Muhammad Syahrur dan Dekonstruksi Puasa

AHMADBINHANBAL.COM – Muhamad Syahrur adalah seorang pemikir yang berasal dari kota Damaskus dan lahir pada tahun  1938,  dikenal melalui nazhariyyah al-hudūd atau “teori batas”nya dalam masalah aurat, waris dan lain sebagainya.

Muhammad Syahrur bukanlah seorang ulama atau pakar tafsir, fiqih dan linguistic karena latar belakang pendidikannya adalah insinyur bangunan, ia pernah belajar teknil sipil (handasah madaniyah) pada tahun 1964 di Moskow lalu melanjutkan program master dan doktoralnya di bidang teknik pertanahan (handasah al-turbah) dan bangunan di Irlandia, keterangan ini dapat dilihat di websitenya di www.shahrour.org.

Meski demikian, tokoh liberal Syiria ini banyak melibatkan diri dalam isu-isu liberalisasi syari’ah dan dekonstruksi tafsir dan beberapa hukum Islam dan kaedah ilmu tafsir ia rombak dengan berbekal pada ilmu teknik dan bahasa Arabnya. Di Indonesia ia banyak dikagumi Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dijadikan rujukan utama agenda liberalisasi Islam di Indonesia.

Pembaruan yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur adalah dengan melakukan pembacaan Al-Qur’an dengan menggunakan metode linguistik-historis-ilmiah (al-manhaj al-lughawī al-tārikhī al-‘ilmī) dengan menggunakan linguistika modern dan bersandar pada syair-syair jahiliyyah.

Dengan metode linguistik-historis-ilmiahnya tersebut, Syahrūr melakukan beberapa langkah yang berakhir dengan dekonstruksi hukum Islam.

Muhammad Syahrur (wafat tahun 2019 yang lalu), memiliki beberapa pendapat yang berbeda dengan keyakinan umat Islam umumnya, beberapa padangannya terkait puasa Ramadan adalah: 

  • Puasa Ramadan yang diwajibkan itu bukan di bulan Ramadan yang biasa kita berpuasa, tetapi di bulan Masehi ke sembilan, yaitu bulan September.
  • Puasa masuk ke rukun Iman, bukan rukun Islam.
  • Manusia diberikan pilihan (mukhayyar) untuk berpuasa atau memberikan makanan kepada orang miskin jika dia tidak ingin berpuasa karena sebab apapun.

Bahasan kita akan berfokus pada poin yang ketiga.

Makna Yuṭīqụnahụ Menurut Syahrur

Menjadi ijma’ umat Islam bahwa melaksanakan puasa Ramadan hukumnya adalah wajib (fardhu ain). Puasa termasuk dalam rukun Islam yang keempat.

Dalil Al-Quran yang mewajibkan puasa sudah banyak dikenal yaitu Surat Al-Baqarah ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Rincian kewajiban puasa Ramadan, dijelaskan lebih detail dengan menggunakan kata perintah pada ayat 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.

Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu ditegakan di atas 5 dasar: (1) bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang hak (patut disembah) kecuali Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad itu uusan Allah, (2) mendirikan sholat lima waktu, (3) membayar zakat, (4) mengerjakan haji ke Baitullah, (5) berpuasa pada bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Umat Islam selama beberapa kurun telah melaksanakan puasa Ramadan sebagai sebuah kewajiban, mereka melaksanakan puasa ketika melihat puasa sudah masuk ke waktunya, dia tidak memiliki mawani’ yang mengharuskan dia tidak berpuasa seperti dalam keadaan safar atau iddah, adapun yang tidak bisa menjalankan puasa karena uzur, puasanya digantikan dengan membayar Fidyah.

Adapun Syahrur, secara garis besar berpendapat bahwa umat Islam telah salah memahami ayat tentang kewajiban puasa Ramadan, bahwa kewajiban puasa itu bukan puasa Ramadan secara penuh tanpa ada pilihan yang lain (ikhtiyari), tetapi ada pilihan untuk orang Islam antara berpuasa atau memberi makan setiap hari kepada orang miskin, ini bukan hanya untuk orang yang lemah atau sakit, tetapi untuk orang yang sehat, mukim dan mampu berpuasa tetapi tidak ingin berpuasa. Inilah pendapat Syahrur yang banyak ditulis di buku dan makalahnya.

Dalil Al-Quran yang dijadikan pijakan Syahrur dalam membuat simpulannya adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala.

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

yang dimaksudkan dengan orang-orang yang mampu berpuasa, maka siapa yang mampu berbuasa diberikan pilihan (mukhayyar) antara pusa atau membayar fidyah.

Syahrur mengatakan:

فالآية الأولى -أي: قوله تعالى: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ}- هي المحكمة فيما يتعلَّق بالصِّيام، وما بعدها تفصيلٌ لها، وفي الآية الثَّانية حدَّد حالتين اثنتين: الأولى: حالة من لا يملكُون الطَّاقة للصِّيام جراء مرضٍ أو سفر، حيث بإمكانِهم تأجيل الصيام لحين المقدرة، والثانية: حالة من يملكون الطَّاقة؛ فإما دفع فدية مقابل عدم الصِّيام، أو الصيام وهو الأفضل؛ {وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ}

Pada ayat yang pertama yaitu firman Allah {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ} adalah tentang hikmah berkenaan puasa dan ayat setelahnya sebagai penjelas. Pada ayat yang kedua, manusia terbagi menjadi dua keadaan: 1. orang yang tidak punya kemampuan berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan, sehingga memungkinkan untuk berbuka puasa untuk mengembalikan kekuatannya. Keadaan 2 adalah membayar fidyah sebagai pengganti tidak puasa atau berpuasa yang itu lebih baik, sebagaimana firman Allah {وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ}. (Sumber: https://shahrour.org/?p=4170)

Syahrur mengatakan:

” أو (يطيقونه) أي: يتحمَّلون الصيام لكنهم لا يريدون لسببٍ ما، فعليهم دفع فدية”

 (يطيقونه)  artinya mereka mampu berpuasa tetapi mereka tidak ingin karena suatu sebab, mereka membayar fidyah. (Sumber: https://shahrour.org/?p=4222)

Syahrur mengatakan:

“فهذا الشقّ من الآية يتوجَّه بالخطاب إلى الذين يطيقون صيام رمضان، أي: يقدرون على أدائه لكنَّهم لا يرغبون في ذلك لسببٍ أو لآخر، وهؤلاء تمَّ بيان حالتهم في هذا الشقِّ من الآية، وجعل لهم التنزيلُ الحكيم فدية مقابلةً عدمَ صيامهِم رمضانَ ممثَّلة في إطعامِ مسكين… لأنَّه مسألة اختياريَّة، ولا إجبار فيها“

Keberatan (masyaqqah) dalam ayat ini ditujukan kepada orang yang mampu berpuasa Ramadan tetapi mereka tidak ingin puasa karena satu sebab atau lainnya, keadaan mereka telah dijelaskan dalam ayat ini, dan Al-Quran (at-tanzil al-hakim) menjadikan untuk mereka fidyah sebagai pengganti mereka tidak puasa ramadan dengan memberi makan orang miskin…karena puasa adalah masalah ikhtiyari bukan ijbari (wajib). (Sumber: Muhammad Syahrur, Ummul Kitab wa Tafshiluha: Qira’ah Muashirah fil Hakimiyyah Al-Insaniyyah, Tahafut Al-Fuqaha’ wal Ma’shumiyyin, Dar Al-Saqi, 2018, hal. 192)

Keterangan puasa dan fidyah juga ada dalam video berikut.

Dengan otak-atik ayat Al-Quran seperti yang dilakukan Syahrur, maka dia membolehkan orang yang berpuasa untuk berbuka di tengah puasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Apa yang dilakukannya sebenarnya merupakan perpanjangan pemikiran Barat yang ingin merusak sendi-sendi Islam.

Menyanggah pernyataan Syahrur, kita bahas dengan beberapa hal di bawah ini:

  • Fase Pensyariatan Puasa Ramadan
  • Penunjukan huruf هـ pada kata يطيقونه

Fase Pensyariatan Puasa Ramadan

Ada tiga fase pensyariatan puasa pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam. Tiga fase puasa tersebut sebagaimana terangkum dalam perkataan Muadz bin Jabal RA berikut ini:

Dari Mu’adz bin Jabal ra: Dahulu Rasulullah senantiasa berpuasa tiga hari setiap bulan, dan puasa di hari Asyura. Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS Al Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa dan memberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim).

Fase Pertama: Kerasulan – Pra Tahun Kedua.

Puasa ini diwajibkan setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul, disyariatkan kepada beliau dalam bentuk syariat yang wajib untuk dilakukan beliau dan para shahabat. Dua jenis puasa, yaitu puasa ‘Asyura pada 10 Muharram dan puasa sebanyak tiga hari pada setiap bulannya.

Ketentuan ini berdasarkan hadits. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata: “Nabi SAW melaksanakan puasa hari Asyura (10 Muharam) lalu memerintahkan (para sahabat) untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan, maka puasa hari Asyura ditinggalkan. (HR Bukhari).

Fase Kedua

Terjadi di tahun ke-2 Hijriyyah setelah turun perintah untuk berpuasa Ramadhan, lantas Nabi SAW memberikan pilihan kepada para shahabat antara yang ingin berpuasa Asyura atau tidak. Dalam arti, selain puasa Ramadhan, ditetapkan puasa lainnya sebagai amalan sunnah.

Dari Aisyah RA, bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari Asyura. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya pula hingga datang kewajiban shaum Ramadhan. Dan kemudian Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang mau melaksanakannya (puasa Asyura) silakan dan siapa yang tidak mau juga tidak apa.” (HR Bukhari Muslim).

Perintah puasa Ramadhan juga masih bersifat pilihan. Di mana, bagi yang mampu untuk berpuasa, masih diberikan pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah. Sebagaimana pernyataan Muadz berikut.

Dari Mu’adz bin Jabal RA: … Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang mampu berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang tidak mampu berpuasa untuk memberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR Abu Dawud).

Fase ketiga: Tahun 2 Hijriyyah

Pada tahun ke-2 Hijriyah, setelah turun QS Al-Baqarah: 185, lantas puasa Ramadhan diwajibkan tanpa ada pengecualian, dan tidak boleh berbuka kecuali orang yang mendapatkan uzur Syar’i . Membayar fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa, seperti orang tua renta, sakit atau ibu menyusui. Dan siapa yang tidur pada malam Ramadan sekalipun tidur setelah Salat Maghrib, tidak boleh makan, minum dan mendatangi istrinya sampai tiba waktu maghrib hari berikutnya.

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebagai al-furqan pembeda antara hak dan batil. Maka barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Penyebutan ayat ‘dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan‘ terdapat dalam dua ayat berbeda, yaitu ayat 184 dan 185, karena secara fase tasyri’ puasanya berbeda, pada ayat 184 masih ada pengecualian sementara ayat 185 tidak ada pengecualian dan bagi yang tidak mampu untuk membayar fidyah.

Selanjutnya turun ayat Al-baqarah 187 yang memberikan keringanan kepada umat Islam pada malam hari, dimana mereka bisa tidur pada waktu malam dan mendatangi istri mereka.

Penunjukan huruf هـ pada kata يطيقونه

Dengan permainan bahasanya, kita gunakan balik senjata bahasa untuk membantahnya.

Pada ayat berikut, Syahrur menilai bahwa huruf ه kembalinya kepada puasa.

يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Mereka yang mampu berpuasa membayar fidyah kepada orang miskin

Makna

طعام مسكين فدية على الذين يطيقونه

Memberi makan orang miskin adalah fidyah bagi orang yang mampu mengerjakannya

Maksud ayat

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ

Dan berpuasa lebih baik bagimu

صيامُ رمضان.. بينَ جزْم الشَّارع وتخيير المتهوّكين! | مركز سلف للبحوث والدراسات (salafcenter.org)

Makna At-Taisir Menurut Syahrur

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman.

 {يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. Al-Baqarah: 185)

Muhammad Syahrur dalam artikelnya berjudul ‘شهر رمضان…إن مع العسر يسرا’ (link) menyebutkan bahwa makna At-Taisir atau kemudahan disitu adalah jika manusia ingin berpuasa, mereka bisa puasa. Adapun jika tidak mau puasa, mereka bisa bayar fidyah.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *