Bagaimana Memaafkan Orang Lain?

Depresi itu suasana hati yang buruk dan berjalan selama kurun waktu tertentu. Ketika anda depresi maka anda akan merasa tidak punya motivasi untuk beraktifitas, putus harapan dan kehilangan rasa senang pada sesuatu yang dulu menghibur. 

Diantara gejala gejala depresi adalah sebagai berikut; 1)Perubahan jiwa yang parah, terkadang sangat bahagia atau sangat sedih. 2)Banyak bicara 3)Tidak fokus. 4) Tingkah lakunya beresiko tinggi. 5)Terus menerus sedih. 6) Tidak menikmati kegiatan favorit. 7) Mengeluh sakit kepala atau sakit perut. 8) Tingkat energinya menurun. 9) Pola tidur dan makannya berubah. 10) Perasaan putus asa atau pesimis. 11) Perasaan bersalah, tidak berharga dan tidak berguna dan 12) Berpikir untuk bunuh diri. (Sumber: depresi.net)

Di antara penyebab depresi adalah tidak mau menerima keadaan secara ikhlas dan lapang dada. Berlapang dada dalam menerima segala keadaab, ujian dan cobaan hidup akan membawa ketenangan jiwa (nafsu  muthmainnah)  

Selain dengan lapang Dada, permasalahan dengan manusia juga dapat diatasi dengan cara memaafkan (forgiveness) sehingga masalah selesai dan tidak menjadi pikiran yang membawa depresi. 

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ 

“Dan hendaklah mereka memberikan maaf dan berlapang dada.  Apakah kalian tidak menginginkan bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih” (Qs.  An-Nur: 22)

Dalam kehidupan ini akan selalu menemui permasalahan yang tidak memiliki solusi.  Oleh karena itu, kita harus menghadapinya dengan lapang dada. 

Suatu ketika Al-Mu’afa bin Sulaiman berjalan bersama salah seorang temannya.  Temannya ini menoleh kepadanya dengan wajah masam sambil berkata, “Alangkah dinginnya hari ini.” 

Al-Mu’afa menukas, “Apa sekarang engkau sudah merasa hangat?”

“Tidak,” jawab temannya. 

Al-Mu’afa pun berujar, “Lantas, apa yang engkau dapat dari keluhanmu tadi? Andai engkau bertasbih maka bacaan tasbihmu itu akan lebih bermanfaat bagimu.” 

Ini salah satu cara bijaksana menanggapi hal yang tidak menyenangkan di luar kita, daripada mengeluh lebih baik memperbanyak zikir dan tasbih kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Profesor Everet Worthington melakukan fokus penelitian pada perilaku memaafkan (foregiveness) menyebutkan bahwa ada beberapa manfaat dari perilaku memaafkan yaitu relasional, spiritual, kesehatan mental, kesejahteraan psikologis, dan kesehatan fisik dan kesejahteraan fisik. Niat yang kuat sebagai prediktor kuat manfaat relasional dan spiritual dan emosional sebagai prediktor kuat manfaat kesehatan mental dan fisik.

Masih menurut beliau, perilaku memaafkan memiliki struktur dan fungsi yang mirip dengan perilaku alturistik (senang menolong) dan serupa dengan perilaku empati (empathy). Seseorang akan lebih mudah memaafkan dengan meningkatkan perilaku empati pada pelaku. Tetapi, sikap egois mengakui kesalahan sering mendominasi kepribadian manusia.

Di salah satu webinar beliau bersama IIIT Amerika Serikat, Prof Wortihington memberikan cara memaafkan orang lain adalah dengan menganggap orang lain sebagai sebuah kursi kosong. Ini tidak terdengar familiar bagi kita, bahwa orang yang pernah menyakiti hati dianggap sebagai sebuah kursi kosong dan selanjutnya memikirkan kenapa mereka melakukan ini kepada saya? Percakapan virtual ini bisa menumbuhkan empati kepada orang lain yang seakan-akan duduk di kursi kosong.

Baca juga:   Hindari Ketenaran!

Prof. Mohammed Abu Nimer (pendiri Salam Institute) dalam webinar yang diselenggarakan IIIT menyampaikan hubungan antara memaafkan (forgiveness) dan rekonsiliasi (reconciliation) yaitu memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula.

Menurutnya, memaafkan merupakan proses alami dan dinamis pada tataran interpersonal dan kolektif. Budaya dan norma agama mennjungjung tinggi memaafkan dan rekonsiliasi. Banyak contoh sukses dalam pribadi, namun masih sedikit kesuksesan dalam skala besar.

Memaafkan bukan untuk orang lain, tetapi kembalinya kepada diri kita sendiri.

“Forgive others not because they

deserve forgiveness, but because

you deserve peace.”

– Jonathan Lockwood Huie

Drs. Nasser dan Dr. Abu-Nimer telah melakukan penelitian untuk mengetahui sejauhmana persepsi guru di negara-negara Timur Tengah (Mesir, Yordania, Lebanon, Palestina dan Iraq) tentang forgiveness dan reconciliaition, survery diikuti oleh 700 orang dan 102 wawancara.

Hasilnya menunjukkan bahwa:

  • Tidak ada kurikulum yang mengajarkan forgiveness dan reconciliation.
  • 96 % guru tidak tahu bagaimana mengajarkan tema ini.
  • 86 % percaya pada maaf kondisional, misalnya mengatakan saya akan memaafkan orang itu jika dia berhenti berbuat jahat kepada saya, kata jika menunjukkan kondisional. (Webinar IIIT US)

Ust. Arifin Jayadiningrat, guru saya, sering memberikan nasihat dalam setiap ceramahnya untuk pro aktif melakukan kebaikan bahkan kepada orang yang sudah menyakiti kita. Kontrak hidup kita adalah dengan Allah bukan dengan manusia.

Suatu hari Rasulullah Saw pernah didatangi seseorang yang mengadu tentang tetangganya yang tidak mau menerima kebaikan darinya bahkan memutus tali silaturahim.

يَا رَسُول اللَّه، إِنَّ لِي قَرابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوني، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِم وَيُسِيئُونَ إِليَّ، وأَحْلُمُ عنهُمْ وَيَجْهَلُونَ علَيَّ، فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ المَلَّ، وَلا يَزَالُ معكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلكَ

“Wahai Rasulullah, sama memiliki kerabat, saya sambung tapi mereka malah meutuskan, mereka berbuat buruk kepada saya tapi saya berusaha untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berbuat jahil kepada saya tapi saya sabar tidak ingin membalas dengan yang sama. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘jika yang kamu katakan itu benar, maka seakan-akan kamu menaburkan debu panas ke wajahnya dan senantiasa Allah akan menolong kamu selama kamu terus berbuat seperti itu’” (HR. Muslim).

Mansur bin Muhammad Al-Kuraizi berkata:

“Aku akan paksakan sifat pemaaf pada diriku kepada orang-orang yang berbuat keburukan kepadaku walaupun keburukan mereka banyak kepadaku. Karena manusia itu tidak lebih dari tiga; orang yang mulia, orang yang tidak mulia, orang yang seimbang dengan kita. Adapun orang yang lebih mulia dariku maka aku mau mengakui keutamaan dia dan aku mengikuti kebenaran padanya. Karena kebenaran harus diikuti. Kalau ternyata orang itu lebih rendah kemuliaannya dariku dan ternyata ia berbuat buruk kepadaku maka aku sudah melindungi diriku dengan cara aku tidak menjawab dia. Kalau ternyata dia seimbang denganku lalu terpeleset didalam kesalahan, maka aku sudah berbuat kebaikan. Karena sifat halim merupakan sifat yang lebih bagi orang yang bijak.”

Baca juga:   Muhammad al-Tahir ibn Ashur Melawan Habib Bourguiba: Allah Benar, Bourguiba Dusta

Kewajiban orang yang berakal adalah hendaknya ia menguatkan jiwanya untuk senantiasa memaafkan manusia. Dan tidak membalas keburukan dengan keburukan lagi.

Ini adalah merupakan sifat orang-orang yang berjiwa besar. Dan memang sangat sulit sekali karena ketika hati kita sakit, butuh waktu untuk memaafkan. Namun orang-orang yang berjiwa besar dan mengharapkan keridhaan Allah semata, dia melihat bahwa kalau dia maafkan, Allah maafkan dia. Dan maaf Allah itu lebih baik daripada kekecewaan hati, lebih baik daripada ingin memuaskan hati ketika hati kita kesal kepada dia.

Ini adalah orang-orang yang jauh yang berfikir kedepan (visioner) dan betul-betul berharap keridhaan Allah dan ampunanNya. Maka orang seperti ini menunjukkan akan kebesaran jiwa dan kekuatan iman.

Maafkan Orang Lain Sebelum Tidur

Sebelum tidur, coba maafkan orang lain yang buat salah kepada kita, sakiti hati kita. Forgive and forget.

Kisah dari Abdullah bin Mubarak yang ditulis dalam kitab Zuhud karya Imam Ahmad menarik untuk dijadikan contoh yaitu tidak hasad dan berusaha memaafkan orang lain sebelum tidur.

Kisahnya diabadikan Abdullah bin Mubarok rahimahullah dalam kitab Zuhud. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba beliau bersabda: “Sebentar lagi akan datang seorang penghuni surga.”

Para sahabat tentu penasaran, siapa gerangan yang dijamin masuk surga itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki Anshor lewat di depan mereka sambil menenteng sandal. Air wudhu tampak masih membasahi janggutnya.

Besoknya, Rasulullah bersabda dengan sabda yang sama. “Sebentar lagi akan datang seorang penghuni surga.”

Para sahabat memperhatikan, siapa yang akan datang. Sungguh beruntung ia telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tak lama kemudian, datang kembali laki-laki yang sama dalam kondisi yang sama dengan kemarin.

Besoknya lagi, Rasulullah juga bersabda. “Sebentar lagi akan datang seorang penghuni surga.” Dan lagi-lagi, yang muncul adalah laki-laki yang sama.

Abdullah bin Amr bin Ash penasaran amal apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut hingga sudah dijamin masuk surga oleh Rasulullah. Putra Amr bin Ash itu pun minta izin untuk menginap di rumahnya.

Tiga hari tiga malam di rumahnya, Abdullah bin Amr bin Ash tidak menemukan suatu amal yang istimewa. Sholatnya biasa, dzikirnya biasa, bahkan qiyamul lailnya tidak.

Karena sudah tiga hari dan tidak berhasil menemukan amal istimewa, Abdullah bin Amr berpamit hendak pulang.

“Wahai saudaraku, sebenarnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku. Hanya saja aku mendengar Rasulullah selama tiga hari berturut-turut mensabdakan, ‘Sebentar lagi akan datang seorang penghuni surga.’ Ternyata engkau yang muncul selama tiga kali berturut-turut itu. Karenanya aku menginap di rumahmu untuk mengetahui amalan apa yang engkau lakukan, sehingga aku dapat mengikuti amalanmu. Aku tidak melihatmu mengerjakan amalan istimewa. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah menjaminmu masuk surga?”

Baca juga:   Kenapa Orang Baik Cepat Wafat

“Seperti yang engkau lihat, aku tidak mengerjakan amalan apa-apa,” kata laki-laki tersebut. “Hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.”

Membaca Surat Al-Mulk sebelum Tidur

Surat Al-Mulk dianjurkan untuk dibaca setiap malam, khususnya sebelum tidur.

Seperti dijelaskan dalam sebuah hadist, “Telah menceritakan kepada kami Huraim bin Ms’ar At Tirmidzi telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Iyadh dari Laits dari Abu A Zubair dari Jabir, bahwa: Tidaklah Nabi SAW tidur hingga beliau membaca Alif laan miim tanzil (Surat As Asjdah) dan Tabarokalladzi bi yadihil Mulk (Surat Al Mulk)”.

Di antara keutamaan dari kedua surat ini adalah 1) Diampuni dosanya, 2) Dihindarkan dari siksa kubur dan siksa neraka, 3) Menjauhkan diri dari maksiat, 4) menaungi pembacanya.

Keutamaan lain dari Surat Al-Mulk disampaikan Ust Syaari Abdurrahman, yaitu untuk menghilangkan penyakit terbesar manusia yaitu sifat ego dan sombong. Jika dikaitkan dengan kisah sahabat sebelumnya maka ketemu relevansinya, selain membaca surat Al-Mulk dan As-Sajadah sebelum tidur agar diri kita mudah memaafkan orang lain.

Penelitian dari Fuad Nashori mengkonfirmasi adanya hubungan religiositas dan perilaku memamaafkan.

Jika seseorang paham bahwa Allah mengasihi manusia, maka mereka juga mengembangkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang lain. Cinta untuk orang lain yang membuatnya lebih mudah untuk memaafkan.

Pemahaman terhadap Tuhan punya relevansi terhadap bagaimana seseorang dengan mudah memaafkan atau tidak. Orang yang memahami Tuhan Allah sebagai Al-Jamal (yang Mahaindah), Ar-Rahman (yang Mahakasih), Ar-Rahim (yang Mahasayang), As-Salam (yang Mahamemberi keselamatan), Al-Afuw (yang Mahamemberi maaf), Al-Ghaffar (yang Mahamemberi ampun). Seseorang yang mengetahui nama dan sifat Allah ini akan berusaha untuk mempraktikkannya dalam kehidupannya dengan perilaku dan karakter Tuhan.

Maka, mari kita menjadi orang yang memaafkan.

Referensi:

  1. Ketika Anak Marah, Dr.  Iwan Prayitno
  2. Istamti’ bihayaatik, Syaikh Muhammad Uraifi
  3. Kompas Al-Mulk, Ust. Syaari Abdurrahman
  4. Everet Worthington, Forgiveness as One of Many Ways of Handling Injustices, Webinar bersama IIT Amerika Serikat, 9 Juli 2021
  5. Prof. Mohammed Abu-Nimer, The theoretical and practical implications of forgiveness and reconciliation as they relate to Muslim societies, Webinar bersama IIT Amerika Serikat, 13 April 2022
  6. Salam Institute, “Forgiveness” In The Middle East, https://salaminstitute.org/forgiveness-in-the-middle-east/, diakses 14 April 2022
  7. Fuad Nashori, Religiosity and forgiveness, https://fpscs.uii.ac.id/blog/2021/01/29/religiosity-and-forgiveness/, diakses pada 14 April 2022
Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *