Telaah Kritik Hadis Orientalis: Pemikiran Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll

Pendahuluan

Keberadaan hadits dalam Islam amat sentral karena hadits adalah realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran, sebagai penjelas al-Quran. Dan interpretasi dari kehidupan Nabi Saw, sabda, perilaku dan sikap Nabi saw, terkadang menjadi hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran[1]

Karena demikian sentralnya posisi hadits, banyak dari musuh-musuh Islam berupaya untuk meruntuhkan ajaran Islam dengan cara meneliti hadits dengan tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits, dengan diragukannya hadits-hadits tersebut, maka runtuhlah pilar-pilar Islam.

Sebagian penelitian tersebut dilakukan oleh orientalis. Studi mereka yang berasal dari Barat tentang hadis berbeda dengan studi hadis di Timur Tengah. Studi hadits di Timur Tengah dan juga di Indonesia menekankan pada bagaimana seseorang melakukan takhrij hadits dan syarh (penjelasan) hadits sehingga dapat diketahui otensitasnya dan makna yang terkandung dari hadits tersebut. Adapun di Barat, studi mereka menitik beratkan bagaimana melakukan penanggalan hadits untuk menaksir historitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam.

Kritik sejarah, adalah model kebanyakan studi yang dilakukan orientalis Barat, dalam bidang hadits setidaknya ada tiga orang yang banyak menjadi rujukan dalam Hadits Critism (kritik Hadits) oleh kalangan orientalis, mereka adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll. Artikel ini berupaya untuk membedah pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadits -hadits  Nabi saw.

Pengertian Kritik dan Orientalis

“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas.[2] Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan  kritik dan kecaman.[3]

Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[4]

Orientalisme adalah gelombang pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami, yang dijadikan obyek studi mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa dan kebudayaan.[5]

Orientalisme muncul setelah orang kristen berputus asa memerangi Islam dengan pedang, sehingga mereka menganggap bahwa cara terbaik untuk memerangi Islam adalah melalui Ghazwu al-Fikr (perang pemikiran).[6]

Biografi ketiga Orientalis

1. Biografi Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar,Mesir.Ia bukan saja aktif menghadiri ‘tallaqi’ dengan beberapa masyayikh di Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir.

Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki.

Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas Budapest, Hunagria.

Sebagai “adat” para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir.

Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, ‘Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya “Muslim” (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa “menembus” al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.

Setelah sukses “bersandiwara,” Goldziher kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.[7]

Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.[8]

The Oriental Collection of the Library and Information Centre of the Hungarian Academy of Sciences, pada tahun 2021 yang lalu, bertepatan dengan 100 tahun Ignaz Goldziher (1850-1921) menerbitkan booklet berisi isu-isu penting dari Goldziher, pendiri Islamic studies in Europe.

Booklet 100 tahun Ignaz Goldziher
Booklet 100 tahun Ignaz Goldziher | Sumber @menalib

2. Biografi Joseph Schacht

Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.

Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[10]

Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggeris.

Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.

Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[11]

Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.[12]

Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[13]

Joseph Schacht dan 2 buku monumentalnya
Joseph Schacht dan 2 buku monumentalnya

3. Biografi Gauther H. A Juynboll

Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935,  sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits.

Pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Juynboll yang dalam beberapa kesempatan sering mengatakan “Seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits Nabi”, ia juga mengajar diberbagai Universitas di Belanda.

Sebagian seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang studi Hadits, Juynboll dalam pemikirannya terutama yang terkait dengan studi hadts dan teori common link di elaborasikan dalam tiga bukunya : The Authenticity of the Tradition Literature : Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition : Studies and Cronology, Provenence and Autochip of Early Hadits, dan Studies on the Orgins and Uses of Islamic Hadits.

Juyinboll dan beberapa bukunya
Juyinboll dan beberapa bukunya

Dalam karya orginalnya The Authenticity of the Tradition Literature Juynboll mengambil dari sumber klasik dan kontemporer, mengkaji tentang pendapat-pendapat para teolog mesir tentang kesahihan hadits nabi. Muslim Tradition merupakan karyanya yang lain dimana didalam buku ini ia ingin membuktikan bahwa standarisasi hadits mulai diberlakukan tidak lebih awal daripada dipenghujung abad hijriah atau abad ketujuh masehi. Dengan demikian ia memilih jalan tengah antara kepercayaan orang-orang muslim kepada asal usul hadits Nabi dan pikiran para sarjana barat yang lebih awal, seperti Gozdziher dan Schacht yang berasumsi bawa hadits telah dipalsukan secara masal.

Baca juga:   Sejarah Penulisan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

Studies on the Orgins merupakan Karya Juynboll selanjutnya yang berasal dari kumpulan-kumpulan artikel yang dihimpun secara kronologis yang mana dalam karya ini ia dapat mengungkapkan perkembangan pemikiran dan ketertarikannya pada berbagai persoalan mengenai jalur-jalur periwayatan hadits, termasuk perhatiannya pada Common link (periwayat yang menjadi titik temu pada periwayat lainnya).

Selain dari ketiga buku tersebut, Juynbollpun banyak menerbikan artikel-artikel yang tak kalah menariknya dalam sudut kajian hadits, diantaranya adalah : Pertama; The Hadits in The Discussion on Brid Control. Kedua; Ahmad Muhammad Sakir and His Edition of ibn Hanbal Musnad. Dalam tulisan ini ia mengkaji tulisan musnad Ahmad dalam karya Muhammad Syakir. Ketiga Menterjemahkan pengantar muslim bin Alhajjaj terhadap kitab Sahihnya “Muslim introduction to His Shahih Translated and annotated with an Excersus on Cronology of fina and bid’a”.

Pemikiran Ketiga Orientalis

1. Pemikiran Ignaz Goldziher

Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.[14]

Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits  adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadits  tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits  merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.[15]

Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat.[16]

Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadits t dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir  yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.

Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadits  sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadits  tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits  Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits  yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:

(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadits ”) Kata-kata “ahadits ” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadits ” yang berarti hadits -hadits  yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits -hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits -hadits  Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits  yang belum pernah ada pada saat itu.[17]

Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadits  itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw.

Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits  yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[18]

Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits  dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadits  tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.[19]

2. Pemikiran Joseph Schacht

Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits  adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits  banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.[20] sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).[21]

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad  mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:[22]

  1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
  2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
  3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
  4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
  5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.

Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:

1. Teori Projecting Back

Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi.

Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits  yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits  itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi.

Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[23]

Baca juga:   Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia

Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapatpendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadits  menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapatpendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.[24]

Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar hadis adalah palsu.

2. Teori E Siliento

Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits  dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits  oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits  tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits  ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan.

Dengan kata lain untuk membuktikan hadits  itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits  tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits  itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.

Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggungjawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.

Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.

3. Pemikiran Juynboll

Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence.

Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba……” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu Hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.[26]

Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis

Gencarnya kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak lantas membuat ulama Islam berdiam diri, setidaknya ada tiga ulama kontemporer yang telah menangkal teori-teori ketiga orientalis di atas, mereka adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy dalam bukunya as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam,  Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dalam bukunya as Sunnah Qabla Tadwin dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature.

Berikut ini kami ketengahkan beberapa bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid.

1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher

Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.[28]

Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh

Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan ‑­

dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan

Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah

Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.[29]

2. Bantahan untuk Josep Schacht

Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht ‑­

adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.

Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.

Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.

Baca juga:   Menerima Kritik sebagai Ciri Manusia Berkarakter

Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.

Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para ‑­

pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.

Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.

Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.

Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada ‑­

Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.[30]

3. Bantahan untuk G.H.A Juynboll

Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.

Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.

Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.[31]

Demikian, semoga kajian ini bermanfaat. Amiin

Sumber:

Adnin Armas,MA, Al-Mujtama edisi 11 Th1/9 Rabiul Awwal 1430H

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits , Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995

Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004)

Berg, The Development of Exegesis in Early Islam bab Hadits Criticism

Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992)

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford, Clarendon Press, 1964

Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

M. Amin Djamaluddin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI, hal 5, 7, 25.

M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004)

Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht


[1] . Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.

[2] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155.

[3] Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443.

[4] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, hal. 408.

[5] Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Mausuah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Mazahib al-Muashirah.), Terjemahan: A. Najiyulloh, (Jakarta: Al-I’tisham, 2006), cet. Ke-5, hal. 15, untuk lebih menambah pengetahuan tentang Orientalisme silahkan baca buku-buku berikut:

1.       Al-Istisyraq wa al-Mustasyriqun karangan Dr. Musthafa as-Siba’i, cetakan Dar al-Salam, Kairo

2.       Al-Mustasyriqun wa al-Islam karangan Dr. Muhamad Quthub, cetakan Maktabah Wahbah, Kairo

3.       Shuwar Istisyraqiyyah karangan Dr. Abdul Jalil Sibli, cetakan Dar al-Syuruq, Kairo

[6] Dr. Muhammad Nabil Ghanayim, min asalib al-ghazwu al-fikr: ath-tha’nu fi al-quran al-karim ardh wa tafnid, majalah as-syari’ah vol IV, dan Dr. Muhamad Amarah telah membahas hakikat Ghazwu al-Fikr ini dalam kitabnya Al-Ghazwu al-Fikr Wahm am Haqiqah yang dicetak oleh Dar. Al-Shorouk.

[7] . Adnin Armas,MA, Al-Mujtama edisi 11 Th1/9 Rabiul Awwal 1430H

[8] . Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya,  diakses pada tanggal 27 Desember 2010.

[9] . M. Amin Djamaluddin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI, hal 5, 7, 25.

[10] . Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19

[11] . Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Mustasyriqin, Bairut, Daar al-Ilmi al-Malayin, 1989, hlm. 252-

253.

[12] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya,  diakses pada tanggal 27 Desember 2010.

[13] . Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag

[14] . Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht…, hal. 88.

[15] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[16] . Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht…, hal. 88.

[17] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[18] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[19] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[20] .  Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[21] .  Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 22

[22] . M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233.

[23] . Joseph Schacht, An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press, 1964, hlm. 34.

[24] . Joseph Schacht, An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press, 1964, hlm. 31-32

[25] . Berg, The Development of Exegesis in Early Islam bab Hadits Critism

[26] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,  diakses tanggal 27 Desember 2010.

[27] . Dr. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi. Hal.x

[28] [28] . Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2010.

[29] [29] . Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2010.

[30] [30] . Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2010.

[31] [31] . Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2010.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

3 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *