Tukang Sol Sepatu di Pecinan Magelang

Di sudut kota Magelang yang penuh sejarah, tepatnya di kawasan Pecinan, saya menemukan sebuah warisan keterampilan yang hampir terlupakan. Pak Karyono, begitu orang-orang memanggilnya, adalah salah satu tukang sol sepatu yang masih setia dengan profesi tradisionalnya.

Saya mencarinya untuk memperbaiki dua sepatu sketch dan satu sandal yang minta dijahit lantaran sudah ‘lapar’. Dia mangkal di depan KFC Magelang, tepat di samping jalan utama Pecinan. Beberapa meter di belakang klenteng Lion Hok Bio Magelang.

Disini dia sudah mendiami tempat ini 9 tahun, sebelumnya selama 21 tahun di daerah Canguk. Gak jauh dari rumahnya di Nambangan, Magelang Tengah.Tempat kerjanya sederhana: sebuah meja kayu tua dengan berbagai peralatan yang tertata rapi—pisau tajam, palu kecil, lem khusus, dan potongan-potongan kulit dan karet. Di kotaknya terdapat puluhan pola sol dan contoh reparasi yang menjadi bukti bisu keahliannya selama puluhan tahun.

Tuturnya, ia asli Jombang, Jawa Timur, tahun 1971 hijrah ke Magelang dan bekerja di pabrik Gelas di Kedaung Grup. Pabrik ini tutup lantaran dibeli Ibu Tin Suharto, dan sekarang menjadi gedung Armada.”Saya mulai belajar Sol sepatu dari paklek saya setelah keluar pabrik,” ungkap Pak Karyono sambil tangannya tidak berhenti menjahit bagian bawah sepatu milik saya.

Di era sepatu murah buatan pabrik dan budaya “sekali pakai buang”, profesi Pak Karyono terasa seperti anomali. Namun justru di sinilah letak keistimewaannya. Keahlian memperbaiki sepatu bukan sekadar pekerjaan baginya, tapi seni yang menyatukan fungsi dan estetika.

Pelanggan Pak Karyono beragam. Ada pegawai kantor yang setia mengandalkannya untuk memperpanjang umur sepatu kulit mahal mereka. Ada pula para lansia yang lebih nyaman dengan sepatu lama yang sudah “membentuk” kaki mereka. Yang menarik, belakangan ini mulai banyak anak muda, seperti saya yang datang membawa sneakers kesayangan untuk diperbaiki.”

Baca juga:   Ganti Tema di Tahun ke-10 Ngeblog

Sekarang anak muda suka sepatu mahal. Kalau rusak sedikit, sayang kalau dibuang,” Pak Karyono terkekeh. “Saya senang bisa membantu. Meskipun kadang harus belajar teknik baru untuk bahan-bahan modern.”

Keterampilan Pak Karyono merupakan contoh sempurna dari filosofi keberlanjutan yang saat ini kembali diminati. Di tengah krisis sampah global dan kesadaran lingkungan yang meningkat, profesi seperti tukang sol sepatu menawarkan alternatif terhadap konsumerisme berlebihan.

Namun di balik kisah inspiratif ini, tersimpan kekhawatiran. Pak Karyono mengaku tidak ada generasi penerus yang berminat mempelajari keahliannya secara serius. “Anak-anak sekarang ingin kerja di kantor, pakai komputer. Tidak ada yang mau tangan kotor dan bau lem seperti ini,” ujarnya dengan nada sendu.

Keberadaan Pak Karyono dan kios kecilnya di Pecinan Magelang bukan hanya tentang jasa perbaikan sepatu. Ia adalah penjaga warisan budaya, saksi hidup dari masa ketika barang-barang dibuat untuk bertahan lama dan diperbaiki, bukan dibuang.

Di antara bangunan-bangunan tua Pecinan yang perlahan berubah menjadi toko, kotak Sol sepatu Pak Karyono menjadi pengingat tentang nilai keberlanjutan dan kerajinan tangan yang mungkin segera menjadi kenangan.

Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya mengapresiasi sepatu yang diperbaiki, tapi juga tangan terampil yang memperbaikinya.

Jumal Ahmad/ahmadbinhanbal.com

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *