Ramadan datang dan pergi. Apakah lembaran hidup kita akan terus dinaungi keberkahannya? Apakah kita semakin mendekati Takwa yang menjadi output puasa? atau Ramadan berlalu meninggalkan kita yang masih bertatih-tatih mengejar kemuliaannya. Siapa tahu nyawa terhenti dan Ramadan datang tanpa sempat kita reguk rahmat, berkah, ampunan, terlebih lagi Surga yang menjadi janjinya.
Ramadan hampir berakhir, mari kita muhasabah ke depan. Gerakkan hati dan pikiran untuk melihat ‘apa’ dan ‘siapa’ kita seletah Ramadan. Supaya kita lebih menghargai detik Ramadan yang masih ada, jangan sampai ia berlalu, kita tepok jidat karena kesal tidak mendapatkan apa-apa selama Ramadan.
Rasulullah Shalallahu Alaihiwasallam mengingatkan dalam hadisnya, bahwa ada orang Islam yang puasanya tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus. Tarawih dan salat malamnya tidak mendapatkan apa-apa selain capek dan letih bangun malam saja.
Apa hasil yang kita inginkan setelah Ramadan? Manusia seperti apa yang kita inginkan setelah keluar dari madrasah Ramadan ini?
Mari kita mulai dari akhir. Akhir seperti apakah yang diharapkan dari Ramadan? Semakin jelas gambaran akhirnya, semakin jelas apa yang harus dikerjakan. Supaya puasa yang tersisa beberapa hari lagi, kita lakukan dengan penuh keikhlasan, hati yang bersih dan tulus (qalbun salim). Dosa terampuni dan kita menjadi manusia yang lebih baik daripada bulan-bulan sebelumnya.
Hasil akhir atau ouput puasa adalah Takwa (baca tulisan sebelumnya tentang Sistem Ramadan). Orang takwa itu menjaga hukum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala. Mencegah diri dari perbuatan yang diharamkan Allah Subhanahu Wata’ala.
Takwa berarti menjaga sebagaimana keterangan Ubay bin Ka’ab. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang Takwa . Ubai balik bertanya : ” Apakah Anda pernah melewati jalan yang banyak durinya ” ? ” Pernah ” Jawab Umar. Ubay bertanya kembali : ” Bagaimana ketika Anda melewatinya ” ? Umar menjawab : ” Saya bersungguh- sungguh serta berhati- hati sekali supaya tidak kena duri ” . Ubai akhirnya mengatakan : ” Itulah arti Takwa yang sebenar- benarnya. ”
Dari hadist atsar Umar ra di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa takwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah Subhanahu Wata’ala. Orang yang bertakwa adalah orang yang sungguh –sungguh untuk menjauhi segala larangan Allah dan berhati- hati supaya tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketaqwaan tersebut, kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Hendaknya keluar Ramadan, seorang muslim yang sudah mencapai derajat takwa. Hati-hati ketika berbicara, bertindak, berfikir adalah karena keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala, membesarkan nama Allah Subhanahu Wata’ala bukan dirinya, lembaganya, atau parpolnya. Tidak berbuat sesuka hati, tetapi merujuk kepada hukum Allah Subhanahu Wata’ala apakah halal, haram, makruh atau mubah, dari soal buang air kecil sampai mengatur negara.
Takwa itu letaknya di hati. Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam menunjuk ke dadanya ketika menjelaskan takwa. Namun, hati yang di dalam itu memberikan efek kepada yang di luar. Justru hati menjadi raja diri dalam tubuh manusia, yang mengawal segala tingkah laku manusia.
Allah Subhanahu Wata’ala menilai seseorang dari takwanya, kesan takwa tersebut akan nampak dalam hubungannya dengan manusia. Manusia takwa memiliki akhlak mulia dengan manusia. Akrab dengan Allah Subhanahu Wata’ala dan intim dengan manusia.
Muhasabah setelah beramal merupakan sifat orang yang bertakwa. Mereka melakukan amal saleh, tetapi tidak merasa bangga dan sombong dengan amalan mereka. Bahkan khawatir jika amal yang telah dilakukan ditolah oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Sifat Orang yang Bertakwa
Allah Subhanahu Wata’ala memberikan sifat orang yang beriman dan bertakwa dalam Surat Al-Mukminun ayat 57-61.
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ (59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
Sesungguhnya orang-orang yang bersikap hati-hati karena rasa takut mereka kepada (azab dan murka) Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.(QS. Al-Mu’minun [23]: 57-61)
Khasyatullah, Rasa Takut kepada Allah
Didalam kitab Jami’ al-Bayan, at-Thabari menerangkan bahwa khasyah adalah perasaan takut yang menyebabkan seseorang akan berusaha untuk terus berbuat baik untuk mencapai ridha Allah.
Sedangkan dalam kitab Mafatih al-Ghaib diterangkan bahwa khasyah adalah rasa takut yang disertai dengan perasaan lemah, minder dan pesimis terhadap keagungan yang dihadapi. Dikarenakan perasaan takut tersebut maka seseorang akan sebisa mungkin menjauhi hal-hal yang dilarang dan berusaha untuk mencapai ridha Allah.
Makna مشفقون
Kata ini terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran yang dapat Anda simak pada gambar tabel berikut.
Harap dan Cemas jika amalnya tidak diterima Allah Subhanahu Wata’ala
Makna ayat 60 Surat Al-Mukminun telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihiwasallam.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ{ الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا أَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ }أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, “Wahai Rasulullah, firman Allah yang berbunyi ‘Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut’, apakah maksudnya adalah seseorang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”
Maka beliau menjawab: “Tidak wahai putri Abu Bakar ~atau tidak wahai putri Ash-Shiddiq~, tapi maksud ayat itu adalah seseorang yang mengerjakan shaum, melaksanakan shalat dan mengeluarkan sedekah, namun ia khawatir jika amal kebaikannya tersebut tidak diterima Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3175, Ibnu Majah no. 4198, Ahmad no. 25263, 25705, Abu Ya’la no. 4917 dan Al-Hakim, 2/393)
Seorang ulama tabi’in, imam Hasan Al-Bashri, berkata: “Seorang mukmin itu memadukan antara amal kebaikan dan rasa khawatir [amalnya tidak diterima Allah], adapun orang munafik justru memadukan antara amal keburukan dan rasa aman [dari kemurkanaan dan adzab Allah].” (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayyi Al-Qur’an, 17/68)
Inilah buah dari ilmu dan muhasabah. Seorang mukmin senantiasa beramal shalih, disertai perasaan harap dan cemas. Ia berharap Allah menerima amalnya dan memberinya balasan yang terbaik. Namun ia juga merasa khawatir jika Allah tidak menerima amalnya, karena adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam syarat, rukun, sunnah, adab maupun keikhlasan dari amal yang ia kerjakan.
Jumal Ahmad | ahmadbinhanbal.com