga masyarakat kemudian menyebut Pondok Gontor dengan “Pondok Modern”.
- Sepanjang hayatnya yang melewati 5 kurun waktu (masa penjajahan, masa awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi), Pondok Modern Gontor tetap bertahan dengan sistem KMI secara konsekuen dan konsisten, di tengah-tengah berbagai perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan bangsa Indonesia. Bahkan para pendiri Pondok Modern Gontor “berwasiat” agar sistem KMI tetap dipertahankan sampai kapan pun, serta mengharapkan agar di Indonesia muncul seribu Gontor (KMI) atau lebih. Harapan ini sesuai dengan harapan beberapa Tokoh Pendidikan Nasional dan Internasional yang pernah berkunjung ke Gontor dan mengetahui keunggulan sistem KMI.
- KMI memang tidak sama dengan sekolah atau madrasah formal, seperti MTs dan MA atau SMP dan SMA atau Madrasah-madrasah Diniyah dan Salafiyah, tetapi secara substansial, KMI telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, bahkan dalam beberapa aspek melebihi standar tersebut.
- Sistem KMI telah mendapatkan “pengakuan” (muadalah) dari berbagai institusi atau universitas di luar negeri, seperti Al-Azhar University, Cairo; Islamic University, Madinah Munawarah; University of The Punjab, Lahore, Pakistan; Al-Zaitun University, Tunisia; International Islamic University Islamabad, Pakistan; International Islamic University, Malaysia; University Kebangsaan Malaysia.
- Di dalam negeri, sejak tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah mengeluarkan Pengakuan Penyetaraan atau Muadalah Ijazah KMI dengan Ijazah Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
- Kurikulum KMI (Dirasah Islamiyah dengan Pola Pendidikan Mu’allimin) sekarang sudah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren yang disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 24 September 2019.
K.H. Zainuddin Fananie, Trimurti Gontor
Salah seorang pahlawan yang pantas dicatatkan namanya dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia adalah K.H. Zainuddin Fananie, salah seorang Trimurti Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur. Sebagai pejuang kemerdekaan, sosok penuh karisma ini dikenal aktif berdakwah dalam kegiatan sosial dan pergerakan Islam.
Silsilah KH. Zainuddin Fananie terhubung dengan Kyai Tegalsari, Khalifah Hasan Besari. Kyai Khalifaf Tegalsari mengambil menantu Kyai R.M Sulaiman Djamaluddin, keturunan ke-IV Keraton Cirebon. Kyai R.M Sulaiman Djamaluddin memiliki putra Kyai Archam Anom Besari. Kyai Archam Anom Besari memiliki putra Kyai R Santosa Anom Besari yang bertempat tinggal di Ponorogo, Gontor, Jawa Timur. Istri Kyai R Santosa Anom Besari, Bu Nyai R Santosa Anom Besari, merupakan keturunan Kanjeng Bupati Surodiningrat. Pasangan inilah yang melahirka KH. Zainuddin Fananie.
KH. Zainuddin Fananie mendapatkan pendidikan pesantren sejak masa kecil sampai remaja. Pada masa mudanya beliau berkesempatan masuk sekolah HIS. Meski duduk di sekolah Belanda, namun Fananies tetap giat melancarkan kegiatan sosial dan pergerakan Islam. Selain di Jawa, beliau eksis juga di Sumatra, disana beliau bertemu pasangan hidupnya, Hj. Rabiah M. Pernihakan keduanya melahirkan putra satu-satunya yaitu KH. Rusdi Bey Fananie.
Sahabat Buya Hamka ini dikenal sebagai salah satu konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan dan aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Meski sibuk dalam pergerakan kemerdekaan, tak membuatnya lupa menuangkan gagasan intelektualnya.
Di antara karya tulis beliau yang masih menjadi bahan rujukan adalah: Pedoman Pendidikan Modern (1934), Pedoman Penangkis krisis (1935), Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam (1937), Karang Mengarang dan Jurnalistik , Kursus Agama Islam, Kesadaran dan Pedoman Suami Istri, Ketinggian Martabat Islam, Islam berhadapan dengan dunia.
KH. R. Z. Fananie memiliki berbagai gagasan tentang pendidikan modern. Gagasan-gagasan itu ditulis sendiri oleh KH. R. Z. Fananie dan dibantu oleh KH. Imam Zarkasyi dalam bentuk buku yang diberi judul “Pedoman Pendidikan Modern”. Buku ini terbit pada tahun 1934 sebelum KMI didirikan pada tahun 1936. Semua orang tentu mafhum yang disebut modern pada saat itu adalah Barat. Dengan kata lain, pendidikan modern berarti pendidikan mengikuti model Barat, yang dalam konteks Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sedangkan pesantren-pesantren yang ada umumnya dikenal sebagai sebagai lembaga pendidikan tradisional. KH. R. Z. Fananie memiliki peran besar dalam perubahan model pendidikan dari tradisional (klasik) ke modern. Sebab, beliau langsung merasakan dan mengalami pendidikan model Barat. Perlu ditegaskan di sini bahwa, dalam proses modernisasi di Gontor, peran KH. R. Z. Fananie secara konseptual sangat menonjol setelah penulisan buku pedoman pendidikan modern.
Buku Pedoman Pendidikan Modern ditulis ketika pengarangnya sedang bertugas di Sumatra. KH. R. Fananie mempunyai relasi dengan berbagai golongan, tak terkecuali para ahli pendidikan. Beliau mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Mahmud Yunus, yang dapat dipandang sebagai salah seorang pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia.
Pertemuan ini yang bisa jadi mendorong beliau untuk membekali sang adik, KH. Imam Zarkasyi, dengan pendidikan modern, yaitu dengan menganjurkan sang adik ini belajar di Normal School Padang, di bawah bimbingan Mahmud Yunus. Mengingat buku ini terbit sebelum adanya program KMI, dipastikan ia merupakan kerangka konseptual dari program modernisasi pendidikan di Gontor. Dengan kata lain, KMI merupakan ramuan antara pengalaman dan konsep yang terkandung dalam buku ini.
At-Thariqah Al-Mubasyarah (Direct Method)
Masuknya basah Arab bersamaan dengan masuknya Islan ke negeri ini. Bahasa Arab tidak bisa dilepaskan dari agama Islam, dua sumber Islam ditulis dengan bahasa Arab. Banyak ritual agama seperti salat dan doa menggunakan media bahasa Arab. Sebagian penulis menyebut bahwa pengajaran bahasa Arab mulai berlangsung dengan tersebarnya Islam ke Indonesia sejak abad 12 M.
Awalnya kegiatan pengajaran bahasa Arab sebatas kepentingan bisa membaca Alquran untuk kebutuhan memahami isi Alquran, hadis dan buku-buku Islam. Pengajaran bahasa Arab tidak lagi sebatas membaca huruf Arab, tetapi lebih dari itu yakni memahami lebih jauh ajaran-ajaran Islam. Sejak saat itu, pengajaran bahasa Arab diajarkan lebih serius berdampingan dengan ilmu keislamana lain seperti hadis, tauhid, fikih dan lainnya.
Pengajaran bahasa Arab dilakukan dengan mempelajari isi kandungan keilmuan yang terdapat dalam kitab klasik (kitab kuning) sekaligus memahami stuktur bahasanya melalui kegiatan penerjemahan. Metode yang menekankan materi tata bahasa dan penerjemahan ini dikenal dengan metode grammar translation method atau thariqah qawa’id wal tarjamah. Metode ini biasanya dilakukan dengan cara sebagai berikut.
- Seorang guru atau kyai dan santri memegang sebuah kitab berbahasa Arab
- Guru membaca isi kitab serta terjemahnya
- Santri menyimak dan menuliskan terjemahnya ke dalam kitab, biasa disebut dengan ‘jenggot’ dibawah teks aslinya.
Metode ini paling umum di tanah air, belajar bahasa Arab untuk menguasai kemampuan membaca, memahami dan menerjemahkan secara harfiya teks-teks bahasa Arab. Pengajaran metode ini telah memberikan kontribusi besar dalam memahamkan umat Islam terhadap agamnya. Namun, dipandang dari segi penguasaan bahasa Arab, kemahiran berbahasa yang dicapai terbatas pada kemahiran pasif, belum sampai pada tingkat aktif.
Beberapa orang yang telah merasakan pembelajaran di Timur Tengah telah menilai dan melakukan pengamatan terhadap metode pengajaran bahasa Arab yang dilakukan di pesantren-pesantren dan sampai pada kesimpulan bahwa metode pengajaran bahasa Arab yang menekankan gramatika yang dilakukan secara parsial di Pesantren amatlah sulit, rumit dan melelahkan, tapi hasilnya tidak sebanding dengan upaya yang dilakukan.
Lulusan pesantren sangat kaya dan mendalam pengetahuan teoritisnya dalam bidang bahasa, tapi mereka tidak mampu mengaplikasikannya dalam bentuk percakapan dan tulisan yang berbahasa Arab.
Upaya ini harus di atasi dengan membuat metode pengajaran baru yang beliau kenalkan dengan nama At-Thariqah Al-Mubasyarah (Direct Method) yang mengajarkan berbagai komponen ilmu bahasa Arab secara integrated Dan ditekankan pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelas dan pergaulan selama di Pesantren.
Lembaga pendidikan yang pertama kali menerapkan metode ini antara lain Madrasah Adabiyah School (1909) di Padang Panjang, Sumatera Barat oleh Ust. Abdullah Ahmad, Diniyah Putera (1915) dan Diniyah Puteri (1923) yang didirikan oleh kakak beradik Zaunuddin Labay al-Yunusi dan Rahmah Labay al-Yunusiyah, Normal School (1931) yang didirikan oleh Ust. Mahmud Yunus yang kemudian di praktikkan Imam Zarkasyi dengan baik di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Melalui metode ini Gontor berhasil mencetak lulusan yang selain memiliki kemandirian dan ketangguhan sikap juga mahir dalam berbahasa Arab dan Inggris dan diakui oleh dunia Islam.
Di Gontor, tahun pertama, pelajaran agama diberikan kepada santri dan masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Sebagian besar siswa mencurahkan kemampuan untuk belajar bahasa Arab secara langsung.
Pada tahun kedua, ilmu tata bahasa Nahwu dan Sharaf mulai diajarkan dengan metode induktif, disamping latihan qiraah, insya’dan muhadsah secara intensif. Selama 6 tahun, santri gontor telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulisan dan mampu memahami buku berhahasa Arab dalam berbagai subjek pengetahuan.
Metode Direct atau Ath-Thariqah al-Mubasyirah dalam penggunaan bahasa Arab di pesantren memiliki beberapa keunggulan yaitu:
- Siswa termotivasi untuk dapat menyebutkan dan mengerti kata-kata kalimat dalam bahasa asing yang diajarkan oleh gurunya, apalagi guru menggunakan alat peraga dan macam-macam media yang menyenangkan.
- Siswa memperoleh pengalaman langsung dan praktis, sekalipun mula-mula kalimat yang diucapkan itu belum dimengerti dan dipahami sepenuhnya.
- Alat ucap (lidah) siswa/anak didik menjadi terlatih menerima ucapan-ucapan yang semula sering terdengar dan terucapkan.
- Mempersiapkan pengetahuan bahasa yang bermanfaat bagi ujaran dalam konteks.
- Cocok dan sesuai bagi tingkat-tingkat linguistik para siswa.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI)
Pada tahun 1936, KH. Zainuddin Fananie bersama kakak dan adiknya, KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi merintis pendidikan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) di Pondok Modern Darussalam Gontor. Program pendidikan pertama diselenggarakan adalah Tarbiyatul Athfal (TA), pendidikan anak-anak bagi masyarakat Gontor, yang ditangani langsung oleh KH. Sahal. Setelah jumlah alumni TA sudah banyak, untuk memenuhi jenjang pendidikan mereka selanjutnya dibukalah Sullamul Mutaaliimin (Tangga bagi Para Siswa).
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zarkasyi menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren.
Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok.
KMI sudah diakui Pemerintah sejak tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah mengeluarkan “Pengakuan Penyetaraan” Ijazah KMI/TMI dengan Ijazah Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), yaitu dengan SK. Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama No. E.IV/PP.03.2/KEP/64/98 tanggal 28 Juli 1998; dan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 105/O/2000 tanggal 29 Juni 2000. Menurut laporan terakhir, “Tim Penyetaraan KMI/TMI” yang dibentuk oleh Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan SK Pengakuan Penyetaraan serupa terhadap 17 KMI/TMI di seluruh Indonesia, dan masih banyak lagi KMI/TMI lainnya yang akan segera diakreditasi pada tahun-tahun yang akan datang.
Pada tahun 2014 sistem KMI/TMI semakin diperkuat eksistensinya dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 18 tahun 2014 tentang Pesantren Mu’adalah.
Pondok Pesantren Mu`adalah adalah pondok pesantren yang disetarakan dengan SMA/MA karena walaupun pondok pesantren tersebut tidak mengikuti kurikulum Kemendikdasmen (SD, SMP, SMA) atau kurikulum Kemenag (MI, MTs, MA) akan tetapi alumnus pondok pesantren tersebut dapat diterima (diakui) di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Pembukaan Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah, 1936
Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran TA telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Program pendidikan di TA pun berkembang. Jika pada awalnya TA hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan Peringatan atau “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok.
Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan kini hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: “Biarpun tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang.” Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: “Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.” Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: “Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai Pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan urusan ini.”
Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin banyak.
Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat atas, atau kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi sebagai berikut
- Program Onderbow, lama belajar 3 tahun.
- Program Bovenbow, lama belajar 2 tahun.
Sumber
- Pedoman Pendidikan Modern, KH. R. Zainudin Fananie dengan pengantar Drs. Husnan Bey Fananie, MA
- Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Rajawali Press
- Menapaki kaki kaki langit, Husnan Bey Fananie
- Website Pesantren Gontor
- husnanbeycenter.blogspot.com
Jumal Ahmad | Islamic Character Development