Al-Ghazali dan Revolusi Saintifik

Hujatul Islam Abu Hamud al Ghazai adalah seorang cendekiawan ensiklopedok, produktif, serta ilmuwan yang memberi pengaruh dalam peradaban Islam.

Artikel ini sebagai pelengkap dari artikel sebelumnya tentang Imam Al-Ghazali dan Tuduhan Kemunduran Sains Islam dan Neil deGrasse Tyson dan Imam Al-Ghazali. Salah satu bantahan bahwa al Ghazali sebagai puncak kemunduran sains Islam adalah penjelasan dari Prof. Cemil Akdogan, di buku “Science in Islam & The West”.

Menurut Prof. Cemil Akdogan, Al-Ghazali adalah orang yang pertama meruntuhkan otoritas Aristoteles dan menanam benih filsafat mekanikal, yang menjadi pondasi metafisika dari sains modern.

Jadi kontribusi al Ghazali tidak hanya destruktif seperti tuduhan Neil deGrasse, tapi juga konstruktif. Dibandingkan dengan menghambat perkembangan sains, al-Ghazali sebetulnya adalah agen yang memfasilitasi perkembangan sains lebih jauh.

Bagaimana bisa al-Ghazali, seorang pemikir religius tanpa kekuatan politik, menghentikan perkembangan sains hanya dengan dirinya sendiri?

Fakta membuktikan, sains tetap berkembang secara subur dalam peradaban Islam bahkan setelah masa al-Ghazali, khususnya dalam bidang aritmatika & astronomi.

Al-Ghazali sebetulnya tidak menyerang sains, tetapi yang ia serang adalah metafisika Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Farabi & Ibnu Sina. Al-Ghazali mendukung matematika, astronomi dan fisika serta menulis buku tentang logika untuk para ahli kalam. Dia juga memperingatkan para Muslim, untuk tidak menyerang sains.

Supaya dapat masuk ke periode baru seperti Renaissance dan untuk mencapai revolusi saintifik; prasyarat pertama adalah perlu meruntuhkan metafisika Aristoteles, yang secara brilian dilakukan oleh al-Ghazali dalam Tahafutul Falasifah pada akhir abad ke 11 M.

Para ilmuwan Barat sejak tahun 1210 M hingga 1277 M serta pada masa Renaissance, juga mencoba meruntuhkan otoritas Aristotle. Secara parsial, pada tahun 1277 M, ilmuwan² Barat mengulangi secara esensial apa yg telah al-Ghazali capai dalam Tahafutul Falasifah, namun dalam cakupan yang lebih luas. Jika al-Ghazali membantah 20 gagasan menyimpang Aristoteles yg disuarakan oleh al-Farabi & Ibnu sina, Ilmuwan ilmuwan Barat membantah 210 gagasan Aristoteles, Ibnu Rusyd dan Thomas Aquinas sebelum memasuki periode saintifik baru.

Baca juga:   Pandangan Siti Musdah Mulia tentang Feminisme dan Homoseksual

Jika dinilai dari sudut pandang progresif, apa yang dilakukan oleh al-Ghazali sebetulnya menghalau hambatan hambatan yang dapat mencegah perkembangan sains dan teknologi serta menyediakan sains modern dengan pondasi metafisikanya yg baru, yakni filsafat mekanikal. Kita tahu bahwa tanpa pondasi metafisika, sains tidak dapat berkembang. Itulah sebabnya, capaian al-Ghazali lebih dari sekadar fenomenal.

Meskipun al-Ghazali membutuhkan waktu selama tiga tahun untuk menulis Tahafutul Falasifah, ilmuwan² Barat membutuhkan sekurangnya sepuluh tahun untuk mencoba memahami sejumlah implikasi dari gagasan gagasan Aristoteles yang ditafsirkan oleh Ibnu Sina. Sehingga sebetulnya seperti halnya al-Ghazali mereka pun tidak mengikuti otoritas Aristoteles. Kecaman dan penolakan terhadap gagasan gagasan menyimpang Aristoteles melemahkan rujukan pada Aristotelianisme dan memicu lahirnya pandangan alam alternatif untuk menggantikan pandangan alam Aristotle.

Lebih jauh, al-Ghazali telah mengantisipasi beberapa gagasan utama yg memicu revolusi saintifik, khususnya pada peruntuhan Aristotelian atau kosmos abad pertengahan dan penubuhan kesatuan hukum fisika. Oleh karena itu, warisan pemikiran al-Ghazali tidak hanya relevan pada filsafat modern (karena juga mengantisipasi gagasan utama Descartes dan mendahului Hume mengenai kausalitas), tetapi juga relevan untuk dikaitkan pada filsafat sains kontemporer.

Sains dan pemikiran Islam setelah al Ghazali lebih berkembang dengan bersihnya i’tiqad dari filsafat neo platonisme dan aliran Syiah yang terpengaruh dengan ide platonisme, sehingga hampir 80% sampai 90% umat Islam berakidah Sunni dan sisanya Syiah.

Lalu, apa saja sumbangan al Ghazali yang masih digunakan sampai sekarang bahkan mendapatkan perhatian dari sains Barat? Contohnya adalah Causality, Nominalisme, Atomisme, Empiricisme, yang banyak kita dapatkan dalam karya ilmiah.

Beberapa ilmuwan Barat seperti Willian Ockham, Nicholas Malebranche, David Hume dan Rene Descartes dalam Method of Doubt and Sceptism terpengaruh dengan beberapa ide al Ghazali. Tokoh saintis Muslim seperti Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, Ibnu Satir juga tidak lepas dari teori yang dikembangkan oleh al Ghazali. [ ]

Baca juga:   Mengapa kita menolak Sekulerisme?

Referensi

AKDOGAN, CEMIL. “Ghazālī, Descartes, and Hume: The Genealogy of Some Philosophical Ideas.” Islamic Studies, vol. 42, no. 3, 2003, pp. 487–502. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20837288. Accessed 26 Sept. 2024.

Cemil Akdogan (2008), Science in Islam & The West, Kuala Lumpur: ISTAC Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. (download book)

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *