Takhrij Hadis tentang Hadis Jangan Katakan Fulan Syahid

Home » Takhrij Hadis tentang Hadis Jangan Katakan Fulan Syahid

Teks Hadis Jangan Katakan Fulan Syahid

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ الساعِدِيِّ  رضي الله عنه : « أَنَّ رَسولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم الْتَقَى هوَ والْمشْرِكونَ فَاقْتَتَلوا، فَلَمَّا مَالَ رَسول اللّهِ صلى الله عليه وسلم إلَى عَسْكَرِهِ وَمَالَ الآخَرونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ، وَفِي أَصْحَابِ رَسولِ اللّهِ صلى الله عليه وسلم رَجل لَا يَدَع لَهمْ شَّاذَّة وَلَا فَاذَّة إِلَّا اتَّبَعَهَا يَضرِبها بِسَيْفِهِ، فَقَالوا : مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَومَ أَحَد كَمَا أَجْزَأَ فلان ، فَقَال رِسول اللّهِ صلى الله عليه وسلم : ” أَمَا إِنَّه مِنْ أَهْلِ النَّارِ ” ، فَقَالَ رَجل مِنَ الْقَوْمِ : أنا صَاحِبه، قَالَ فخَرَجَ مَعَه كلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَه، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَه، قالَ : فَجرِحَ الرَّجل جرْحا شَدِيدا، فَاسْتَعْجَلَ الْموتَ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الأَرْضِ، وَذبَابَه بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفهِ فَقَتَلَ نَفْسَه،

فخَرَجَ الرَّجل إِلَى رَسولِ اللّه صلى الله عليه وسلم فقَالَ : أَشْهد أنكَ رَسول اللّهِ، قَالَ : ” وَمَا ذَاك ؟ ” قَال : الرَّجل الَّذِي ذَكَرْتَ آنِفا أنه مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فأَعْظَمَ النَّاس ذَلِكَ، فَقلْت : أَنا لَكمْ بِهِ، فَخَرَجْت فِي طَلَبِهِ، ثمَّ جرِح جرْحا شَدِيدا، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الأَرْضِ وَذبَابَه بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَه . فَقَالَ رَسول اللّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ : ” إِنَّ الرَّجلَ لَيَعْمَل عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ فِيمَا يَبْدو للنَّاسِ وَهو مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجلَ ليَعْمَل عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدو لِلنَّاسِ وَهوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ »

Artinya:

Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi bahwasanya Rasulullah saw bertemu dengan orang-orang musyrik dan terjadilah peperangan, dengan dukungan pasukan masing-masing. Seseorang di antara sahabat Rasulullah saw. tidak membiarkan musuh bersembunyi, tapi ia mengejarnya dan membunuhnya dengan pedang. Para sahabat berkata: Pada hari ini, tidak seorang pun di antara kita yang memuaskan seperti yang dilakukan oleh si fulan itu.

Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda: Ingatlah, si fulan itu termasuk ahli neraka. Salah seorang sahabat berkata: Aku akan selalu mengikutinya. Lalu orang itu keluar bersama orang yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahli neraka. Kemana pun ia pergi, orang itu selalu menyertainya. Kemudian ia terluka parah dan ingin mempercepat kematiannya dengan cara meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan ujung pedang berada di dadanya, lalu badannya ditekan pada pedang hingga meninggal.

Orang yang selalu mengikuti datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Aku bersaksi bahwa engkau memang utusan Allah. Rasulullah saw. bertanya: Ada apa ini? Orang itu menjawab: Orang yang engkau sebut sebagai ahli neraka, orang-orang menganggap besar (anggapan itu), maka aku menyediakan diri untuk mengikutinya, lalu aku mencarinya dan aku dapati ia terluka parah, ia berusaha mempercepat kematian dengan meletakkan pedangnya di tanah, sedangkan ujung pedang berada di dadanya, kemudian ia menekan badannya hingga meninggal.

Pada saat itulah Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya ada orang yang melakukan perbuatan ahli surga, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal sebenarnya ia ahli neraka. Dan ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal ia termasuk ahli surga. (HR. Bukhari)

Sekilas Biografi Perawi

Al-Mazi di dalam kitab Tahdzib Al-Kamal berkata bahwa nama lengkap beliau adalah Sahal bin Saad bin Malik bin Khalid bin Tsa’labah Haritsh bin Amru bin Al-Khajraj bin Saadah bin Ka’ab bin Al-Khajraj Al-Anshari As-Saidi, seorang sahabat yang sebelumnya bernama Hazen kemudian diganti oleh Rasulullah saw dengan Sahal.

Beliaulah sahabat yang terakhir meninggal dunia di Kota Madinah dalam usia 96 tahun, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa beliau meninggal dalam usia 100 tahun. Al-Hafidz menukil dari riwayat Syu’aib bahwa beliau di lahirkan lima tahun sebelum hijrah.[1]

Abu Nu’aim, Bukhari, dan Tirmidzi berkata bahwa beliau meninggal pada tahun 88 H. Sedangkan Al-Waqidi berkata bahwa beliau meningal pada tahun 91 H.[2]

Pelajaran dan manfaat tentang dakwah dari hadits

1. Beriman dengan takdir dan beramal dengan amalan yang menyebabkan kesuksesan

Di dalam hadits ini di jelaskan akan pentingnya beriman terhadap takdir. Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang secara dzahirnya dia adalah orang yang shalih dan pemberani dalam peperangan, akan tetapi Rasulullah mengatakan “ Dia ahlu neraka” , kemudian bersabda:

إِنَّ الرَّجلَ ليَعْمَل عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدو لِلنَّاسِ وَهوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ

“Ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal ia termasuk ahli surga. (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah swt telah menetapkan seluruh takdir-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt akan memberikan petunjuk bagi orang-orang  mukmin dan akan menyesatkan orang-orang kafir di sebabkan karena kedzalimanya. Sungguh Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.

Firman Allah swt:

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri” (QS. Yunus: 44)

Adapun beriman dengan Qadha’ dan Qadar ada empat tingkatan, barang siapa yang mengimani semuanya maka telah sempurnalah imanya.

Tingkatan pertama: Al-Ilmu, seorang mukmin meyakini secara pasti bahwa Allah swt mengetahui segala apa yang diperbuat oleh hambanya dengan ilmunya yang ‘azali,  mengetahui segala keadaan dan perbuatan mereka baik dalam bentuk ketaatan ataupun kemaksiatan, rizki dan ajal mereka. Allah swt berfirman:

“Dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”(QS. At-Thalaq: 12)

Tingkatan kedua: Al-Kitabah, Kitab Allah swt meliputi segala sesuatu dan ketetapanya sudah tertulis di lauhul mahfudh. Allah swt berfirman:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al-Hajj: 70

Sabda Rasulullah saw:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“ Dari Abdullah bin Amru bin ash berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah telah menetapkan takdir mekhluk ini sebelum Dia menciptakan langit dan bumi dalam jarak waktu lima puluh ribu tahun kemudian bersabda dan arsy-Nya di atas air” (HR. Muslim)

Tingkatan ketiga: Masyi’ah, yaitu apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi.

Allah berfirman:

Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.{QS. Ali- Imran 26-27}

Tingkatan keempat: Al-Khalqu, sesunguhnya Allah swt menciptakan segala sesuatu dan tidak ada sesuatu apapun dari makhluknya yang menyerupainya, tidak ada sesembahan dan Raab selainya.[4] Allah swt berfirman:

Baca juga:   Menuju Kejayaan Islam

“Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu” (QS. Az-Zumar: 62)

2. Peringatan agar tidak tertipu dengan amal

Sesungguhnya termasuk dari pembahasan dakwah yang harus disampaikan oleh seorang da’i kepada mad’unya adalah mengingatkan mereka agar tidak tertipu dengan amal. Hal ini sebagaimana yang terjadi ketika  ada salah seorang  membunuh dirinya sendiri  maka terkejutlah para sabahat ra dengan hal itu. Karena dalam pandangan mereka orang tersebut sangat pemberani akan tetapi ternyata membunuh dirinya sendiri.

Imam An-Nawawi berkata: di dalam hadist ini terdapat peringatan untuk meninggalkan kepercayaan terhadap amal, dan takwil atas keutamaan orang-orang yang mempunyai kemulyaan. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

سددوا وقاربوا، وأبشروا، فإنه لن يدخل الجنة أحدا عمله ” قالوا : ولا أنت يا رسول اللّه، قال : ” ولا أنا إلا أن يتغمدني اللّه منه برحمته . واعلموا أن أحبَّ العمل إلى اللّه أدومه وإن قلَّ

Luruskan, rapatkan dan kabarkanlah sesungguhnya seseorang masuk surga itu bukan karena amalanya, para sahabat bertanya demikian juga dengan Engkau wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Demikian juga dengan aku, kecuali Allah melimpahkan rahmatnya kepadaku, Dan ketahuilah sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah ialah yang lestari (langgeng atau berkesinambungan) meskipun sedikit. (HR. Muslim)

Sesugguhnya Allah swt memuji hamba-Nya yang merasa takut amal shalihnya tidak di terima, sebagaimana firman Allah swt:

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (QS. Al-Mukminun:60)

Dalam sebuah hadist  yang diriwayatkan Anas bin Malik ra dijelaskan, bahwasanya ia berkata:  Ketika ayat berikut ini turun: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, Tsabit bin Qais sedang duduk di rumahnya dan berkata: Aku ini termasuk ahli neraka. Dia menjauhi diri dari Nabi saw. Kemudian Nabi saw. bertanya kepada Saad bin Muaz: Hai Abu Amru, bagaimana keadaan Tsabit? Apakah ia sakit?

Saad menjawab: Sesungguhnya ia adalah tetanggaku, aku tidak melihat pada dirinya suatu penyakit. Lalu Saad mendatangi Tsabit dan menuturkan perkataan Rasulullah saw. Lalu Tsabit berkata: Ayat ini telah diturunkan, padahal kalian tahu bahwa aku adalah orang yang paling keras suaranya, melebihi suara Rasulullah saw. Jadi aku ini termasuk ahli neraka. Kemudian Saad menuturkan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. bersabda: (Tidak demikian), tetapi sebaliknya, ia termasuk ahli surga. (Shahih Muslim)

3. Memadukan antara Khauf dengan Raja’

Hadit ini menjelaskan tentang anjuran  bagi setiap muslim khususnya seorang da’i untuk mengumpulkan antara khauf dan raja’ , karena sesungguhnya manusia tidak mengetahui apakah dia termasuk ahli Jannah atau ahli Neraka.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Masih rahasianya akhir dari pada amalan seseorang  mengandung hikmah yang bisa di ambil pelajaran, karena kalau seandainya orang itu mengetahui akhir dari pada amalanya maka tentu dia akan menjadi sombong sehingga dia malas untuk melakukan ibadah, kemudia ketika dia dalam keadaan rusak maka akan semakin bertambah kesombonganya, oleh karena itu semuanya masih di rahasiakan agar supaya di dalam dirinya ada rasa khauf dan raja’.[5] Dan sesungguhnya merasa aman dari pada makar Allah akan menghilangkan kesempurnaan iman.

Allah swt berfirman:

“ Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf: 99)

Diantara akibat hilang rasa khauf atau raja’

1. Melemahkan keyakinan.

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra secara marfu’, “Sesungguhnya termasuk lemahnya keyakinan adalah apabila kamu mencari kerelaan manusia dengan kemurkaan Allah, dengan memuji mereka atas rezeki Alloh yang diberikan kepadamu melalui mereka, dan mencela mereka atau sesuatu yang belum diberikan oleh Allah kepadamu melalui mereka. Sesungguhnya rezeki Allah itu tidak dapat didatangkan dengan ketamakan orang yang tamak dan tidak pula digagalkan oleh kebencian orang yang membenci.”[6]

Adapun maksud Al Yakin adalah kesempurnaan iman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra, “Al Yakin adalah keimanan keseluruhannya, sedangkan sabar merupakan separuh dari keimanan.”[7]

2.Mendapatkan murka Allah swt.

Dari ‘Aisyah , bahwasannya Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang berusaha mendapatkan ridha Allah sekalipun dengan resiko kemurkaan manusia, maka Allah akan meridhainya dan akan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang berusaha mendapatkan ridha manusia dengan melakukan apa saja yang menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya.”[8]

4. Mu’jizat Rasulullah saw: Rasulullah mengetahui berita-berita yang ghoib

Sesungguhnya termsuk dari tanda-tanda kenabian yang menunjukkan akan kebenaran risalah kenabian adalah Beliau saw mengetahui tentang perkara-perkara yang ghoib, dan mu’jizat itu telah nampak di dalam hadist ini. Di dalam hadits ini Rasulullah mengabarkan tentang seorang laki-laki yang sangat pemberani di dalam peperangan akan tetapi Beliau saw mengatakan bahwa dia termasuk dari ahli Neraka, dan benarlah apa yang Beliau katakan ternyata orang tersebut membunuh dirinya sendiri.

Ibnu Hajar ra berkata tentang faidah dari hadits ini: “ Kabar tentang berita ghaib yang Rasulullah saw sampaikan di dalam hadits ini merupakan Mu’jizat Rasul saw yang dzahir”[9]. Imam Al-Qurthubi berkata: “ Ini bukti akan kebenaran Rasulullah saw dan benarnya risalahnya”

Diantara contoh berita ghoib yang lainya:

a. Tentang Jatuhnya Constantinopel dan Vatikan

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw ditanya tentang negeri manakah yang akan dikuasai lebih dahulu, Constantinopel atau Roma ?. Beliau SAW menjawab,”Negeri Heraklius (Roma) lebih dahullu”. (HR. Ahmad dengan sanad Shahih).

Negeri Heraklius maksudnya adalah Constantinopel yang dibebaskan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada 29 Mei 1453. Kini tanggal itu menjadi hari perayaan partai REFAH.

Baca juga:   Usamah bin Ladin, "Sang Mujahid" Pengguncang Tahta Fir’aun Abad Ini

b. Islam Akan Memimpin Dunia

Dari Tamim Ad-Daary bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sungguh Islam ini akan berkuasa hingga batas wilayah malam dan siang”. (HR. Ahmad dan Thabarany)

Dari Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat bagian Timur dan Baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai seluruh dunia. Dan aku dianugerahkan 2 harta yang berlimpah : Emas dan Perak”. (HR. Muslim 2889, Abu Daud 4252, Tirmizy 2203 dan Ibnu Majah 3952)

c. Tampilnya Pembaharu tiap 100 tahun

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya pada setiap permulaan 100 tahun Allah SWT mengutus untuk ummat ini orang yang akan memperbaharui urusan agama mereka”. (HR. Abu Daud :4291 dan Hakim dan menshahihkannya)

Oleh karena itu seharusnya bagi seorang da’i menjelaskan kepada mad’unya tentang bukti-bukti kebenaran risalah Rasulullah saw, hal ini untuk menguatkan keyakinan atau menambah keimanan mereka. Demikian juga sangat di anjurakan bagi seorang da’i untuk menjelaskan akan kebenaran risalah Rasul saw kepada orang-orang yang meragukan dan mendustakanya.

5. Menghukumi yang dzahir dan sesungguhnya Allah swt menghukumi yang bathin

Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw menghukumi manusia secara lahiriyahnya  saja sedang perkara yang batin dikembalikan kepada Allah swt . Oleh karena itu Rasulullah tidak memberikan hukuman kepada orang tersebut. Demikian juga seharusnya yang dilakukan oleh seorang da’i dalam menghukumi manusia maka secara lahiriyahnya saja sedang yang bahtin dikembalikan kepada Allah swt.

6. Metode dakwah: At-Tarhib dan At-Targhib

Hadits ini menunjukkan tentang ushlub targhib, karena di dalamnya ada motivasi untuk mengakhiri segala sesuatu dengan amal yang shalih, sebagaimana sabda Rasul saw:

وإن الرجل ليعمل بعمل أهل النار فيما يبدو للناس وهو من أهل الجنة

Dan ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal ia termasuk ahli surga” (HR. Bukhari)

Adapun tarhib, maka sebagaimana sabda Rasullah saw:

إن الرجل ليعمل عمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار

“Sesungguhnya ada orang yang melakukan perbuatan ahli surga, seperti yang tampak pada banyak orang, padahal sebenarnya ia ahli neraka” (HR. Bukhari)

Ini adalah merupakan motivasi bagi seorang hamba untuk mengintrospeksi dirinya, maka pertimbangan, pengharapan, dan niat yang baik hanya di tujukan kepada Allah swt. Setelah itu kontinyu untuk melakukan amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah swt, kemudian memohon ampun dan keselamatan di duna dan akherat kepada-Nya.

berniat yang shahih (benar)

7. Anjuran untuk berniat yang shahih (benar)

Hadits ini menjelskan bahwa  laki-laki yang membunuh dirinya sendiri tersebut tidak mempunyai niat yang shahih , bisa jadi dia berperang untuk menolong kaumnya, riya’ atau sum’ah. Imam Al-Qurthubi berkata: sebagai bukti bahwa orang tersebut tidak benar niatnya ketika berjihad adalah perkataanya” sesungguhnya aku berperang untuk kemulyaan kaumku” dengan demikian pernyataan tersebut termasuk dari pada riya’.

Telah disebutkan dalam riwayat Muslim, dari hadits Abu Dzar ra, dia berkata, “Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang Mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia.” Namun jika dia ta’ajub agar orang-orang tahu kebaikannya dan memuliakannya, berarti ini adalah riya’.[10]

Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.”[11]

Nabi saw telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniatkan.

Dalam kalimat pertama, beliau saw menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau saw menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun.

Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah.

Imam Nawawi menjelaskan,  niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut.

Pertama: untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat.

Kedua: untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat.[12]

Oleh karena itu seharusnya seorang da’i mengihklaskan niat dan meluruskan tujuanya, demukian juga dianjurkan bagi seorang da’i untuk mendorong manusia agar senantisa mengikhlaskan niatnya hanya kepada Allah swt.

8. Anjuran terhadap manusia untuk mengakhiri sesuatu dengan perkara yang baik, baik dengan perkataan ataupun perbuatan

Tidak diragukan lagi bahwa termasuk pembahasan yang penting dalam berdakwah kepada Allah adalah mengajak kepada Mad’u untuk mengakhiri segala sesuatu dengan yang baik (do’a), dan segala amalan yang menghantarkan kepada husnul khatimah.

Di antara amalan-amalan yang menghantarkan kepada khusnul khatimah:

  1. Takut kepada Allah swt dan takut dengan su’ul khatimah
  2. Bertaubat dari segala dosa dan maksiat kemudian beramal dengan amalan yang shalih
  3. Berdo’a agar mendapatkan husnul khatimah dengan merendahkan diri kepada Allah swt
  4. Tidak panjang angan-anganya
  5. Benci dan menjauhi kemaksiatan
  6. Bersabar ketika ditimpa musibah
  7. husnudhan kepada Allah swt
  8. Mengetahui nikmat yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang beriman
  9. Sebab lain adalah hendaknya seorang muslim beramal dengan sungguh-sungguh dan kesungguhannya dalam memperbaiki yang nampak dan tersembunyi.[13]
Baca juga:   Apakah Imam Al-Ghazali Seorang Ahli Hadis?

9. Besarnya keyakinan para sahabat terhadap kabar yang datang dari Rasulullah saw

Sebagaiamana yang disebutkan di dalam hadits Sahl bin Sa’ad ra bahwa sahabat ra sangat besar keyakinanya terhadap kabar yang datang dari Rasul saw. Oleh karena itu ketika para sahabat ra mendengar perkataan Rasulullah saw terhadap orang tersebut:

“ Sesungguhnya dia termasuk ahli Neraka” salah seorang di antara mereka  berkata: Aku akan selalu mengikutinya. Lalu orang itu keluar bersama orang yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahli neraka. Kemana pun ia pergi, orang itu selalu menyertainya. Untuk mengetahui bahwasanya Rasulullah tidak akan mengatakan kecuali yang haq dan benar.

Dalam riwayat yang lain disebutkan ketika sahabat yang mengikuti orang tersebut mengetahui bahwa orang tersebut membunuh dirinya sendiri, maka sahabat tersebut langsung menemui Rasulullah saw dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasululah, kemudian Rasulullah berkata: “ Ada apa? Sahabat itu menjawab : Engkau telah berkata kepadaku tentang seseorang “ Barang siapa yang suka untuk melihat seseorang yang termasuk dari ahli Neraka maka lihatlah orang tersebut” Maka berkatalah sahabat ra “ sekarang saya tau bahwa dia tidak meninggal di atas kesyahidan”.

Ini merupakan bukti yang jelas atas kuatnya keyakinan para sahabat atas apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Dan sesunguhnya orang ini meninggal bukan dalam keadaan ihklas kepada Allah swt.

Allah menolong agama islam dengan orang yang fajir

10. Sesungguhnya Allah swt menguatkan atau menolong agama islam dengan orang yang fajir

Sesungguhnya Allah menguatkan atau menolong agama ini dengan orang yang fajir. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

“Maka pada suatu malam ia sudah tidak sabar menahan rasa sakit lukanya, kemudian ia membunuh dirinya sendiri” Kemudian Rasulullah mengabarkan akan peristiwa itu dan bersabda: “ Allah Maha Besar sesunguhnya aku Rasul dan hamba-Nya”. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkanya kepada manusia “ Sesunguhnya ia tidak masuk syurga kecuali dia muslim dan sesungguhnya Allah swt menguatkan atau menolong agama ini dengan orang yang fajir”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Hadis lain yang diriwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:  Aku ikut Rasulullah saw. dalam perang Hunain. Kepada seseorang yang diakui keIslamannya beliau bersabda: Orang ini termasuk ahli neraka. Ketika kami telah memasuki peperangan, orang tersebut berperang dengan garang dan penuh semangat, kemudian ia terluka. Ada yang melapor kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasulullah, orang yang baru saja engkau katakan sebagai ahli neraka, ternyata pada hari ini berperang dengan garang dan sudah meninggal dunia.

Nabi saw. bersabda: Ia pergi ke neraka. Sebagian kaum muslimin merasa ragu. Pada saat itulah datang seseorang melapor bahwa ia tidak mati, tetapi mengalami luka parah. Pada malam harinya, orang itu tidak tahan menahan sakit lukanya, maka ia bunuh diri. Hal itu dikabarkan kepada Nabi saw. Beliau bersabda: Allah Maha besar, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk memanggil para sahabat: Sesungguhnya tidak akan masuk surga, kecuali jiwa yang pasrah. Dan sesungguhnya Allah mengukuhkan agama ini dengan orang yang fajir. (Shahih Muslim)

Adapun yang dimaksud dengan fajir di sini adalah orang yang keburukan (maksiatnya) kembali terhadap dirinya sendiri, seperti orang yang melakukan sebagian maksiat semacam minuman khamar dan kefasikan lainnya yang tidak membahayakan kaum muslimin.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Allah swt menguatkan agama ini dengan orang yang fajir akan tetapi  kefajiranya untuk dirinya sendiri.[14]

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 28/506: (Di antara prinsip Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah berperang bersama setiap (amir) yang baik dan fajir (buruk), karena sesungguhnya Allah menguatkan dien ini dengan orang yang fajir dan dengan orang-orang yang tidak memiliki bagian sedikitpun sebagaimana hal itu telah dikabarkan oleh Nabi saw, karena bila perang tidak terlaksana kecuali bersama para amir yang fajir atau bersama pasukan yang banyak fujur (maksiat) nya.

Maka sesungguhnya mesti terjadi salah satu dari dua hal: meninggalkan jihad bersama mereka, sehingga mesti dari hal itu penguasaan orang-orang lain yang mana mereka itu lebih bahaya dalam agama dan dunia, atau berperang bersama amir yang fajir sehingga dengan hal itu terhindarlah bahaya yang paling besar dan tegaklah mayoritas ajaran islam meskipun tidak bisa menegakkan seluruhnya, maka inilah hal yang wajib dalam gambaran ini dan setiap gambaran yang menyerupainya, bahkan dari peperangan yang terjadi setelah khulafaurrasidin tidak terjadi kecuali atas gambaran ini)

Daftar Pustaka

1.  Fiqih dakwah fie shahih Imam Bukhari, (Maktabah Syamilah) karya Sa’id bin Ali bin Wahab Al-Qahthani

2.  Fathul Bari Bisyarh Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

3.  Fathu Al Majid Syarhu Kitab At Tauhid karya Syaikh Abdur Rohman bin Hasans

4.  Muhktashar Minhajul Qoshidin karya Ibnu Qadamah

5.  I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman

6.  Syarah Arba’in karya Imam Nawawi

7.  Husnul Khatimah wa su’uha karya Khalid bin Abdurrahman Asy Syayi’

8.  Husnul khatimah wasailuha wa alamatuha (terjemah) karya Dr. Abdullah Muhammad Al Mutlaq


[1] Imam Adz-Dzahabi, Tahdzibu At-Tahdzib, 4: 253

[2] Maktabah Syamilah

[3] Sa’id bin Ali bin Wahab Al-Qahthani, Fiqih dakwah fie shahih Imam Bukhari, hlm. 2: 134- 167 (Maktabah Syamilah)

[4] Ibid 2: 141-145

[5] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Bisyarh Al-Bukhari, hlm. 11: 330

[6] Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah, V/106, X/31, Al Baihaqi di dalam As Syuaib, I/151-152, hadits ini dinyatakan lemah oleh Al Albani dalam Dlo’if Al Jami’ (2007) namun dinyatakan maknanya shohih oleh Syaikh Abdurrohman dalam Fathu Al Majid Syarhu Kitab At Tauhid, II/320.

[7] Syaikh Abdur Rohman bin Hasan, Fathu Al Majid Syarhu Kitab At Tauhid, hlm. 420.

[8] Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, III/488, VI/393-394 dari Al Aqro’ bin Habis, At Tirmidzi Kitab At Tafsir (3267), hadits ini dinyatakan hasan oleh Al Arnauth.

[9] Ibid 7: 474

[10] Ibnu Qadamah, Muhtashor Minhajul Qoshidin, hlm. 271-286

[11] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman

[12] Imam Nawawi, Syarah Arba’in, hlm. 11

[13] Khalid bin Abdurrahman Asy Syayi’, Husnul Khatimah wa su’uha, hlm.10. Juga disebutkan di Husnul khatimah wasailuha wa alamatuha (terjemah), Dr. Abdullah Muhammad Al Mutlaq, hlm. 34.

[14] Ibid, 6: 179

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *