Pendahuluan
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan,kisah-kisah, peraturan yang mengatur kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu atau sebagai makhluk sosial, sehingga terjalin kehidupan yang harmoni di dunia dan di akhirat.
Al-Quran dalam menerangkan hal-hal di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya dan ada pula yang dikemukakan secara global dan garis besarnya saja. Suatu hukum atau permasalahan yang diterangkan secara global itu ada yang diperinci lagi melalui hadits Nabi saw dan ada yang diserahkan kepada umat Islam untuk merincinya, seperti ungkapan musyawarah, keadilan dan sebagainya.
Hal ini senada dengan firman Allah swt yang artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 7).
Di samping itu Islam juga membuka pintu Ijtihad bagi kaum muslimin dalam hal yang tidak diterangkan oleh al-Quran dan hadits Rasulullah saw. Pembukaan pintu Ijtihad inilah yang memungkinkan manusia untuk memberi komentar atau memberi keterangan tentang masalah yang belum disebutkan dengan jelas oleh al-Quran, Nabi saw sendiri beserta para sahabatnya telah melakukan hal ini.
Imam Muslim dan yang lainnya telah mengeluarkan hadits melalui jalur Uqbah bin ‘Amr bahwa Nabi saw pernah bersabda di atas mimbar: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” ketahuilah bahwa kekuatan adalah melempar.” Langkah ini juga ditapaki oleh Tabi’in, Tabiut Tabiin dan generasi setelah masa mereka.
Pada masa hidup Rasulullah saw, Tafsir al-Quran belum terlalu dibutuhkan, sebab jika ada satu ayat yang musykil (sulit difahami), para sahabat akan langsung menanyakannya kepada Rasululah saw, sehingga mayoritas tafsir Nabi adalah menjelaskan ayat yang masih musykil atau mentakhsis yang ‘aam.
Setelah Rasulullah saw wafat dan kekuasaan Islam semakin melebar dan meluas, gesekan antar budaya pun terjadi yang menimbulkan masalah-masalah baru yang mesti dituntaskan, dan untuk menuntaskan masalah-masalah yang muncul itu beberapa sahabat dan tabi’in memberanikan diri untuk menafsirkan ayat yang masih bersifat global dan masih garis besar itu, dengan merujuk pada kaidah-kaidah dalam berijtihad.
Pada perkembangan selanjutnya, Tafsir semakin kompleks, karena ia mulai ditafsirkan sesuai kebutuhan entah kebutuhan untuk menguatkan mazhabnya sendiri atau yang lainnya serta munculnya bermacam-macam aliran-aliran yang berbeda ketika menafsirkan ayat al-Quran.
Dalam perkembangan Tafsir dapat kita bagi menjadi tiga periode:
- Periode Mutaqaddimin (periode awal).
- Periode Mutaakhirin (periode terakhir).
- Periode Baru.
A. PERIODE MUTAQADDIMIN
Pada Masa Rasulullah Saw
Allah swt memberi tugas kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan al-Quran serta menafsirkannya kepada manusia, seperti yang tersebut pada ayat: “Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
Para ulama berselisih pendapat tentang kadar tafsir dari Nabi saw, perselisihan ini terbagi menjadi dua pendapat:
Pertama, Rasulullah saw telah menjelaskan pada sahabatnya semua makna al-Quran, sebagaimana ia menjelaskan lafadz al-Quran pada mereka, pendapat ini dipegang oleh Ibnu Taimiyah,…,… mereka mengambil dalil dari firman Allah swt: “Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44). Dan riwayat Ibnu Umar bahwa ia menghafalkan surat al-Baqarah selama beberapa tahun, Imam Malik mengatakan 8 tahun.
Kedua, Rasulullah saw tidak menjelaskan kepada sahabatnya kecuali sedikit saja, mereka mendasarkan pendapat mereka pada riwayat Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi saw tidak menafsirkan kecuali sedikit saja serta doa Nabi kepada Ibnu Abbas agar ia diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajari Tafsir.
Dan pendapat yang benar adalah sebagaimana yang telah nyatakan oleh Ibnu Abbas ra bahwa dalam al-Quran, terdapat ayat yang bisa difahami dengan mengetahui bahasa arab, ada bisa dengan cepat difahami, sekalipun oleh orang yang bodoh, ada ayat yang hanya diketahui Allah saja dan ada juga ayat yang tidak ada faidah yang banyak jika mengetahuinya selain mengetahui maknanya.[1]
Pada Masa Sahabat
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, karena itu pada umunya orang-orang Arab dapat dengan mudah memahami al-Quran, dan para sahabat adalah orang Arab asli dan fasih, mereka mengetahui makna dan konsekuensi bahasa Arab, meski demikian para sahabat mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami al-Quran, hal ini disebabkan karena perbedaan mereka dalam masalah Ilmu Bahasa.
Di antara mereka ada yang mengetahui sastra Arab dan gaya Bahasa Arab dan di antara mereka ada yang tidak, perbedaan mereka dalam mendampingi Nabi saw, sehingga di antara mereka ada yang mengetahui sebab turunnya ayat, dan ada pula ayng jarang mendampingi beliau sehingga tidak mengetahui sebab turunnya ayat, serta perbedaan mereka dalam memahami ilmu syar’I dan perbedaan intelejensia.[2]
Dan tidak jarang juga mereka berbeda pendapat erhadap tafsir suatu ayat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud fiman Allah yang mreka dengar atau mereka baca. Dari sini kemudian para ulama menggaris bawahi bahwa kepastian arti kosa kata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat secara berdiri sendiri.[3]
Tafsir Pada Masa Sahabat Memiliki Beberapa Kelebihan
- Sedikit mengambil berita Israiliyat[4]
- Tafsiran mereka belum menyeluruh pada semua ayat al-Quran
- Mereka tidak terlalu membebani dalam menafsirkan ayat sehingga sampai terjerumus pada lubang dosa, mereka mencukupkan diri untuk mengetahui makna global dan tidak mencari makna rinci jika tidak ada manfaat dari rincian tersebut.
- Sedikit kodifikasi Tafsir, kebanyakan mereka menjaga tafsir melalui riwayat saja, kalaupun ada itu hanya segelintir saja, seperti Abdullah bin Amru bin Ash ra.
Sumber-Sumber Tafsir Pada Masa Sahabat
- 1. Tafsir al-Quran dengan al-Quran
- Tafsir al-Quran dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Nabi saw terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh para sahabat kepada Nabi saw untuk meminta penjelasan, seperti pertanyaan dari Ali kepada Rasulullah saw tentang yaumul hajjil akbar, lalu Nabi menjawab: “hari berkorban.” (HR. Tirmidzi)
- Ijtihad. Para sahabat berani melakukan ijtihad karena mereka memiliki formula untuk bisa berijtihad, seperti bahasa Arab dan seluk beluknya, mengetahui kebiasaan orang Arab, mengetahui keadaan Yahudi dan Nasrani di daerah Arab ketika al-Quran turun, mereka mengetahui sebab turunnya ayat serta kecerdasan yang diberikan Allah pada mereka.
Ahli Tafsir Pada Masa Sahabat
Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang penafsir al-Quran seperti: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Abdullah bin Zubair, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Aisyah.
Hukum Tafsir Sahabat
- Jika bukan berdasar pada pendapat seperti hal yang ghaib atau tentang sebab turunnya ayat, dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi saw)
- Jika berasal dari pendapat mereka, hukumnya mauquf dan mauqufnya sahabat wajib diambil
Imam Syafii termasuk ulama yang menjadikan perkataan sahabat sebagai hujjah, dan jika para sahabat terjadi silang pendapat, maka ia merujuk pada tafsir Khulafa’ar-Rasyidin,berikut penjelasannya
- Jika perkataan mereka sesuai dengan al-Quran dan sunnah, maka perkataan mereka diterima.
- Jika perkataan mereka tidak berdasar pada al-Quran dan sunnah,maka diambil perkataan yang banyak.
- Jika perkataan mereka sama,maka dilihat mana yang paling baik takhrijnya.[5]
Pada Masa Tabi’in
Tafsir pada masa ini tidak berbeda jauh dengan tafsir periode sebelumnya pada masa Sahabat, Tabi’in adalah murid dari para Sahabat dan mereka banyak merajihkan tafsiran dari para pendahulu mereka itu.
Sumber-Sumber Tafsir Pada Masa Tabi’in
- Tafsir al-Quran dengan al-Quran.
- Tafsir al-Quran dengan perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Nabi saw
- Tafsir al-Quran dengan perkataan Sahabat, karena para Tabi’in banyak merujuk tafsiran mereka pada Sahabat.
- Ijtihad.
- Perkataan Ahlu Kitab, dengan masuknya Ahlu Kitab ke Islam serta ada beberapa kisah dalam al-Quran yang tidak disebutkan dengan rinci dan kemungkinan diperinci pada kitab sebelumnya, membuat Tabi’in bertanya kepada mereka, berita dari Ahlu Kitab seperti ini dikenal dengan istilah Israiliyat.
Tafsir Pada Masa Tabi’in Memiliki Beberapa Kelebihan
- Mulai masuk Israiliyat
- Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam dan masuknya orang ‘Ajm (non-Arab) sehingga membutuhkan tafsir yang sesuai dengan kebutuhan manusia
- Tafsir masih terjaga melalui riwayat, sekalipun riwayatnya hanya tercakup pada suatu daerah, seperti orang Makkah, mengambil riwayat dari Ibnu Abbas, orang Madinah, mengambil riwayat dari Ubay dan orang Iraq, mengambil riwayat dari Ibnu Mas’ud
- Munculnya perselisihna tafsir yang lebih besar daripada masa Sahabat serta ijtihad yang masuk dalam Tafsir
- Muncul perselisihan mazhab
- Tafsir ketika masa itu terdapat sanad sampai kepada orang yang mengatakannya, sehingga bisa dikenal dan dinilai.
Ahli Tafsir Pada Masa Tabi’in
Para Tabi’in yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ialah Mujahid bin Jabir, Sa’id bin Jubair, Thawus bin Kaisan, Atha’ bin Rabah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas[6], kesemuanya adalah murid dari Ibnu Abbas, ada beberapa penilaian dari ulama terhadap murid-murid Ibnu Abbas di atas, kami sebutkan sebagian.
Mujahid adalah orang menjadi banyak rujukan Ahli Hadits, seperti Bukhari, Syafi’I dan yang lainnya, kemudian Ikrimah adalah bekas budak Ibnu Abbas, ia juga banyak diambil haditsnya oleh lama, termasuk Bukhari.
Para Tabi’in yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Masruq bin Ajda’, Alqamah bin Qais an-Nakha’I, al-Aswad bin Yazid, Qatadah bin Da’amah, Hasan al-Bashri dan ‘Amir as-Sya’bi. Masruq dikenal dengan kezuhudannya, Qatadah dikenal dengan ilmunya dalam syair-syair Arab dan peperangan-peperangan Arab.
Para Tabi’in yang banyak meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ialah Abu ‘Aliyah ar-Riyahi, Zaid bin Aslam, Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi dan anaknya, Thufail bin Ubay bin Ka’ab.
Hukum Tafsir Tabi’in
- Tidak wajib mengambilnya, dengan alasan mereka belum pernah bertemu dengan Nabi saw dan mereka tidak mengetahui kejadian ketika suatu ayat diturunkan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Uqail dan Syu’bah.
- Pendapat mereka diambil, karena Tabi’in telah bertalaqi dan bermajlis kepada para Sahabat.
- Pendapat Ibnu Taimiyah, dan pendapat beliau yang rajih, jika mereka telah bersepakat pada tafsir suatu ayat, maka wajib diambil, namun jika mereka berselisih pendapat, maka tidak wajib diambil dan harus melihat pada al-Quran, Hadits dan Tafsir Sahabat.[7]
Pada Masa Tabi’ut Tabi’in
Perkembangan Tafsir pada masa kodifikasi ini dapat dibagi ke dalam dua fase.
Masa kodifikasi Tafsir
Maksud dari kodifikasi di sini adalah kodifikasi Hadits Nabi saw dalam bentuk bab-bab dan masuknya Tafsir dalam bab-bab tersebut, fase ini bermula ketika masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, Tafsir masih tercampur dan masuk pada bab-bab dalam kitab hadits dan belum menjadi kitab yang mandiri, di antara ulama yang mengumpulkan Tafsir dengan metode di atas adalah Yazid bin Harun (117 H), Syu’bah bin Hajaj (160 H), Waki’ bin Jarrah (197 H) dan Abdurrazaq bin Hammam (211 H).[8]
Masa Pembukuan Tafsir
Tafsir sudah terkumpul secara mandiri dalam satu kitab, Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa orang yang pertama mengumpulkan Tafsir dalam satu kitab adalah Abdul Malik bin Juraij (140 H). Dalam buku Madrasah Aqliyah, Syaikh Fahd ar-Ruumi menyebutkan bahwa tidak menjadi hal yang pasti bahwa Ibnu Juraij adalah yang pertama kali menulis Tafsir karena telah banyak yang mendahuluinya, seperti Mujahid dan Sa’id bin Jubair.
Dan Menurut Ibnu Nadim,(995 H), tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id ibn Jubair, seorang Kibar at-Tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Tapi, karya ini belum sampai ke zaman kita sekarang. Karya tafsir termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa al-Naza’ir, karya Muqatil ibn Sulayman al-Balkhi (150 H), seorang Tabiut Tabi’in. Di dalam karya tafsirnya, Muqatil menyebutkan beberapa orang mufassir dari kalangan tabi’in seperti Sa’id ibnu Jubair, Mujahid ibn Jabr dan Dhahak ibn Muzahim ( 105 H).
Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsir Khamsumi’ah ayat min al-Qur’an, al-Tafsir fi Mutashabih al-Qur’an dan al-Tafsir al-Kabir. Pada zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan bagi para ulama lain. Sufyan ibn ‘Uyaynah mempelajari karya Muqatil. Shafi’i juga punya riwayat tafsir yang sampai kepada Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian literatur tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad ketiga dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal.
Selain itu, pada abad kedua Hijriyah, sudah terdapat banyak mufassir lain yang sezaman dengan Muqatil. Diantaranya adalah ‘Abd al-Rahma al-Suddi (127 H), Muhammad bin al-Sa’ib al-Kalbi (146 H), Shu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan al-Tsauri (161 H) dan Ibnu Ishaq, pengarang buku Sirah yang terkenal.
Selain karya Muqatil, berbagai karya tafsir awal yang dinisbatkan kepada para pengarangnya juga sudah beredar. Diantaranya karya tafsir yang dinisbatkan kepada ‘Abdullah ibn Wahb (197 H); al-Farra ( 207 H) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an; ‘Abdurrazzaq al-San’ani dengan karya Tafsir al-Qur’an ( 211 H) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an.
Pada masa selanjutnya banyak orang yang menggampangkan sanad, sehingga mereka meringkasnya dan tidak menyandarkan perkataan tersebut pada si empunya sebagai akibat dari hal ini adalah munculnya bermacam-macam bentuk dalam menafsirkan al-Quran, yang secara garis besarnya bisa dibagi menjadi tiga; Tafsir bil Ma’tsur, Tafsir birra’yi dan Tafsir Isyari atau disebut juga Tafsir Sufi.
B. PERIODE MUTAAKHIRIN (ABAD 4 – ABAD 12 H)
Setelah Islam makin meluaskan sayapnya dan banyak kekuasaan yang berada di bawah tanggung jawabnya, seperti daerah Persia, Mesir dan Turki, terjadilah apa yang disebut ‘gesekan budaya’ yang berakibat kaum muslimin beusaha mempalajari ilmu-ilmu yang mereka miliki, seperti ilmu logika, ilmu filsafat dan ilmu Matematika. Gaya ini juga menimbulkan perubahan dalam kitab-kitab Tafsir.
Ahli Tafsir tidak hanya menukil tafsir dari Sahabat, Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in saja, tetapi mereka juga berusaha untuk meneliti dan mengkorelasikan dengan pengetahuan yang telah mereka dapat dari lingkungannya, di samping itu ada juga yang menafsirkan al-Quran dengan melihat segi bahasa atau keindahan bahasanya saja.
Karena itu kitab-kitab Tafsir pada periode ini dapat dilihat dari berbagai segi:
- Golongan yang menafsirkan al-Quran dari segi keindahan gaya dan keindahan bahasa dan segi tata bahasa, contoh Tafsir Abu Hayan,tafsrinya Ibnu Nuhas, al-Zajjaj dalam tafsirnya Ma’ani al-Quran,al-Wahidi dalamtafsirnya al-Basith.
- Golongan yang menafsirkan al-Quran dengan menitik beratkan pada seeegi kisah-kisah dan cerita dari Yahudi dan Nasrani, contoh Alauddin bin Muhammad al-Baghdadi ath-Thalabi dan Tafsir al-Khazin dengan judul Lubab at-Takwil fi Ma’arif at-Tanzil
- Golongan yang menafsirkan al-Quran dengan menitik beratkan pada ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum (Tafsir Fuqaha’), Di antara kitab Tafsir Fuqaha: Tafsir Ahkam al Qur’an karangan al-Jashash bermadzhab Hanafi, Tafsir Ahkam al Qur’an karangan Likay al-Hirash bermadzhab Syafi’I, Tafsir Ahkam al Qur’an karangan Ibnu Arabi bermadzhab Maliki, Tafsir Ahkam al Qur’an karangan Abu Abdullah al Qurthuby bermadzhab Maliki, Kanzul I’rfan karangan karangan Miqdad as suyuri bermadzhab Imamiyah, dan Tsamaratul Yani’ah al Wadhihah karangan Yusuf ats Tsila’I bermadzhab Zaidi.
- Golongan yang menafsirkan al-Quran yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah, contoh kitab yang disusun oleh Sahl bin Abdullah at-Tasturi dengan karyanya Tafsir at-Tasturi.
- Golongan yang menafsirkan al-Quran hanya pada kata-kata yang gharib (asing) saja. Contoh Gharib al-Quran karangan Ibnu Qutaibah
C. PERIODE BARU
Tafsir Modern dimulai sekitar permulaan abad ke-4. Karena Tafsiran mereka masih mengikuti cara Tafsir sebelumnya, contoh Tafsir Alusi, Tafsir Khatib as-Sirbani, Tafsir Shadiq Hasan Khan dan Tafsir Fathul Qadir.
Pada masa modern muncul Tafsir yang berbeda-beda dan bermacam-macam, lantas apa sebabnya? Sebabnya adalah dimulai ketika orang-orang Barat mulai menjajah dan memasuki negara-negara Arab, khususnya Napoleon yang memasuki Mesir. Sehingga menimbulkan keinginan para Mahasiswa Islam untuk pergi ke Perancis untuk belajar ilmu adab atau ilmu modern.
Al-Azhar ketika itu melarang orang islam untuk pergi ke Eropa, lantas timbul usulan agar mereka pergi dengan sekelompok ulama al-Azhar yang mampu mengajari mereka dan mengeluarkan mereka dari penyelewengan jika hal itu terjadi. Maka berangkatlah beberapa Mahasiswa dan ulama al-Azhar.
Ketika mereka kembali, mereka merasa bangga dengan barat dan menganggap bahwa kebudayaan barat telah maju sedangkan orang islam terbelakang dan tidak berkembang, selanjutnya mereka mengatakan bahwa sebab terbelakangnya kaum muslimin adalah karena mereka mengikuti kitab dan Tafsir zaman dahulu. Muncul banyak perkataan yang menimbulkan keragu-raguan tentang al-Quran dan sunnah, sampai-sampai umat menjadi ragu dengan pokok agamnya dan didirikan sekolah-sekolah yang memperlajari bahasa asing, adab barat dan perhatian terhadap penelitian orientalis.
Ada sebagian ulama yang melihat gejala buruk ini dan mengatakan bahwa jalan mengembalikan umat pada agama mereka adalah dengan menafsirkan ayat secara akal, sehingga al-Quran diagungkan dan tidak dijauhi, di antara madrasah ini adalah madrasah Muhammad Abduh dan muridnya Rasid Ridha.
Para ulama tersebut memahami al-Quran dengan ilmu barat, semisal ayat tentang ilmu Falak, mereka sebutkan penemuan-penemuan modern yang menjadi dalil kebenaran al-Quran dan bahwa al-Quran telah mendahului orang barat, demikian juga dalam masalah kedokteran atau masalah ghaib.
Mereka menafsirkan secara akal, berbeda dengan Tafsir sebelumnya dan Tafsir salaf seperti masalah astronomi, hujan, mata air, tumbuhan dengan Tafsiran yang mengikuti barat.
Tafsir yang demikian banyak salahnya karena menjadikan al-Quran mengikuti penemuan barat, dan sebagaimana diketahui bahwa penemuan itu sifatnya labil, akan ditemukan lagi penemuan yang lebih baik, sehingga teori itu menjadi batil atau ada teori lain yang lebih benar.
Tafsir macam ini tidak dibenarkan karena ia menafsirkan al-Quran yang tetap dan tidak berubah dengan sesuatu yang berubah. Sehingga muncullah Tafsir al-Quran denga cara Aqlaniyah yang mengumpulkan penemuan barat, penemuan Modern dan Tafsir yang terdahulu, contoh Tafsir Thanthawi dan Tafsir Muhammad Abduh. Mereka menafsirkan al-Quran dengan cara yang batil dan mengingkari hal-hal yang dhahiri.
Syaikh Fahd ar-Rumi telah menulis satu buku yang membahas tentang rijal (penggiat) dan metode yang dipakai oleh mufasir pada zaman modern, ia menyebutnya dengan Manhaj tafsir al-Hadisath al-Aqliyah.
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com
[1] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Buhuts fi Ushul at-Tafsir, (Riyadh: Maktabah at-Taubah, 1413 H), cet ke-1, hal. 17
[2] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, (Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H), cet ke-4, juz 1, hal. 16
[3] Dr. M. Qurais Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung, Mizan, 1994), cet XX, hal. 75
[4] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, (Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H), cet ke-4, juz 1, hal. 18
[5] Dr. Ahmad Mustafa Farran, Tafsir Imam Al-Syafi’I, (Riyadh, Dar Ibnu Hazm, 2006), Jilis 1 Hal. 81
[6] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, (Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H), cet ke-4, juz 1, hal. 28
[7] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, (Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H), cet ke-4, juz 1, hal. 34
[8] Fahd bin Abdurrahman ar-Ruumi, Madrasah al-‘Aqliyah al-Haditsah fi at-Tafsir, (Riyadh, Muasasah ar-Risalah, 1414 H), cet ke-4, juz 1, hal. 35