Tafsir Al-Azhar

Sebab Penamaan

Nama tafsir Al-Azhar diambil dari nama masjid Al-Azhar, tempat Buya Hamka memberikan pelajaran tafsir seusai shalat subuh. Nama Al-Azhar diberikan oleh syekh Mahmud Syaltut, Syeikh (rektor) universitas Al-Azhar di Kairo, seraya berharap semoga masjid Al-Azhar tersebut menjadi Al-Azhar di Indonesia sebagaimana Al-Azhar di Kairo.

Metode Tafsirnya

  • Terpengaruh dengan metode Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
  • Menggabungkan riwayat dan dirayat.
  • Berpegang pada riwayat Al-Quran dan Hadits dalam masalah ghaib dan Israiliyat/mubham.
  • Tafsir al-Quran ini lengkap sampai 30 juz, tidak disusun terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah sesuai keragaman kemampuan pemahaman masyarakat islam yang amat majemuk.
  • Mendialogkan teks dengan realita yang beliau alami untuk menguatkan keterangan ayat.
  • Tafsir Al-Azhar disusun tanpa membawakan pertikaian mazhab-mazhab fiqih.
  • Penulis berusaha tidak ta’ashub kepada suatu faham mazhab tertentu, dan sedaya upaya menguraikan maksud ayat dan memberi kesempatan orang untuk berpikir.
  • Bukan tafsir ensiklopedis seperti tafsir zaman dahulu dan menitik beratkan Al-Quran sebagai hidayah (ittijah alhudaai)
  • Pertama menuliskan tafsir dengan menerbitkan tafsirnya di majalah, seperti layaknya Muhammad Abduh.

Sumber Tafsir

  1. Al-Quran
  2. Hadits
  3. Perkataan Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi”in
  4. Tafsir Ma’tsur
  5. Tafsir Ra’yi Jalil
  6. Tafsir Bil Laun Al-Adabi Al-Ijtima’i.

Awal Penulisan

Tafsir Al-Azhar mulai ditulis Hamka sejak menjelang tahun 1960, Tafsir ini diselesaikannya lengkap 30 juz ketika berada dalam tahanan pemerintahan rezim Sukarno pada tanggal 12 Ramadhan 1383 atau 27 Januari 1964. Tahanan penjara terhadap pengarang dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi (pro-malaysia) terhadap pemerintah tanpa pernah dibuktikan secara hukum, memberikan hikmah amat besar dengan terselesaikannya karya besar tesebut.

Sesuatu yang menjadi penghibur beliau ialah kunjungan dari sabat dan jamah-jamah beliau baik dari Aceh, Sumatra Timur, Palembang, Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, NTB, dll. Salah seorang utusan yaitu ulama Mesir yang merupakan dosen di sana menyampaikan bahwa ulama-ulama Al-Azhar Mesir mendoakan moga-moga beliau lekas terlepas dari bencana itu.

Ulama-ulama Mesir itu bila berjumpa dengan pelajar-pelajar Indonesia selalu menanyakan nasib beliau, dan mendoakan agar iman beliau bertambah. Bahkan beratus-ratus teman beliau ketika mengerjakan haji mendoakan beliau di Multazammoga-moga keadilan Allah berlaku, kejujuran menang dan kecurangan tumbang.

Baca juga:   Mengenal Penggagas Metode Pakistani (Sabak, Sabki, Manzil) - Berdasarkan Penelitian Skripsi

Buya Hamka tentang Tafsir al-Azhar

“Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim, hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya, aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka semoga dengan meninggalkan tafsir ini adayang diingat-ingat orang dari diriku sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat, yang dapat aku kerjakan di dalam saat-saat aku teraniaya.”

Tuduhan Pluralisme

Ada sebagian orang liberal yang menggunakan tafsir al-Azhar untuk menjustifikasi pendapat Pluralisme mereka, pada dasarnya mereka salah representasi atau salah memahami tafsir karena tafsir Buya Hamka tidaklah bermaksud kepada Pluralisme.

Manipulasi ini juga dilancarkan kepada Syaikh Rasyid Ridha, seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya: Islam dan Pluralisme: Akhlaq al-Quran menyikapi perbedaan, pada buku tersebut ia mengutip pendapat Rasyid Ridha yang dikatakan bahwa tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi Muhammad saw.

Ada sejumlah penulis yang keliru dalam mengungkapkan pemikiran Hamka, bahkan ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga seolah olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama.

Contohnya adalah buku yang diterbitkan Universitas Paramadina berjudul “Bayang-Bayang Fanatisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid” (2007) yang diberi pengantar Dawam Rahardjo dan Yudi Latif.

Pada artikel di buku tersebut yang berjudul Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah yang ditulis oleh Ayang Nutriza NWAY mengutip pendapat Hamka secara serampangan dan menuliskan kesimpulan berikut:

“Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis “Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damain di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [..]

Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, janga agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal shaleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat tabg begini dengan penuh toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam Al-Quran. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern”.

Baca juga:   Efektivitas Sabak, Sabki, Manzil dalam Pembelajaran Tahfidhul Quran

Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Salman Al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani dan Islam. Rasululah Saw menjawab dengan Qs. 2:62 tersebut”. (hal, 306-307)

Buya Hamka, Tasawuf dan Filsafat

Hamka Dan Filsafat

Tiada gading yang tak retak, dan tidka ada manusia yang aman  dari dosa kecuali Rasulullas saw. Berdasarkan pengamatan kami ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya Buya dalam filsafat.

  • Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu Islam
  • Buya Hamka banyak menelaah buku-buku filsafat
  • Buya Hamka banyak mengutip perkataan filosof yunani dalam setiap bukunya
  • Ia mengarang buku “Falsafah Hidup”

Islam sangat mengecam pemikiran filsafat, karena ia timbul dari pencampuran antara Islam dengan filsafat Yunani. Sedangkan aqidah tidak boleh tercampur-campur.

Banyak ulama yang mengecam pemikiran filsafat dan banyak juga ulama yang diakhir hidupnya menyesal karena belajar ilmu filsafat, di antara perkataan ulama tentang filsafat adalah:

Di antara pra ulama yang diakhir hidupnya kembali kepada Manhaj salaf setelah bergelut dengan filsafat:

  1. Imam al-Asy’ari diakhir hidupnya kembali kepada aqidahnya Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dalam kitabnya “al-Ibanah”[1].
  2. Imam al-Baqilani, salah satu syaikh dari Muktazilah, di akhir hidupnya, rujuk kepada manhaj Ahmad bin Hanbal, bahkan ia sering sekali menuliskan namanya dengan Muhammad bin Thayib al-Hambali.
  3. Imam al-Haramain al-Juwaini[2], syaikhnya Muktazilah, dalam kitabnya “Ghiyats al-Umam” menyebutkan perselisihan ulama tentang masalah filsafat dan member nasihat pembaca untuk berpegang pada metode salaf dalam masalah aqidah.

Tasawuf Hamka

13 Juni 2017

Saya ingin mengoreksi kesimpulan saya yang salah di atas ketika membahas tentang Tasawuf Hamka. Koreksian ini saya dapatkan ketika minggu lalu ikut serta dalam seminar sehari tentang Buya Hamka di INSITS. Dr Syamsuddin Arif menjelaskan, Tasawuf Hamka berdasarkan pada Al-Quran dan Hadits meskipun sekali kali beliau mengambil filsafat Yunani sebabai penguat argumen beliau.

Baca juga:   Kenapa Nabi Daud Alaihissalam Beristighfar?

Dalam buku Tasawuf Modern. Buya Hamka menyebut beberapa sumber rujukan Tasawuf yaitu: Ihya Ulumuddin, Arbain fi Ushuluddin, Bidayah Hidayah, Minhajul Abidiin, Tahdzibul Akhlak, Radd alad Dahrain, Al-Khuluq Al-Kamil, Hayatu Muhammad fi Manzilil Wahyi, kumpulan majalah Alhilal, kumpulan majalah Al-Azhar.

5 Ajaran Tasawuf

Hamka menyebutkan Tasawuf ada 5:

  1. Zuhud
  2. Tarekat Sufi
  3. Kebatinan
  4. Penyucian Jiwa
  5. Ibadah Tingkat Tinggi (Ihsan)

dari sekian nomor, menurut Dr Syamsuddin Arif, Tasawuf Hamka masuk ke nomor 4 yaitu penyucian jiwa dan no 5 Ibadah Tingkat Tinggi atau Ihsan.

Tasawuf Hamka

  1. Tasawuf Akhlak x Tasawuf Falsafi
  2. Tasawuf Salafi x tanpa Bid’ah
  3. Tasawuf Progressif x Passif – Fatalistik
  4. Tasawuf Modern x Tradisional: tanpa tarekat
  5. Tasawuf Rasional x Irrasional, mistic, tanpa takhayul dan khurafat.

Referensi

  1. Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1984
  2. Buya Hamka, Falsafah Hidup, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1994
  3. Buya Hamka, Tasawuf,Perkembangan dan Pemurniannya, diterbitkan oleh Pustaka Pajimas tahun 1984, cet.XI
  4. Prof.Dr.Musthafa Hilmi, Qawaid al-Manhaj as-Salafi fi al-Fikr al-Islami, (Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet III.
  5. Muhammad Muhibudiien Abu Zaid, Khashaish Ahlu al-Hadits wa as-Sunnah”, (Mesir, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet. I
  6. http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=29
  7. Makalah seminar sehari tentang Buya Hamka di Insits, 9 Juni 2017.

[1] Ibnu Asakir menyebutkan dalam kitabnya “Tabyin Kazb al-Muftari” menyebutkan bahwa kitab al-Ibanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Hasan al-As’ari, yang menunjukkan rujuknya kepada manhaj salaf

[2] Dalam kitab: “Khashaish Ahlu al-Hadits wa as-Sunnah” oleh Muhammad Muhibudiien Abu Zaid hal: 91 menyebutkan bahwa Imam Juwaini termasuk salah satu Imam jatuh pada kesalalahan dalam mengistimbatkan hadits  disebabkan ia lemah dalam Ilmu Hadits,pendapat ini ia kuatkan dengan pernyataan Sam’ani dan Yaqut al-Himawi

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *