AHMADBINHANBAL.COM – Di panggung sejarah Islam abad ke-11 Masehi, berdiri sosok cendekiawan Muslim yang namanya terukir dengan tinta emas dalam khazanah keilmuan Islam. Az-Zamakhsyari, sang maestro bahasa Arab dan pakar tafsir Al-Qur’an, tidak hanya meninggalkan warisan intelektual yang mencengangkan melalui karya monumentalnya “Al-Kasyaf”, tetapi juga memberikan inspirasi tentang bagaimana keterbatasan fisik dan kemiskinan bukan penghalang untuk mencapai puncak kehebatan ilmu.
Lahir di tanah Khawarizm yang kaya akan tradisi keilmuan, perjalanan hidup Az-Zamakhsyari adalah kisah tentang tekad baja, kegigihan mencari ilmu, dan dedikasi tanpa batas pada pengembangan pemikiran Islam. Sebagai tokoh yang dijuluki ‘Jarullah’ (tetangga Allah) karena lamanya bermukim di dekat Ka’bah, ia adalah potret sempurna bagaimana cinta pada ilmu dapat mengantarkan seseorang melampaui batas-batas geografis, fisik, dan sosial pada masanya.
Kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu – dari tafsir, hadits, hingga sastra Arab – menjadikannya salah satu ulama paling berpengaruh di masanya. Meski dikenal sebagai pembela gigih mazhab Mu’tazilah, kontribusinya dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, terutama dalam bidang bahasa dan tafsir, diakui lintas mazhab dan generasi.
Mari kita telusuri kisah hidup sang ulama yang telah memberikan warna tersendiri dalam mozaik peradaban Islam klasik ini.
Setelah itu, kita telaah bersama Tafsir Al Kasyaf yang ditulis Az Zamakhsyari. Kitab tafsir ini dikenal secara luas di kalangan umat Islam, khususnya para pengkaji tafsir Al-Qur’an di berbagai belahan dunia.
Kemasyhurannya bukan hanya dibuktikan oleh keberadaannya yang masih eksis hingga sekarang, tetapi ditopang pula oleh banyaknya karya yang secara khusus memberikan Syariah atau hasyiyah (catatan Kaki) atas Tafsir tersebut.
- Biografi Az-Zamakhsyari
- Tafsir Muktazilah: Sejarah, Pandangan dan Warisan
- Kitab Tafsir al-Kasyaf Imam Al-Zamakhsyari
- Nama Kitab
- Sejarah Penulisan Kitab
- Metode Tafsir al-Kasysyaf
- Nilai Ilmiah Dalam Kitab Al-Kasyaf
- Khasanah Catatan Kaki atas Kitab Al-Kasysyaf
- Penjelasan Dr. Abdurrahman Asy-Syihri tentang Tafsir Al-Kasyaf
- Referensi
- FAQ
Download pdf
Biografi Al-Zamakhsyari Dan… by Jumal Ahmad Ibnu Hanbal
Biografi Az-Zamakhsyari
Nama dan Tempat Lahir
Di tanah Khawarizm yang subur akan ilmu pengetahuan, lahirlah seorang ulama besar bernama Mahmud bin Amr bin Muhammad bin Amr al-Khawarizmi. Sosok yang kelak dikenal dengan nama az-Zamakhsyari ini menyandang gelar kehormatan Abu al-Qasim. Namun, yang lebih menarik, ia juga dikenal dengan julukan Jarullah – ‘tetangga Allah’ – sebuah gelar istimewa yang ia peroleh setelah menghabiskan tahun-tahun berharga dalam hidupnya bertetangga dengan Ka’bah di tanah suci Makkah.[1]
Beliau lahir pada 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, di Zamakhsyar. Zamakhsyar adalah desa kecil di wilayah Khawarizm (sekarang terletak di negara Turkistan, Rusia), kota yang terletak di Asia Tengah, tepatnya di antara Khurasan dan Laut Aral.
Meski dibesarkan dalam pelukan kemiskinan, az-Zamakhsyari kecil beruntung terlahir dalam keluarga yang kaya akan nilai-nilai spiritual. Ayahnya, seorang imam kampung yang dihormati, tidak hanya dikenal sebagai ulama yang alim, tetapi juga sebagai sosok yang tekun beribadah (abid). Kesederhanaan dan kehati-hatian dalam beragama (zuhud dan wara’) yang tercermin dalam kepribadian sang ayah, kelak menjadi fondasi kokoh yang membentuk karakter az-Zamakhsyari.
Nama ibu dan silsilahnya tidak disebutkan oleh al-Zamakhsyari. Walaupun begitu, al-Zamakhsyari menggambarkan bahwa ibunya adalah seseorang yang memiliki watak dan pribadi yang halus.
Ujian kehidupan datang sejak dini kepada az-Zamakhsyari. Di usia yang masih sangat belia, takdir mengharuskannya kehilangan salah satu kakinya akibat penyakit yang parah. Namun, cobaan ini justru menjadi titik balik yang menguatkan tekadnya untuk mendalami ilmu pengetahuan, seolah hendak membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mencapai keunggulan intelektual.
Zamakhsyari belajar kepada ayahnya sendiri, mulai dari pelajaran dasar membaca, menulis, hingga menghafalkan Al-Qur’an. Setelah dirasa mumpuni, barulah beliau pergi ke kota Khawarizm untuk menuntut ilmu.
Di kota Khawarizm, az-Zamakhsyari mengikuti halakah-halakah ilmiah; mendalami ilmu agama kepada masyayikh yang ada di sana, di samping mempelajari pula ilmu-ilmu kebudayaan. Tekad dan kesungguhannya membuahkan hasil yang mengagumkan, karena dalam waktu yang tak cukup lama beliau telah mampu menguasai berbagai macam bidang ilmu seperti Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid (Ilmu Kalam), Ilmu Mantik, dan Filsafat.
Akan tetapi, tidak lama setelah ia menempuh studinya, ia kembali pulang karena ayahnya dipenjara oleh penguasa Khawarizm dan meninggal dunia. Namun, kepulangannya itu juga ia bertemu dengan ulama terkemuka di Khawarizm, yaitu Abu Mudhar al-Nahwi (w 580 H).
Rasa haus akan ilmu yang tak terpuaskan menggerakkan langkah az-Zamakhsyari melintasi berbagai negeri. Bagaikan seorang penjelajah yang tak kenal lelah, ia menyusuri jejak-jejak pengetahuan dari Nisabur hingga Mesir, dari Bukhara sampai Ashfahan. Setiap kota yang ia singgahi menjadi mata air yang menyegarkan dahaga intelektualnya, setiap ulama yang ia temui menjadi cermin yang memantulkan cahaya ilmu baru dalam benaknya.
Perjalanan menuntut ilmunya kemudian dilanjutkan ke Makkah. Di sana, ia tinggal cukup lama dan tinggal di samping Ka’bah (Baitullah), sehingga ia digelari dengan jarullah (tetangga Allah). Di Makkah, ia habiskan waktunya untuk menguasai kitab nahwu karangan Sibawaih (518 H). Perjalanan panjang dalam memuaskan hasrat ilmu mengantarkannya sebagai Imam al-Kabir di bidang Tafsir, Hadits, Nahwu, Sastra, dan Fiqh. Selain itu, ia juga sangat dikenal sebagai peletak dasar ilmu Balaghah.
Imam Al-Zamakhsyari menganut faham Mu’tazilah, sehingga ada yang memanggilnya dengan Abu al-Qasim al-Mu’tazili. Al-Zamakhsyari adalah penganut fanatik Mu’tazilah. Saking fanatiknya, ia sempat diturunkan dari jabatannya. Kefanatikannya itu tampak jelas dalam Kitab Tafsir yang dikarangnya. Akan tetapi, kefanatikannya itu justru menandakan kedalaman ilmunya. Ketika menafsirkan dan menakwilkan ayat, al-Zamakhsyari sangat pandai menggunakan isyarat dengan gaya bahasa yang indah. Pembaca Kitab Tafsirnya yang tidak memiliki kedalaman ilmu tidak akan mengetahui kemu’tazilahan al-Zamakhsyari.
Kisah hidup az-Zamakhsyari menyimpan pilihan personal yang menarik – ia memilih mengabdikan seluruh hidupnya pada pencarian ilmu dan tidak pernah menikah. Banyak komentar para ilmuwan mengenai keadaannya ini. Jika dipahami dari bait syair yang diungkapkannya sendiri, kata Abd al-Majid Dayyab, pentahqiq kitab Rabi’ al-Abrar, akan ditemukan bahwa kehidupan membujangnya karena pandanganya bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mendirikan rumah.
Pernyataan itu menurut ‘Abd al-Majid Dayyab, sesungguhnya adalah basa-basi belaka. Sebenarnya banyak hal yang tidak terungkap yang menyebabkan dia hidup dalam keadaan demikian. Di antara penyebabnya, menurutnya adalah kefakirannya, ketidakstabilan hidupnya, karena keadaan materi yang dimilikinya, dan penyakit jasmani yang dimilikinya.
Cacat kakinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan ia merasa lemah dan tidak sanggup untuk menanggung perkawinan dan tanggung jawab keluarga. Ini juga mungkin penyebab menjauhnya para wanita dari diri al-Zamakhsyari. Mungkin juga penyebab lainnya adalah karena kesibukannya menuntut ilmu dan kecintaannya terhadap ilmu dan karya-karya yang ditulisnya menyebabkan ia menjauh dari persoalan perkawinan.
Sejak kecil, sudah tertanam dalam diri Zamakhsyari rasa cinta terhadap bangsa Arab dan bahasa Arab serta ilmu pengetahuan. Bahkan ketika usia remaja ia sudah mempunyai cita-cita dan keinginan untuk menempati kedudukan yang dapat menunjang ilmu dan kepintarannya. Ia ingin memperoleh harta yang memadai bagi kehidupannya. Hal ini didukung oleh kondisi lingkungan yang mengitari hidup dan kehidupannya. Untuk itu ia lalu mengadakan berbagai usaha untuk memenuhi cita-citanya.
Di negerinya ia telah mengadakan hubungan dengan para pembesar kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Abd al-Fattah Maliksyah, yang bergelar Sulthan Jalal al-Dunya wa al-Din. Ia memuji dan menyanjung para pembesar kerajaan di negerinya dan ini menyebabkannya mendapatkan pemberian dari mereka.
Namun hal itu tidak menjadikannya puas, ia ingin mendapatkan pangkat dan kedudukan. Keinginannya yang terakhir ini tidak dapat ia capai di negerinya. Oleh sebab itu, ia melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk menggapai cita-citanya itu. Pertama-tama ia pergi ke Khurasan, di sini ia menyanjung pembesar kerajaan seperti Mujir al-Daulah Abu al-Fath Ali ibn al-Husain al-Ardistani dan Muayyid al-Malik ‘Ubaid Allah ibn Nizham al-Mulk. Karena gagal, ia menuju ke Isfahan (wilayah Iran sekarang), tempat istana kerajaan seljuk Muhammad ibn Abu al-Fath Maliksyah (w. 511 H).
Pada suatu ketika di tahun 512 H al-Zamakhsyari menderita sakit keras yang menyebabkannya hampir melupakan segala yang ia idamkan selama ini. Ia merasakan bahwa penyakit yang dideritanya itu merupakan ujian berat bagi dirinya. Ia akhirnya menyadari dan berjanji jika sembuh dari sakitnya, tidak akan mendekati penguasa lagi. Setelah sembuh, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad.
Di sini ia tak lagi berhubungan dengan penguasa tetapi mendatangi para ulama dan cendekiawan untuk mendapat ilmu pengetahuan dari mereka. Di sini ia mempelajari hadis dari berbagai ulama terkenal, seperti Abu al-Khaththab ibn al-Bathi Abu Sa’ad al-Syifani, dan Syaikh al-Islam Abu Manshur al-Haritsi. Di sinipun ia mempelajari fikih dari berbagai ulama, di antaranya adalah al-Damighani dan al-Syarif ibn al-Syajari.
Al-Zamakhsyari sadar bahwa usahanya mengejar harta dan kedudukan adalah sebuah dosa, maka ia bertekad untuk memohon ampun kepada Allah. Lantas pergilah ia ke Baitullah di Mekah. Sesampainya ia di sana, ia berkenalan dengan sejumlah ulama terkenal dan menimba ilmu dari mereka.
Orang pertama yang ia temui di sana sekaligus tetangganya adalah al-Amir al-Alawi Ali ibn ‘sa ibn Hamzah ibn Wahhas. Ia lalu berguru kepada ‘Abd Allah ibn Thalhah al-Yabiri (w. 518 H). ia menggunakan waktunya selama dua tahun bersama ulama itu untuk mempelajari dan memperdalam Kitab Sibawaih. Ia juga pernah mengunjungi Hamdan, suatu daerah yang terletak di Yaman, sebelah selatan Makkah al-Mukarramah.
Kerinduannya yang sangat dalam terhadap kampung halamannya menyebabkan ia meninggalkan Makkah menuju Khuwarizmi. Di sini ia tinggal di sebuah rumah khusus yang didirikan oleh Muhammad ibn Anasytakin yang bergelar Khuwarizmisyah (w. 521 H). saat Khuwarizmisyah meninggal ia pun menumpang pada Atsaz, anak Khuwarizmisyah. Atas perintah Atsaz inilah, al-Zamakhsyari menyusun satu naskah buku yang terkenal dengan nama Muqaddimah al-Adab (Pengantar Kesusastraan).
Setelah itu, Al-Zamakhsyari untuk kedua kalinya pergi menuju Makkah. Dalam perjalanan ia sempat singgah ke Syam. Al-Zamakhsyari di Makkah selama dua tahun dan ketika itulah ia menyusun kitab tafsirnya al-Kasyaf (pembuka Tabir). Beberapa waktu kemudian al-Zamakhsyari kembali ke kampung halamannya. Dalam perjalanannya ia menyempatkan diri singgah di Baghdad pada tahun 533 H. di kota ini ia banyak membaca buku-buku tentang bahasa, terutama pada Abu Manshur al-Jawaliqi.
Bacaan-bacaannya yang cukup banyak mengenai berbagai bidang ilmu dalam berbagai buku, seperti tafsir, bahasa maupun fikih menjadikannya sebagai seorang ‘alim dan diakui oleh ‘ulama yang semasa maupun setelahnya. Abu al-Yaman Zubaid ibn al-Hasan al-Kindi (w. 613 H), misalnya mengatakan bahwa pada zamannya al-Zamakhsyari adalah seorang non-Arab yang paling dalam penguasaannya mengenai bahasa Arab.
Masa Kehidupan
Masa kehidupannya dapat kita lihat dari tiga sisi
1. Sisi politik
Zamakhsyari hidup ketika masa senggang antara dua pemerintahan yaitu pada tahun 467-538 H, ketika masa ini negara islam banyak mengalami pergolakan politik, negara islam terpecah menjadi negara-negara kecil dan munculnya kerajaan-kerajaan yang terkenal dalam Islam, dan hal ini semua akan mempengaruhi diri az-Zamakhsyari dalam tsaqafah dan adabnya.
Di antara negara-negara yang muncul ketika maza az-Zamakhsyari adalah:
- Khilafah Abbasiyah
- Daulah Aznawiyah di India
- Daulah Fatimiyah di Mesir dan Syam
- Daulah Murabithun di Marakis
- Daulah al-Asraf al-Husainiyyin di Makkah.
Kemudian tentang kota tempat tinggal dari az-Zamakhhsyari, yaitu Khawarizmi, kota ini telah dikuasai oleh setidaknya tiga kekuasaan, yaitu:
- Daulah as-Samaniyah (261-389 H)
- Daulah Siljukiyah (429-552 H)
- Daulah Khawarizmiyah (491-628 H)
2. Sisi kemasyarakatan
Pada masa Zamakhsyari terjadi puncak ketegangan antara orang Turki dan oran Persia, hal ini disebabkan karena beralihnya pemerintahan dari Persia ke Turki serta dengan berpindahnya Ibu kota.
Selain itu, tedapat perselisihan yang amat sengit ketika masa Zamakhsyari, yaitu antara sunni dan syiah, kebanyakan orang Buwaih adalah syiah dan orang Salahiqah dan Khawarizmi adalah sunni.
Khawarizmi ketika itu menjadi kota yang subur dengan pemikiran, seperti pemikiran muktazilah dan filsafat, lalu di daerah timur faham muktazilah menjadi paham yang mendarah daging, kebanyakan mereka adalah syiah, dan fuqaha’ mereka adalah muktazili (berfahaman muktazilah) sehingga paham ini menjalar kepada orang awam dan menjadi hal biasa.
Di tengah pergolakan di daerah khawarizm tersebut, orang awam secara umunya dalam keadaan miskin dan hidup bermasyarakat dalam keadaan terpetak-petak ada yang khusus dan ada yang umum selain itu para penyeru jama’ah dan mazhab juga tak kalah santernya, dan sebagai akibat dari hal itu adalah berkembangnya perilaku tasawuf dan tawakul, menyeruak sihir dan pengagungan pada wali. [2]
Peraturan negara ketika itu sangat jelek, para sultan dan umara’ banyak melakukan korupsi, adapun kalangan ulama ketika itu, terbagi menjadu dua, yaitu ulama yang condong dengan khalifah, sehingga banyak ketika masa itu para ulama yang mengarang kitab karena perintah dari khalifah, dan kelompook ulama kedua, adalah ulama yang bertempat jauh dari keramaian atau tinggal di pedesaan, kebanyakan mereka dalam keadaan miskin.[3]
3. Sisi Ilmiyah
Zamakhsyari hidup dalam masa yang penuh dengan ilmu dan adab, ketika masanya banyak bertebaran ulama, ahli syair, penulis, terutama di daerah Khawarizmi, dan kebudayaan yang demikian banyak dimotofasi oleh pemerintah kala itu sehingga manusia saling berlomba-lomba dalam setipa cabang keilmuan, buku dan madrasah semakin banyak.
Dan daerah Khawarizmi adalah daerah yang menjadi basis pertumbuhan dan pergerakan muktazilah, sehingga tidak akan didapatkan seorang pun di Khawarizmi, kecuali bermazhab Muktazilah, mazhab ini telah menyebar luas, sampai orang awam pun meyakini bahwa al-Quran adalah makhluk.
Masa Belajar, Guru dan Murid-Muridnya
Guru az-Zamakhsyari
Kecintaan al-Zamakhsyari terhadap ilmu pengetahuan diwujudkan dalam bentuk mencari dan menuntut ilmu dari berbagai guru dan syaikh. Ia tidak hanya berguru secara langsung kepada para ulama yang hidup semasa dengannya, tetapi juga menimba ilmu dengan menelaah dan membaca berbagai buku yang ditulis oleh para dari berbagai syaikh.
Tidak heran bila sejarawan mencatat bahwa az-Zamakhsyari memiliki guru berjumlah puluhan, bahkan tidak mustahil ratusan. Beberapa di antaranya ialah Abu Mudhar Mahmud b. Jarir adh-Dhabbi al-Ashfahani an-Nahwi, Abu Bakar ‘Abdullah b. Thalhah b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Yabiri al-Andalusi, Abu al-Khithab b. al-Bathar, Abu Sa‘ad asy-Syaqani, Abu Manshur al-Haritsi,
Al-Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-Jasymi, ia terkenal dalam ilmu ushul dan filsafat, ia guru zamakhsyari dalam tafsir, Mauhub bin Ahmad bin Muhammad bin al-Jawaliqi, ia terkenal dalam masalah bahasa, wafat pada 540 H, Abdullah bin Thalhah bin Muhammad bin Abdullah al-Yabiri, wafat pada 520 H, Asy-Syaikh as-Sadid al-Khayathi, Ruknu ad-Din Muhammad al-Ushuli, dan lain-lain.
Tetapi dari nama-nama ini, nama pertama dan kedualah yang memberi pengaruh yang cukup signifikan kepada az-Zamakhsyari. Pertama, Abu Mudhar, salah satu pakar ilmu bahasa dan kedokteran di masanya. Ialah ulama yang membawa mazhab Mu\’tazilah di kota Khawarizm, dan dari beliaulah az-Zamakhsyari menekuni paham-paham Muktazilah. Kedua, Abu Bakr al-Yabiri, ulama pakar nahwu, ushul dan fikih. az-Zamakhsyari belajar Kitab Sibawaih kepadanya sewaktu mukim di Makkah.
Murid az-Zamakhsyari
Ilmu pengetahuan yang telah ditimba oleh al-Zamakhsyari dari berbagai syaikhnya dikembangkannya lagi kepada para muridnya yang banyak jumlahnya.
Kadang-kadang syaikh yang menjadi guru tempat ia menimba ilmu menjadi murid pula baginya. Dalam keadaan seperti ini, ia saling menerima dan memberikan ilmu. Hal ini terjadi antara al-Zamakhsyari dengan beberapa ulama, misalnya dengan al-Sayyid Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isa ibn Hamzah al-Hasani, salah seorang tokoh terkemuka di Makkah.
Di antara murid –muridnya yang lain ialah:
- Al-Muwafiq bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Said Ishaq, wafat pada 568 H.
- Muhammad bin Abi al-Qasim Bayajuk, wafat pada 562 H.
- Ali bi Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Marwan, wafat pada 560 H.
- Ya’qub bin Ali bin Muhamamad bin Ja’far.
- Ali bin Isa bin Hamzah bin Wahs Abi Thayib
- Abu Bakar Yahya bin Sa’dun bin Tamam al-Azdi
- Al-Qadhi abu al-Ma’ali Yahya bin Abdurrahman bin Ali as-Saibani
- Zainab binti Abdurrahman bin Hasan al-Jurjani
- Abu Thahir Ahmad bin Muhammad as-Salafi
- Muhamamad bin Muhammad bin Abdul jalil bin Abdul Malik al-Balkhi
Perkataan ulama tentang az-Zamakhsyari dan Karyanya
Perkataan para Ulama tentang az-Zamakhsyari
Zamahsyari adalah orang yang luas ilmunya, pemimpin dalam ilmu balaghah, ma’ani dan bayan, di antara perkataan ulama tentang dia adalah:
As-Sam’ani berkata: “Tidak ada yang menyamainya dalam ilmu adab dan nahwu, ia telah bertemu dengan para senior, memiliki banyak karangan dalam tafsir, penjelasan hadits dan dalam bahasa.”[4]
Az-Zahabi berkata: “Pembesarnya Muktazilah, ahli nahwu, pengarang al-Kasyaf, pemimpin dalam balaghah dan bahasa arab dan al-Bayan dan ia mempunyai nadham yang bagus.”[5]
Yaqut al-Himawi berkata: “Ia adalah imam dalam tafsir, nahwu, bahasa, adab, memiliki banyak keutamaan dan ilmu.”[6]
As-Suyuthi berkata: “Ia adalah orang yang luas ilmunya, memiliki banyak keutamaan, amat cerdas, mumpuni dalam setiap ilmu, bermazhab muktazilah tulen, dan menjadi penolongnya.”[7]
Adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasyaaf karyanya.”
Karangan-karangan Zamakhsyari
Ilmu pengetahuan yang telah dipelajari al-Zamakhsyari telah dikembangkan dan disebarkan kepada para murid-muridnya tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga melalui buku-buku yang telah ditulisnya. Sepanjang hidupnya ia telah menyusun sejumlah buku dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ilmu syariah (agama), bahasa, maupun sastra.
Buku yang telah disusunnya berjumlah lebih dari lima puluh judul yang hingga sekarang masih banyak dijumpai dan dijadikan referensi dan bahan kajian
- Al-Kasyaf an Haqaiq at-Tanzil
- Al-Faaiq
- Asas al-Balaghah
- Al-Mufashal
- Al-Mustaqshi di al-Amtsal
- Al-Qisthas
- Muqaddimah al-Adab
- Kitab al-Amkinah wa al-Jibal wa al-Baqqa’ al-Mashurah di As’ar al-Arab
- Kitab an-Nashaih al-Kibar
- Rabi’u al-Abrar
- Nawabigh al-Kalm
- Athwaq az-Zahab
- Kitab Khasais al-Asrah al-Kiram al-Bararah
- Masalah fi Kalimah as-Syahadah
- Nuzhah al-Mustaknis wa Nuzhah al-Muqtabis
- Al-Qashidah al-Ba’udhawiyah
- Qashidah fi Sual al-Ghazali an Julus Allah fi al-‘Arsy, wa Qushur al-Ma’rifah al-Basariyah
- Mukahtashar al-Muwafaqah baina Alu al-Bait wa as-Shahabah
- Al-Minhaj fi Ushul ad-Din
- Nakt al-I’rab fi Gharib al-I’rab
- Al-Kasf fi al-Qiraat
- Al-Mufrad wa al-Muallif fi an-Nahwi
- Risalah fi al-Majaz wa al-Isti’arah
- Al-Amali fi an-Nahwi
- Mu’jam al-Hudud
- Diwan at-Tamtsil
- Kitab al-Asma’ fi al-Lughah
- Ruh al-Masail
- Sarair al-Amtsal
Dari kitab-kitab yang telah disusunnya dapat diketahui bahwa al-Zamakhsyari adalah seorang ulama yang mempunyai wawasan yang luas mengenai berbagai bidang ilmu, yang tidak hanya mengenai ilmu agama, tetapi juga mengenai ilmu bahasa.
Kemampuan dan kedalaman ilmunya di bidang bahasa inilah yang membuatnya lebih terkenal di kalangan para ulama di masa-masa sesudahnya, terutama ketika ia menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa dan balaghah.
Mazhab dan Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela madzhabnya dan termasuk sebagai imam dan panutan dalam aliran Muktazilah. Ia hidup di lingkungan yang berfahaman Muktazilah, gurunya Abu Madhar ad-Dhabbi memiliki andil besar dalam menancapkan paham muktazilah pada dirinya, begitu juga dengan gurunya, Abu Sa’id al-Jasmi yang menjadi gurunya dalam bidang tafsir.
Zamakhsyari tumbuh dengan mempropagandakan Muktazilah dan mengajarkannya, sehingga jika ada yang memintanya untuk masuk suatu tempat, ia katakan, katakanlah Abu al-Qasim al-Muktazili di depan pintu.[9]
Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah’ [10] dan mengangap telah keluar dari Islam, siapa saja yang menyelisihi aqidahnya[11] dan menyebut kelompok Muktazilah sebagai kelompok yang adil.
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dalam masalah furu’ dan bemazhab Muktazilah dalam masalah ushul (aqidah) dan tidak ta’ashub terhadap mazhab hanafi.
Wafatnya
Ia wafat pada malam hari Arafah pada tahun 538 H di tempat tinggalnya, Khawarizm setelah kepulangannya dari kota Makkah.
Tafsir Muktazilah: Sejarah, Pandangan dan Warisan
Pengertian dan Asal Usul
Muktazilah – yang berakar dari kata azala-ya’tazilu-‘azlan (menyingkir atau memisahkan diri) – merupakan aliran pemikiran Islam yang muncul pada masa dinamis perkembangan teologi Islam.
Kelompok ini memposisikan diri sebagai ‘jalan tengah’ antara dua pandangan ekstrem: Murji’ah yang memandang pelaku dosa besar tetap sempurna imannya, dan Khawarij yang mengkafirkan para pelaku dosa besar. Identitas teologis mereka terbangun di atas lima prinsip fundamental yang dikenal sebagai Al-Ushul Al-Khamsah.
Lahirnya Muktazilah
Kisah kemunculan Muktazilah bermula di sebuah majelis ilmu yang dipimpin oleh Imam Hasan al-Bashri di Masjid Basrah. Suatu hari, sebuah pertanyaan krusial dilontarkan tentang status pelaku dosa besar dalam Islam. Sebelum sang imam memberikan jawaban, Wasil bin Atha’ – yang kelak menjadi pelopor Muktazilah – bangkit dan menyatakan pandangannya yang revolusioner:
‘Pelaku dosa besar berada dalam posisi antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain) – tidak bisa disebut mukmin secara mutlak, namun juga tidak bisa dikategorikan kafir.’
Pernyataan ini, yang bertentangan dengan pandangan mainstream yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, memicu Wasil untuk memisahkan diri dari majelis. Momen inilah yang menginsipirasi Imam Hasan al-Bashri untuk menyebut mereka ‘Muktazilah’ – kelompok yang memisahkan diri.
Pandangan Ulama tentang Tafsir Muktazilah
Kritik terhadap metodologi tafsir Muktazilah datang dari berbagai otoritas Islam terkemuka:
- Al-Imam AbulHasan Al-Asyari“Tafsir Mu’tazilah adalah sesat, yang demikian itu sebagaimaa tercantum dalam muqaddimah tafsirnya yang bernama “al mukhtazan” dan ini tidak ada pada kami. Sesungguhnya ahlu kesesatan menta’wilkan alquran dengan analogi mereka. Serta mnefsirkannya dengan hawa nafsu meraka”. (Dr.Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, I/385.)
- IbnuTaimiyah“Mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sesuai dengan apa yang sudah menjadi keyakinan mereka, tanpa bersandarkan kepada bagaimana penafsiran dari Salaf as-Salehdan orang-orang setelah mereka yang berjalan di atas manhaj (jalan) yang benar yang bersumberkan langsungdari Rasulullah.” (Dr. Muhammad Husain Adzahabi, Tafsir Wal Mufassirun, hal: I/386).
- IbnuQayyim “Tafsir mereka (mu’tazilah) adalah sampah pilkiran, dan menyelisihi otak, dan mengganggu dada (tidak menjadikan lega). Mereka mengisi dengan lembaran-lembaran hitam dan keraguan hati serta al ‘alim yang rusak setiap ap yang mereka uraikan berdasarkan akal nyata diketahui kejelekan al alim yang mengedepankan akal daripada wahyu dan hawa nafsu”. (Tafsir Wal Mufassirun, Dr. Muhammad Adzahabi, hal: I/287.)
Warisan Literatur Tafsir Muktazilah
Meski mendapat berbagai kritik, aliran Muktazilah telah meninggalkan warisan intelektual yang signifikan dalam bentuk karya-karya tafsir:
- Tanzihul Qur’an minal Mathain: Abdul Jabar
- Amali Syarif Al-Murtadha : Abul Qasim
- Al-Kasyaf An Haqoiqit Tanzil : Zamkhasyari.
Kitab Tafsir al-Kasyaf Imam Al-Zamakhsyari
Nama Kitab
Kitab tafsir karangan Imam Al-Zamakhsyari diberi judul kitab Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, nama ini ditulis oleh Zamakhsyari dalam pendahuluan kitabnya. Dan pada cetakan yang lain tedapat tambahan “Ghawamidh”, sehingga judulnya menjadi “Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq Ghawamidh at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil, judul inilah yang telah disebutkan oleh Borklemen dan selanjutnya diikuti banyak orang.
Sejarah Penulisan Kitab
Menurut sejarahnya, kitab ini disusun oleh Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Tentang tanggal penulisannya, Zamakhsyari menyebutkan bahwa kitab ini selesai di Dar Sulaimaniyah pada waktu Dhuha, hari senin tanggal 23 Rabi’ul akhir pada tahun 528 H.
Waktu dan tempat penyusunan tafsir ini diketahui melalui pengakuannya dalam muqaddimah tafsirnya. Ia menyatakan bahwa tafsirnya itu disusunnya selama tiga tahun, dan lama penyusunannya itu sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakr al-Shiddiq.
Penulisan kitab ini awalnya adalah atas usulan dari rekan-rekan Mu’tazilah yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok ini sangat mengagumi dan mengakui kedalaman ilmu dan keintelektualan al-Zamakhsyari dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Awalnya, al-Zamakhsyari mendiktekan tentang masalah yang terkandung dalam surat al-Fatihah, al-Fawatih al-Suwar, dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat surat al-Baqarah kepada rekan-rekannya. Ternyata Kitab Tafsir tersebut memperoleh apresiasi yang luar biasa dari berbagai daerah. Keunggulannya adalah cara penyampaiannya yang ringkas dan menarik.
Para ulama Mu’tazilah pun tertarik terhadap kitab ini dan meminta untuk dipresentasikan di hadapan mereka. Akhirnya, Kitab Tafsir ini diberi masukan agar disusun secara i’tazili. Bahkan pemimpin Kota Makkah, Ibn Wahhas, berkeinginan memiliki Kitab Tafsir tersebut. Banyaknya respons positif terhadap Kitab Tafsir tersebut, al-Zamakhsyari menjadi lebih termotivasi untuk melanjutkan penulisan al-Kasysyaf.
Zamakhsyari menyebutkan keinginan para sahabat dan ulama terhadap kitab tafsirnya di pendahuluan kitab, ia menulis demikian.
“Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang”.
Metode Tafsir al-Kasysyaf
Tafsir al-Kasysyaf disusun secara tartib mushafi yaitu disusun sesuai dengan urutan mushaf usmani yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Tafsir ini dikategorikan kedalam tafir bi al-ra’yi karena menggunakan penafsiran rasional yang didukung riwayat.
Metode yang digunakan al-Zamakhsyari adalah Tahlili. Ia berusaha menguraikan berbagai segi dari suatu ayat, lalu menjelaskan apa yang dimaksud dalam seluruh ayat Al-Qur’an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. .
Aspek lainnya, Al-Zamakhsyari menekankan pada bahasa dalam menjelaskan maksud ayat. Penenakan tersebut didukung kemampuan ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu nahwu, dan sharaf yang ia miliki.
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah.
Sisi keindahan dan balaghah dalam al-Quran adalah hal yang sangat ditekankan dalam tafsirnya, dan ia banyak berusaha dalam tafsirnya untuk mengarahkan maknanya pada ‘Majaz’, ‘Isti’arah’, ‘Tamtsil’ atau Isykal Balaghiyah. Ini semua untuk meunjukkan uslub dan syair al-Quran, oleh karena itu kitab ini termasuk kitab tafsir yang paling luas menyebutkan sisi bayan dan balaghah al-Quran.
Tujuan Al-Zamakhsyari mengungkapkan sisi-sisi kebalaghahan Al-Qur’an dengan lafaz isti’arah, kinayah, majaz, dan kemusykilan balaghah lainnya adalah untuk melemahkan para penentang Al-Qur’an. Kekayaan ilmu bahasa dan sastranya inilah yang menjadikan Tafsir al-Kasysyaf sebagai rujukan hingga kini. Selain Ilmu Balaghah, Kitab Tafsir inilah yang menjadi warisan utama al-Zamakhsyari.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog atau metode tanya-jawab dalam penafsirannya atas ayat-ayat Al-Qur’an. ketika al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan.
Misalnya, “Huruf ba’ (yang terdapat pada basmalah) berkaitan dengan kalimat apa?”; “Mengapa kaitan huruf ba’ diasumsikan terletak di akhir basmalah?”; “Apa makna sifat rahmat yang disandang oleh Allah SWT?”; “Jika memang sifat rahman lebih sempurna (baligh) daripada sifat rahim, lantas mengapa sifat rahman disebut terlebih dahulu, padahal secara logika mestinya disebut secara gradual yakni dari yang paling rendah (al-adna) ke yang paling tinggi (al-a‘la)?; dan lain sebagainya.
Nilai Ilmiah Dalam Kitab Al-Kasyaf
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya. Ia bermazhabkan Hanafi dalam masalah furu’ dan bermazhab Muktazilah dalam masalah ushul tanpa berta’ashub terhadap mazhab Hanafi, dan penulis Thabaqat Hanafiah mengatakan: “Imam besar dalam masalah adab dan namanya sering disebut-sebut.”
Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’. Ia juga memiliki diwan syair yang banyak dipuji oleh para penulis, Borklemen, dalam bukunya al-Adab al-Islami, menyebutkan salah satu dari syairnya.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan:
“Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak. Hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat al-Quran dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah dipandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya ”.
Khasanah Catatan Kaki atas Kitab Al-Kasysyaf
Tafsir Al-Kasyaf adalah kitab tafsir yang paling tinggi dalam tingkatan ilmu Balaghah dan Bahasa Arab. Bagi Zamakhsyari, bahasa Arab adalah ratu baginya, meskipun dia dilahirkan dengan bahasa Persia.
Tafsir Al-Kasyaf menjadi terkenal di kalangan umat Islam karena memiliki banyak syarh dan hasiyah atau catatan kami atas kitab ini meskipun penulisnya adalah seorang Muktazilah.
Secara umum, khazanah “catatan kaki” Tafsir al-Kasysyaf dapat dikategorikan dalam tiga tipe berikut ini:
Pertama, Ditulis untuk membantah paham Muktazilah
Beberapa Hasyiah atau catatan kaki yang termasuk dalam kategori ini adalah Sabab al-Inkifaf ‘an Iqra’ al-Kashshaf karya al-Subki (W. 756 H) dan Tafsir Baidawi.
Sabab al-Inkifaf ‘an Iqra’ al-Kashshaf
Sabab al-Inkifaf ‘an Iqra’ al-Kashshaf karya al-Subki, makna judul buku ini secara mudah adalah sebab-sebab kenapa aku berhenti dari mengajar al-Kashshaf.
al-Subki adalah seorang yang pakar di dalam Tafsir al-Quran, dia juga seorang mufassir dan telah menulis kitab tafsir berjudul “al-durr al-nadzim fi tafsir al-quran al-adhim’ meskipun tidak selesai hingga ia wafat.
Al-Subki juga telah belajar serta membaca al-Kashshaf bersama gurunya, Syekh Allamuddin Abdul Karim bin Ali, yang dikenal dengan nama “al-Araqi”, seorang tokoh ulung pada kurun ke-7 Hijrah dan mengajar di Madrasah Mansuriyah di Kairo, kurang lebih ia belajar dan membaca kitab bersama gurunya selama 2 tahun, saat al-Subki masih berumur 19 tahun.
Ketika al-Subki masih seorang penuntut ilmu itu, al-Subki telah melihat perdebatan antara gurunya dengan seorang lagi tokoh besar yaitu Ibn al-Munayyir (W. 683) yang dikenal menulis bantahan atas kitab al-Kasysyaf karena banyak i’tizal di dalamnya.
Perdebatan ini sangatlah signifikan kerana dikatakan Ibn al-Munayyir adalah tokoh pertama yang menyanggah al-Zamakhshari dan al-Kashshaf, manakala Ibn Bint al-‘Iraqi adalah orang yang pertama membela al-Zamakhshari dan al-Kashshaf. Perdebatan ini sekaligus telah mengangkat al-Kashshaf sebagai sebuah rujukan utama di persada institut pengajian Islam pada ketika itu.
Namun, pada penghujung karier, beliau tidak dapat lagi membendung perasaannya terhadap beberapa kepercayaan Mu’tazilah di dalam al-Kashshaf. Al-Subki berfaham Ash’ari dan bermazhab Syafi’i, sudah tentu jika mengajar tafsir ini beliau akan melalui beberapa penulisan al-Zamakshari yang bertentangan dengan pegangan beliau.
Sehingga pernah diceritakan apabila seorang sahabatnya dari Madinah datang ke Kaherah telah meminta satu salinan Tafsir al-Kashshaf, beliau berdalih dan berat untuk memberikan Salinan tersebut.
Tafsir al-Baidhawi
Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat).
Pada zaman al-Bayḍāwī, ulama Sunni sedang giat membanteras dan menghalang pengaruh al-Kashshāf yang telah ditulis oleh seorang Mu’tazilah. Maka al-Bayḍāwī secara eksplisit telah menulis di dalam Mukadimah penulisan beliau tentang tujuan beliau iaitu: ‘untuk menghalang kesesatan (al-Kashshāf)’.
Karyanya ini merupakan ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Namun al-Baidhawi tidak mengikuti pemikiran-pemikiran dari az-Zamakhsyari yang bernuansa Mu’tazilah karena al-Baidhawi seorang yang bermazhab asy’ariyah.
Al-Suyuthi adalah orang yang berjasa meninggikan Anwar al-Tanzil dan menurunkan pamor al-Kasysyaf melalui kitab syarahnya atas anwar yaitu kitab Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar.
Setelah berlalunya masa, Anwār telah menjadi sebuah Tafsīr al-Qurān yang paling masyhur dan yang paling terutama. Sejarawan telah menceritakan tentang satu adat mulia yang telah dimulakan oleh Bangsawan dan Ilmuan Uthmaniyah.
Setiap kali Ramaḍān mereka akan membuat satu majlis ilmu yang dinamakan sebagai Huzur Dersleri, Ulama’ akan mensyarahkan tafsīr sambil dihadiri oleh Sultan dan para bangsawan, dan Anwār al-Tanzīl telah digunakan sebagai syarahan tersebut.
Kedua, Ditulis sebagai syarah dan takhrij hadis-hadis al-Kasyaf
Hasyiah kedua yang penting untuk diceritakan di sini ialah Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar oleh al-Suyuti dan al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar
Imam Jalal al-Din al-Suyuti (W. 911) menulis kitab Nawahid al-Abkar wa Shawarid al-Afkar, yang asalnya Hasyiah ini ditulis untuk Tafsir al-Baydawi, yang Tafsir al-Baydawi juga sebenarnya adalah Hasyiah atas Tafsir al-Kashshaf. artinya, secara tidak langsung al-Suyuti telah menulis satu Hasyiah untuk 2 tafsir, yaitu al-Kashshaf dan al-Baydawi.
Di dalam Nawahid ini al-Suyuti bertindak membela al-Kashshaf dari serangan yang telah dilontarkan oleh al-Bulqini, seorang tokoh yang telah belajar tafsir dengan Abu Hayyan al-Gharnati dan Abu al-Thana’ al-Isfahani.
AlBulqini yang terkenal di dalam bidang al-Quran dan al-Sunnah telah melontar bahwa alKashshaf dipenuhi dengan hadis-hadis yang lemah, alSuyuti membalas semula dengan mengatakan bahawa al-Kashshaf adalah sebuah tafsir yang mengutamakan Nahu dan Balaghah sebagai metod utama.
Al-Suyuti menekankan lagi bahawa aspek Balaghah seperti al-Bayan dan al-Ma’ani inilah yang telah melonjakkan al-Kashshaf sebagai sebuah tafsir yang utama.
al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf
al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Kitab ini dicetak Dar Alam al-Ma’rifah di Beirut. 191 halaman, baca kitabnya di tautan ini.
Komentar lain yang khusus berkaitan dengan hadis-hadis dan atsar-atsar yang terdapat dalam al-Kasysyaf, antara lain, Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi‘ah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari karya Abi Muhammad b. Yusuf b. Muhammad az-Zayla‘i.
Ada pula komentar khusus berkaitan dengan argumen-argumen syair yang dikutip oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, seperti Masyahid al-Inshaf ‘ala Syawahid al-Kasysyaf yang ditulis oleh Muhammad ‘Ulyan al-Marzuqi asy-Syafi‘i.
Ketiga, Ditulis untuk membincang perihal Bahasa Arab dalam al-Kasyaf
Hasyiah yang ketiga pula telah ditulis oleh Abu al-Hinna’i Qinalizade (W. 979), al-Muhkamat al-‘Aliyah fil al-Abhath al-Radawiyah fi I’rab ba’di al-Āyi al-Quraniyyah (المحاكمات العلية في الأبحاث الرضوية في إعراب بعض الآي القرآنية)
Penulisan ini sangat menarik, kerana ianya adalah penulisan jawapan balas ke atas seorang lagi tokoh iaitu Badr al-Din al-Ghazzi, berkenaan permasaalahan dan hukum I’rab oleh al-Zamakshari dan pentarjihan di antara Abu Hayyan al-Gharnati dan al-Samin al-Halabi.
Ceritanya bermula apabila al-Ghazzi menulis sebuah Tafsir yang telah dinazamkan (ini adalah yang pertama di dalam sejarah!), dan telah disempurnakan penulisan dan pembacaan nya di sisi Maqam Nabi Yahya di Masjid Umawi, serta diperbincangkan 10 permasaalahan tentang I’rab,
Qinalizade yang turut berada di dalam majlis tidak bersetuju dengan pendapat alGhazzi lantas mencabar beliau untuk menulis hujjah beliau, maka terhasillah Hasyiah alDur alThamin fi alMunaqasyah baina Abi Hayyan wa al-Samin. Lantas, Qinalizade membalas semula hujjah al-Ghazzi.
Di antara Hawasyi ke atas al-Kashshaf yang utama ialah:
(1) Hasyiah al-Tibi
Sharaf al-Din al-Tibi yang telah mengarang Futuh al-Ghayb fi al-Kashf ‘an Qina’ al-Ghayb yang merupakan sebuah Hasyiah kepada Tafsir al-Kashshaf dan Tafsir al-Kashf wa al-Bayan oleh al-Tha’labi. Ibn Hajar, al-Suyuti dan Qinalizade telah mengangkat dan memuji Hasyiah al-Tibi ini dan mengatakan ianya adalah Hasyiah yang paling lengkap ke atas al-Kashshaf.
Karya yang lazim disebut Hasyiyah ath-Thayyibi ‘ala al-Kasysyaf ini mengomentari kata demi kata atau kalimat demi kalimat yang tertera dalam al-Kasysyaf, persis seperti Hasyiyah ash-Shawi ‘ala al-Jalalayn. Hanya saja komentar ath-Thayyibi atas al-Kasysyaf lebih panjang, mirip Hasyiyah al-Qunawi ‘ala al-Baydhawi. Bila Hasyiyah yang disebut terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 20 volume, maka Hasyiyah ath-Thayyibi diterbitkan oleh Ja’izah Dubay ad-Dawliyyah li al-Qur’an al-Karim dalam 17 volume.
2) Hasyiah al-Taftazani & Hasyiah al-Jurjani
Hasyiah al-Taftazani yang dikarang oleh Sa’d al-Din al-Taftazani merupakan Hasyiah yang paling terpenting dan merupakan rujukan utama ketika zaman pemerintah Uthmaniyah. Dan di sebalik Hasyiah ini ada kisah yang amat menarik dan juga telah menyumbang kepada kepesatan pembangunan intelektual Islam. Hasyiah ini telah ditulis kerana berlaku nya perdebatan di antar al-Taftazani dan al-Syarif al-Jurjani (yang juga menulis Hasyiah al-Kashshaf) berkenaan Syarah al-Zamakhshari ke atas ayat 5 surah al-Baqarah. Perdebatan ini berlaku di depan pemimpin pada ketika itu, Timur Lenk. Dipercayai al-Jurjani telah Berjaya menguasai perdebatan itu, dan akibat daripada itu al-Taftazani dilanda kesedihan yang amat sehingga ia membawa beliau kepada sakit yang membuatkan beliau meninggal.
Selain itu, ada juga ulama yang secara khusus mengomentari paham-paham Muktazilah yang tertuang dalam al-Kasysyaf. Yang paling terkenal dan dikaji di pesantren-pesantren karena sering kali dicetak bersamaan dengan al-Kasysyaf (diletakkan di bagian pinggir atau catatan kaki) ialah al-Intishaf karya Ahmad b. Muhammad atau yang masyhur dikenal dengan Ibn al-Munayyir, seorang ulama asal Alexandria, Mesir.
Belakangan, karya Ibn al-Munayyir ini dikaji ulang oleh Shalih b. Gharam al-Ghamidi dan dijadikan sebagai sumber primer bagi karyanya yang terdiri dari dua volume itu, al-Masa’il al-I‘tizaliyyah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari fi Dhau’ Ma Warada fi Kitab al-Intishaf li Ibn al-Munayyir. Di samping Ibn al-Munayyir, Abu ‘Ali ‘Umar b. Muhammad as-Sakuni al-Maghribi juga menulis komentar serupa, dengan judul at-Tamyiz li ma Awda‘ahu az-Zamakhsyari min al-I‘tizal fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz.
Penulis pernah meringkas poin-poin dari kitab di Atas, Namun hanya sampai surah al-A’raf, berikut ini beberapa poin yang saya catat.
Faham Muktazilah Dalam Kitab Al-Kasyaf Dari Al-Fatihah Sampai Sampai Al-A’raf Ayat 43
1. Lafaz Basmalah
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Zamakhsyari berkata bahwa makna Rahmah, al-Athf dan al-Hanw, maka saya katakan: majaz yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.
Sifat rahmah adalah slah satu sifat yag ditakwilkan oleh Muktazilah, syubhat yang mereka lontarkan adalah jika Allah memiliki sifat wujudiyah, maka ia butuh atau membutuhkan pada yang lain.
2. QS.al-Baqarah: 272
“Bukanlah kewajiban menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberikan taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya”
Dalam ayat ini Zamakhsyari berpendapat bahwa petunjuk bukanlah Allah yang menciptakannya, akan tetapi hamba yang menciptakan petunjuk untuk dirinya sendiri.
3. QS.Al-An’am: 158
“Pada hari datangnya beberapa ayat dari Tuhan tidaklah bermanfaat lagi imam seseorang seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya”
Zamakhsyari berpendapat bahwa orang kafir dan orang yang melakukan maksiat sama saja mereka itu kekal di dalam neraka. Bersinggungan erat dengan janji dan ancaman. Maka Mu’tazilah menolak adanya ayat-ayat yang berbicara tentang Syafa’at (pengampunan pada hari kiamat). Argumen yang dibawanya adalah bahwa syafa’at merupkan hal yang berlawanan dengan prinsip al-Wa’ad wa al-Wa’id
4. QS. Al-An’am: 103
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.”
Menurut Zamakhsyari ayat ini sebagai penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kapanpun. Lafad nafi ( la ) yang terdapat pada ayat tersebut berlaku umum, tidak terkait waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun di akhirat.
5. QS. Al-A’raf: 43
“Mereka berkata segala puji bagi Allah yang menunjuki kami kepada surga ini”
Dalam ayat ini Zamakhsyari mengartikan huda di sini dengan arti kata luthf (kelembutan) dan taufiq. Zamakhsyari membelokkan petunjuk (huda) Allah kepada makna luthf (kelembutan) dengan sebab bahwa hamba yang menciptakan petunjuk untuk dirinya sendiri. Disamping itu keadilan Tuhan juga dibicarakan dalam kaitan dengan perbuatan manusia yang bebas dan merdeka tanpa paksaan. Jika manusia dituntut melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat, maka manusia harus mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri, bukan perbuatan yang ditentukan oleh Allah sebelumnya.
Selain itu, ada juga khidmah kepada Tafsir az-Zamakhsyari lewat ringkasan. Catatan seperti ini berusaha menghilangkan paham-paham Muktazilah dalam Tafsir al-Kasysyaf, sembari menampilkan penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari dalam format yang lebih sederhana. Tujuannya jelas: agar kemanfaatan Tafsir al-Kasysyaf dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk kaum awam dan para pelajar pemula.
Ada beberapa ulama yang menulis “catatan kaki” jenis ini, di antaranya Muhammad b. ‘Ali al-Anshari, Nashiruddin al-Baydhawi dengan karyanya yang berjudul Anwar at-Tanzil, Quthbuddin asy-Syaqar dengan Taqrib at-Tafsir-nya yang kelak diberi komentar oleh al-Arzanjani, al-Mawla Majduddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Zadah al-Hanafi, al-Mawla ‘Abdul Awwal atau yang lebih dikenal Ummu Walad, dan ‘Ali ath-Thusi dengan Jawami‘ al-Jawami‘-nya.
Sebagai contoh, Anwar at-Tanzil karya al-Baydhawi atau yang lebih akrab disebut Tafsir al-Baydhawi. Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh ‘Abdullah Mahmud dengan mengutip penjelasan Haji Khalifah, diketahui bahwa dalam Tafsir tersebut al-Baydhawi meringkas penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari khususnya yang berkaitan dengan i‘rab, ma‘ani dan bayan. Sedangkan yang berkaitan dengan hikmah dan ilmu kalam, beliau kutip dari at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi; dan yang berkenaan dengan isytiqaq, beliau kutip dari ar-Raghib al-Ashfahani.
Contoh lain, Taqrib at-Tafsir karya Quthbuddin asy-Syaqar. Adalah ‘Abdullah b. Sanad ar-Rahili yang menelaah manuskrip karya tersebut dan menjadikannya sebagai objek penelitian bagi tesisnya yang diajukan pada Kulliyyat al-Qur’an al-Karim wa ad-Dirasat al-Islamiyyah, Universitas Islam Madinah. Pada bagian mukadimah, ar-Rahili menggarisbawahi tiga hal penting berkenaan dengan metode penafsiran asy-Syaqar. Pertama, meringkas kalimat-kalimat az-Zamakhsyari yang tertuang dalam Kasysyaf-nya. Kedua, menghilangkan paham-paham Muktazilah secara total atau mengutip lalu mengkritiknya. Ketiga, menulis penjelasan-penjelasan tambahan yang tidak terdapat dalam al-Kasysyaf, baik berkenaan tentang analisis tafsir, nahwu, balaghah, maupun fikih.
Penjelasan Dr. Abdurrahman Asy-Syihri tentang Tafsir Al-Kasyaf
Tulisan terkait dengan Muktazilah
- Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-Khamsah)
- Pandangan Muktazilah Tentang Al-Quran dan Kritik Ahlu Al-Sunnah Terhadap Konsep Khalq Al-Quran
- Beda Muktazilah dan Islam Liberal dalam Masalah Al-Quran
Tulisan terkait tentang Tafsir Al-Kasyaf
- Sejarah perkembangan Tafsir Muktazilah yang menjadi rujukan utama di Pusat-pusat Pengkajian Islam selama 3-4 Abad oleh Anas Bad Latif (link)
- Al-Zamakhsyari: Antara Tafsir al-Kasyaf dan Paham Muktazilah oleh Tanwir.id
- Tafsir al-Kasysyaf – karya al-Zamakhsyari oleh Blog Abu Syahmin (link)
- Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf dari Tafsirquran.id (link)
Referensi
Abidu, Yunus Hasan, Dirasat Wa Mabahits Fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirun, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Tafsir al-Qur’an; Sejarah Tafsir dan Metode para Mufassir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Al-‘Akk, Khalid ‘Abd al-Rahman, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduh, (Damsyiq: Dar al-Nafa’is, t.t)
Al-Anbari, ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn ‘Ubaid Allah ibn Abi Sa’id ibn, Nuzhah al-Alba’ fi Thabaqat al-Udaba’, (Kairo: t.p., 1293 H).
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), cet. Ke-2, jilid 1.
Al-Juwaini, al-Shawi, Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur’an al-Karim wa Bayan I’jazih, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.).
Al-Shabuni, Muhammad Ali, al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, (Makkah al-Mukarramah: t.p., 1980), cet. Ke-2.
Al-Suyuthi, ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr, Thabaqat al-Mufassirin, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1396).
Al-Suyuthi, Baghiyah al-Wu’ah, (t.t., Mathba’ah al-Sa’adah, 1326 H), cet. 2, jilid 2.
Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fi wujuh al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), cet. Ke-1, Jilid I.
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988).
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), jilid 1.
Al-Zuhaili, Muhammad, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah Ta’rifuha, Tarikhuha, A’immatuha, ‘Ulama’uha, Mashadiruha, Kutubuha, (TK: Dar al-Ma’arif, tt)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Ibn Hallikan, Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman, (Beirut: Dar Shadir, t.t), jilid 2.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, t.t)
Raya, Ahmad Thib, Rasionalitas Bahasa al-Qur’an, Upaya menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan kebahasaan, (Jakarta: Fikra Publishing, 2006), cet. 1,
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-2
Thabathaba’i, Muhammad Husain, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-4.
Yaqut, Mu’jam al-Udaba’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), cet. Ke-1, Juz 14.
Prof. Shalih Gharamullah al-Ghamidi, al-Masail al-I’tizaliyah fi at-Tafsir al-Kasyaf li az-Zamakhsyari, (Riyadh, Daar al-Andalus, 1422 H), cet II
تحقيق «سبب الانكفاف عن إقراء الكشاف» للسبكي, https://telif.ismailaga.org.tr/%d8%aa%d8%ad%d9%82%d9%8a%d9%82-%d8%b3%d8%a8%d8%a8-%d8%a7%d9%84%d8%a7%d9%86%d9%83%d9%81%d8%a7%d9%81-%d8%b9%d9%86-%d8%a5%d9%82%d8%b1%d8%a7%d8%a1-%d8%a7%d9%84%d9%83%d8%b4%d8%a7%d9%81-%d8%a7%d9%84%d8%b3 (diakses 22 November 2024)
Saleh, W. A. (2013). The Gloss as Intellectual History: The Ḥāshiyahs on al-Kashshāf. Oriens, 41(3-4), 217-259. https://doi.org/10.1163/18778372-13413402
A. Saleh, Waleed, The Gloss as Intellectual History: The Hāshiyahs on al-Kashshāf, trans: Ahmed Shukri Mujahid, Journal of Namaa, Nama Center,Egypt, V8, issue1, 2024,198-236.
مجاهد أ. ش. (2024). التأريخ الفكري من خلال الحواشي: حواشي الكشاف. مجلة نماء, 8(1), 198–236. https://doi.org/10.59151/.v8i1.360
Download PDF
[…] Dalam menggali makna suatu ayat, biasanya Al Razi mulai dari qiraat yang dikemukakan para tokoh dalam bidang ini, baik berupa pendapat dan dasar yang dikemukakannya. Al Razi juga sering menggunakan argumentasi nahwu yang bersumber dari penjelasan Zamakhsyari dalam Al Kasyafnya. […]
[…] al-Najiyah al-‘Adiyah. Kelompok ini sangat mengagumi dan mengakui kedalaman ilmu dan keintelektualan al-Zamakhsyari dalam menafsirkan […]