Apakah Maulid Nabi Bid’ah? Jawaban Lengkap dan Tuntas dari Ulama Salaf dan Kontemporer

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW adalah acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah. Pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa’id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Di acara ini, Abul Khatab bin Dihyah Al-Kalbi (Wafat 633 H)mempersembahkan buku pertama tentang Maulid ke hadapan al-Muzaffar berjudul “al Tanwīr min Mawlid al Sirāj al Munīr”.

Ada yang menyebutkan penulis buku pertama tentang Maulid adalah Al-Waqidi, penulis buku Al-Maghazi dan Futuh yang wafat tahun 206 H atau 209 H. Dia menulis dua buku tentang Maulid yaitu “al Mawlid al Nabawī” dan “Intiqāl al Nūr al Nabawī”.

Peringatan maulid pada saat itu (masa al-Muzaffar) dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama.

Peringatan maulid Nabi seperti gambaran di atas tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun Sahabat. Karena alasan inilah, sebagian kaum muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan mengklaim bid’ah pelaku perayaan maulid. Menurut kelompok ini seandainya perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya.

Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperjelas hakikat perayaan maulid, dalil-dalil yang membolehkan dari para ulama yang dipercaya.

Dalil Maulid Nabi menurut Ustaz Abdul Somad

Dalam sebuah ceramah yang dibagikan di kanal Youtube Pemuda Hijrah Official. Ustaz Abdul Somad menjelaskan ada tiga dalil tentang merayakan Maulid Nabi. Ada dua hukum dalam merayakan maulid Nabi, bid’ah dan bukan bid’ah.

Menurut Ustaz Abdul Somad, merayakan Maulid Nabi bukan bid’ah berdasarkan tiga dalil atau hukum.

Dalil Pertama

Kisah Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang telah hafal 300 ribu hadis di kepalanya tapi membenarkan maulid. Imam Alhafiz pernah mengatakan pada tanggal 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa. Pada saat ini Bani Israil kemudian melaksanakan puasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi Musa.

Sejak saat itu, setiap tanggal 10 Muharram, umat Bani Israil sampai umat Islam menjalankan ibadah puasa. Hal tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Imam Al-Hafiz berkata, bila tradisi-tradisi untuk Nabi Musa dibolehkan, maka perayaan Maulid Nabi juga demikian.

Dalil Kedua

Hadis Riwayat Al-Baihaqi tentang keharusan manusia untuk mengingat nikmat-nikmat Allah.

Dalil Ketiga

Kisah ketika Nabi dilahirkan. Ada seorang lelaki bernama Abu Lahab memiliki budah bernama Suwaibah yang ditugaskan menjaga adik iparnya, Aminah.

Aminah lantas melahirkan Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awal, haro Senin. Suwaibah lantas memberi kabar kepada Abu Lahab. Abu Lahab merasa senang karena adiknya yang meninggal sudah digantikan dengan keponakannya.

Saking bahagianya, lantas Abu Lahab membebaskan budak bernama Suwaibah itu. Sejak kelahiran Nabi Muhammad, hari itu merupakan sedekah tersebsar Abu Lahab sehingga dosanya diringankan setiap hari senin.

Maulid Bid’ah? Oleh Ust. Budi Ashari

Hari ini diyakini di negeri ini sebagai hari kelahiran Nabi mulia kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam atau dikenal dengan Hari Maulid 12 Rabiul Awal, walaupun para ahli sejarah sesungguhnya berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau.

Tulisan ini sedang ingin melebarkan wawasan sekaligus melapangkan jiwa. Supaya anda bisa memberi ruang bagi saudara anda untuk menempati salah satu relung hati. Karena itu tujuannya, maka saya tidak pernah ridha jika siapapun yang membacanya, bertikai setelahnya. Atau tulisan ini dijadikan sebagai senjata mengoyak rasa saudaranya.

Maulid Bid’ah?

Pertanyaan yg kali ini tidak saya jawab hukumnya. Tapi masalah penyikapan terhadap saudara yang berbeda. Karena ada yang menjalankannya dengan khusyu’ berharap pahala agung tapi ada yang mengatakannya sebagai perbuatan bid’ah yg mungkar.

Apakah dua hal ini mungkin disatukan. Sekilas kita jawab, mustahil! Tapi perhatikan ulasan di bawah ini. Ini masalah penyikapan….

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah jelas jelas mengatakan bahwa maulid dan peringatan semisalnya adalah bid’ah dan tidak ada contohnya di salafush sholeh.

Tapi tunggu…

Itu sikap beliau untuk dirinya dan siapapun yang mau mengambil pendapat beliau. Tapi bagaimana dengan sikap beliau kepada orang yang berseberangan dengan pendapat ini.

Berikut kalimat beliau langsung,

“Mengagungkan maulid dan menjadikannya suatu perayaan, dilakukan oleh sebagian orang. Dan hal itu menyebabkan pahala baginya dikarenakan niat baiknya dan pengagungannya untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa hal itu baik bagi sebagian orang tapi buruk bagi mukmin yg berhati hati.” (Iqtidho’ ash shiroth al mustaqim 2/126)

Jelas betul, bahwa beliau tetap memegang prinsip, tapi tetap menyisakan ruang yang lapang sekali bagi saudaranya. Bahkan dengan sangat berani beliau katakan, pelakunya mendapatkan pahala.

Pelaku bid’ah mendapatkan pahala??? Pasti kalimat patah ini menggelayuti kepala siapapun yg tak memiliki keluasan ilmu dan kelapangan hati seperti Ibnu Taimiyyah.

Ah…andai sikap dan menyikapi ini dipelajari beriringan….(BERHARAP)

Karenanya, Ibnu Taimiyyah memberikan contoh yg jauh lebih tinggi lagi yaitu pada Imam Sunnah; Imam Ahmad rohimahulloh. Masih lanjutan kalimat di atas,

“Karenanya dikatakan kepada Imam Ahmad tentang sebagian pemimpin: dia mengeluarkan sekitar 1000 Dinar untuk membuat sebuah mushaf. Beliau menjawab: biarkan mereka. Itu infak terbaik emas (dinar). Padahal madzhab beliau adalah menghias mushaf hukumnya makruh.

Para ulama madzhab menakwilkan bahwa hal itu untuk kualitas kertas dan tulisan yg lebih baik. Tapi bukan itu yg dimaksud oleh Imam Ahmad. Maksud beliau adalah bahwa ini ada kebaikannya tapi juga ada kerusakannya yg menyebabkan dihukumi makruh.

Tapi mereka ini jika tidak melakukan hal tersebut, mereka akan melakukan kerusakan yang tidak ada kebaikannya sama sekali. Seperti mengeluarkan harta mereka utk menerbitkan buku buku peneman malam, syair syair atau hikmah Persia dan Romawi.”

Allahu Akbar….!!!
Inilah FIKIH yg SESUNGGUHNYA.

Ada Fikih pertimbangan. Di hadapan Imam Ahmad ada dua pertimbangan:

  1. Kebaikan bercampur kerusakan. Yaitu mencetak mushaf itu kebaikan, tapi menghias-hias hingga menghabiskan sekitar 2M Rupiah itu kerusakan.
  2. Atau uang itu akan dipakai utk mencetak buku-buku yg tidak bermanfaat bahkan cenderung besar mudhorotnya.

Maka keluarlah keputusan Imam ahlus sunnah, Imam Ahmad bahwa walau beliau tetap berpendirian menghias hias mushaf itu makruh tapi untuk penguasa dan orang kaya itu, biarkan dan itu baik baginya. Karena kalau tidak untuk mushaf, uangnya tetap dihamburkan utk hal yg sia-sia.

Bisakah anda seperti ini….
Inilah ilmu yg sesungguhnya…

Bagi saudaraku yg mengagumi Ibnu Taimiyyah, bacalah seutuhnya tentang beliau.
Bagi saudaraku yg membenci Ibnu Taimiyyah, bukankah sudah anda lihat beliau tidak seperti yang anda bayangkan.

Sekali lagi…Ini masalah KELUASAN ILMU. Tapi…Juga ttg MENGILMUI SIKAP

Semulia sikap Rasul kita.
صلى الله عليك يا نبي الله
Bersholawatlah utk Nabi kalian…

#sapapagi

Oleh: Ust Budi Ashari

Keterangan Ust Budi Ashari bisa anda simak di kajian YouTube: Gitu ya Ustadz? berikut ini.

Ketika kita kembalikan kepada realitas hari ini, bahasan bid’ah atau bukan Maulid ini menjadi bahasan yang tidak penting karena masih banyak masalah yang harus dihadapi umat Islam.

Perbedaan pemahaman dibolehkan dalam Islam, tapi harus saling menghargai, sampaikan pendapat kita dan jangan memaksa sehingga timbul perpecahan atau muslim yang lain tersinggung. Jika Islam terpecah belah, musuh Islam akan lebih mudah menguasai dan menghancurkan Islam.

Membaca uraian Budi Ashari di atas, saya jadi ingat perkataan Ibnu Mubarak:

لايفتي المفني حين يفتي حتى يكون عالما بالأثر بصيرا بالواقع

“Tidaklah seorang mufti memberikan fatwa sampai dia mengetahui tentang atsar dan paham realitas”.

Muslim dengan muslim lainnya, hendaknya membawa jarum dan air. Jarum untuk menjahit dan merekatkan ukhuwah dan air untuk menyiram hati. Hindari membawa gunting dan minyak yang malah memotong dan membakar hati saudara kita.

موعد المولد النبوي الشريف 2021.. إجازة للقطاعين العام والخاص - أي خدمة -  الوطن

Hadis Tentang Pahala Maulid Nabi

Khutbah Jumat kemarin di masjid dekat kontrakan saya, khatib membacakan hadits berkenaan pahala Maulid yang setara dengan Infaq seribu dirham.

Redaksi hadisnya sebagai berikut:

مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِي كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِي مَوْلِدِي فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Barang siapa yang memulyakan / memperingati hari kelahiranku maka aku akan memberinya syafa’at pada hari kiamat. Dan barang siapa memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiranku, maka akan diberi pahala seperti memberikan infaq emas sebesar gunung fi sabilillah”.

Salah satu hadis yang populer dan beredar luas di masyarakat. Setiap tahun hadis tersebut disampaikan dengan baik dan menarik di kajian dan broadcast WA.

Ternyata, beberapa hadis yang sering tersebar mengenai pahala maulid, termasuk hadis di atas adalah hadis palsu atau hadis yang laa ashla lahu (tidak ada dasarnya). Syaikh Nawawi Al-Bantani memang menyebutnya dalam kitab Madarij Al-Su’ud, namun beliau juga tidak menyebutkan dari mana sumber Hadis tersebut berasal dan siapa perawinya.

Meski hadis di atas bermasalah, tapi bukan berarti peringatan maulid juga bermasalah. Memang tidak ada dalil khusus dari Al-Quran, hadis dan penjelasan ulama salaf tentang perayaan maulid. Namun, banyak ulama yang memberikan legalitas terhadap perayaan maulid selama isinya baik, bermanfaat dan tidak menyalahi syariat. Maka perayaan maulid Nabi sangat dianjurkan.

Ada beberapa hadis lain yang kuat dan punya relasi kuat dengan legalitas perayaan Maulid Nabi (penjelasan lengkap kami sadur dari tulisan Muhammad Ali Wafa).

Hadis Maulid seperti Hari Asyura

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ ` لمَاَ قَدِمَ اْلَمدِيْنَةَ وَجَدَهُمْ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوراءَ فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَى اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فصَامَ مُوْسَى شُكْرًا ِللهِ تَعَالَى فَقَالَ (أَنَا أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْهُمْ). فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Ibn ‘Abbas menceritakan bahwasanya saat Nabi Saw datang ke Madinah, beliau mendapati mereka (orang-orang Yahudi) berpuasa Asyura. Saat ditanya, mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Maka puasa ini karena bersyukur kepada Allah. Rasulullah Saw kemudian bersabda: Aku lebih berhak (memuliakan) Musa daripada mereka. Rasulullah pun berpuasa dan menganjurkannya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Ibn Hajar –seperti dikutip al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa– menjelaskan bahwa dari Hadis tersebut dapat diambil pengertian tentang kebolehan berbuat sesuatu di hari tertentu sebagai wujud rasa syukur atas anugerah nikmat-Nya.

Bentuk syukur ini dapat dilaksanakan melalui ibadah seperti shalat, puasa, shadaqah dan lainnya. Rasulullah saja berpuasa di hari tertentu –seperti Asyura’– karena bersyukur atas nikmat-Nya. Bukankah kelahiran Rasulullah Saw. adalah nikmat terbesar, dan sebaik-baik nikmat adalah Rasulullah Saw. itu sendiri? Lalu mengapa bersyukur atas nikmat itu harus dilarang.

Ibn Rajab al-Hanbali dalam Latha’if al-Ma’arif menyebutkan bahwa lahirnya Nabi Muhammad Saw. dan diangkatnya sebagai Nabi dan Rasul adalah nikmat yang paling agung, bahkan jauh melebihi nikmat adanya langit dan bumi, matahari dan rembulan, siang dan malam, dan atau nikmat apapun itu, Rasulullah tetap adalah nikmat terbaik di antara segala nikmat-Nya.

Ibn Rajab kemudian menuturkan bahwa berpuasa di hari adanya nikmat agung ini sangat bagus (hasan jamil) dan termasuk cara menyikapi kenikmatan yang diterima dengan cara bersyukur.

Dengan ungkapan berbeda, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad Saw. adalah nikmat terbesar (a‘zham al-ni’am) dan wafatnya adalah musibah terbesar (a‘zham al-masha’ib). Karenanya syari’at sangat menganjurkan untuk bersyukur atas nikmatnya, bersabar dan tenang atas musibah yang menimpa. Maka bersyukur atas nikmat agung berupa lahirnya Nabi Muhammad Saw. sangat dianjurkan.

Jika memperingati sesuatu seperti Maulid Nabi ini dilarang, Rasulullah pada saat itu tidak akan berpuasa Asyura bahkan melarangnya, apalagi puasa Asyura itu juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tapi faktanya Rasulullah bukan hanya berpuasa, tapi juga meganjurkannya.

Untuk itu Ibn Rajab dalam Latha’if al-Ma’arif menyatakan bahwa puasa ini setara dengan puasa Asyura (wa nazhiru hadza shiyamu yauma Asyura’). Maka perayaan Maulid Nabi memiliki ruhnya dalam Hadis ini, dengan catatan isinya tidak mengandung kemafsadatan, kemudaratan atau kemaksiatan.

Hadis Nabi Berpuasa di Hari Senin

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ ` عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ : ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

Dari Abu Qatadah, suatu ketika Rasulullah Saw ditanya tentang berpuasa di hari Senin. Rasulullah menjawab: “Itu adalah hari kelahiranku dan hari aku di utus menjadi Nabi.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Menjelaskan Hadis ini, Ibn Rajab al-Hanbali dalam Latha’if al-Ma’arif berkata; Hadis ini adalah isyarat akan kesunnahan berpuasa di hari-hari yang terdapat nikmat-nikmat Allah Swt. atas hamba-Nya. Sesungguhnya nikmat paling agung itu adalah kelahiran Rasulullah Saw., dan diangkatnya beliau sebagai Nabi dan Rasul.

Namun beberapa kalangan menolak dan menyebutkan bahwa dalam Hadis ini Rasulullah Saw bukan berpuasa untuk hari kelahirannya, dan tidak mengkhususkannya di hari Senin saja, sebab ia berpuasa hari Kamis juga. Puasa Senin Kamis ini rutin dilaksanakan, dan tidak ada kaitannya puasa ini dengan kelahirannya.

Penjelasan ini termasuk analisis keharaman Maulid Nabi yang disampaikan Ahmad al-Tuwaijiri dalam kitabnya al-Bida’ al-Hauliyah. Al-Tawijiri berkesimpulan apapun bentuk peringatan Maulid –meski isinya baik– tetap melanggar dan menyalahi syariat karena tidak pernah dijelaskan oleh al-Qur’an, Hadis dan ulama salaf.

Padahal Rasulullah Saw adalah orang yang paling rajin dalam beramal kebaikan. Sebagaimana Imam al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya menyampaikan Hadis sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ` أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ

Ibn ‘Abbas mengabarkan bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang paling rajin dalam kebaikan, terutama di bulan Ramadhan.”

Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling rajin berbuat baik. Berbuat baik bebas dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja, yang penting tidak melanggar syari’at. Maka perayaan Maulid asal niat dan isinya baik sangat dianjurkan. Karenanya al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi menyatakan; Jika memasuki bulan Rabi’ul Awal, maka hendaknya memuliakan, mengagungkan dan menghormatinya sesuai dengan tuntunan Nabi Saw, yaitu lebih memperbanyak berbuat kebaikan.

Sepertinya Ahmad al-Tuwaijiri melewatkan begitu saja penjelasan al-Suyuthi lainnya di dalam al-Hawi li al-Fatawi, bahwa al-Suyuthi menegaskan memuliakan hari kelahiran Nabi adalah termasuk pula dengan memuliakan bulan kelahirannya, maka sudah sepatutnya menghormati dan memuliakan bulan yang sangat Allah muliakan ini.

Karena itu, Hadis di atas sebenarnya adalah isyarat dari Rasulullah Saw mengenai keagungan bulan Maulid Nabi tersebut. Karenanya saat Rasulullah Saw ditanya tentang puasa hari Senin beliau langsung menjawab; Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diangkat menjadi Nabi.

Maka dari itu, perayaan Maulid Nabi baik dan bagus dilaksanakan. Sebagaimana Rasulullah Saw mengistimewakan dan menyebutkan hari Senin sebagai hari kelahirannya. Namun perlu ditekankan, isi dan nilainya harus baik dan sesuai dengan tuntunan syari’at.

Lembaga Fatwa Dunia Menghukumi Maulid

Kami sampaikan flyer yang memberikan informasi tentang lembaga fatwa dunia Islam yang menghukumi Maulid sesuai syariat dan tidak sesuai syariat. Ada 25 lembaga fatwa dunia yang membolehkan dan hanya 1 lembaga fatwa dunia yang tidak membolehkan.

Lembaga fatwa yang membolehkan Maulid Nabi

1- دار الافتاء المصرية
2- وزارة الشؤون الدينية الجزائرية
3-وزارة الأوقاف المغربية
4- مفتي الديار العراقية رافع الرفاعي مع ديوان الوقف السني العراقي
5-المفتي العام للقدس والديار الفلسطينية رئيس مجلس الافتاء الأعلى محمد حسين
6- هيئة الافتاء الشيشان
7- هيئة الفتوى بوزارة الاوقاف الكويتية
8- الهيئة العامة للشئون الإسلامية والاوقاف بالإماراتية 
9- دار الافتاء الأردنية
10 – وزارة الاوقاف بالجمهورية السورية
11- دار الفتوى الجمهورية اللبنانية 
12- مفتي البوسنة والهرسك حسين سماييتش
13-وزارة الاوقاف والشئون الدينية بسلطنة عمان
14-وزارة الاوقاف والشئون الإسلامية مملكة البحرين
15- الشئون الدينية التركية
16-وزارة الاوقاف الماليزية
17- وزارة الاوقاف اندونيسيا
18-المجلس الاعلى للشئوون الإسلامية بجمهورية تشاد ومفتيها أحمد النور محمد الحلو
19- المجلس الأعلى للشئوون الإسلامية بجمهورية السنغال ومفتيها العام د. أحمد تيان نييام
20- هيئة الافتاء في تونس
21- دار الافتاء العام في موريتانيا
22- وزارة الاوقاف والشئوون الدينية السودانية
23- وزارة الشئوون الدينية باكستان
24- الهيئة العامة للاوقاف والشئوون الإسلامية في ليبيا في حكومة السراج

Lembaga fatwa yang tidak membolehkan Maulid Nabi

  1. دار الإفتاءفي السعودية
lembaga fatwa yang membolehkan maulid nabi

Selanjutnya kami sampaikan beberapa pendapat ulama tentang Maulid Nabi.

Pendapat Ulama Kontemporer tentang Maulid Nabi

Tidak diragukan lagi, kita semua memiliki cinta di hati kita untuk Nabi Muhammad SAW, kekasih kita yang agung, panutan kita, Imam kita, semoga doa dan kedamaian Allah besertanya dan keluarga dan sahabatnya.

Perayaan maulid Nabi tidak boleh melebihi batas hukum, dan tidak boleh melebihi batas dari apa yang diperintahkan kepada kita untuk mencintai Nabi SAW dengan memasukkan sesuatu yang dilarang atau keji.

Ulama terkemuka di masa lalu mengatakan ini, seperti: Ibn al-Hajj dari mazhab Maliki, Syekh al-Islam al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Jalal al-Din al-Suyuti, dan Syekh Muhammad al-Fadil Ibn Ashour, dan di antara kaum modernis adalah Syekh Abdullah al-Siddiq al-Ghamari, Profesor Bashir al-Mahmoudi dari ulama Marrakesh, dan Syekh Yusuf al-Qaradawi, Syekh Abdel-Khaleq Al-Sharif dari Mesir, dan Syekh Attia Saqr, mantan ketua Fatwa di Al-Azhar.

Kami sajikan pilihan dari fatwa ulama Maghreb dan Syam yang menjelaskan aspek masalah ini.

Syekh Abdullah al-Siddiq al-Ghamari

Beliau ditanya: Bagaimana hukum adat-istiadat yang biasa dirayakan orang, seperti mengadakan pesta dan memberi permen dan sebagainya ketika perayaan Maulid?

Abu Abdullah bin Al-Hajj, dari mazhab Maliki, menyebutkan dalam bukunya “Al-Madkhal Ala Amalil Maulid”, dia menguraikan dengan sangat baik tentang perayaan Maulid, dan simpulannya adalah memuji apa yang ada di dalamnya dengan menampilkan syukur, dan mencela apa yang terkandung di dalamnya dari hal tabu dan kekejian.

Dari itu dia berkata: Dan jika Nabi SAW tidak menambahkan padanya salah satu bulan ibadah lainnya, dan bentuk kasih sayang Nabi SAW untuk umatnya. karena Nabi meninggalkan suatu amalan karena takut akan memaksakan rahmat kepada umatnya, tetapi Nabi SAW mengacu pada keutamaan bulan besar ini dengan mengatakan kepada penanya yang bertanya kepadanya tentang puasa pada hari Senin: “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan.”

Jadi menghormati hari ini adalah tersirat dengan menghormati bulan ini di mana Nabi SAW dilahirkan. Jadi kita harus menghormati dia dengan sangat hormat dan memberikan preferensi kepadanya dengan apa yang telah diberikan Allah pada bulan-bulan yang saleh. Dan keutamaan waktu dan tempat adalah apa yang Allah pilih untuk ibadah di dalamnya karena diketahui bahwa tempat dan waktu tidak menghormati diri mereka sendiri, tetapi dihormati dengan makna khususnya (الأمكنة والأزمنة لا تَشْرُف لذاتها، وإنما بما خُصَّتْ به من المعاني)

Jadi lihatlah apa yang telah Tuhan pilih untuk bulan yang mulia ini, ada pahala yang besar di dalamnya, karena Nabi SAW lahir di dalamnya.

Berdasarkan hal tersebut, ketika bulan suci ini masuk, maka harus dimuliakan dan dihormati karena mengikuti Nabi bahwa hari itu termasuk waktu yang baik dengan memperbanyak amal shaleh dan amal kebaikan.

Profesor Bashir al-Mahmoudi

Menurut Profesor Bashir Al-Mahmudi, seorang ulama dari Marrakesh. Maulid adalah sebuah perayaan untuk mengingati nikmat-nikmat Allah Subhanahu Wata’ala. Beliau mengatakan dalam kajian ilmu tentang Maulid.

Perayaan hari kelahiran Rasulullah, bukan untuk fisiknya, melainkan untuk ruhnya. Kami tidak mencintai Nabi, melainkan karena Allah. Kami tidak mencintainya karena dia adalah Muhammad bin Abdullah, tetapi kami mencintainya karena dia adalah Rasul Allah, dan kami mencintainya karena dia pemberi informasi tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa dia adalah kekasih Tuhan Yang Maha Esa, dan kami mencintainya karena cintanya adalah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Merayakan maulid Rasul adalah perayaan dan dzikir atas nikmat Allah untuk kita ingat dan syukuri. Maka dalam perayaan ini harus disertai dengan ilmu pengetahuan, khotbah, ceramah, seminar, pengetahuan, zikir, Al-Qur’an, kebajikan, saling berjabat tangan, dan toleransi antar saudara.

Secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Perayaan Maulid adalah masalah yang kontroversial, dan diperselisihkan dalam masalah fiqih dan tidak boleh mencela masalah yang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama salaf.
  2. Mengabaikan pendapat yang bersebelahan bukan bagian dari fiqik dakwah dan akhlak seorang dai. Kita mesti bekerja sama dalam hal yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal perbedaan. Semboyan para ulama adalah نختلف ولا نفترق “Kami berbeda pendapat tapi kami tidak berpecah belah.” Perbedaan pendapat dan pemahaman jangan sampai menyebabkan perbedaan hati, bahkan sampai pada saling membid’ahkan dan mengkafirkan. Hendaknya kita menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah juziyyah sebagaimana perselisihan para Tabi’in dan aimmah mujtahid yang mereka berbeda pendapat dan pada waktu yang sama saling mencintai dan menyayangi.
  3. Perayaan Maulid diperbolehkan banyak ulama dan ahli hukum Islam, karena merupakan kebiasaan yang baik atau bid’ah yang dapat diterima, dan terus dilakukan oleh umat Islam sejak abad keempat Hijriah hingga sekarang.

Syaikh Athiyyah Shaqr

Syaikh Athiyyah Shaqr, ketua lajnah fatwa di Al-Azhar dahulu mengatakan:

Syaikh Muhammad Al-Fadhil bin Asyur mengatakan:

“Dalam kitab hadis Shahih Muslim dari Abu Qatadah Al-Anshari berkata:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَقَالَ فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: “Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku.” (HR. Muslim) [No. 1162 Syarh Shahih Muslim] Shahih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa hari kelahirannya memiliki keunggulan dibandingkan hari-hari lainnya. Seorang mukmin berhak untuk memaksimalkan pahalanya dengan menyepakati hari di mana ada berkah, dan preferensi untuk beramal bertepatan dengan saat-saat yang penuh syukur. Maka dilaksanakanlah perayaan di hari itu dan kesyukuran kepada Allah atas nikmat-Nya dengan pengutusan Nabi dan petunjuk Syariat-Nya.

Syaratnya dengan tidak membuat tempat khusus, tetapi umat Islam menyebar di sekitarnya, dan mendekatkan diri kepada Allah, memberikan nasehat fadhilah dalam maulid, dan tidak sampai keluar dari hal-hal yang dilarang oleh syariat hukum. Adapun kebiasaan makan, termasuk hal-hal yang terdapat dalam firman Yang Mahakuasa: “Makanlah dari hal-hal baik yang telah kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Tuhan.” Selesai.

Menurut saya, hukum maulid tidak apa-apa ketika di zaman ini kaum muda hampir melupakan agama, di tengah perayaan-perayaan lain yang nyaris menaungi acara-acara keagamaan, asalkan hal itu dilakukan sesuai hukum fiqih. Seperti mempelajari biografi Nabi Muhammad, membuat amal-amal sosial untuk mengenang maulid Nabi seperti membangun masjid atau pesantren atau pekerjaan amal apa pun yang menghubungkan dengan Rasulullah dan biografinya.

Jika pelanggaran terjadi, ada baiknya mencegah perayaan untuk menghindari mafsadat. Jika ada manfaat positif dan legitimasinya, maka tidak ada salahnya mengadakan perayaan tersebut dengan kesadaran dan pengawasan untuk mencegah hal-hal negatif atau menguranginya semaksimal mungkin, karena banyak perbuatan baik dinodai oleh pelanggaran. Setiap orang diwajibkan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik.

Mengenai puasa pada hari Maulid Nabi, Syaikh Atthiya Saqr mengatakan: “Siapa pun yang ingin bersyukur kepada Allah atas berkah kelahiran Nabi SAW hendaklah bersyukur dengan macam ketaatan yang bisa dilakukan seperti shalat, sedekah, puasa atau sejenisnya, dan itu tidak ketentuan harinya dalam setahun.

Intinya adalah bahwa hari kedua belas bulan Rabi’ al-Awwal tidak memiliki ibadah khusus, dan puasa pada hari itu tidak memiliki keutamaan lebih atas puasa pada hari lain. Ibadah dasarnya adalah ittiba dan mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, sebagaimana dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukanlah dariku.” Dan diriwayatkan Abu Ya ‘la meriwayatkan dengan rantai perawi Hasan, “Siapa yang mencintaiku hendaklah mengikuti Sunnahku.”

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi

Berkenaan dengan maulid Nabi, semoga kita semua mencintai Rasul Allah, yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk ditaati, dan dia telah mewajibkan kita untuk mencintai, dan menjadikan ketaatan kita kepada-Nya. shalawat serta salam untuknya, alasan cinta Tuhan, dan tanda cinta Tuhan. Tuhan mencintaimu …) Al Imran.

Syaikh Syarif Hatim Al-Auni

Pertama:

Perbincangan tentang hukum maulid hendaklah dilakukan dengan keilmuan dan keadilan, dan hendaklah kita tidak mengingkari khilaf (perbedaan) ulama’. Sesungguhnya ada sebagian besar ulama mengatakan mustahabnya dengan syarat-syarat tertentu. Bahkan Shaykhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya (Iqtidha’ as-Siroth al-Mustaqim) walaupun hukumannya terhadap maulid bahwa adalah bid’ah, akan tetapi dia menguzurkan orang yang membuatnya, bahkan dia meyakini mereka mendapat ganjaran yang besar. Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

(( Maka mengagungkan maulid, dan mengambilnya sebagai musim, ada sesetengah manusia melakukanya, dan padanya ganjaran yang besar, disebabkan niatnya yang baik dan mengagungkan Rasulullah SAW, seperti apa yang telah aku nyatakan kepada kamu, bahwa sebagian manusia menganggap baik apa yang di anggap buruk oleh mukmin yang tasyadud;extrim))

Kedua :

Adapun untuk memperinci hukum maulid itu: Saya katakan siapa yang menjadikan hari maulid dengan memperingati sirah Nabi Sallallahu-alayhi-wasallam, atau untuk meningkatkan emosi kecintaannya pada jiwa-jiwa muslimin, dengan tidak melampaui (seperti istighosah ),dan tidak ada kebersamaan kemungkaran seperti (percampuran antara lelaki dan perempuan), dan bukan khurafat seperti (mendakwa hadirnya Nabi Sallallahu-alayhi-wasallam dalam keadaan sadar), dan tanpa meyakini adanya keistimewaan yang khusus pada peringatan hari tersebut.

Yang dilakukan hanyalah sebagai bentuk menyuburkan sejarah kejadian penting dalam jiwa manusia, seperti para khatib menghadirkan hari peperangan Badar pada 17 Ramadhan dan hari pembukaan Makkah pada hari kedua puluh, dan hari penghijrahan pada permulaan tahun hijrah jika seperti ini maka ia halal, karena tidak lagi berkait dengan kepercayaan tentang ibadat yang direka-reka.

Maka telah berpindahlah dari bid’ah yang haram kepada Maslahah Mursalah yang dibolehkan dengan syarat-syarat ini, dan ia dengan syarat-syarat ini ia tidak mengandung kecuali hanya mengikuti jalan-jalan (kaedah-kaedah) yang disampaikan untuk kemaslahatan (kepentingan) syarak iaitu : memberi peringatan dengan sirah Nabi SAW (dengan membuat kuliah-kuliah), atau untuk meningkatkan emosi kecintaannya pada jiwa-jiwa muslimin (dengan kuliah-kuliah itu).

Saya merasa perlu untuk mengoreksi hukumnya menjadi Mubah (diperbolehkan) dengan menekankan para hadirin yang merayakan maulid pada hal-hal berikut:

  • Menyelenggarakan tausiah dan perayaan yang bebas dari kemungkaran. Bukan karena menyelenggarakan Maulid adalah ibadah, tapi semata-mata investasi waktu dan acara untuk mencapai maslahat syar’i di dalamnya.
  • Tidaklah dalam maulid setiap tahun terdapat karakteristik atau kebajikan tetap.
  • Menjelaskan keyakinan, ucapan dan tindakan keji dan batil yang tersebar luas pada banyak perayaan maulid.

Dengan kondisi seperti ini, saya tidak menemukan bid’ah dalam Maulid, atau menyerukan kecaman terhadap penyelenggara.

Demikian pula, saya tidak berkeberatan terhadap orang yang pantang merayakan maulid secara mutlak, karena menghindari cacat besar yang terjadi di dalamnya, dan menghalangi pembenaran atas keburukan yang tersebar luas di dalamnya.

Jika pembuat pernyataan ini tidak melebih-lebihkan keberatannya, maka dia tidak mencela orang-orang yang menghalalkannya dengan syarat-syarat ini, dan boleh berselisih dalam ijtihad, selama dia mengikuti syarat-syarat tersebut. Pernyataan kondisi ini adalah pernyataan yang masuk akal, dan menjadi bahan pertimbangan.

Realitas ini terjadi pada kita di Sa`udi tanpa penafian. Banyak khutbah jumaat dan peringatan tazkirah di masjid kita mengatakan tentang Maulid dengan mengingkarinya apabila berdekatan dengan harinya secara tahunan (pada akhir khutbah sebelumnya atau pada malamnya).

Dan mengingatkan tentang kelebihan Nabi Sallallahu-alayhi-wasallam dan haq-haqnya atas umatnya, kemudian diakhiri dengan mengingatkan tentang kemungkaran Maulid. Mereka ini sebenarnya telah membangunkan Maulid yang aku berpendapat tentang kebolehannyanya- sebagai yang telah aku jelaskan sebelum ini – , tetapi mereka tidak namakannya sebagai Maulid.

Contohnya :Seperti apa yang telah ditulis tentangnya dan ulama’-ulama’ kita menulis tentang majlis-majlis bulan Ramadhan, seperti kitab shaykh Ibn Uthaimeen (rahimahullah), yang padanya terdapat peringatan tentang dua peperangan iaitu peperangan Badar dan pembukaan Makkah yang berlaku pada dua hari dalam bulan Ramadhan.

Shaykh Uthaimeen (rahimahullah) menginginkan manusia membacanya di masjid-masjid pada setiap tahun, dan dia(rahimahullah) mengharapkan dan sesiapa yang mahu untuk meneruskan pahala dengannya: supaya tidak memutuskan bacaan kitab majlis-majlis ini pada setiap Ramadhan pada setiap tahun, dan supaya ia menjadi umum dan tersebar di kalangan muslimin, dan inilah yang berlaku di masjid-masjid kita (di Saudi) kebanyakannya, dan ia berulang setiap tahun.

Maka pengulangan pembacaan berita dua peperangan itu pada dua hari yang dikhususkan pada setiap tahun, tidak menjadikan perbuatan ini bid’ah, karena pengkhususan ini tidak berlaku cara yang bersifat taabudiyyah, tetapi ia sebagai cara menyuburkan sejarah untuk menambahkan kesan (pada jiwa-jiwa muslimin) dengan cara itu, dan untuk menguatkan sejarahnya, dan untuk mengingati nikmat Allah ke atas kita dengan dua hari yang besar ini dalam sejarah Islam.

Dan hal sederhana : Kebanyakan dari orang yang membangunkan Maulid-Maulid ini tidak melazimi diri mereka dengan tarikh tahunan yang ditetapkan, mereka mendirikan majlis-majlis yang menyebutkan kelebihan-kelebihan Nabi Sallallahu-alayhi-wasallam secara umum, dan beberapa kali padanya. Dan Maulid ini sekiranya kosong dari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan Maulid-maulid maka tidak ada masalah padanya, dengan syarat tidak menganggap ia sebagai ibadah yang dimaksudkan padanyaز

Kesimpulan ringkas, boleh dan bukan bidah dengan catatan:

  1. Tidak ada kemungkaran di dalamnya,dan jika pun ada kemungkaran maka menurut ana yg di larang itu kemungkarannya,bukan acara maulidnya
  2. Tidak di jadikan penghususannya sebagai taabudiyah;ibadah yg di maksudkan padanya yakni ibadah secara dzatiyah,maka jelas yg melakukan maulid tdk menganggap itu taabud secara dzatnya toh berkumpul bukanlah ibadah tapi adat dan membaca sejarah juga masuk ibadah sebagai tolabul ilminya,intinya itu adalah wasilah;sarana utk suatu tujuan,maka sarana itu bukanlah dzatiyah ibadah yang bisa di nilai ibadah adalah tujuannya yaitu menyuburkan cinta dan mengingat sejarah nabi

Sumber:

Budi Ashari, Maulid Bid’ah?https://m.facebook.com/permalink.php?story_fbid=615987925251390&id=208032209380299, terbit pada 12 Desember 2016

Muhammad Ali Wafa, MajalahNabawi.com, Hadis Palsu Maulid, Problem dan Solusinya, https://majalahnabawi.com/hadis-palsu-maulid-problem-dan-solusinya/, diakses 16 Oktober 2021

Maghress.com, علماء من المغرب والمشرق قديما وحديثا يؤكدون: لا بأس بالاحتفال بالمولد النبوي في عصر كاد الشباب ينسى فيه ن،دينه وأمجاده, https://www.maghress.com/attajdid/11623

Syarif Hatim Al-Auni, حكم المولد, http://dr-alawni.com/articles.php?show=188.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

3 Comments

  1. Indahnya tataran diskusi ilmiah mengenai maulid Nabi, tentu harapannya pada praktiknya di lapangan adalah sesuai dengan apa yang didiskusikan atau ruang lingkup diskusi, yaitu bahwa menyelenggarakan maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sarana menambah kecintaan dan ketaatan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sunnahnya serta menambah kepahaman pada sejarah hidup beliau.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *