Pengaruh Religiositas Terhadap Perilaku Koruptif

Agama dan Korupsi

Religiusitas masyarakat Indonesia, khususnya warga muslim tidak memengaruhi perilaku koruptif yang makin masif. Hal tersebut terungkap dari survei yang dilakukan LSI. Dalam laporan survet tersebut disebutkan bahwa:

Masyarakat Muslim Indonesia tergolong relijius. Sebanyak 74.9% dari seluruh umat Islam di negara ini sangat atau cukup saleh. Oleh karenanya, wajar jika 82.9% dari mereka sangat sering atau cukup sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting.

Kesalehan masyarakat juga tercermin dari praktik ritual yang dilakukan. Sebanyak 55.9% rutin melakukan shalat wajib lima waktu dan 28.4% cukup sering melakukannya.

Sementara yang rutin puasa ramadhan sebanyak 67.5% dan sering puasa 24.6%. Mereka yang selalu menjalankan shalat sunnah 14.4% dan yang sering sebanyak 30.3%.

Meskipun demikian, makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi. Tidak ada hubungannya dengan perilaku korupsi. Semakin relijius, hanya semakin bersikap anti-korupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama.

Lebih dari separuh Muslim Indonesia (55.6%) merasa bagian dari Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam tertentu, sedangkan 40.9% tidak merasa bagian dari Ormas apa pun. Hal ini menunjukkan partisipasi umat dalam Ormas Islam cukup tinggi. Namun survei ini menemukan bahwa menjadi bagian dari Ormas Islam tidak berhubungan secara signifikan dengan sikap dan perilaku korup. Artinya, menjadi bagian dari Ormas Islam merupakan urusan yang terpisah dari persoalan korupsi. Keduanya sama sekali tidak terkait.

laporan lengkapnya bisa diunduh di: Laporan LSI format Pdf

Hasil penelitian di atas secara simplistis menggambarkan tingkat religiusitas warga baru berdampak pada level normatif, belum berefek pada tingkat perilaku. Tingkat keilmuan yang hanya ada di pikiran (aspek kognitif) saja hanya akan berhenti pada tataran pengetahuan saja. Tanpa ada aspek pengamalan di dalamnya. Sedangkan keilmuan seseorang yang bisa sampai ke hati, akan terbentuk dalam sebuah karakter dan menjadi amaliah yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Maka salah jika dengan penelitian di atas lantas agama dijadikan alasan utama seseorang melakukan perilaku koruptif, seperti gratifikasi dan tindak pidana lainnya. Karena jika pendidikan Agama diterapkan dengan sebaik-baiknya bisa mencegah perilaku koruptif.

Spiritualitas didefinisikan sebagai perbuatan yang berorientasi filosofis, semua perbuatan disandarkan karena mengenal Allah, dan untuk kebahagiaan jiwa.[1] Maka karyawan yang memiliki spiritualitas tinggi akan lebih efektif dalam bekerja karena melihat pekerjaannya sebagai alat untuk meningkatkan spiritualitas, berbeda dengan karyawan yang melihat pekerjaannya sebagai alat untuk memperoleh penghasilan berupa materi.

Pengertian lain menyebutkan Spiritualitas adalah aktivitas manusia yang bermuara kepada kehakikian, keabadian, dan ruh, dan bukan hanya bersifat sementara.[2]  Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya, maka orang yang mempunyai spiritualitas tinggi tidak akan korupsi karena tahu perbuatannya akan dihukum oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Rego dan Cunha menyimpulkan bahwa bahwa ketika seseorang memiliki spiritualitas di tempat kerja, mereka merasa lebih afektif melekat pada organisasi tempat kerja, memiliki loyalitas terhadap organisasi. Demikian juga dengan manajer, bahwa dengan meningkatkan iklim spiritualitas, manajer dapat meningkatkan komitmen dan berdampak pada kinerja individu dan organisasi.

Nurtjahjanti menjelaskan bahwa spiritualitas dalam pekerjaan adalah mengekspresikan keinginan diri untuk mencari makna dan tujuan hidup dan merupakan sebuah proses menghidupkan serangkaian nilai-nilai pribadi yang dipegang oleh seorang karyawan. Spiritualitas dalam pekerjaan bukan membawa agama ke dalam pekerjaan, namun kemampuan menghadirkan keseluruhan diri karyawan untuk bekerja. Spiritualitas dalam pekerjaan merupakan aspek penting bagi perusahaan untuk dapat bersaing di masa sekarang ini.

Spiritualitas dapat membuat karyawan lebih efektif dalam bekerja, karena karyawan yang melihat pekerjaan mereka sebagai alat untuk meningkatkan spiritualitas akan menunjukkan usaha yang lebih besar dibanding karyawan yang melihat pekerjaannya hanya sebagai alat untuk memperoleh uang. Kegunaan spiritualitas dapat dilihat dalam pengaruh etika positif sehingga menciptakan keefektifan dan efisiensi dalam organisasi sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan di tingkat global.[3]

Sekian.

[1] David A. Leeming, Kathryn Madden, Stanton Marlan (Eds.) Encyclopedia of Psychology and Religion, (New York: Springer Reference), 872

[2] Tobroni, The Spiritual Leadership: Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis, (Malang: UMM, 2005), 19-20

[3] Harlina Nurtjahjanti . “Spiritualitas Kerja sebagai Ekspresi Keinginan Diri Karyawan untuk Mencari Makna dan Tujuan Hidup dalam Organisasi”. Jurnal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010, 1

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *