Tasua dan Asyura
Secara bahasa kata عَاشُورَاء memiliki wazan فَاعُوْلَاء dan mengandung alif ta’nits mamdudah (ألف التأنيث الممدودة), menurut Ibnu Duraid, kata عَاشُورَاء tidak memiliki mutsanna (bilangan dua). Sebagian kitab bahasa menyebut bahwa kata عَاشُورَاء ini tidak bisa dimasukkan alif dan lam di awal. Disebut Asyura karena terikat dengan hari ke sepuluh bulan Muharram.
Adapu kata تاسوعاء atau hari kesembilan adalah huruf Muwallad. Huruf Muwallad menurut Rajab Abdul Jawwad Ibrahim dalam buku ‘Dirasah fid Dalalah wal Mu’jam’ adalah kata-kata yang diarabkan oleh generasi pertama pada masa Umawiyah dan setelahnya.
Paskah Yahudi
Selama 400 tahun, bangsa Israel tinggal sebagai budak di Mesir dan mengalami penindasan keras dari rajanya, Firaun.
Paskah Yahudi atau Pesakh adalah hari raya yang dikaitkan dengan peristiwa keluarnya Bani Israil dari Mesir, di mana Firaun telah memperbudak mereka. Allah Swt. menyelamatkan mereka melalui pemimpinnya, Nabi Musa dengan berbagai mukjizat. Kelahiran entitas Yahudi dimulai dengan pembebasan mereka dari perbudakan. Bangsa Israel tidak membebaskan diri mereka sendiri, tetapi Allah yang membebaskan mereka.
Paskah adalah upacara tahunan untuk memperingati mukjizat Allah yang diberikan kepada bangsa Yahudi. Paskah beraasal dari bahasa Ibrani Pesakh yang artinya melewatkan atau menyelamatkan. Secara harfiah merujuk pada perbuatan Allah, yang melewati rumah rumah bangsa Israel yang telah ditandai dengan darah di pintu pintu rumah mereka, Allah menyelamatkan mereka dari malapetaka.
Dalam konteks Yahudi, paskah merupakan perayaan penebusan besar Tuhan pada peristiwa Keluaran, saat Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir menuju kebebasan. Bersama dengan Shavuot (Perayaan Minggu) dan Sukkot (Perayaan Pondok Daun), Paskah menjadi salah satu dari tiga ziarah kuno Israel, para pria dewasa berjalan ke Bait Suci di Yerussalem untuk mempersembahkan korban dan merasakan kehadiran ilahi.
Sejak kehancuran Bait Suci ke dua, perayaan paskah beralih ke ritual makan malam yang dikenal dengan nama Seder yang biasanya dilaksanakan di rumah. Keluarga berkumpul untuk melakukan upacara makan malam yang dipenuhi simbolisme dan ritual.
Asyura dan Komitmen Islam terhadap Risalah Nabi Musa
Kaum Yahudi dan Nasrani mungkin akan terkejut ketika mengetahui bahwa umat Islam diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk memperingati peristiwa penyelamatan Bani Israil dari perbudakan Firaun.
Mereka akan terkejut mengetahui bahwa risalah Nabi Muhammad ﷺ adalah untuk mempersatukan seluruh umat manusia dalam penyembahan kepada Tuhan yang Maha Esa—Tuhan yang disembah oleh Nabi Musa yang agung, Tuhan yang disembah oleh Yesus Kristus, dan Tuhan seluruh umat manusia.
Nabi Musa dan Bani Israil adalah kaum yang mulia, agung, dan saleh. Mereka adalah umat pilihan yang dicintai oleh Allah. Dan Nabi Muhammad ﷺ diutus oleh Allah untuk mengembalikan umat manusia—termasuk anak-anak keturunan Bani Israil—kepada jalan para leluhur mereka ini.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau mendapati bahwa kota tersebut dihuni oleh komunitas Yahudi yang telah menetap di sana sejak penghancuran Bait Suci Kedua di Yerusalem, sekitar lima abad sebelumnya. Kaum Yahudi itu telah bermigrasi ke Madinah dan hidup berdampingan dengan masyarakat Arab—dua bangsa yang berasal dari akar Semitik, dengan bahasa dan sebagian budaya yang saling berdekatan.
Tradisi keagamaan komunitas Yahudi di Madinah saat itu lebih dekat dengan ajaran asli Nabi Musa dibandingkan dengan tradisi Yudaisme dan Kekristenan yang berkembang di kemudian hari. Yudaisme modern adalah hasil konstruksi para rabi dalam tradisi Rabbinic Judaism sekitar abad ke-2 Masehi, yang berkembang di bawah naungan—sekaligus tekanan—kekuasaan Romawi. Pada masa inilah terjadi banyak penyimpangan dalam ajaran dan praktik keagamaan, baik karena pengaruh eksternal maupun karena pembaruan internal yang tidak lagi setia pada ajaran kenabian yang murni.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati bahwa komunitas Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram—hari yang dikenal dalam Islam sebagai hari Asyura. Nabi bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berpuasa pada hari ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari ketika Allah menyelamatkan Nabi Musa dan nenek moyang kami dari Firaun. Musa berpuasa pada hari ini sebagai ungkapan syukur kepada Allah, maka kami pun berpuasa sebagai bentuk rasa syukur.”
Sebagaimana dalam hadis berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).
Cara mereka memperingati peristiwa besar ini bukanlah dengan menyembelih domba sebagai pengganti korban Paskah atau dengan membanggakan diri atas pembinasaan bangsa Mesir—sebagaimana sebagian narasi populer dalam tradisi lain—melainkan dengan cara yang penuh kerendahan hati: mereka menahan diri dari makan dan minum, menundukkan hawa nafsu mereka, dan mengutamakan perintah Tuhan di atas keinginan pribadi mereka. Inilah bentuk ibadah yang sejati—ibadah yang mencerminkan ketundukan dan ketulusan kepada Allah.
Nabi Muhammad ﷺ kemudian menegaskan melalui wahyu bahwa puasa ini memang merupakan ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa. Bahkan beliau bersabda:
أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ
“Kami lebih berhak atas Musa dibanding mereka.”
Maka Nabi pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kaum Muslimin untuk ikut berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah atas keselamatan Bani Israil dari kezaliman Firaun.
Pada awalnya, puasa Asyura ini diwajibkan bagi umat Islam, sebelum akhirnya digantikan oleh kewajiban puasa Ramadan. Meski demikian, puasa Asyura tetap dianjurkan secara kuat, dan kaum Muslimin terus memelihara sunnah ini hingga hari ini. Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa siapa saja yang berpuasa pada hari Asyura akan diampuni dosa-dosa kecilnya selama satu tahun yang lalu.
Puasa Asyura tanpa Tasua
Pada tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, kaum Yahudi di Madinah merayakan Paskah Yahudi (Passover/Pesakh) pada hari yang bertepatan dengan tanggal 10 Muharram, yakni hari di mana umat Islam memperingati Asyura dengan berpuasa.
Gordon Darnell Newby, dalam bukunya A History of the Jews of Arabia, berpendapat bahwa komunitas Yahudi Madinah telah terpisah dari arus utama Yudaisme. Ia menambahkan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh praktik sihir, ajaran Kabbalah, dan spekulasi tentang akhir zaman.
Berdasarkan hal tersebut, ia mengatakan, mungkin saja mereka telah keliru membedakan antara Passover (Hari Paskah) dan Yom Kippur (Hari Pendamaian), dua hari raya Yahudi yang berbeda namun sama-sama berisi unsur puasa dan pengampunan.
Hal ini menjadi penting karena memengaruhi pemahaman hukum tentang puasa hanya pada tanggal 10 Muharram. Satu-satunya alasan Nabi ﷺ berniat untuk menambahkan puasa pada tanggal 9 Muharram adalah untuk membedakan praktik umat Islam dari tradisi Yahudi. Maka jika kaum Yahudi saat itu sendiri telah keliru dalam identifikasi hari raya mereka, maka tidak mengapa bagi Muslim untuk hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram tanpa mengiringinya dengan puasa tanggal 9.
Selain itu, tanggal Passover Yahudi tidak lagi bertepatan dengan tanggal 10 Muharram dalam kalender hijriyah. Ini disebabkan oleh keputusan para rabi dalam Yudaisme modern untuk menambahkan bulan kabisat secara berkala dalam kalender lunar Yahudi agar tetap sesuai dengan kalender matahari, sehingga Passover senantiasa jatuh pada musim semi. Akan tetapi, dalam ajaran Islam, keberkahan waktu—termasuk bulan Ramadan, hari-hari Haji, dan hari keselamatan Bani Israil—semuanya ditentukan berdasarkan kalender lunar semata.
Karena itu, keberkahan hari ketika Nabi Musa dan Bani Israil diselamatkan dari Firaun tidak turun pada bulan April, melainkan pada tanggal 10 Muharram—sesuai dengan penanggalan hijriyah. Maka, mereka yang tetap mengandalkan kalender matahari untuk menentukan hari-hari keagamaan ini sesungguhnya telah keliru. Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa keberkahan dari Allah bertepatan dengan waktu-waktu yang telah ditentukan secara ilahiah melalui peredaran bulan.
Konteks historis ini membantu kita memahami alasan awal Nabi ﷺ menganjurkan untuk membedakan praktik umat Islam dari orang-orang Yahudi dengan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tāsū‘āʾ) bersama dengan tanggal 10 (‘Āsyūrāʾ).
Namun, karena hari-hari tersebut kini tidak lagi bertepatan, maka tidak mengapa jika seseorang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (‘Āsyūrāʾ) saja apabila tidak mampu berpuasa pada tanggal 9.
Nabi ﷺ bersabda:
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Allah, al-Muharram.” (HR. Muslim, no. 1163)
Karena itu, memperbanyak puasa di bulan Muharram — termasuk tanggal 9, 10, bahkan 11 — merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Namun minimal, puasa pada tanggal 10 (‘Āsyūrāʾ) saja sudah sangat utama dan dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadis.
Baca Juga:
- Puasa Asyura menurut Mazhab Syafi’i
- Hari Asyura: Lebaran Anak Yatim, Mengusap Kepala dan Meluaskan Belanja Keluarga