Kita hidup di dunia dimana otak ditempatkan di tempat yang terbaik. Otak dimuliakan sebagai raja kecerdasan dan karenanya, mereka yang memiliki nilai terbaik, kualifikasi terbanyak, atau IQ tertinggi akan lebih mudah mendapatkan peluang.
Segala sesuatu saat ini berpusat pada sains, data, dan logika.
Tapi tidak selalu seperti ini.
Aspek penting dari ilmu pengetahuan adalah epistemologi – cabang ilmu filsafat yang mempelajari hakikat dari pengetahuan.
Apakah pengetahuan hanya otak saja?
Singkatnya, tidak.
Sebagian besar pengetahuan muncul dari intuisi, wawasan, dan naluri. Sementara otak bekerja dengan cara memproses data dan belajar dari sumber eksternal, kemudian menyimpannya. Pengetahuan ini adalah hal-hal yang berasal dari dalam diri. Pengetahuan yang datang dari hati dan jiwa. Kita cenderung menolak hal ini karena tidak selalu dapat dijelaskan secara ‘ilmiah’.
Saat Anda menjaga dan memelihara spiritualitas, Anda akan diberkati dengan pemahaman yang lebih dalam tentang jenis pengetahuan ini, yang dikenal sebagai Bashirah (kebijaksanaan). Orang terkadang menyebutnya sebagai ‘kesadaran’ batin mereka. Dahulu mimpi seseorang yang salih bisa dianggap ilmu yang berharga untuk kita manfaatkan.
Sayangnya, kita cepat kehilangan kemampuan ini di dunia sekuler yang terlalu analitis dan saintis. Tentu saja logika itu tidak buruk. Tetapi masalahnya, dengan hanya mengandalkan pengetahuan eksternal dan membuang hal-hal lain adalah kesalahan juga. Tidak semuanya dapat dianalisis hanya dengan menggunakan kemampuan rasional.
Keseimbangan adalah kunci untuk menyatukan dunia ilmiah dan sekuler dalam hubungannya dengan dunia spiritual dan sakral.
Guna lebih memahami keseimbangan di atas, mari kita pahami konsep ‘Majma’ul Bahrain‘ (“di mana dua lautan bertemu”) di dalam Surat Al-Kahfi.
Dikisahkan Nabi Musa alaihiss salam bertemu dengan Nabi Khidir alaihis salam, yang dianggap ‘manusia paling paling terpelajar’. Disebutkan bahwa Khidr berkali-kali menunjukkan kepada Musa bahwa dia melihat sesuatu dari sudut pandang yang salah (membocorkan perahu, membunuh seorang anak, membangun sebuah rumah yang hamper roboh). Dan kita belajar bahwa kita tidak boleh hanya mengandalkan akal semata atau apa yang tampak.
Menurut interpretasi Imam Baydawi, ‘Majmaal Bahrain’ adalah :
﴿مَجْمَعَ البَحْرَيْنِ﴾ مُلْتَقى بَحْرَيْ فارِسَ والرُّومِ مِمّا يَلِي المَشْرِقَ وُعِدَ لِقاءَ الخَضِرِ فِيهِ. وقِيلَ البَحْرانِ مُوسى وخَضِرٌ عَلَيْهِما الصَّلاةُ والسَّلامُ فَإنَّ مُوسى كانَ بَحْرَ عِلْمِ الظّاهِرِ والخَضِرَ كانَ بَحْرَ عِلْمِ الباطِنِ.
(تفسير البيضاوي — البيضاوي (٦٨٥ هـ)) (https://tafsir.app/albaydawee/18/60)
Majma’al Bahrain atau tempat dua lautan bertemu adalah Nabi Musa dan Nabi Khidir sendiri. Musa sebagai simbol rasionalitas dan Khidir sebagai simbol spiritualitas. Atau bahasa simbolik dan mengacu pada lautan penyelidikan rasional yang diperoleh secara eksternal (misalnya logika dan sains) dan lautan wawasan spiritual yang diterima secara internal.
Hanya dengan menggabungkan kedua samudera ini (rasionalitas dan spiritualitas), kita mendapatkan kebijaksanaan dan kemampuan untuk berpikir dengan cara yang benar untuk mengarungi dunia, seperti Nabi Khidir.
Bukan suatu kebetulan mengapa Surat Al-Kahfi disunnahkan untuk dibaca setiap hari Jumat untuk melindungi dari Dajjal dan bahaya akhir zaman. Dajjal terkenal ‘bermata satu’. Di zaman penipuan dan berita palsu, tidak pernah penting informasi yang benar. Kita perlu menjadi orang-orang yang ‘mengetahui’ kebenaran ketika kita melihatnya. Kita harus menjadi orang yang melihat dengan dua mata, orang yang melihat gambaran keseluruhan.
Ini berarti menghilangkan ketergantungan kita pada logika, sains, dan data nyata saja. Pada saat yang sama, kita juga tidak boleh pergi ke ekstrem yang lain dan mengabaikan segala sesuatu yang duniawi. Keseimbangan adalah kunci untuk menyatukan dunia ilmiah dan sekuler dalam hubungannya dengan dunia spiritual dan suci.
Hanya ketika kedua lautan ini telah terintegrasi secara harmonis di dalam diri manusia, kita dapat memperoleh wawasan sejati dan dapat mulai memahami dunia dan realitas sebagaimana adanya.
Logika dan data itu penting tapi bisa dilebih-lebihkan. Terkadang solusi dan strategi terbaik lahir dari kreativitas, pemikiran yang acak dan bahkan tidak logis. Kita perlu lebih memelihara jiwa kita sehingga memberi kita lebih banyak intuisi dan wawasan dari dalam. Data hanyalah alat. Gunakan itu tetapi jangan biarkan itu menggunakan Anda.
Singkatnya, saya percaya untuk meningkatkan pemikiran kita, kita perlu membangun kembali hubungan penting antara dua lautan pengetahuan ini dan menjadi lebih holistik dalam proses berpikir kita. Kita perlu menghilangkan penghalang dan kompartemen yang kita kenakan pada subjek yang berbeda dan membiarkan semuanya bercampur dan menyatu menjadi satu kesatuan yang harmonis dan mulia.
Hanya dengan begitu kita akan mendapatkan kebijaksanaan.
Sumber: Faisal Amjad
Artikel di Youtube