Biografi dan Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im – Menjelaskan tentang biografi singkat Prof. Abdullah Ahmed An-Na’im, pemikir muslim kontemporer dari Sudan beserta pemikirannya tentang Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler.
Biografi Abdullah Ahmed An-Na’im
Abdullah Ahmed An-Na’im, lahir di Sudan pada tahun 1946. ia meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum Sudan dan mendapat gelar LL. B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian pada tahun 1973 An-Na’im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
Pada bulan November 1976 sampai Juni 1985, An-Na’im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan. Pada tahun yang sama (1979-1985) An-Na’im menjadi ketua jurusan hukum publik di almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na’im menjadi profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli 1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat.
Sejak mudanya dia sudah menggabungkan diri dengan partai Republican Brotherhood pimpinan Mahmud Muhammad Taha, tokoh politik yang mati ditiang gantungan dieksekusi oleh pemerintahan Numeiri karena dituduh murtad. Salah satu karya terpentingnya adalah Toward an Islamic Reformation yang diterbitkan oleh Syracuse University Press, 1990. Dan sekarang ia menjadi profesor hukum di Thre the Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat. Selama 15 tahun terakhir dia menetap di AS.
Silakan simak biografi beliau di channel Center for the Study of Law and Religion at Emory.
Biografi beliau yang lebih lengkap dan berkesan adalah Interview beliau dengan Harry Kreisler yang diadakan oleh universitas Berkeley dalam tajuk “Conversations with History”.
Selain membahas tentang biografi singkat dan pengalaman belajarnya, Profesor An-Na’im juga membahas pentingnya reformasi Islam yang berhasil menegosiasikan gagasan universal tentang hak asasi manusia, konstitusionalisme, dan kewarganegaraan sambil menghormati tradisi dan budaya.
Analisisnya berfokus pada perbedaan antara negara dan masyarakat: perlunya pemisahan Islam dari negara sambil mengakui cara-cara di mana Islam dapat menginformasikan masyarakat dan politik.
Dia juga menunjuk pada aspek-aspek problematik dari keyakinan Islam yang muncul dalam konteks sejarah tertentu dan harus beradaptasi dengan modernitas dan nilai-nilai universal yang mengakui martabat semua perempuan dan laki-laki.
Simak Interview bersejarah ini di link berikut (durasi 58 menit)
Konsep-konsep Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im
Agar pembahasan ini lebih mudah akan kita teliti frame pemikiran yang menjadi kekhasan dari An-Na’im, ada tiga konsep dari pemikiran An-Naim yaitu: Reformasi Syariah, Evolutionary Approach dan Secular State menurut An-Na’im. Berikut ini ulasan pemikiran Abdullah Ahmed an-Na’im serta kritikan terhadap pemikirannya tersebut.
Reformasi Syariah
Istilah ini digunakan oleh An-Na’im untuk menyebut Syariat Islam. Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Tapi menurutnya jika syariat histories ini diterapkan kan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Dan yang paling merasakan kerugian, menurutnya lagi, adalah masyarakat non-Muslim dan wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum lelakipun katanya akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-udang.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis dalam bukunya yang berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Contemporary Issues in the Middle East) yang menyerukan perubahan hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi manusia dan standard hukum international. “…some definite and generally agreed principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law,”[1]
Untuk tujuan itu, Na’im menafikan kesakralan syari’at, karena syari’at bukanlah bersifat ilahiyyah Syari’at, menurutnya, adalah “the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain).
Ia juga mengatakan bahwa syari’at, sebagaimana system perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Katanya
“The techniques throught which Shari’a was derivied from the devine sources and the ways in wich in fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history,”
(teknik-teknik penjabaran syari’at dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, social dan politik umat Islam).
Setelah syari’at sudah dianggap tidak sakral lagi, kemudian langkah selanjutnya, Na’im menyerukan untuk mereformasi syari’ah. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dengan framework syari’at yang ada. Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitive. Sementara hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum hudud dan qisas, status wanita dan non-muslim, hukum waris dan seterusnya. Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im.
Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan ushul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Oleh sebab itu, apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untuk itu ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca kitab bibel mereka, tanpa menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua kitab suci ini.
Evolutionary Approach (Evolusi Syari’at)
Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Esensi pendekatan ini adalah
“…reversing the process of naskh or abrogation so that those texts wich were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogatin of text that used to be enacted as shari’a.”
Di tempat lain dia menegaskan:
“To achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those texts of the Meccan stage wich were previously inappropriate for practical application but are now the only way to proceed”.
(Untuk mencapai tahap reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah melaksanakan fungsi transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks periode Mekkah yang sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan tetapi sekarang menjadi satu-satunya yang harus ditempuh).
Metodologi ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara ringkas evolusi syari’at bisa dijelaskan sebagai berikut:
- Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan berikutnya Madinah.
- Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan Madinah sebaliknya.
- Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang belum bisa diaplikasikan.
- Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena bertentangan dengan nilai-nilai modern.
- Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
- Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian masyarakat Barat saat ini.
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan ayat-ayat makkiyyah.
Dan untuk membangun metodologi evolusi syariatnya, an-Na’im menggunakan konsep makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh.
An-Na’im memahami konsep makkiyah dan madaniyah dengan pandangan yang berbeda dengan jumhur ulama, Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah merupakan dua paket (tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak saling terkait. Ia berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi juga terkait dengan perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran (khitab) nya, dan watak universalnya. Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa ayat-ayat Makkiyyah membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara kepada semua manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan tempat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan lagi pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia melakukan generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah me-naskh ayat-ayat Madaniyyah.
Namun jika kita merujuk pada buku-buku yang membahas ilmu al-Quran seperti buku ‘Ulum al-Quran’ karangan Manna’ Khalil Qatthan dan Subhi Shalih kita akan menemukan penjelasan yang sangat berbeda dengan pandangan an-Na’im dan kita akan menemukan bahwa Makkiyah dan Madaniha tidak terpisah dan juga di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan.
Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing, karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah turun lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan dalil-dalil ayat kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh untuk membangun nilai-nilai agama di masa Madinah.
Periode Mekkah adalah periode tarbiyah (pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid untuk pada saatnya nanti menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat Madinah. Ayat-ayat Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat Makkiyyah terlebih dulu.
Selain dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah, Na’im juga membangun metodologi evolusi syari’atnya dengan konsep naskh. Pengertian naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya adalah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada (lama/terdahulu) untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru) berdasarkan dalil syar’I yang datang kemudian.
Pengertian di atas dapat membantah anggapan Na’im bahwa ulama generasi awal menerapkan konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar ayat-ayat Madaniyyah bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa dikompromikan dengan jalan lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal me-naskh ayat-ayat Makkiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah. Apalagi model konsep naskh-nya Na’im yang membalik proses naskh, ayat yang turun lebih awal (makkiyyah) men-naskh ayat yang turun belakangan (madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.
Pendekatan Na’im ini juga sangat problematik sekali. Karena disini Na‘im sepertinya menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Katanya “the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca.” (norma-norma politik dan hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di Madinah tidak selalu merefleksikan arti serta implikasi yang pasti dari pesan yang diturunkan di Mekkah).
Secular State menurut An-Na’im.
Berikut ini dokumentasi wawancara antara Ahmad an-Na’im dengan Fathiyah Wardah Alatas di Hotel Kristal, Jakarta Selatan. Wawancara ini bisa didapatkan di situs www.vhrmedia.com.
Apa hal terbaik dari hukum syariah yang membuat sebagian orang ingin menerapkannya?
Syariah adalah hukum Islam untuk muslim. Jadi, setiap muslim diikat oleh hukum syariah, tapi tidak bisa dipaksakan oleh negara. Ketika negara mengambil alih hak menerapkan syariah, artinya memaksakan pandangan sejumlah orang yang menjalankan negara. Karena menjadi hukum negara, maka hukum syariah itu bisa bertentangan dengan keinginan sebagian besar muslim. Karena itu, syariah harus tetap hidup dalam masyarakat yang membentuk suatu masyarakat madani untuk mempelajari dan melaksanakan syariah. Contohnya, mereka bisa membentuk bank Islam. Tapi semua ini harus di luar kerangka negara. Sangatlah berbahaya membiarkan negara mengklaim sebagai otoritas Islam. Menurut saya, syariah sangat penting dalam membangun masyarakat.
Kondisi apa yang dibutuhkan untuk menerapkan syariah?
Sejarah Islam membuktikan bahwa kaum muslim sudah menerapkan syariah. Itu bukan hal baru. Selama 1.500 tahun, kaum muslim sudah melaksanakan syariah. Hal barunya adalah sekarang kita memiliki negara. Hak asasi manusia tidak perlu diterapkan oleh negara jika masyarakat tidak menghargai dan menjalankan soal HAM. HAM kenyataannya adalah ajaran Islam, bukan pemikiran Barat. Artinya, HAM harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, menghargai hubungan gender.
Jika itu tidak hidup dalam masyarakat, maka nilai-nilai itu tidak bisa dalam negara. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim. Inilah yang disebut peradaban. Itu tidak akan muncul dalam negara sebelum terbentuk dalam masyarakat. Karena itu, saya memiliki konsep hak dalam rumah.
Artinya, jika kita tak mengajarkan anak-anak kita soal menghargai HAM, maka nilai-nilai HAM tidak akan hidup di luar rumah. HAM mengatur hubungan antarindividu di mana semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat.
Menurut Anda, negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah?
Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah.
Apakah Indonesia cocok menerapkan hukum syariah?
Tentu saja tidak bisa, lantaran keanekaragaman latar belakang. Sebagian dari negara ini memiliki kebudayaan dan kondisi ekonomi yang khas, sejarah yang khas. Berbeda satu sama lain. Kondisi ini sangat relevan bagi masyarakat di daerah itu menerapkan HAM sesuai dengan penerapan syariah. Melalui kebebasan memilih dan bukan dengan paksaan.
Artinya Anda tidak menerima konsep khilafah?
Tentu saja. Saya pikir konsep khilafah adalah sebuah khayalan yang sangat berbahaya. Itu tidak benar menurut sejarah Islam. Apa yang disebut orang sebagai khilafah saat ini tak lebih sekadar pemerintahan monarki dan otoriter. Sistem khilafah sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
Bagaimana dengan Islam sebagai rahmatan lil alamin?
Nilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara. Dalam Al-Quran tidak ada konsep negara.
Apa maksud pernyataan Anda bahwa kita memerlukan negara sekuler untuk menjadi muslim yang baik?
Menurut saya, saya membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan.
Di Arab Saudi ketika polisi agama memaksa orang salat di masjid, maka orang itu salat karena negara dan bukan karena Allah. Di negara semacam ini, saya tidak bebas melaksanakan ajaran saya sesuai dengan keinginan saya dan saya tidak bisa berkomitmen untuk melaksanakan itu. Seperti disebutkan dalam Al-Quran tidak ada paksaan dalam agama. Saya lebih suka tinggal di Inggris ketimbang di Arab Saudi. Meski mengklaim sebagai negara Islam, mereka tidak menghargai sesama manusia. Seperti yang terjadi pada sebagian pembantu Indonesia. Mereka ada yang diperkosa, disiksa, dan tidak dibayarkan gajinya.
Demikian wawancara antara Ahmed an-Naim dengan Fathiyah Wardah Alatas. Dari wawancara nampak jelas pandangan Ahmed an-Na’im tentang negara ideal menurutnya yaitu negara sekuler adalah untuk muslim yang baik, itu artinya kalau kita ingin baik, ingin beribadah dengan tenang dan masuk surga bahkan maka hiduplah di negara sekuler.
Pemikiran demikian amat berbahaya karena Islam telah mengatur seluruh dimensi kehidupan Islam dari yang paling kecil seperti adab buang air kecil sampai ke aktivitas yang lebih besar seperti membangun sebuah negara, dan kami juga belum pernah mendapatkan di negara sekuler yang umat Islamnya bebas untuk beribadah yang ada malah mereka selalu terpinggirkan dan didhalimi, lihatlah apa yang ilakukan Kamal at-Taturk setelah berhasil menumbangkan Khilafah lalu merubah Turki menjadi sekuler, ia rubah pemerintahan khilafah dengan republik dan ia hapus semua simbol-simbol Islam.
Prof. Abdullah Ahmed Na’im Quotes
Saya lampirkan quotes Abdullah Ahmed An-Na’im yang saya dapatkan dari situs azquotes
The divides are not Islam and western society, the divide is between people who have different values. We must promote connections between people who want to contribute to human values. People who share that commitment can collaborate across cultural divides.
If I don’t have the freedom to disbelieve, I cannot believe.
Penelitian tentang Pemikiran Abdullah Ahmed Na’im
- Alam, Lukis, and M. Rizkoni Salis. “MENGGAGAS PEMIKIRAN ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM: Islam And The Secular State: Menegoisasikan Masa Depan Syariah.” SAINTIFIKA ISLAMICA: Jurnal Kajian Keislaman 2.02 (2015): 1-14. (unduh)
- Suwandi, Muhammad Raihan. “TEORI EVOLUSI SYARIAH (NASAKH) ABDULLAH AHMAD AN-NA’IM.” AL-RISALAH 17.2 (2022): 103-116. (unduh)
- Aziz, Abdul. “Menegosiasikan Masa Depan Syariah Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Naim.” MAWA IZH JURNAL DAKWAH DAN PENGEMBANGAN SOSIAL KEMANUSIAAN 13.1 (2022): 49-64. (unduh)
- Sidahmed, Abdel Salam. “Abdullahi Ahmed An-Na’Im, Islam and Secular State: Negotiating the Future of Shari’a.” Windsor Yearbook of Access to Justice 29 (2011): 249-251. (unduh)
[1] Toward an Islamic Reformation, hal.151
hahahaha,,, wacana yang ditawarkan oleh Ahmad an-naim yang antum jelaskan diatas lebih ilmiah, sistematis dan logis daripada “Kritikan” antum yang ga jelas arah tujuannya and lebih mirip sebagai kata-kata orang ngedumel daripada mengkritik hahahahaha……