Tafsir Penganut Faham Pluralis

Pengantar

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Ali Imran: 83)

“Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Qs. Al-Baqarah: 132)

Puja dan puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah swt dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan Allah kepada Pemimpin Besar kita, yaitu Nabi Muhammad saw, yang telah mewariskan kepada kita saru Din, satu pandangan dan satu keyakinan yang tidak bisa disaingi oleh bangsa manapun.

 Penulis ditakdirkan oleh Allah swt untuk lahir sebagai orang Islam dan dibesarkan di lingkungan keluarga Islam, pendidikan pertama sampai masuk Perguruan tinggi adalah pendidikan yang mengajarkan islam, kemudian diketahuinya bahwa mayoritas bangsanya adalah Islam dan setelah lama belajar islam ia mengetahui bahwa hanya islamlah yang harus menjadi way of life, bukan yang lainnya.

Sekitar awal januari 2010, mangkatlah salah seorang tokoh faham pluralis di Indonesia bahkan setelah kematiannya disebut sebagai ‘Bapak Pluralis Indonesia’ siapa lagi kalau bukan Mr. Dur, saya tidak menyebutnya sebagai Gusdur karena kata ‘gus’berarti seorang priyai dan julukan tersebut tidak pantas baginya karena julukan itu tidak mewakili aqidah dan akhlaqnya, bahkan saya pernah mendengar kalau dia itu kafir karena pernah dipergoki dibaptis di sebuah gereja di bilangan Jakarta.

Definisi Pluralisme

Secara Bahasa

kata Pluralis berarti jamak atau lebih dari satu

Secara Istilah

Yaitu sebuah pandangan atau pemahaman bahwa seluruh agama adalah sama, semuanya akan masuk surge, sedangkan menurut Adian Husaini adalah Istilah khusus dalam kajian agama-agama, masih menurut Adian dari beberapa pengertian yang muncul, yang menjadi perhatian para peneliti adalah definisi pluralism yang meletakkan kebenaran agama-agama sebagai kebenaran relative dan menempatkan posisi agama setara, apapun jenis agama tersebut.

Awal Mula Pluralisme

 Dr. Anis Malik Thoha dalam Majalah Islamia edisi perdana menyatakan:

“Pada awal abad ke -20 seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-ditengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama. Dia berpendapat dalam sebuah artikelnya yang berjudul “The Place of Cristianity among the World Religions” (posisi agama Kristen diantara agama-agama sedunia), bahwa umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senada ternyata juga banyak dilontarkan oleh sejumlah pemikir dan teolog lainnya seperti sejarawan terkenal Arnold Toynhee dan tokoh Protestan Liberal Friedrich Schleiermacher.

Pada dasarnya munculnya ide pluralisme agama ini dilatarbelakangi oleh menghebatnya pertikaian antara madzhab-madzhab dalam agama Krieten yang terjadi pada akhir abad ke -19 hingga sampai pada tingkatan mutual exclusion (saling mengkafirkan ), sehingga mendorong presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Groger Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar Madzhab tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat pada awal-awal abad ke-20 telah bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis di Amerika Serikat.

Selain konflik antar Madzhab dalam Kristen, factor politik juga terkait rapat dengan latar belakang gagasan ini. Pluralisme agama adalah respon terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modern, dan yang secara nyata dipraktikan oleh USA. Kecendrungan umum dunia Barat waktu itu tengah berusaha menuju modernasasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks ini, maka religious pluralism pada hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama.”

Salah satu buku Anis Malik Toha yang mendapat atensi bagus dari para intelektual Islam Indonesia semisal Adian Husaini, Tren Pluralisme Agama, menurutnya tuhan agama ini adalah the Real sebagaimana ditandaskan oleh Nabinya Pluralisme John Hick. Dalam bukunya, Anis menjelaskan adanya empat tren dalam paham Pluralisme Agama, yaitu tren  humanisme sekuler, tren teologi global, tren sinkretisme, dan tren hikmah abadi (sophia perennis).

Tokoh Pluralisme

Tokoh Nasional

Prof. Dr. Nurcholis Madjid

Dalam buku “Pluralitas Agama” ia mengatakan:

“Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslim) kepada-Nya.”

Prof. Dr.H.M. Rasjidi telah membuat buku yang membantah pemahaman Nurkholis dengan judul “Koreksi Terhadap Dr. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi” ia banyak menguliti pemahaman Nur Kholis yang ada pada kertas kerja pembaharuan yang ia bacakan di senayan.

Prof. Dr. Harun Nasution

Dalam buku ““Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” ia mengatakan:

“Jelaslah kelihatan bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah satu asal…” Masih dalam buku itu, ia juga mengatakan, “Tetapi dalam pada itu kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi.”

Di antara ulama yang telah membantah racun Nasution adalah Dr. Daud Rasyid tamatan al-Azhar, Kairo dalam bukunya ‘……”.

Ahmad Wahib

Dalam catatan hariannya tanggal 16-september 1969, yang kemudian dibukukan menjadi buku: Catatan Harian Ahmad Wahib dan diedit oleh Johan Efendi, ia menyatakan: “Aku tak tahu apakah tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku[1] itu ke dalam api neraka, semoga tidak.”

Ulil Abshar Abdalla

Artikel Ulil di Kompas edisi 18 November 2002 telah mengegerkan umat, ibarat bom yang diledakkan di tengah kerumunan orang. Dalam pertemuan FUUI (Forum Ulama-Umat Indonesia) telah menyatakan beberapa point tentang Artikel dari Ulil tersebut, di antaranya:

  1. Para ulama menuntut yang berwenang agar menindak siapa saja yang menghina agama Islam.
  2. Setelah melakukan pengkajian terhadap artikel Uli “emnyegarkan kembali Pemhaman Islam” menilai bahwa Ulil telah menghina Islam.
  3. Para ulama menuntut kepada yang berwenang untuk menghkum Ulil
  4. Ulil diancam hukuman mati

Contoh tulisannya adalah: “Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hujkum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan dan sebagainya. Yang ada adalah perinsip-prinsip umum yang universal yang ada dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebur sebagai Maqashid Syariyah, atau tujuan umum.”

Budi Munawar Rachman

Contoh tulisannya pada islamlib.com dengan judul ““Memudarnya Kerukunan Hidup Beragama, Agama Harus Berdialog.”

Muhammad Ali

Menulis pada harian Kompas dengan judul “Paradigma Baru Misi Agama-Agama”

“Dalam paradigma lama, kegiatan misi agama-agama penuh dengan prasangka teologis seperti klaim satu-satunya kebenaran (claim of the only truth) dan label kufur terhadap agama lain, ungkapan tidak ada penyelamatan selain pada agamaku, dan sejenisnya. Dalam paradigma baru, sikap yang dikembangkan adalah saling menghormati (mutual respect), saling mengakui eksistensi (mutual recognition), serta pengayaan iman (enrichment of faith).

Baca juga:   Hukum Membaca Al-Quran Dengan Lagu-Lagu

Sejalan dengan paradigma baru, sikap lain yang perlu dikembangkan adalah sikap relatively absolute atau absolutely relative, bahwa yang saya miliki memang benar, tetapi relatif bila dikaitkan dengan yang lain.”

Azyumardi Azra, direktur pasca Sarjana UIN

Menulis dalam buku terbitan Fatayat NU dan Lord Foundation:

“Islam itu memang pluralis, islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah kenyataan dan tidak bisa di elakkan.”[2]

Tokoh Internasional

Nashr Hamd Abu Zaid

Tulisannya banyak memicu kontroversi yang berbuntut panjang diantara tulisannya; Naqd al-Khithab ad-Diniy, Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah dan Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi.

Anehnya, Prof Dr M Amin Abdullah (dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) ingin menjadikan buki-buku Nashr Hamd Abu Zaid sebagai kurikulum pembelajaran di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Padahal Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan.

Ernest Troeltsch

Seorang teolog Kristen Jerman, yang pada awal abad ke -20 menggulirkan perlunya bersikap pluralis di tengah-tengah berkembangnya konflik intern antar aliran-aliran dalam agama Kristen maupun antar agama.

John Dewey

Seorang filosof Amerika mengatakan:

“Demokrasi adalahagama dan tuhannya adalah nilai-nilai demokrasi.”

Prof. Dr. Leonard Binder

Dalam bukunya ia menyatakan tentang Fundamentalis Islam:

”Fundamentalisme Islam disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya revolusi Islam di Iran, terorisme domestik di Turki dan terbunuhnya Anwar Sadat. Karena keprihatinan kami terhadap kecenderungan Islam yang sedang kuat-kuatnya ini, dan kecemasan kami mengenai dimana peristiwa akan meletus, kami sampai lupa bahwa Fundamentalisme ini masih merupakan orientasi minoritas”[3]

Ali Abdul Raziq

Seorang dosen di Al-Azhar , Mesir yang nyleneh dan menjadi antek penjajah Inggris, karena pemikirannya yang berbeda dengan mainstream Islam, ia dikeluarkan dari al-Azhar, di antara pemikirannya:

  1. Menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata-mata, tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.
  2. Berkenaan dengan anggapannya bahwa agama tidak melarang perang jihad Nabi saw. demi mendapatkan kerajaan, bukan dalam rangka fi sabilillah, dan bukan untuk menyampaikan da’wah kepada seluruh alam.

Dia (Ali Abdul Raziq) menulis:

  • “. dan jelaslah sejak pertama bahwa jihad itu tidak semata-mata untuk da’wah agama dan tidak untuk menganjurkan orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
  • Bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw. tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya.
  • Dia menulis: “Sebenarnya kewalian Muhammad saw. atas segenap kaum mu’minin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan.”
  • Berkenaan dengan anggapannya bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya.

Sebab-sebab Munculnya Tafsiran Pluralis

[1] Kaum Pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak tolerean karena menafikan kebenaran eksklusif sebuah agama. Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama tertentu,tapi justru pada kenyataannya kelompok pluralis-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan.[4]

[2] Adanya ‘pemaksaan’ nilai-nilai dan budaya barat (Westernisasi) terhadap Negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan kekuatan militer.

[3] Berfaham Relativisme

Drs. Muhammad Thalib mengatakan tentang Relativisme bahwa ia adalah faham kenisbian. Sebuah teori yang diperkenalkan oleh Einstein mengenal alam semesta yang berdasarkan prinsip bahwa ukuran gerakan, ruang dan waktu bersifat relative dan lawannya adalah sifat kemutlakan.[5]

Sedangkan Adian Husaini mengatakan bahwa faham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri.[6]

Banyak cendekiawan yang terasuki virus ganas ini,khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, seperti Azyumardi Azra yang menulis:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.”[7]

 [4] Bermodal akal dan hawa nafsu dalam berijtihad

Menurut mereka, pintu ijtihad pada semua bidang tetap terbuka, termasuk dalam persoalan illahiyat (teologi). Padahal ranah ijtihad tidak semudah itu, terdapat syarat-syarat yang mesti dipenuhi jika seseorang ingin berijtihad seperti yang disebutkan Abdul Wahab Khalaf dalam buku Ilmu Ushul Fiqh Halaman 218-219.

[5] Sedikit menguasai Ulum ad-Dien

Akibatnya Mereka terburu-buru menafsirkan ayat sebelum menguasai dulu dalil yang lain. Akibatnya, ketika mereka menafsirkan sebuah ayat maka mereka akan menafsirkan dhohir ayat tersebut sehinga terjadi kesalahan yang fatal dalam menafsirkan ayat itu.

Selain itu mereka juga tidak memiliki perangkat seseorang boleh menafsirkan Al Qur’an, Qushairi Suhail dalam kitabnya ‘al-Mufassir, surutuhu wa adabuhu’ menyebutkan cabang-cabang ilmu yang harus dikuasai seorang mufasir, di antaranya: Nahwu, Shorof, Ilmu Qiro’aat, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmu Nasikh dan Mansukh.

[6] Tidak memakai Metode Tafsir yang benar

Buktinya banyak penafsiran mereka banyak sekali bertentangan dengan ayat-ayat yang lain. Dan Metode Tafsir yang benar menurut ulama adalah:

1. Tafsir bil Ma’tsur

Yaitu Menafsirkan ayat al-Quran dengan penjelasan dari ayat al-Quran sendiri atau dari hadits nabi SAW atau dari sahabat dan tabi’in.

Tafsir dari al-Quran merupakan tafsir yang paling bagus, tafsir dari nabi adalah sebagai penjelas dan tafsir dari sahabat juga bagus karena mereka melihat sendiri ayat turun

2. Tafsir bir ra’yi

Yaitu metode penafsiran Al Qur’an dengan akal dan ijtihad, metode ini masih terbagi menjadi dua lagi yaitu; Mahmud dan yang Mazmum.

  1. al-Mahmud: yaitu tafsir yang berpegangan pada al-Quran dan sunnah dan mufasir mengetahui bahsa arab, uslubnya dan qaidah syrait dan ushul
  2. al-Mazmum: yaitu tafsir yang hanay berdasrkan pada hawa nafsu dan hukumnmya haram dengan mengambil dalil yang banyak digunakan oleh Ahli Bid’ah dan Madzhab batil.

Bagaimanakah sikap dan cara yang baik dalam menafsirkan al-Quran?

Langkah pertama yang harus digunakan oleh seorang mufassir adalah menafsirkan al Qur’an dengan al Qur’an , tafsir al Qur’an dengan sunnah nabi, tafsir al Qur’an dengan aqwal para sahabat, tafsir al Qur’an dengan aqwal para tabi’in, dan seandainya diantara perkataan para tabi’n tersaebut terjadi perbedaan maka ambillah dalil yang shahih, apabila tidak didapati maka ijtihad boleh dilakukan. Akan tetapi harus memenuhi qowaid ijtihad dalam hal tafsir diantaranya :

  1. Berhati-hati dalam hal tafsir serta menjaganya dari kekurangan dari sesuatu yang diperlukan dalam menjelaskan makna ayat.
  2. Memahami asbab nuzul ayat dan kesesuaian antara ayat satu dengan yang lainnya.
  3. Menjauhkan diri dari condong kepada madzhab, sehingga tidak menafsiri ayat sesuai dengan logika dan madzhabnya serta tidak menyelewengkan maknanya.
  4. Menjaga makna ayat yang haqiqi dan majazy, sehingga tidak terjadi percampuran antara keduanya.
  5. Memperhatikan susunan kalimat dan tujuan yang terkandung pada bentuk kalimat tersebut.
  6. Memulai dari mufradat kemudian masuk pada susunan kalimat setelah itu dilanjutkan dari segi balaghah kemudian menerangkan makna yang dimaksud dari ayat-ayat tersebut dari segi ahkam dan adab, dll.
  7. Menjaga diri serta berhati-hati dengan hadits-hadits yang dhaif dan maudhu’ serta periwayatan yang diragukan seperti israiliyat dll.[8]
Baca juga:   3 Sesepuh Dalam Tafsir

[7] Berideologi Inklusif

Pernyataan ini jelas disampaikan ketika terjada debat Publik antara MM yang diwakili oleh Drs. Mohammad Thalib dan Halawi Makmun, Lc dan Asia Foundation yang diwakili oleh Dr. Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawai, Lc tentang buku FLA (Fikih Lintas Agama). Kelompok dari Paramadina ini menawarkan teologi inklusif, bahwa semua agama mempunyai tuhan yang sama walau namanya berbeda.

Nama tuhan bukanlah masalah asasi, yang penting pengertiannya. Misalnya, orang memanggil tuhannya dengan nama Allah SWT atau Allah atau the God atau siapa saja, yang penting dengan panggilan yang baik. Mereka menyandarkan pendapatnya ini dengan ayat Al-Qur‘an: “Katakan (Muhammad), serulah Dia itu Allah atau al-Rahman, manapun yang kamu seru, bagi-Nyalah nama-nama yang baik…” (Qs. Al-Isra: 110).

Padahal maksud ayat ini adalah nama-nama Allah SWT dalam asmaul-husna, bukan nama Allah seperti disebutkan oleh penganut agama selain Islam. Maka, trinitas –menurut Paramadina– itu hakikatnya tauhid atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anggapan ini jelas bertentangan dengan firman-Nya: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka, serta Isa putra Maryam sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan agar hanya menyembah Allah SWT; tidak ada tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Qs. At-Taubah:31)

[8] Hilamgya al-Wala’ wal Bara’

Salah satu imbas dari teologi pluralis inklusif yang mereka miliki telah menghilangkan rasa al-Wala’ dan al-Bara’ mereka ibarat budak barat yang ikut kemana perginya sang tuan.

Syaikh Shalih Fauzan mengatakan:” Termasuk pokok aqidah Islamiyyah yang wajib bagi setiap muslim untuk menganutnya adalah berwala dengan sesama muslim dan bara (memusuhi) musuh-musuh Islam. Ia mencintai dan berloyalitas dengan orang yang bertauhid dan mengikhlaskan agama untuk Allah dan sebaliknya membenci dan memusuhi orang yang berbuat syirik. Yang demikian ini merupakan millahnya (jalan) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang yang mengikuti beliau, sementara kita diperintah untuk mencontoh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana Allah berfirman:

“Sungguh telah ada bagi kalian contoh teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya kerika mereka mengatakan kepada kaum mereka (yang kafir musyrik): Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)

Memiliki sikap Al-Wala dan Al-Bara merupakan agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah SWT berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai kekasih-kekasih (teman dekat), karena sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lainnya. Dan siapa di antara kalian yang berwala dengan mereka maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)

Beliau melanjutkan: “Sungguh (kita dapati pada hari ini) kebanyakan manusia jahil/bodoh terhadap pokok yang agung ini, sampai-sampai aku mendengar dari sebagian orang yang dikatakan berilmu dan melakukan dakwah dalam satu siaran berbahasa Arab, ia berkata tentang Nashrani bahwa mereka adalah saudara kita. Sungguh betapa jelek dan bahayanya kalimat ini!”

[9] Terpengaruh Pemikiran Freemason

Pada tanggal 17 November 1875, beberapa pengikut Freemason membentuk The Theosophical Society di New York. Seiring dengan perjalanan waktu, The Theosophical Society berkembang pesat di berbagai negara. Pada akhir abad 19, The Theosophical Society memiliki 500 cabang dalam 40 negara di Asia dan Barat.

The Theosophical Society di Perancis didirikan pada tahun 1887 oleh Gérard Encausse (1865-1916), dan dikembangkan olehFrithjof Schuon (1907-1998).

Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level transendent. Gagasan bahwa semua agama pada intinya adalah sama, merupakan inti pemikiran Schuon. Dan tidak sedikit dari pemikir Muslim yang mengadopsi gagasannya.[9]

Ayat-Ayat Yang Ditafsirkan Secara Pluralis, Analisa dan Bantahannya

1.      QS. Al-Baqarah: 62

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ( البقرة: 62 )

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS. Al Baqarah : 62)

Sebelum menafsirkan ayat 62 dari surat Al Baqoroh, para Ulama’ tafsir seperti Ibnu Katsir, Imam Ibnu Jarir, Imam Al Qurthubi, Syaikh Muhammad Rosyid Ridho, menerangkan di dalam kitab tafsir mereka masing-masing, bahwa ini masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya yang menerangkan tentang orang-orang yang melanggar perintah Allah swt dan melampaui batas terhadap larangan-larangan-Nya. Maka setelah itu Allah mengingatkan, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari umat-umat terdahulu dan berbuat ketaatan maka baginyalah pahala yang baik.[10]

Pengertian Kalimat

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا “Sesungguhnya orang-orang mukmin”.

  • Ibnu Jarir Ath Thobari berkata: “Maksudnya adalah mereka yang membenarkan Rosululloh saw terhadap apa yang beliau bawa berupa kebenaran dari sisi Allah.[11]
  • Imam Al Qurthubi berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya yaitu, mereka yang membenarkan Nabi Muhammad saw, Sufyan[12] berkata: “Maksudnya adalah mereka orang-orang munafiq, seakan-akan Allah berfirman: “Orang-orang beriman di luar perkara mereka saja, maka dari itu mereka di sandingkan dengan Yahudi, Nashroni, dan Shobi’in. kemudian Allah swt menerangkan hukum mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.[13]
  • Muhammad Rosyid Ridho berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya adalah orang-orang muslim yang mengikuti Nabi Muhammad Saw dan yang mengikutinya sampai hari kiamat, dan itulah mereka yang dinamakan orang-orang mukmin”.[14]
Baca juga:   Ancaman Terhadap Penyalahgunaan Al-Quran

Tafsiran para Pluralis

Jalaluddin Rahmat

Perkataan Muhammad Rasyid Ridha di atas telah diputar balikkan oleh seorang pluralis indionesia, Jalaluddin Rahmat dalam bukunya: Islam dan Pluralisme: Akhlaq al-Quran menyikapi perbedaan, pada buku tersebut ia mengutip pendapat Rasyid Ridha yang dikatakan bahwa tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi Muhammad saw, bahkan Jalal juga menyatakan:

“Berbeda dengan kaum ekskluvis adalah pluralis. Mereka berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk syurga. Semua agama adalah benar sebagaimana criteria masing-masing. Mereka percaya Rahmat Allah itu luas.”[15]

Jalaluddin Rahmat dalam menampilkan sikap Rasyid Ridha tersebut sangat manipulative, karena ia belum menelaah pendapat-pendapatnya pada kitab tafsir al-Manar yang lainnya, bahkan ia menganggap Rasyid Ridha sebagai seorang pluralis, anggapan yang salah dan jauh dari kebenaran.

Abd Moqsith al-Ghazali dalam bukunya: Argumen Pluralisme agama, Membangun Toleransi berbasis al-Quran, ia menulis:

“Jika diperhatikan seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, orang Nashrani dan Shabi’ah, beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang yang beriman yang tetap dengan keimanannya , orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’ah,yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, serta melakukan amal shalih –sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan merasakan balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhmad adalah pernyataan para Mufassir bukan al-Quran, Muhammad Rasyid Ridha berkata: tak ada persyaratan dari orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.”

 Tafsiran pluralis di atas jelas tidak bisa diterima oleh Islam dan tidak ada seorang Mufasir pun yang menafsirkan seperti tafsiran di atas, secara logika saja tafsir di atas jelas salah, karena bagaimana kita akan tahu cara beribadah kepada Allah swt, jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw? Sedangkan Nabi Isa saja diutus untuk mengabarkan kaumnya agar beriuman kepada Nabi Muhammad saw:

Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (Qs. As-Shaff: 6)

Al-Maidah: 69

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Tentang ayat ini Zuhairi Misrawi mengatakan dalam Harian Republika: “Pada mulanya Rasulullah SAW sendiri beranggapan bahwa orang-orang non-Muslim tidak akan masuk surga. Tapi setelah turun ayat tersebut, maka semakin jelas tentang kekuasaan dan kehendak Tuhan terhadap orang-orang non-Muslim. Perbedaan agama tidak menghalangi Tuhan untuk memberikan pahala.” Dengan kata lain, di mana letak keadilan dan kasih sayang Tuhan jika orang-orang non-Muslim yang saleh dan banyak berbuat baik semasa hidupnya kelak dijebloskan ke neraka?

Untuk menanggapi tulisan tersebut kita bahas dengan metode Tafsir al-Quran bil Quran, metode yang dianggap paling baik dalam menafsirkan al-Quran.

Apa maksud yang beriman di antara mereka.

Penjelasan ini akan kita dapatkan dalam dalam Surat Al Baqarah 285, Ali Imran 171-3, An Nisa 162, Al A’raf 157, Al Anfal 2-4 dan 74, At Tawbah 13, Al Mu’minun 2-9, An Nur 62, Al Hujurat 15, dan Al Hadid 19.

Apakah Ahlu Kitab Yahudi dan Nasrani adalah orang yang Beriman?

Menurut Alquran mayoritas mereka tidak beriman. Ini karena mereka mendustakan Nabi Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya, menolak syariatnya, enggan masuk Islam. Itulah sebabnya mengapa Allah menegur dan mengecam mereka (Al Baqarah 89-93, An Nisa 47, An Nisa’ 171). Namun demikian tidak semua Ahlul Kitab itu kafir. Ada sebagian kecil dari mereka yang beriman kepada Rasulullah SAW dan memeluk Islam (Ali Imran 110-115 dan 199, juga Al Ankabut 47).

Apa yang dimaksud dengan amal shalih dalam ungkapan “siapa yang berbuat baik”?

Maksudnya adalah menegakkan kitab suci dan mendirikan shalat,sebagaimana dalam QS al-A’raf: 168

Apa maksud mereka tidak perlu takut dan tiak perlu cemas

Konteks di atas akan banyak kita dapatkan dalam al-Quran,dapat kita simpulkan bahwa mereka adalah otang yang berislam, beriman, beramal shalih, bertaqwa dan beristiqamah.

Demikian tulisan ini dibuat, mungkin kurang semua, tapi kami berharap bisa memberkan satu pencerahan kepada sidang pembaca, amin.

 


[1] . Ahmad Wahib mengaku selama dua tahun diasuh oleh Romo H.C. Stolk dan tiga tahun oleh Romo Wiilenborg

[2] Susurin (ed), Nilai-Nilai Pluralis Dalam Islam. ((Jakarta: Fatayat NU & Ford Foundation, 2005), hal. 150

[3] Leonard Binder “ Islam Liberal”, pustaka pelajar,November 2001

[4] Dr. Anis Malik Thoha, Majalas Islamia, sesi Wawancara

[5]  Drs. Muhammad Thalib, Melacak kekafiran Berfikir, (Jogjakarta, Wihdah Press, 1999) cet. I, hal. 1

[6]  Adian Husaini, Liberalisasi islam di Indonesia, makalah yang disampaikan dalam Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan lampung di Serang-Banten 11 Agustus 2009, hal. 31

[7]  Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU & Ford Foundation, 2005), hal. 150

[8]  Israiliyat wa Maudhu’at,……

[9] www.indra.worpress.com,  diunduh pada tanggal 3, April 2009.

[10] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: tafsir ayat 62 surat Al Baqoroh. 1/147.

[11]  Lihat Tafsir Ath Thobari : 2/32. lihat juga dalam kitab tafsir Al Marogi: hal : 115.

[12] Sufyan bin Sa’id bn Masruq Abu Abdillah Ats Tsauri penduduk Kufah dilahirkan pada kekhilafahan Sulaiman bin Abdul Malik, beliau adalah seorang Imam yang wafat tahun 161 H di Bashroh: lihat Tarikh Bagdad 9/151.

[13] Lihat Tafsir Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an : Imam Al Qurthubi, tafsir ayat 62 surat Al Baqoroh, 1/391. lihat juga kitab Ruhul Ma’ani Tafsir Qur’anul ‘Adzim wa Sab’u Matsaani, oleh Imam Al Aluusi Al Bagdadi : 1/ 423.

[14] Lihat tafsir Al Qur’anul Hakiim, yang masyhur dengan nama tafsir Al Manaar, oleh Ustadz Muhammad Rosyid Ridho: 1/335.

[15] . Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlaq al-Quran menyikapi perbedaan, (Jakarta, Serambi, 2006) hal. 20

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *