Sikap Para Ulama Terhadap Yazid bin Muawiyah

Home » Sikap Para Ulama Terhadap Yazid bin Muawiyah

Banyak tanggapan yang sangat berbeda di kalangan Sunni tentang pribadi Yazid bin Muawiyah, Khalifah Umayyah kedua, putra Yazin bin Muawiyyah. Yazid, yang kepemimpinannya hanya 3 tahun saja, dikenal dengan banyak pertumpahan darah di masanya, yang tidak akan pernah dilupakan adalah peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW beserta keluarganya di Karbala.

Makalah ini hendak menyampaikan beberapa pandangan sikap dari para ulama terhadap pribadi Yazid bin Muawiyah yaitu pandangan dari Ibnu Taimiyyah yang dikenal moderat mengenai Yazid, Imam Al-Ghazali, Ibnul Arabi yang cenderung menyalahkan Imam Husain dalam tragedi Karbala dan sikap dari Ibnu Khaldun.

Hari ini bulan Muharram yang didalamnya ada dari Asyura, hari dimana terjadi tragedi Karbala, sosial media kita banyak diisi dengan cacian dan makian kepada Yazid bin Muawiyah, seperti menilai Yazid sebagai keturunan Bani Umayyah yang sangat membenci Nabi dan Ahli Bait dan perusak agama Allah.

Semoga dengan penjelasan ulama terhadap pribadi Yazid bin Muawiyah dan sikap kita ahlu sunnah terhadap perselisihan para Sahabat, kita menjadi lebih arif, bijaksana dalam menilai apa yang terjadi pada umat Islam dahulu.

1. Sikap Ibnu Taimiyyah tentang Yazid bin Muawiyyah

Menaggapi peristiwa sejarah besar dalam Islam ini, sebagian ulama Sunni ada yang memberikan alasan dan pembenaran terhadap Yazin bin Muawiyah, ada juga yang menjelek-jelekkannya. Di antara kedua kubu tersebut, sikap netralitas terhadap Yazid yang paling dikenal adalah sikap dari Ibnu Taimiyyah, sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Fatawanya di jilid 4 hlm 481 sampai 488.

Menurutnya Yazid tidak mengeluarkan perintah untuk membunuh al-Husain,dan dia tidak senang dengan pembunuhan Al-Husain tersebut, bahkan dia menyatakan ketidaksenangannya pada tindakan ini, dan kepala Imam husain tidak dibawa kepadanya, melainkan dibawa ke ibn Ziyad.

pandangan Ibnu Taimiyyah tentang Yazid bin Muawiyyah
Majmu’ Fatawa Jilid 4 hal. 486

Terlepas dari beberapa posisi Ibnu Taimiyyah di atas, Ibnu Taimiyyah setidaknya memiliki dua pernyataan yang sangat menarik yang patut dipertimbangkan karena mencerminkan pandangannya bahwa Karbala adalah tragedi dengan proporsi yang sangat besar dan bukan seperti yang ditekankan oleh beberapa sarjana Sunni hari ini, bahwa peristiwa Karbala hanyalah sebuah insiden sejarah yang tidak penting, meskipun tragis.

“Tidak ada keraguan bahwa al-Husayn bin ‘Ali dan sekelompok keluarganya dibunuh secara tidak adil. Pembunuhan al-Ḥusayn adalah salah satu bencana terbesar dalam sejarah. Pembunuhannya—seperti pembunuhan ‘Utsmn—adalah salah satu penyebab utama perselisihan dan pertumpahan darah yang menimpa umat Muslim. Sesungguhnya, pembunuhnya seburuk-buruk penciptaan di mata Allah” (Majmū’ al-Fatāwa 3: 411).

Di kitab yang sama, Ibnu Taymīyyah menyatakan:

“Mengenai mereka yang membunuh al-Ḥusayn atau membantu dalam tindakan itu atau senang dengannya, semoga kutukan (la’n) Allah, para malaikat, dan semua orang ada pada mereka. Tidak ada perbuatan atau perbuatan benar yang akan diterima dari orang-orang ini dari Allah sebagai kompensasi atas kejahatan keji mereka” (Majmū’ al-Fatāwa 4: 487)

Ibnu Taimiyyah lebih jauh lagi, membagi manusia dalam perkara Yazid bin Muawiyah ke dalam tiga kelompok atau golongan.

Terdapat 3 kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap sosok Yazid.

Pertama; kelompok yang beranggapan Yazid sebagai seorang munafik bahkan kafir. Oleh karena dialah yang bertanggung jawab besar atas tebunuhnya cucu Rasulullah SAW. Kelompok ini dikenal dengan kalangan Rafidhah; yang juga ikut mencela dan mengafirkan terhadap tiga Sahabat utama: Abu Bakar, Umar dan Usman.

Kedua; kelompok atau golongan yang mengatakan bahwa Yazid adalah sosok pemimpin yang taat dan adil. Bahkan, kesalehan Yazid bin Muawiyah lebih utama dibanding dengan para Sahabat Nabi SAW.

Kemudian ia mengatakan:

Baca juga:   Sabar Menahan Hawa Nafsu

وَكِلَا الْقَوْلَيْنِ ظَاهِرُ الْبُطْلَانِ عِنْدَ مَنْ لَهُ أَدْنَى عَقْلٍ وَعِلْمٌ بِالْأُمُورِ وَسَيْرُ الْمُتَقَدِّمِينَ؛ وَلِهَذَا لَا يُنْسَبُ إلَى أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ الْمَعْرُوفِينَ بِالسُّنَّةِ وَلَا إلَى ذِي عَقْلٍ مِنْ الْعُقَلَاءِ الَّذِينَ لَهُمْ رَأْيٌ وَخِبْرَةٌ

“Kedua pendapat tersebut jelas batil menurut siapa pun yang memiliki sedikit saja akal sehat dan pengetahuan tentang sejarah serta perjalanan hidup para pendahulu umat ini. Oleh karena itu, tidak ada satu pun dari kalangan ulama yang dikenal berpegang pada Sunnah atau dari kalangan orang-orang berakal yang memiliki pandangan dan pengalaman, yang menisbatkan diri kepada dua pandangan ekstrem tersebut.”

Setelah menolak dua pandangan tersebut, beliau (Ibnu Taymiyyah) menyebutkan pandangan ketiga yang ia nilai sebagai pendapat yang adil dan seimbang.

وَالْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ كَانَ مَلِكًا مِنْ مُلُوكِ الْمُسْلِمِينَ لَهُ حَسَنَاتٌ وَسَيِّئَاتٌ وَلَمْ يُولَدْ إِلَّا فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ وَلَمْ يَكُنْ كَافِرًا؛ وَلَكِنْ جَرَى بِسَبَبِهِ مَا جَرَى مِنْ مَصْرَعِ الْحُسَيْنِ وَفِعْلِ مَا فُعِلَ بِأَهْلِ الْحَرَّةِ وَلَمْ يَكُنْ صَاحِبًا وَلَا مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

“Pandangan ketiga: bahwa ia adalah seorang raja dari kalangan raja-raja kaum Muslimin. Ia memiliki kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Ia lahir pada masa kekhilafahan Utsman dan bukan seorang kafir. Namun, disebabkan olehnya, terjadi tragedi terbunuhnya al-Husain dan peristiwa yang menimpa penduduk Harrah (di Madinah). Ia bukan seorang sahabat, dan bukan pula termasuk wali Allah yang saleh.”

Ibnu Taymiyyah kemudian menyatakan bahwa pandangan ketiga inilah yang dianut oleh mayoritas ulama dan orang-orang berakal dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Selanjutnya, dalam mazhab ketiga ini, Ibnu Taymiyyah menyebutkan adanya tiga kecenderungan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Kelompok yang mencela dan melaknatnya.
  2. Kelompok yang mencintainya, karena keislamannya. Dalam kelompok ini disebutkan di antaranya Imam al-Ghazali dan al-Dashti.
  3. Kelompok yang tidak mencela dan tidak pula mencintainya.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa pandangan ketiga (yakni tidak mencela dan tidak mencintai) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

Diriwayatkan dari Shalih bin Ahmad, bahwa ia berkata:

“Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad bin Hanbal): ‘Wahai Ayah, ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa mereka mencintai Yazid.’”

Beliau menjawab, “Wahai anakku, bagaimana mungkin seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mencintai Yazid?”

Maka aku (Shalih) bertanya, “Lantas, mengapa Ayah tidak melaknatnya?”
Beliau menjawab, “Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?”

Setelah itu, Ibnu Taymiyyah menyampaikan argumentasi untuk memperkuat pandangan ketiga ini. Beliau berkata:

وَأَمَّا تَرْكُ مَحَبَّتِهِ فَلِأَنَّ الْمَحَبَّةَ الْخَاصَّةَ إِنَّمَا تَكُونُ لِلنَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ؛ وَلَيْسَ وَاحِدًا مِنْهُمْ وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ» وَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ: لَا يَخْتَارُ أَنْ يَكُونَ مَعَ يَزِيدَ وَلَا مَعَ أَمْثَالِهِ مِنَ الْمُلُوكِ؛ الَّذِينَ لَيْسُوا بِعَادِلِينَ

“Adapun alasan untuk tidak mencintainya, maka itu karena kecintaan yang bersifat khusus hanyalah layak ditujukan kepada para nabi, orang-orang yang sangat jujur (ṣiddīqīn), para syuhada, dan orang-orang saleh. Yazid bukan salah satu dari mereka. Nabi ﷺ bersabda: ‘Seseorang akan (dibangkitkan) bersama siapa yang ia cintai.’ Maka siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, tidak akan memilih untuk bersama Yazid dan orang-orang sepertinya dari kalangan raja-raja yang tidak berlaku adil.”

2. Sikap Imam Al-Ghazali tentang Yazid bin Muawiyyah

Imam Al-Ghazali memasukkan peristiwa musibah Karbala yang menimpa cucu Nabi Muhammad saw dalam keutamaan Hari Asyura (10 Muharram) pada karyanya, Mukasyafatul Qulub al-Muqarribu ila Hadhrati ‘Allamil Ghuyub fi Ilmit Tashawwuf.

Baca juga:   Kasus Sh Wisam Sharief

Imam Al-Ghazali menerangkan beberapa amalan pada hari Asyura di dalamnya. Ia menyebutkan beberapa hal yang dianggap sunnah oleh masyarakat, yaitu puasa hari Asyura, memperluas nafkah untuk keluarga, sedekah, bercelak, mandi, memasak bebijian, mengenakan minyak rambut, mengenakan parfum, dan peringatan peristiwa Karbala. Semua kesunnahan pada hari Asyura itu diseleksi terkait kualitas periwayatannya dan sikap yang wajar dalam menyikapinya. (Imam Al-Ghazali, Mukasyafatu Qulub, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2019 M/1440 H], halaman 311-312).

Musibah yang menimpa Husein ra pada 10 Muharram di Karbala merupakan syahadah (syahid) yang menunjukkan penambahan kemuliaan dan derajatnya di sisi Allah serta kepergiannya menyusul derajat tinggi ahlul bait. Adapun kita yang hari ini diingatkan pada peristiwa musibah 10 Muharram di Karbala itu tidak lain dianjurkan untuk istirja’ (mengucap “innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘un”) sebagaimana perintah agama dan berhusnuz zhan bahwa mereka yang menjadi korban di Karbala mendapatkan ampunan dan rahmat Allah sebagaimana firman-Nya pada Surat Al-Baqarah ayat 157. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).

Imam Al-Ghazali berpesan agar kita menjauhi cara-cara dan bid’ah kelompok Rafidhah dalam mengenang peristiwa 10 Muharram di Karbala, yaitu meratap, menangis, atau bahkan melukai diri karena itu bukan akhlak orang yang beriman. Seandainya cara-cara itu disyariatkan, niscaya hari kematian Rasulullah saw lebih layak diperingati demikian. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).

Imam Al-Ghazali berkata tentang Yazid bin Muawiyah

صح إسلام يزيد بن معاوية وما صح قتله الحسين ولا أمر به ولا رضيه ولا كان حاضراً حين قتل، ولا يصح ذلك منه ولا يجوز أن يُظن ذلك به، فإن إساءة الظن بالمسلم حرام وقد قال الله: اجتنبوا كثيراً من الظن إن بعض الظن إثم

Benar Islamnya Yazid bin Muawiyah dan tidak benar Yazid membunuh Husein, tidak pula memerintah pembunuhan tersebut dan meridhainya, Yazid tidak ada ketika Husein di bunuh, tidak boleh su’udhan, karena su’udzhan terhadap seorang muslim adalah haram. Allah SWT berfirman, ‘jauhilah olehmu prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah dosa.

فإن قيل هل يجوز لعن يزيد لأنه قاتل الحسين أو آمر به ؟ قلنا : هذا لم يثبت أصلاً فلا يجوز أن يقال إنه قتله أو أمر به ما لم يثبت ، فضلاً عن اللعنة ، لأنه لا تجوز نسبة مسلم إلى كبيرة من غير تحقيق

“Maka jika dikatakan, apakah boleh melaknat Yazid, karena Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya ?”. Kami jawab : “Ini tidak tsabit (positf) pada asal. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya, selama tidak ada berita yang tsabit, apalagi melaknatnya, karena tidak boleh menyandarkan seorang muslim dengan dosa besar dengan tanpa kepastian”.

3. Sikap Ibnul Arabi tentang Yazid bin Muawiyyah

Abu Bakar Ibnul Arabi, seorang ahli sejarah dari mazhab Sunni, dalam kitabnya ‘Al-Awashim minal Qawashim’ dia memberikan pandangan yang tersendiri tentang peristiwa Karbala dan memberikan pembelaan terhadap Yazid bin Muawiyah.

Dia membangun argumennya dengan dua alasan penting.

  1. Husein telah salah dalam melawan Yazid karena dia adalah seorang penguasa yang seharusnya dipatuhi. Imam Husein menurutnya tidak menerima nasihat dari orang-orang yang paling berpengetahuan pada masanya.
  2. Imam al-Husain mati terbunuh oleh syariat kakeknya sendiri dengan alasan bahwa al-Husain sendiri memberontak kepada pemerintahan yang sah dan memecah belah umat Islam.
Baca juga:   Mengenal Sejarah, Isi dan Peletak Dasar Kitab Talmud

4. Sikap Ibnu Khaldun tentang Yazid bin Muawiyyah

Ibnu Khaldun adalah salah satu ulama yang memberikan kritik terhadap pernyataan dari Ibnul Arabi yang kemudian dia quote-kan di buku Muqaddimahnya bahwa “Hussein dibunuh oleh pedang kakeknya, atau hukum kakeknya”.

Ibnu Khaldun memberikan kritik terhadap pernyataannya dengan menyebutkan:

وقد غلط القاضي أبو بكر بن العربي المالكي في هذا فقال في كتابه الذي سماه بالعواصم من القواصم ما معناه أن الحسين قتل بشرع جده، وهو غلط حملته عليه الغفلة عن اشتراط الإمام العادل، ومن أعدل من الحسين في زمانه في إمامته وعدالته في قتال أهل الآراء.

Dalam hal ini, al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi yang bermazhab Maliki memiliki pandangan yang keliru dalam kitabnya yang berjudul al-Awashim min al-Qawashim. Ibnu al-Arabi mengatakan bahwa Imam al-Husain terbunuh berdasarkan syariat kakeknya. Jelas ini merupakan pandangan yang tidak benar karena kelalaianya mengenai syarat pemimpin yang adil (yang boleh membunuh pemberontak). Sementara itu, siapakah yang lebih adil di zamannya dari al-Husain di masanya dan di kepemimpinannya?”

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kesalahan Ibnu al-Arabi terletak kepada kelalaiannya tentang sifat adil yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika ingin membunuh para pemberontak.

Dalam kitab “Muqaddimah”nya khususnya dalam bab tentang suksesi, Ibnu Khaldun membahas alasan kenapa al-Husain memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah ditambah dengan latar belakang yang membuatnya tertuntut untuk melakukan suksesi:

وأما الحسين فإنه لما ظهر فسق يزيد عند الكافة من أهل عصره بعثت شيعة أهل الكوفة للحسين أن يأتيهم فيقوموا بأمره. فرأى الحسين أن الخروج على يزيد متعين من أجل فسقه لا سيما من له القدرة عليه…

“Adapun Hussein, ketika Yazid bin Muawiyah melakukan banyak tindak kefasikan sehingga sangat terkenal di semua lapisan masayarakat di masanya, Imam al-Husain dikirimi surat oleh orang-orang Syiah Kufah agar datang kepada mereka dan menjadi pemimpin untuk melakukan aksi revolusi. Bagi al-Husain, melakukan pemberontakan terhadap Yazid wajib dilakukan karena kefasikannya, terutama bagi orang yang mampu melakukan itu.”

Maksud dari keterangan Ibnu Khaldun adalah bahwa Al Husein keliru dalam melakukan suksesinya karena tidak memperhitungkan ketersediaan pasukan, dan mengabaikan ashabiyyah di luar suku-suku Arab lainnya.

Ini artinya legitimasi agama (melawan kefasikan penguasa) dan kecakapan politik individu saja tidak cukup untuk keberhasilan suatu revolusi. Harus ada sokongan yang kuat yang Ibnu Khaldun sebut sebagai ashabiyyah. Sayangnya, al-Husain tidak mempertimbangkan bahwa sebelum Islam dan beberapa dekade setelah wafatnya Nabi, ashabiyyah Arab hanya terkumpul secara kuat dalam Bani Umayyah.

لم يصح عندنا أنه أمر بقتله والمحفوظ أن الآمر بقتاله المفضي إلى قتله، إنما هو عُبيد الله بن زياد والي الكوفة آنذاك، وأما سب يزيد ولعنه فليس من شأن المؤمنين

“Tidak sahih di sisi kita Yazid telah memerintah membunuh Husain r.a.. Yang terpelihara beritanya adalah yang memerintah dan menyebabkan terbunuh Husain karramahullah adalah Ubaidullah bin Ziyad, penguasa Iraq ketika itu. Adapun mencela dan melaknat Yazid, maka tidak termasuk sifat seorang yang beriman”

Sumber >> Mengapa Muawiyah Mencalonkan Yazid dan Pandangan Ulama tentang Yazid bin Muawiyah

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *