AHMADBINHANBAL.COM – Untuk pertama kalinya, West End di London diterangi lampu-lampu untuk menandakan permulaan bulan Ramadan. Mengutip Arab News, gemerlap lampu itu ada yang berbentuk bulan sabit dan bintang, dengan kata-kata Happy Ramadan. Lampu-lampu ini dipasang di Coventry Street antara Piccadilly dan Leicester Square, yang sebagian besar dihuni populasi muslim London.
Di kota Solo, Jawa Tengah, lampu Ramadan juga berkelik-kelip di jalan untuk menyambut Ramadan sampai lebaran nanti.
Ketika membaca berita di atas, saya mengumpulkan beberapa informasi tentang sejarah lampu Ramadan (Alfanous) dalam Islam, polemik pengharamana yang dikaitkan dengan fatwa Syaikh bin Baz dan Syaikh Utsaimin, namun saya belum menemukan sumber asli fatwa tersebut, dan terakhir penjelasan hukum lampu Ramadan dari Syaikh Hatim Al-Auny.
Sejarah Lampu Ramadan (Fanous)
Lampu Ramadan disebut dengan Fanous, di dialek Mesir disebut Fanos, Phanos dan Fanoos, berasal dari bahasa Yunani yang berarti lampu. Dalam sejarahnya Fanous berarti pelita yang menerangi dunia, mengandung harapan sebagai cahaya di dalam kegelapan.
Di kalangan orang Mesir, ketika menyebut Fanous, mereka mengasosiasikan dengan lampu Ramadan, فانوس رمضانyang artinya lampu, pelita Ramadan.
Saya pernah mereview aplikasi Al-Quran yang diberi nama Alfanous, link.
Terdapar beberapa versi cerita Fanous. Ketika zaman Mesir Kuno, fanous berfungsi sebagai lampu dan pelita. Bahan bakarnya dari minyak dan lemak hewan. Fanous ketika itu digunakan untuk menyambut munculnya bintang Sirius dan menyambut kelahiran dewa dewi Mesir selama 5 hari.
Versi lain yang sangat dikenal adalah sejarah Fanous ketika masa pemerintahan khilafah Fatimiyyah dibawah pimpinan Khalifah Mu’īzz Līdīnillah Al Fatīmiyy.
Kisah ini memiliki beberapa versi.
Pertama, suatu ketika keluar pada suatu malam untuk melihat bulan pertama pada bulan Ramadan. Bersamanya anak-anak yang membawa fanous untuk menerangi jalan-jalan dan menyanyi kegembiraan untuk menyambut bulan mulia Ramadan.
Kedua, salah seorang khalifah Fatimiyyah ingin menerangi jalan di sekitar kota Kairo selama bulan Ramadan. Maka sang khalifah memerintahkan kepada masayikh dan imam untuk menyalakan fanous di setiap masjid dan jalan ke masjid mereka.
Ketiga, ketika masa Fatimiyyah, wanita tidak diperbolehkan untuk keluar rumah dan tetap tinggal di rumah, kecuali ketika bulan Ramadan. Mereka akan keluar dengan anak-anak mereka dengan membawa lampu fanous sebagai tanda bagi kaum lelaki ada wanita di daerah itu. Jadi, wanita bisa keluar rumah tanpa dilihat lelaki.
Selanjutnya, apakah benar tradisi lampu Ramadan itu berasal dari masa Fatimiyyah, di bawah saya lampirkan penjelasan dari Syaikh Hatim Al-Auny bahwa lampu Ramadan bukan mulai dikenal pada masa Fatimiyyah, yang Rafidhah tetapi pada masa Umar bin Khatab.
Benarkah Syaikh bin Baz Mengharamkan Lampu Ramadan?
Di salah satu fanspage facebook fatwa, disebutkan penjelasan pusat fatwa Saudi itu tentang seorang anak yang hendak membeli lampu Ramadan dan dijawab dengan kebolehan karena bukan termasuk dalam hal ibadah (link).
Teks Arabnya:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:
فلا نعلم مانعا من شراء ما يسمى بالفانوس في شهر رمضان أو غيره، إذ ليس المقصود من شرائه أي نوع من أنواع التعبد، كما أنه ليس من عادة غير المسلمين، ولا يعتقد الناس عند شرائه شيئا يخالف عقيدة التوحيد
Segala puji bagi Allah, doa dan salam atas Rasulullah, keluarga dan para sahabat. Amma ba’du:
Kami tidak mendapatkan adanya larangan membeli lampu Ramadan atau lainnya, karena bukan bermaksud membeli sebagai sebuah ibadah, dan bukan kebiasaan non muslim, dan hendaknya orang yang membelinya tidak mempercayai apapun yang menyelisihi akidah dan tauhid.
Saya menemukan pengharaman Syaikh bin Baz adalah tentang memasang gambar atau patung di dalam rumah karena bisa jadi wasilah kemusyrikan, dan menyerupai orang kafir. Lihat fatwa lengkapanya di link ini.
Syaikh Hatim Al-Auny tentang Pengharaman Lampu Ramadan dan Sejarahnya
Syaikh Hatim Al-Auny menjelaskan tentang fenomena pengharaman lampu Ramadan, menyebut bahwa fatwa ini tidak berdasar atas ilmu dan pemahaman yang benar akan makna bid’ah. Sampau muncul pernyataan bahwa yang pertama membuat ini adalah Daulah Fatimiyyah (mayoritas Rafidhah), sehingga dilarang untuk menyerupai mereka.
Menurut beliau, lampu Ramadan adalah bagian dari Adat (kebiasaan) yang ditujukan untuk menampakkan kesenangan akan datangnya Ramadan. Dan pengkhususan pada hari ini seperti seseorang mengkhususkan makanan atau minuman tertentu, yang tidak ada kaitannya dengan sunah dan bid’ah.
Adapun pernyataan bahwa yang pertama membuatnya adalah Fatimiyyin, tidak benar. Kalau pun benar, tidak cukup untuk menjadi sebab pengharaman.
Pengkhususan Ramadan dengan lampu dan penerang adalah sunah Umariyyah (salah satu ijtihad yang dilakukan Umar), yang pertama membuatnya adalah Sahabat Umar bin Khatab di masjid, sehingga masjid menjadi lebih terang ketika salat Isya dan tarawih.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah pernyataan Sahabat Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan secara mursal bahwa suatu ketika, saat zaman Ali bin Abi Thalib sedang memasuki masjid di bulan Ramadhan, ia berkata,
«نوّر الله لعمر بن الخطاب كما نور مساجد الله»
“Semoga Allah menerangi kuburmu, Wahai Ibnul Khattab, sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah.”
Begitulah sikap para sahabat Rasul dalam menyambut bulan Ramadhan. Mereka menyambutnya dengan riang gembira. Dengan persiapan hati dan fisik serta lingkungan yang menunjukkan kebahagiaan.
Syaikh Hatim menjelaskan lagi..
Al-Azraqi (w. 250 AH) mengatakan dalam bukunya Akhbar Makkah (2/98), al-Fakihi (w. 272 AH) juga di Akhbar Makkah (2/204) dan al-Fassi (w. 832 AH) dalam Shifa’ al-Gharam bi Akhbar al-Balad al-Haraam (1/313) bahwa Masjid Al-Haram dulunya dikhususkan ketika Ramadhan dengan lebih banyak lentera dan lampu gantung, dan di Ramadhan lebih terang daripada di tahun dan di musim-musim lainnya. Azraqi dan Fakihi meninggal sebelum adanya negara Fatimiyah.
Suka Cita Menyambut Ramadan
Inilah yang dipesankan oleh Rasulullah SAW, bahwa kita mesti menyambut Ramadhan dengan suka cita. Pun tak lupa mengisinya dengan berbagai doa dan amal ibadah.
Disebutkan sebuah hadis tentang Khutbah Nabi di akhir Sya’ban, riwayat Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hayyan dari Sahabat Salman radhiyallahu anhu.
untuk dibaca ketika Ramadan.
قَالَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: خَطَبَنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ آخِرِ يوْمٍ مِنْ شَعْبَانِ، فَقَالَ:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخِصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَة فِيْمَا سِوَاهُ،
وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ،
قَالُوْا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يفطرُ الصَّائِمُ. فَقَالَ : يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شَرْبَةَ مَاءٍ أَوْ مَذقَةَ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوْكِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ،
وَاسْتَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ، : خِصْلَتَيْنِ تَرْضْوَنِ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخِصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخِصْلَتَانِ اللَّتَانِ تَرْضَوْنَ بِهِمَا رَبَّكُمْ فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَتَسْتَغْفِرُوْنَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنَى بِكُمْ عَنْهُمَا فَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الْجَنَّةَ وَ تَعُوْذُوْنَ بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيْهِ صَائِمًا سَقَاهُ اللهُ مِنْ حَوْضِيْ شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ.
Artinya:
Salman Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkhutbah di hari terakhir bulan Sya’ban. Beliau berkata,
”Wahai manusia, sungguh telah dekat kepadamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan, bulan yang mana Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat (tarawih) di malamnya sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan satu kebaikan (amalan sunnah), maka pahalanya seperti dia melakukan amalan fardhu di bulan-bulan yang lain. Barangsiapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka pahalanya seperti telah melakukan 70 amalan fardhu di bulan lainnya.
Inilah bulan kesabaran dan balasan atas kesabaran adalah surga, bulan ini merupakan bulan kedermawanan dan simpati (satu rasa) terhadap sesama. Dan bulan dimana rizki orang-orang yang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) orang yang berpuasa maka baginya pengampunan atas dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan dia mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa.
Mereka (para sahabat) berkata : “Wahai Rasulullah! tidak semua dari kami mempunyai sesuatu yang bisa diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Rasulullah menjawab: “Allah akan memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau setetes susu”.
Inilah bulan yang permulaannya (sepuluh hari pertama) Allah menurunkan rahmat, yang pertengahannya (sepuluh hari pertengahan) Allah memberikan ampunan, dan yang terakhirnya (sepuluh hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka . Barangsiapa yang meringankan hamba sahayanya di bulan ini, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.
Dan perbanyaklah melakukan empat hal di bulan ini, yang dua hal dapat mendatangkan keridaan Tuhanmu, dan yang dua hal kamu pasti memerlukannya. Dua hal yang mendatangkan keridaan Allah yaitu syahadah (Laailaaha illallaah) dan beristighfar kepada Allah, dan dua hal yang pasti kalian memerlukannya yaitu mohonlah kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka .
Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberinya minum dari telagaku, dimana dengan sekali minum ia tidak akan merasakan haus sehingga ia memasuki surga“.
Ulama menyebutkan, hadis tersebut dari sisi riwayatnya dipandang daif (lemah). Namun diriwayatkan lebih puluhan riwayat, dan pada makna-makna kalimatnya didukung oleh hadis-hadis shahih. Maka pada hakikatnya meskipun hadits ini riwayatnya dha’if, namun merupakan perpaduan hadits-hadits shahih yang terpisah.
Selain itu, ulama pun telah memberikan kesepakaatan bahwa diperbolehkan beramal dengan hadis daif dalam fadhailul amal (keutamaan amal) selama kadar daifnya tidak sampai derajat hadis yang dipalsukan atas nama Nabi (hadis Maudhu’).
Oleh sebab itu, menurut Al-Habib Abdullah bin Mahfudz bin Muhammad Al-Haddad dalam bukunya, ‘Terjemah Kitab Fatawa Ramadhan Menjawab Berbagai Persoalan Puasa Ramadhan‘ terbit oleh Jejak Publisher, 2021, hal. 18-20 menjelaskan bahwa hadis ini bisa menjadi syiar bagi umat Islam untuk terus diserukan di siang dan malam bulan Ramadan, dan tidak ada satu pun yang mengingkari perihal ini kecuali orang-orang yang tercegah dari kebaikan di bulan Ramadan. Betapa banyak amal-amal kebaikan dianjurkan oleh syariat, diingkari oleh mereka, merek menyatakan bahwa tidak boleh mengtakhish dalil yang mujmal (universal).
Dakwaan mereka tersebut tidaklah benar dan tidak ada dalil dari syariat yang membenarkan itu. Bahkan Nabi sendiri melakukan amaliah tersebut secara terus menerus. Ketika Nabi melakukan sebuah amal, beliau akan selalu melanggengkannya. Hal ini menunjukkan kebalikan dari yang mereka dakwakan dan mereka ingkari. (hal. 20-21).
Sumber:
Jumal Ahmad | Islamic Character Development