Tafsir Hermeuneutika vs Tafsir Al-Quran

Pokok pemikiran yang saya angkat pada makalah ini timbul dari adanya kecenderungan dari kalangan Muslim Modernis untuk menjadikan Hermeuneutika sebagai pengganti ilmu Tafsir al-Quran, maka saya mencoba untuk mengevaluasi dan mengkritisi kecenderungan tersebut dan menjadi bahaya laten jika metode Hermeuneutika ini dipraktikkan bahkan dijadikan mata kuliah di Perguruan Tinggi Islam.

Kalau kita tilik lebih jauh, usaha yang dilakukan Muslim Modernis adalah Dewesternisasi  ilmu pengetahuan Islam, seperti dilansir oleh Syed Muhammad al-Naquib al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekulerisme selanjutnya ia mengatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam telah timbul pada zaman kita adalah tantangan pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat.[1]

Kesan adanya upaya mengekor tradisi Kristen dan pemikiran Barat sulit dipungkiri, pengusung Hermeuneutika ini seakan-akan mengamini apa yang dikatakan oleh Weber dalam tesisnya, “Barat maju karena ide-ide yang dibawa oleh Protestan Ethic.” Atau mengikuti faham modernis dan membuang nilai spirituallitas agama.

Dengan makalah ini saya ingin menggiring pembaca untuk menjawab satu pertanyaan, Apakah bisa konsep Hermeuneutika dijadikan sebagai pengganti Ilmu Tafsir al-Quran????

TENTANG HERMEUNEUTIKA

Sejarah Hermeuneutika

Secara etimologi, istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes”, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata “hermeneias” berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. [2]

The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa Hermeuneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible yang tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam bible.[3]

Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah ‘interpretatio’ untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis’. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul “De optimo genere interpretandi” (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis “De interpretatione divinae scripturae” (Tentang Penafsiran Kitab Suci). Adapun pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, ‘hermeneutics’ biasanya dikontraskan dengan ‘exegesis’, sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’. [4]

Jadi kalau cara Bible seperti ini dipraktikkan untuk memahami al-Quran, lantas bagaimana nasib aqidah umat Islam Indonesia? Maka sangat penting adanya sikap kritis dan teliti terhadap gagasan impor yang nota bene hanya mengacaukan bahkan menggerogoti bagian vital umat Islam, yah…mungkin memang sudah dasarnya orang Indonesia, sukanya meniru, prinsipnya everything new and Western itu yang mereka terima.

Cara memahami adalah hal yang sangat vital, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim bahwa nikmat yang paling besar setelah iman dan Islam adalah al-Fahmu as-Shahih atau benar dalam memahami agama, oleh karena itu sangat penting untuk mendudukkan masalah herme­neutika ini dengan serius. Karena mereka menekankan factor kecurigaan kepada penafsir awal dan pada teks itu sendiri.

Problema Teks Bible

Istilah Bible digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Meskipun keduanya memiliki konflik yang panjang dalam sejarah Bible, hingga kini bible difahami sebagai kitab sucinya orang Yahudi dan Kristen. Namun, ada perbedaan antara kedua agama tersebut dalam menyikapi perjanjian lama. Perjanjina lama ditolak oleh Yahudi karena istilah ini mengandung makna,perjanjian Tuhan dengan Yahudi adalah perjanjian lama yang sudah dihapus dan digantikan dengan perjanjian baru dengan kedatangan Yesus. Yahudi menolak anggapan Kristen bahwa Jesus sebagai juru selamat manusia. Yahudi menyebut Bible sebagai 39 kitab dalam Perjanjian Lamanya orang Kristen dengan sedikit perbedaan susunan. [5]

Dan jika kita berfikir lebih kritis lagi, kita akan mendapatkan kenyataan mencengangkan bahwa ada dalam sejarah Kristen ada yang menulis buku Who Write the Bible karya Richard Eliot Friedman atau buku The text of the New Testament:Its Tranmission,Corruption, and Restoration karya Profesor M. Metzegr. Kedua buku tadi cukup untuk menunjukkan adanya problem dlam tkes bible. Richard Eliot Friedman menyebutkan bahwa hingga kini siapa yang menulis kitab Hebrew Bible masih merupakan misteri.

Profesor M. Metzegr juga menyebutkan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi para penafsir Bible yaitu:

  1. Tidak adanya dokumen yang asli
  2. Bahan-bahan tersebut berbeda satu dengan lainnya, ia menyebutkan bahwa sekarang ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Yunani

Jadi karena teks Bible yang aslitidak ditemukan, maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidakada.masalah inidiperparah dengan adanya tradisi kependetaan yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja, dan hal ini adalah salah satu sebab kenapa Bible memerlukan Hermeuneutika.[6]Masalah juga terdapat dalam otentisitas teks, bahasa teks dan kandungan teks tersebut.[7]

Hermeuneutika Bible

Ada delapan model atau cara interpretasi Bible[8]

1. Literal Interpretation

Maksudnya adalah interpretasi yang sesuai dengan makna yang jelas,sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible. Model ini daunt oleh Marthin Luther, Thomas Aquinas dan Nicholas of Lyra.

Contoh, dalam Imamat 11:1-46 ada daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi hutan, burung rajawali, burung unta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, bunglon. Menurut model literal interpretation, semua binatang yang disebut itu memang tidak boleh dimakan, sesuai makna literalnya (harfiyahnya).

2.      Moral Interpretation

Adalah interpretasi yang mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible, misalnya menginterpretasikan tentang makanan dalam kitab Imamat, bukan sebagai larangan memakan daging tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.

3.      Allegorical Interpretation

Maksudnya teks-teks Bible mempunyai makna di atas seseorang atau sesuatu. Tokoh-tokoh kunci dan peristiwa penting dalam perjanjian lama diihat sebagai satu tipe bayangan kedepan untuk tokoh dan peristiwa yang ada pada perjanjian baru. Pelopor model interpretsi ini adalah Philo, seorang filosof Yahudi.

Misalnya perahu nabi Nuh, diartikan secara kiasan sebagai suatu tipe organisasi gereja Kristen yang konon sudah dirancang Tuhan sejak dulu.

4.      Anagogical Interpretation

Model ini terpengaruh denganmistik Yahudi yang mencoba mencari makna-makna mistis dari angka dan huruf Hebrew. Misalnya Jerussalem, diartikan “kota Tuhan di masa depan.”

5.      Teori Semiotik (teori tentang symbol)

Teori ini dibuat oleh Hippo sebagai jalan tengah dari pertentangan antara aliran interpretasi literal dan allegorical. Ia menyarankan agar Bible dibaca dalam perspektif teologis yang telah tersurat dalam teks bible sendiri.

6.      Humanis Interpretation

Teori ini dibuat oleh Thomas Aquinas, teori ini sebagai gabungan dari filsafat Aristoteles dan doktrin kristiani,ia mengatakan bahwa pengarang kitab suci adalah Tuhan, namun ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat yang dekat dengan humanisme.

7.      Filsafat Hermeuneutis

Bermula dari bukunya Daniel Schleirmacher,ia dianggap sebagai Bapak Hermeuneutika Modern dan juga pendiri Protestan Liberal, menurutnya hermeuneutika tidak hanya meliobatkan interpretasi teks dan sejarahnya saja, tetapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Metodeini dianggap metode yang universal dan netral.

8.      Hermeuneutika Kritis

Teori ini diangkat oleh Habermas, metode yang ia bangun adalah klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk suku dan gender. Sebagai konsekuensinya kita harus curigaatau kritis terhadap kitab suci.

Problem Bible dan Sains

Intrepretasi di atas belum mampu menghadapi perkembangan sains yang terjadi diluar gereja, saya kutipkan beberapa benturan antara gereja dan ilmuwan kala itu.

1.      Aristoteles

Aristoteles berpendapat bahwa bumi ini bentuknya bulat,namun karena metode tafsir literal, maka fakta ini harus dikalahkan dengan pendapat Bible yangmengatakan bahwa bentuk bumi ini segi empat, ia memiliki tepi, sehingga orang jahat bisa diubuang dari bumi.

2.      Galileo Galilei

Ia memiliki teori Heliocentric yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, karena teori ini bertentangan dengan Bible, maka pada 24 Februari 1616,Tahta Suci Vatikan memaksa untuk mencabut teorinya, dan Galileo melaksanakannya.

3.      Nicholas Copernicus

Ia juga memiliki teori Heliocentric, dank arena bertentangan dengan Bible, maka bukunya On the Revolution yang menjelaskan perputaran bumi dimasukkan ke dalam daftar buku yang terlarang.

 TENTANG TAFSIR DAN ILMU TAFSIR

Arti Tafsir dan ilmu Tafsir al-Quran

1.      Tafsir al-Quran

Secara bahasa dari kata al-Fasru yang bermakna “al-Inabah wa Kasyful Murad” dan Secara Istilah: Ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabu Muhammad SAW, menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum-huum dan hikmah di dalamnya.

2.      Ilmu Tafsir al-Quran

Yaitu suatu kaidah dan pokok-pokok yang membangun ilmu Tafsir yang pembahasannya meliputi mufasir seperti syarat, adab dan juga tentang tafsir seperti kaidahg, thuruq, metode dan yang lainnya.

Atau pengertian lainnya Ilmu untuk memahami al-quran secara benar dan menyingkap cara penafsiran yang sesat dan menyeleweng.

3.      Faidah Ilmu Tafsir

  • Menjaga al-quran dari serangan musuh yang berusaha untuk mentahrif al-quran
  • Mengetahui cara yang benar dalam tafsir
  • Mengetahui kaidah yang benar untuk memahami kitabullah
  • Menelaah kesungguhan ulama salaf dalam berkhidmat pada al-quran

Menurut Musthafa Malakyan ada dua perbedaan antara Alquran dengan buku-buku atau karya religius atau non-religius yang mengharuskan kita untuk berhati-hati dalam menerapkan kaedah hermeneutika atas Alquran.

  1. Seluruh lafal dan kalimat dalam Alquran, sesuai kepercayaan seluruh kaum muslim, berasal dan diciptakan dari Allah swt. Tidak ada klaim semacam ini bagi kitab selain Alquran.  Penyusunan isi Alquran kini tidak sama dengan kronologi turunnya dan urut-urutan sejarahnya.  .
  2. Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt.

Dan Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:

  1. Alquran dengan tegas tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
  2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
  3. Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran sendiri, seperti yang kita kenal dengan tafsir al-Quran dengan al-Quran dimana jika ada ayat yang belum jelas akan ditafshil pada ayat lainnya.

Dengan demikian jelas bahwa konsep Hermeneutika tidak bisa diterapkan pada al-Quran karena hermeneutika itu berasal dari peradaban barat.

KOMPARASI ANTARA KONSEP TAKWIL DALAM ISLAM DAN KONSEP HERMEUNEUTIKA MENURUT BARAT

Dalam membandingkan terminologi takwil sebagai teori penafsiran khas peradaban Islam dan hermeneutika yang lahir dari rahim dan khas miliu peradaban Barat- Kristen, kita akan bertolak dari pernyataan Mustafa Kaylani yang menerangkan proses transformasi dalam sejarah perjalanan takwil sebagai berikut:  

“Dahulu takwil pada awalnya sangat kental bernuansa gramatikal sebatas penjelasan lafal dan susunan kalimat yang telah termakan zaman dengan lafal dan susunan kalimat baru sambil tetap menjaga maknanya yang cocok untuk setiap zaman. Sedangkan jenis takwil kedua (dalam peradaban Barat modern), telah merasuk jauh ke dalam dunia metafor (majaz); hermeneutika adalah takwil semiotis atas tanda-tanda (signs) yang telah terasa asing pada era terkini untuk mendapatkan makna semantic baru yang akan merujuk secara langsung kepada idea pengarang teks” (Wujud al-Nash wa Nash al-Wujud; hlm. 34).

Dari kutipan di atas, kita dapat mencandra dua aliran yang memperebutkan hakikat makna teks.

1.      Aliran Tradisionalistik

Aliran ini berupaya membakukan makna dalam petenjuk semantik tertentu dengan cara menjadikan makna itu muhkam yang tidak bisa serampangan ditarik ke dalam wacana metaforis. Tentu saja aliran ini berupaya mempertahankan makna asli suatu teks. Sehingga takwil dalam tradisi aliran pertama difungsikan untuk mengalihkan pemahaman lahir suatu lafal dari makna aslinya kepada makna lain dengan indikasi tertentu yang menyebabkan makna aslinya ditinggalkan.

2.      Aliran Modernistik

Dalam teori pentakwilan telah mengalami lompatan kualitatif dalam tradisi filsafat Jerman, terutama di tangan F.D.E. Schleirmacher (1768-1834 M) yang mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?

 Rasionalitas protestantisme itu telah menantang otoritas gereja yang selalu mengklaim arti Bible yang sah, serta meneguhkan semangat liberalisasi simbol-simbol otoritas agama yang eksklusif dan tertutup. Akibatnya, metodologi tafsir tradisionalis telah tergantikan dan disaingi metodologi yang lebih humanis dan memberi ruang kesadaran kritis atas keseluruhan sumber teks-teks agama.

Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang. Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.  Lingkar hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak, dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi “pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, pemahaman teks adalah apa yang diinginkan oleh pembaca teks, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang teks. Dikarenakan masa kelahiran teks telah menjadi bagian masa lalu, maka tidak ada makna yang tetap seperti sediakala. Lingkar hermeneutik meniscayakan produksi makna-makna baru yang tidak pernah final. Orientasi heremeneutik inilah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof aliran eksistensialisme pasca-Schleirmacher.

Adalah Martin Heidegger (1889-1976 M) yang mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik”antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Sejak abad pencerahan dan humanisme Barat dimulai, eksistensi bersifat tunggal; eksistensi humanisme! Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks.

Pemahaman eksistensialis model Heidegger teraplikasikan secara penuh terhadap semua jenis teks. Amat wajar jika kekhasan teks agama dari sudut pentakwilan menjadi terabaikan. Jika hermeneutika dahulu berarti pentakwilan teks suci yang terpasung oleh makna yang ditentukan pihak otoritas gereja, maka ia kini telah bebas dari belenggu sakralitas dan memungkinkan pentakwilan semua jenis teks, karena bagi hermeneut modern semua teks sama secara hirarkis. Sakralitas teks agama tidak lagi mendapatkan tempat dalam rasionalitas modern.  Resepsi dan pembacaan manusia adalah dasar bagi kebangkitan dan transformasi teks dari sesuatu yang diwarisi antar generasi menjadi warisan masal silam. Ketika kita membaca suatu teks kuno maka teks itu kembali dihidupkan dan berubah dari sesuatu yang tadinya mati dan asing kepada keadaan sesuatu yang hidup saat ini. Dengan demikian, pembacaan dan pemahaman adalah asas bagi transformasi teks dari ketiadaan kepada keefektifan.

Hermeneutika Heidegger kemudian dilanjutkan oleh Hans George Gadamer (1900-2002 M) yang menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 40)

 Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Eksistensi yang dibangun Heidegger dan Gadamer terasa idealis yang dipengaruhi logika dialektik Hegellian, yang menyatakan historisitas yang tidak dipersyaratkan wujud materil yang dikendalikan oleh faktor sosial ekonomi. Untuk menautkan proses pemahaman dengan wujud materil, maka telah menjadi keharusan untuk keluar dari metafisika transendent yang khusus dalam konsep eksistensial. Penubuhan asas konsep wujud itu akan mengubah proses pemahaman.

Menghadapi dialektika Heidegger dan Gadamer, tokoh-tokoh filsafat hermeneutika seperti: Paul Ricoer (1913-2005 M), Eric D. Hirsch (1928-….), dan Emillio Betti (1890-1968 M) mengajukan teori objektifitas dalam aliran hermeneutika. Mereka berusaha mendirikan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran teks yang menekankan metode objektif, sehingga melampaui subjektifitas hermeneutika Gadamer. Hermeneutika, bagi mereka, tidak berdiri atas asas filsafat. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aaliyyat al-Ta’wil, hlm. 49)

 Jika kita kaitkan dengan Dr. Nasr Hamid Abu Zayd yang terkenal lewat pendekatan hermeneutiknya dalam membaca teks-teks Islam, maka kita akan menemukan penekanan Nasr Hamid atas prinsip simbol teks yang berafiliasi kepada kondisi sosial dan realitas ketika teks itu diciptakan. Artinya teks adalah produk lingkungan tertentu yang dilingkupi oleh faktor ekonomi-sosial yang menjadi pra-kondisi kelahiran dan kemunculan suatu teks. Oleh sebab itu, realitas yang berdialektik dengan teks mendapat apresiasi dan perhatian serius Nasr Hamid. Untuk menuju arah tafsir yang objektif dan ilmiah atas teks agama, ia berangkat dari simbol sosial dengan penekanan melampaui makna lahiriah teks kepada makna batinnya.

Perbedaan antara Takwil dan Hermeuneutika

Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui dan tunduk kepada kesucian teks dan keilahian sumbernya, terlebih khusus dalam masalah teks-teks agama. Sedangkan hermeneutika di Barat memperlakukan teks sebagai murni fenomena bahasa, dan tidak mengakui kesucian teks yang menuntut perlakuan khusus.  Takwil dalam tradisi keilmuan Islam mengakui jenis tingkatan lafal, dalam pengertian bahwa di antara jenis-jenis teks itu ada yang bisa menerima takwil seperti lafal “zhahir”, dan ada pula yang hanya menunjukkan satu makna dan tidak dapat ditakwil seperti lafal “nash”. Sedangkan hermeneutika Barat memukul rata semua jenis teks dengan memisahkan mana yang menjadi makna tanda (signifier) dan tujuan dasar teks (significance).

Takwil dalam tradisi keilmuan Islam menekankan makna yang tetap tidak berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengharuskan takwil. Dan makna takwil yang baru itu masih dapat diterima oleh lafal zhahirnya dan juga sesuai dengan sirkulasi penggunaan bahasa dan adat kebisaaan yang lazim dalam syariah. Sedangkan hermeneutika di Barat berarti perpindahan orientasi dari “makna” kepada “pemahaman” yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan pembaca teks. Pemahaman adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Pemahaman tidak pernah final, karena selalu memperhatikan dimensi realitas kemanusiaan. Bahkan dalam bentuk ekstrim, hermeneutika menganggap Sunnah (yang berfungsi sebagai penjelas Alquran) sebatas ijtihad manusia dan terbatas pada skup budaya tertentu.

Takwil dalam tradisi keilmuan Islam adalah suatu cara untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan agama. Ia juga metode yang baik untuk menghilangkan keragu-raguan dan semakin menambah mantap keimanan. Jelasnya, takwil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau untuk mengosongkan teks agama dari ruh agama seperti yang dipraktekkan dalam filsafat hermeneutika di Barat.

Perbedaan Metode Tafsir Ulama Ahlu Sunnah dengan Metode Hermeuneutika

Metode Tafsir Ulama Ahllu Sunnah

  1. Tugas mufassir adalah menangkap makna teks. Makna teks adalah apa yang dikehendaki oleh pembicara atau pengarang teks. Maksud atau makna yang pasti adalah tujuan utama pengarang teks. Makna yang final itu adalah suatu hal yang objektif dan ril, mufasir berusaha untuk sampai dan menangkap makna itu.
  2. Untuk mencapai tujuan di atas, sewajarnya penafsir teks menempuh alur metode yang umum dalam menangkap teks. Hal ini diformulasikan dalam bentuk bahasa teks sebagai jembatan memahami tujuan hakiki atau makna yang diinginkan. Karena pengarang teks menjadikan bahasa sebagai sarana mengungkapkan kehendaknya, maka penafsir teks harus menguasai bahasa serta tata bahasa yang lazim dipakai oleh pengarang. Tanpanya, maka tindakan penafsir yang semena-mena akan mencederai proses pemahaman teks.
  3. Kondisi penafsir yang diidealkan adalah sampai kepada pemahaman yang valid dan meyakinkan terhadap kehendak pengarang teks. Meskipun pemahaman yang valid hanya dapat ditangkap melalui bentuk “nash” yang berindikasi pemahaman objektif yang sesuai dengan fakta, dalam bentuk “zhahir”nya pun redaksi teks tetap tidak tercerabut dari objektifitas dan norma asli pemahaman.
  4. Jarak waktu yang memisahkan masa penafsir dengan masa teks diproduksi tidak akan menghalangi penafsir untuk menangkap makna hakiki yang dimaksud oleh teks agama. Karena dalam sinaran metode klasik, amat dimungkinkan pemahaman objektif atas teks meski terdapat jarak waktu dan tempat antara pengarang dengan penafsir teks.
  5. Perhatian penafsir harus terpusat kepada kesadaran memahami misi teks. Seperti dimaklumi, proses pemahaman teks berporos kepada dua aspek: teks dan pengarang, sehingga tugas penafsir adalah untuk menangkap maksud pengarang melalui fungsi semantik teks. Dalam teori tafsir semacam ini, tidak diperkenankan munculnya pra-konsepsi dan pra-asumsi penafsir, karena hal itu akan mengotori upaya penafsiran, sehingga dikategorikan sebagai tafsir dengan pandangan akal semata yang dicela agama (bil ra’yi al-madzmum).
  6. Teori tafsir klasik sangat menentang teori relativitas tafsir. Metode tafsir klasik menolak setiap upaya penafsiran yang merelatifkan dan menyamakan setiap pemahaman sebagai upaya subjektif penafsir. Sebab, teks agama, -menurut teori tafsir klasik- tidak akan menerima segala bentuk penafsiran yang sembarangan. Dengan kata lain, ketika terjadi perbedaan penafsiran sebuah teks, maka otoritas pemahaman tetap berada pada aspek teks dan pengarang teks itu sendiri, alias kewenangan mufasir terabaikan sama sekali.

Metode Tafsir Hermeneutika

  1. Pemahaman teks adalah hasil perpaduan antara cakrawala pemahaman penafsir dengan cakrawala makna dalam teks. Intuisi dan cakrawala berfikir setiap penafsir dalam proses pamahaman tidak dicela, karena ia merupakan prasyarat eksistensial bagi tercapainya suatu pemahaman.
  2. Upaya pemahaman teks adalah proses tiada henti; seperti halnya pluralitas pemahaman teks tidak mengenal batas-batas. Karena pemahaman adalah: upaya kreatif dan perpaduan antara cakrawala penafsir dengan wawasan teks. Dengan demikian setiap terjadi perubahan dalam diri penafsir berikut cakrawala pikirannya, maka dimungkinkan lahirnya pemahaman baru.
  3. Suatu pemahaman objektif atas teks dalam arti pemahaman yang benar-benar sesuai dengan fakta ril, tidak dimungkinkan oleh karena pra konsepsi penafsir adalah syarat tercapainya suatu pemahaman.
  4. Tidak ada pemahaman yang tetap dan tidak berubah; tidak dibenarkan pula suatu pembatasan dan finalisasi pemahaman yang tidak bisa berubah-ubah.
  5. Tujuan penafsiran teks bukan untuk menangkap maksud pengarang teks. Sebab, penafsir saat ini menghadapi sebuah teks, dan bukannya pengarang teks. Dalam teori filsafat hermeneutika, posisi pengarang tak lebih sebagai salah satu pembaca teks yang tidak berbeda dari penafsir-pembaca teks yang lain. Teks sebagai entitas mandiri dan berdaulat, berdialog dengan penafsir sehingga melahirkan suatu pemahaman, dengan demikian setiap penafsir tidak diharuskan mencari dan menangkap maksud dan tujuan yang ingin diungkapkan si pengarang teks.
  6. Tidak ada patokan dan standarisasi dalam menilai salah atau benar suatu penafsiran. Karena sejatinya tidak ada tafsir yang benar dan tunggal. Antitesa dari teori klasik yang mengandaikan maksud pengarang sebagai tujuan penafsiran, hermeneutika filsafat mengakui otoritas penafsir dan mengabaikan tujuan pengarang sama sekali. Karena setiap penafsir di setiap zaman memiliki cakrawala yang khas zamannya, maka terbuka kemungkinan pemahaman-pemahaman baru, yang tidak bisa dikatakan salah satunya lebih baik dan benar dari yang lain.
  7. Hermeneutika filsafat sesuai dengan teori relatifitas penafsiran, dan membuka ruang yang sangat luas bagi penafsiran-penafsiran yang radikal sekalipun.

Semoga artikel ini bermanfaat dan semakin menambah keyakinan kita bahwa konsep Hermeneutika tidak bisa diterapkan pada al-Quran karena hermeneutika itu berasal dari peradaban barat yang sesat lagi bejat.

 


[1] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung, Penerbit Pustaka,1981 M) halaman: 195

[2] Adian Husaini, CAP Adian Husaini: Hermeneutika Dan Infiltrasi Kristen, www.hidayatullah.com

[3] Majalah ISLAMIA, Adian Husaini, Problem Teks Bible dan Hermeuneutika,  Maret 2004,

[4] Lock cit.

[5] Majalah ISLAMIA, Adian Husaini, Problem Teks Bible dan Hermeuneutika,  Maret 2004

[6] opcit

[7] Majalah ISLAMIA, Hamid Fahmy Zarkasyi, Menguak Nilai di balik Hermeuneutika, Maret 2004

[8] Ketujuh macam ini saya gabungkan dari makalah Adian Husaini dan Hamid Fahmi Zarkasy dan yang lainnya

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *