Saat ini sedang ada krisis dan pembantaian di Rohingya dan bom bunuh diri di di Polsek Astana Anyar, Bandung (saat tulisan ini diupdate). Biasanya banyak yang dengan mudah menyebarkan gambar korban di whats app atau sosial media. Namun saya menghimbau kepada seluruh aktifis blogger dan sosial media untuk tidak ikut-ikutan menyebarkan (mem-forward) gambar-gambar yang berdarah-darah dan sadis.
Sebuah penelitian psikologi menunjukkan bahwa seseorang justru menjadi bersikap sadis ketika melihat darah. Yang terjadi bukan simpati tetapi kemarahan yang lebih dekat dengan nafsu sadis. Daya nalar akan menurun ketika nafsu sadis lebih dikontrol oleh setan.
Pilihlah gambar yang menunjukkan kebiadaban sebuah perang, tetapi bukan tubuh yang tercabik-cabik. Bukan merahnya darah. Sebuah asap mengepul sudah mengena dihati. Hindarkan tontonan sadis pada anak-anak. Boleh saja memberikan bagaimana runtuhnya bangunan atau retaknya tanah akibat gempa. Tapi janganlah berlebihan.
Saya pun geram dengan kebiadaban pemerintah Myanmar atau pelaku bom bunuh diri. Tetapi kalau saja rekan-rekan setuju sebaiknya Anda tidak ikut-ikutan menyebarkan kemarahan. Dampak negatif membagikan foto sadis adalah hampir sama dengan melihat kejadian secara langsung. Seakan akan membayangkan kejadian tersebut terjadi di depan mata kita. Akibatnya kita bisa merasa takut, mimpi buruk dan lainnya.
Dampak paling parah dari terbiasa melihat foto sadis adalah hilangnya empati, terbiasa dengan kekerasan. Ketika merasa terbiasa, bisa jadi kita akan melakukan kekerasan yang sama.
Dalam publikasinya di PsychologyToday, seorang spesialis klinis konseling anak dan remaja, Stephanie Sarkis, mengungkapkan bahwa konten yang mengandung muatan kekerasan dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, hingga stres pascatrauma (PTSD).
Tayangan yang menunjukkan gambaran sadis seperti peristiwa ledakan bom atau potongan tubuh korban meninggalkan efek traumatis bagi yang menontonnya.
Apalagi jika layar gawai terus-terusan dibanjiri konten tersebut, kemungkinan untuk merasa cemas, depresi, stres kronis, hingga insomnia akan semakin berkembang.
Jika tayangan tersebut ditonton oleh penderita PTSD, maka dapat memicu peningkatan gejala seperti kilas balik terhadap peristiwa yang pernah terjadi.
Di sisi lain, studi milik Betty Pfefferbaum bersama kelima rekannya yang berjudul “Disaster media coverage and psychological outcomes: descriptive findings in the extant research” mendukung pendapat Sarkis.
Laporan dari studi tersebut mengungkapkan, tayangan bencana atau kekerasan khususnya terorisme dapat meningkatkan kasus PTSD, depresi, kecemasan, perasaan stres, dan bahkan penggunaan narkoba.
Lalu apa solusinya jika sudah terpapar konten tersebut?
Berhenti menyaksikan gambar-gambar yang mengandung muatan kekerasan. Jangan menyimpannya di galeri ponsel, apalagi menyebarluaskan ke orang lain. Cukup berhenti di Anda.
diupdate dan ditambah dari berbagai sumber, Desember 2022