Perjuangan umat Islam Indonesia – Sejarah masuknya Islam ke Indonesia amat panjang dan besar, dan sejarah inilah yang telah mengantarkan Indonesia sebagai Negara terbesar jumlah muslimnya, sebuah prestasi tinggi yang telah diukir oleh generasi sebelum kita.
Dalam sejarah, Umat Islam Indonesia telah mengalami banyak tekanan dari dalam dan luar, namun hal itu tidak menggetarkan para pejuang Islam dan nafas itulah yang harus kita cari, karena kita adalah mata rantai dari perjuangan generasi tangguh dan tahan uji terdahulu.
Sejarah Pergerakan Umat Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia sejak tahun 1905-1920
1. 17 Juli 1905
Di Jakarta berdiri perkumpulan al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Kurikulumnya modern, karena yang diajarkan di sekolah itu bukan hanya pelajaran agama, tetapi juga berhitung, sejarah, geografi dan lain-lain.
2. 16 Oktober 1905
Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.
A. Syarikat Dagang Islam (SDI) Pengurus pertama
- Ketua : Haji Samanhudi
- Penulis I : Sumowardoyo
- Penulis II : Sukir
- Pembantu : Jamal Surodisastro
- Pembantu keuangan : Sukir dan Haji Saleh
- Pembantu : Haryosumarto
- Pembantu : Wiryosutirto
- Pembantu : Atmo
B. Asas dan tujuan SDI
- Mengutamakan sosial ekonomi.
- Mempersatukan pedagang-pedagang batik.
- Mempertinggi derajat bumiputra.
- Memajukan agama dan sekolah-sekolah Islam.
C. Latar-belakang pendirian SDI :
- Kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik, terutama terhadap golongan Cina.
- Sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya Revolusi Cina (1911).
- Adanya tekanan oleh masyarakat Indonesia di Solo (dari kalangan bangsawan mereka sendiri).
Tahun 1905
Gerakan reformasi dan modernisasi ini meluas di Minangkabau dan perintisnya adalah Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah al-Iman adalah alat penyebar Reformisme keluar Minangkabau, di samping memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.
Tahun 1906-1907
Sebagai akibat politik etis yang di dalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran, maka pada dekade pertama abad XX bagi anak-anak Indonesia masih mengalami hambatan kekurangan dana belajar. Keadaan yang demikian ini menimbulkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana itu, dengan melakukan propaganda berkeliling Jawa. Rupanya ide yang baik dari dr. Wahidin itu di terima dan dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA dan dari sinilah awal perkembangannya menuju keharmonisan bagi tanah dan orang Jawa dan Madura.
Tahun 1907
Insulinde didirikan di Bandung sebagai reaksi terhadap faham kolot dari Indische Bond (didirikan tahun 1898 oleh peranakan dan totok, organisasi sosial ekonomis buat kepentingan peranakan).
20 Mei 1908
Sebagai tindak-lanjutnya, dr. Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota.
Perkumpulan ini di pimpin oleh kaum Ambtenaar, yaitu para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Pusat perkumpulan ditempatkan di Yogyakarta. Sebagai ketua Pengurus Besar yang pertama di pilih R.T. Tirtokusumo, bupati Karanganyar, sedang anggota-anggota Pengurus Besar yang lain-lain pegawai negeri atau bekas pegawai negeri belaka. Ia memimpin BU sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1911. Kemudian dia digantikan oleh Pangeran Aryo Noto Dirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta. Sebagai orang keraton yang di beri gaji oleh Belanda, maka ketua BU itu sangat patuh kepada induk-semangnya.
3-5 Oktober 1908
Kongres BU pertama di Jakarta, dengan terjadi perubahan orientasi, dari terbatas dalam kalangan priyayi menjadi menekankan cara baru bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Kongres itu menetapkan tujuan perkumpulan : kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu).
Tahun 1908
Di kalangan priyayi gedhe yang sudah mapan tidak senang terhadap lahirnya BU, sehingga para bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia di Semarang, untuk mencegah cita-cita BU yang di anggap mengganggu stabilitas sosial mereka.
Pada tahun yang sama, berdirilah Indische Vereeniging (IV) di Negeri Belanda, yang diprakarsai oleh Sutan Kasayangan dan R.M. Noto Suroto. Semula organisasi ini merupakan pusat kegiatan sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang situasi tanah air. Kemudian bernama Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).
Tahun 1909
Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI) di Batavia. Pada tahun yang sama, H. Abdullah Akhmad mendirikan majalah al-Munir di Padang, yang bertujuan menyebarkan agama Islam yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Tahun 1910
Tirtoadisuryo mendirikan perusahaan dagang Sarekat Dagang Islamiah NV di Bogor. Kedua organisasi tersebut (SDI Batavia dan Bogor) dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina.
Tahun 1911
Ambon’s Bond didirikan oleh pegawai negeri di Ambonia, untuk memajukan pengajaran dan penghidupan rakyat Ambon. Haji Abdulhalim mendirikan Persyarikatan Ulama di Ciberelang, Majalengka, yang bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi.
11 Juni 1912
Cokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India kaya, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Utusan Hindia. Cokroaminoto kemudian duduk sebagai pemimpin Syarikat Islam.
Agustus 1912
Pemimpin-pemimpin golongan Minahasa mendirikan “Rukun Minahasa” di Semarang. Tujuannya ialah mencapai derajat hidup yang layak bagi rakyat Minahasa, antara lain dengan jalan menghilangkan sebab-sebab yang menjadikan turun kedudukannya, memajukan nafsu tolong-menolong menyokong pendidikan dan pengajaran, memajukan ekonomi rakyat. Ketuanya adalah J.H. Pangemanan. Pemuka yang lain-lain adalah Dr. Ratulangi dan P.A. Mandagie.
12 Agustus 1912
Residen Surakarta membekukan SDI setelah organisasi itu berkembang cepat ke daerah-daerah lain di Jawa dan setelah kegiatan-kegiatan pada anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa setempat. Perkelahian terus-menerus terjadi dengan golongan Cina; sebuah pemogokan dilancarkan oleh pekerja-pekerja di perkebunan Krapyak di Mangkunegaran pada permulaan bulan Agustus 1912. Kedua macam kerusuhan ini menurut pihak penguasa disebabkan oleh Sarekat Islam.
Rijksbestuur Solo atas perintah Residen Belanda melarang untuk sementara waktu SI bekerja, karena SI di anggap berbahaya bagi ketertiban umum, membuat huru-hara di Solo, terutama terhadap kaum dagang Cina. Selain di larang bersidang dan menerima anggota baru, pemimpinnya mengalami penggeledahan, tetapi tidak berhasil.
16 Agustus 1912
Oleh karena tak terdapat tanda-tanda akan menentang pemerintah, maka skorsan di cabut lagi. Pembekuan tadi di cabut dengan syarat agar anggaran dasarnya di ubah sedemikian rupa, sehingga ia hanya terbatas pada daerah Surakarta saja. Larangan tersebut di cabut dengan ketentuan hanya penduduk Surakarta saja yang boleh menjadi anggota (harus masuk statuten), serta harus ada pengawasan atas keuangan.
10 September 1912 Sampai dengan awal tahun 1912, Syarikat Dagang Islam masih memakai anggaran dasar yang lama yang di buat oleh Haji Samanhudi. Karena beliau tidak puas atas anggaran dasar itu, maka beliau menugaskan kepada Cokroaminoto di Surabaya yang baru masuk Syarikat Islam, supaya membuat anggaran dasar yang baru yang disahkan di depan Notaris pada tanggal 10 September 1912. Sehingga Syarikat Dagang Islam (SDI) berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI)
Syarikat Islam telah meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu :
- Asas agama Islam sebagai dasar perjuangan organisasi.
- Asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi.
- Asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.
18 Nopember 1912
Di Yogyakarta, berdiri Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha Kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas ketakhayulan-ketakhayulan lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan di kalangan rakyat. Muhammadiyah bertujuan memajukan pengajaran berdasarkan agama, pengertian ilmu agama dan hidup menurut peraturan agama.
25 Desember 1912
Partai Hindia atau IP (Indische Partij) didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi di Bandung, dan merupakan organisasi campuran orang Indo dan bumiputra. IP menjadi organisasi politik yang kuat pada waktu itu, setelah ia bekerjasama dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Douwes Dekker menjadi ketuanya, dr. Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) menjadi anggota pengurus.
Indische Partij terbuka buat semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal disini, Belanda peranakan, peranakan Tionghoa dan sebagainya), yang merasa dirinya seorang “indier”.
26 Januari 1913
Dalam rapat raksasa SI di Kebun Binatang Surabaya, Umar Sa’id Cokroaminoto menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Surabaya, PT. “Setia Usaha”, penerbitan surat kabar “Utusan Hindia”, menyelenggarakan penggilingan padi dan juga mendirikan bank.
Kongres SI pertama yang di pimpin oleh Cokroaminoto, yang antara lain menerangkan bahwa SI bukan partai politik dan tidak beraksi melawan Pemerintah Belanda. Walaupun begitu, dengan agama Islam sebagai lambang persatuan dan dengan penuh kemauan mempertinggi derajat rakyat, SI tersebar di seluruh Jawa bagai banjir yang hebat sekali. Ditentukan H. Samanhudi sebagai Bapak SI, Sentral Komite SI didirikan (di susun).
23 Maret 1913
Kongres umum SI kedua di Surakarta, yang diselenggarakan di taman istana Susuhunan. Dalam kongres itu diputuskan bahwa SI hanya terbuka untuk bangsa Indonesia dan pegawai pangreh praja seberapa tidak akan di beri masuk, tindakan ini di pandang perlu agar tidak berubah corak SI sebagai organisasi rakyat.
Dalam kongres terpilih H. Samanhudi sebagai ketua dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. Gejala konflik internal telah timbul di permukaan dan kepercayaan terhadap Central Sarikat Islam mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus di kutuk.
30 Juni 1913
Belanda menolak permintaan SI supaya disahkan menjadi badan hukum (rechtspersoon) karena anggota SI terlalu banyak. Belanda sanggup mengesahkan perkumpulan SI ke tempat-tempat yang tidak besar jumlah anggotanya. Pemerintah Belanda menetapkan bahwa cabang-cabang harus berdiri sendiri untuk daerahnya masing-masing (SI daerah). Pemerintah tidak berkeberatan SI-SI daerah itu bekerja bersama-sama dengan badan perwakilan Pengurus Sentral.
Tujuan anggaran dasa (yang semua sama) dari SI daerah-daerah itu antara lain adalah dengan mengingat peraturan agama Islam.
- Memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran.
- Memajukan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang agama
- Mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong di antara anggotanya.
Tahun 1913
“Mena Muria” berdiri di Semarang, untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran golongan Ambon.
18 Pebruari 1914
Pengurus CSI pertama ditetapkan dalam suatu pertemuan di Yogyakarta, yang terdiri atas H. Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Cokroaminoto sebagai Ketua dan Raden Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus CSI ini diakui pemerintah tanggal 18 Maret 1916.
Mei 1914
H.J.F.M. Sneevlit dengan teman-temannya bangsa Belanda (Brandsteder, Ir. Baars, Van Burink) yang sepaham, mendirikan ISDV (de Indische Sociaal Demoratische Vereeniging) di Semarang. ISDV bertujuan menyebarkan faham-faham Marxis.
September 1914
Jong Pasundan berdiri di Jakarta. Anggaran dasarnya adalah secorak dengan Budi Utomo, tetapi ditujukan untuk daerah Pasundan saja. Pasundan (Paguyuban Pasundan) didirikan untuk mempersatukan “bangsa Sunda”.
Tahun 1914
Terjadi Perang Dunia I, dan Budi Utomo turut memikirkan cara mempertahankan Indonesia dari serangan luar dengan mengadakan milisi yang di beri wadah dalam Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weebaar).
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab. Kelompok Arab yang bukan keturunan sayid mendirikan perkumpulan al-Irsyad pada tahun 1914, dengan bantuan Syekh Ahmad Syurkati. Organisasi ini menekankan persamaan antara ummat manusia dan berlawanan dengan pendirian golongan sayid, yaitu golongan yang mengaku keturunan Nabi.
Sementara itu, ada pihak yang tidak sependapat dengan Ahmad Syurkati tentang madzab, mendirikan organisasi sendiri yang di sebut ar-Rabithah al-‘Alawiyah. Organisasi yang sehaluan dengan al-Irsyad, yaitu Muhammadiyah, Persis, Thawalib, sedangkan yang bersimpati dengan ar-Rabithah, yaitu Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, Jam’iyatul Washliyah, Musyawaratut Thalibin.
7 Maret 1915
Tri Koro Dharmo didirikan di Jakarta di bawah pimpinan dr. Satiman untuk mempersatukan pelajar-pelajar dari pulau Jawa, kemudian bernama “Jong Java”. Semboyan : “Sakti, Budi, Bakti”. Yang menjadi anggota kebanyakan murid-murid sekolah menengah asal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
5-6 Agustus 1915
Budi Utomo dalam rapat umumnya di Bandung menetapkan mosi, yang menegaskan mobilisasi perlu sekali diadakan untuk bangsa Indonesia juga, tetapi hal ini harus diputuskan dalam parlemen yang berhak mengadakan Undang-undang (parlemen ini ketika itu belum ada), dewan perwakilan rakyat harus diadakan terlebih dahulu.
Tahun 1915
Sesudah lebih dari 50 SI daerah berdiri, lalu didirikan Central Sarekat Islam (CSI). Maksud tujuan Badan Sentral ini memajukan dan membantu SI daerah, mengadakan dan memelihara perhubungan dan pekerjaan bersama di antaranya.
30 Januari 1916
Pertemuan antara berbagai perkumpulan SI Jawa Barat dan Sumatra Selatan di Jakarta. Tujuan rapat yang diadakan Gunawan ialah membicarakan hubungan antara perkumpulan-perkumpulan ini dan CSI. Sebuah usul membentuk CSI kedua untuk Jawa Barat dan Sumatra Selatan di samping CSI yang telah ada di terima setelah perdebatan yang lama dan seru.
H. Samanhudi dan Gunawan terpilih masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua CSI yang memisahkan diri. Dari perkumpulan-perkumpulan SI di Jawa Barat, Gunawan dan Samanhudi hanya mendapat sedikit dukungan, yaitu Cikalong, Bogor dan Sukabumi. Cabang-cabang yang lain di Jawa Barat menyatakan sikap netral. Cabang Bandung menyatakan tetap setia kepada CSI yang lama. Sikap perkumpulan-perkumpulan di Sumatra Selatan, kecuali di Bengkulu, tidak seluruhnya jelas.
Januari 1916
CSI menyetujui adanya aksi Comite Indie Weerbaar serta mengambil mosi tentang itu dan mewakilkan Abdul Muis akan menyampaikan mosi itu kepada Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan dan Staten Generaal. ISDV dan kaum Komunis melawan aksi itu.
18 Maret 1916
Central Sarikat Islam (CSI) mendapatkan pengakuan badan hukum (rechtspersoon), dan keputusan ini diberikan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Anggota-anggotanya, yaitu perkumpulan-perkumpulan SI kecil yang juga disahkan oleh Belanda sebagai badan hukum (rechtspersoon).
17-24 Juni 1916
Kongres SI pertama di Bandung, yang dihadiri oleh 80 SI lokal dimana dibicarakan agama dalam pergerakan dan hapusnya tanah partikulir (tanah swasta). Kongres itu merupakan “Kongres Nasional”, karena SI mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau satu bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnik Indonesia menjadi bangsa Indonesia.
Di sisi lain, SI setuju diadakannya Komite Pertahanan Hindia asal pemerintah Belanda membentuk Dewan Rakyat. Juga kongres ini di pimpin oleh Cokroaminoto. Dengan jalan evolusi berusaha mencapai pemerintahan sendiri, sekurang-kurangnya memperoleh bangsa Indonesia dapat ikut serta dalam pemerintahan Indonesia. Ini semuanya “dengan pemerintah dan untuk menyokong pemerintah”.
Kongres ini menetapkan pengurus baru CSI yaitu ketua Cokroaminoto dan wakil ketua Abdul Muis serta sekretaris R. Sosrokardono. Nama H. Samanhudi tidak muncul lagi dalam daftar kepemimpinan SI, kedudukannya terdesak dalam waktu yang relatif singkat, diantaranya ia lebih banyak terlibat dalam masalah-masalah di luar organisasi SI sendiri.
23 Juli 1916
Budi Utomo ikut duduk dalam Komite “Indie Weebaar”. Komite ini menyatakan keyakinannya bahwa dalam Perang Dunia di waktu itu : “buat Hindia-Belanda adalah suatu kepentingan hidup untuk selekasnya memperoleh kekuatan yang cukup baik di laut, baik di darat untuk mempertahankan diri”. Dalam utusan ke negeri Belanda menghadap Sri Baginda Raja Putri turut serta utusan BU (Dwijosewoyo).
Pertengahan Agustus s/d akhir September 1916
Suatu peristiwa penting yang secara tidak langsung melibatkan SI, adalah pemberontakan Jambi di Sumatra Selatan. Controleur Walter dan beberapa pegawai Indonesia turut di bunuh oleh pemberontak.
Yang di dakwa menerbitkan itu ialah Sarekat Abang, suatu sarekat agama yang menurut berita dipengaruhi oleh Sarekat Islam. Dalam hal ini yang dihadapi adalah suatu pemberontakan yang cukup luas dan hebat, yang dengan susah payah dapat di tumpas oleh pihak penguasa. Jumlah korban yang tewas dalam pemberontakan ini seluruhnya lima ratus orang.
Juli 1917
Volksraad diperundangkan pada Desember 1916, dijalankan Agustus 1917 dan di buka Mei 1918. Penting juga perbuatan Pengurus Besar BU pada waktu itu memajukan diri mengadakan Komite Nasional (terdiri dari pemimpin-pemimpin perkumpulan-perkumpulan Indonesia yang besar). Komite Nasional mengadakan sidang di Jakarta guna merundingkan arah jalan penunjukan dan pemilihan yang pertama dari anggota-anggota Volksraad.
13 Agustus 1917
Didirikan Perserikatan Indie Weerbaar, bermaksud mencari jalan untuk dapat mempertahankan Indonesia dalam hal ekonomi dan militer.
12 September 1917
Debat terbuka antara golongan Islam dan Komunis dalam Sarekat Islam di Surabaya, dalam rangka membicarakan persoalan Indie Weerbaar. Golongan Komunis bukan saja menolak, akan tetapi juga mengecam pemimpin-pemimpin SI yang bukan Komunis.
September 1917
Partai Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) sebagai cabang SDAP dari Negeri Belanda. Dalam bulan Juni 1919 di ubah menjadi partai berdiri sendiri, dengan nama ISDP dan terbuka buat segala golongan bangsa. Baik ISDV maupun ISDP, kedua-duanya tidak dapat memikat hati rakyat. Pemimpin-pemimpin ISDP yang berpengaruh adalah J.E. Stokvis, Ir. Cramer dan Prof. Van Gelderen, bangsa Indonesia tidak seorang pun.
20-27 Oktober 1917
Kongres (SI) Nasional yang kedua, yang dilangsungkan di Jakarta, dalam pembicaraannya ternyata lebih berani terhadap pemerintah dan badan-badannya daripada kongres yang pertama. Tetapi pimpinan CSI masih menyetujui aksi parlementer-evolusioner. Juga usul Semaun untuk tidak ikut campur dalam gerakan Indie Weerbaar tidak di terima (pada waktu itu Abdul Muis sebagai anggota “Utusan Indie Weerbaar” memberikan laporan tentang pengalamannya di negeri Belanda).
Kongres SI kedua memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zelf bestuur atau pemerintahan sendiri. Selain itu, ditetapkan pula azas kedua berupa “strijd tegen overheersing van het zondig kapitalisme” atau perjuangan melawan penjajahan dari Kapitalisme yang jahat.
Tetap di ambil jalan parlementer, ditentukan program azas dan daftar usaha dari partai. Pemerintahan kebangsaan menjadi maksud dari Sarekat Islam. Daftar usaha memuat : aksi untuk decentralisatie pemerintahan dan hak pemilihan, kemerdekaan bergerak, pertanian, persoalan uang dan pajak, persoalan sosial dan pembelaan negeri. CSI akan berjuang dalam Volksraad. Putusan ini tidak disetujui Semaun.
Dalam kongres ini telah disetujui suatu rumusan “Keterangan Pokok” (Asas) dan Program Kerja, yang mencerminkan sifat politik dari organisasi ini. Keterangan Pokok ini menyatakan kepercayaan CSI bahwa agama Islam itu membuka rasa pikiran tentang persamaan derajat manusia, di samping itu menjunjung tinggi kepada kekuasaan negeri, dengan harapan akan memperoleh pemerintahan sendiri (zelfbestuur) dalam ikatan dengan negeri Belanda. Tentang Program Kerja yang berjumlah delapan buah, satu diantaranya mengenai politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah dan perluasan hak-hak Volksraad, yang setahun lagi akan di bentuk.
Keterangan Pokok ini mengemukakan kepercayaan CSI bahwa “agama Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa negeri” dan “bahwasanya itulah (Islam) sebaik-baiknya agama buat mendidik budi-pekertinya rakyat”. Partai juga memandang “agama…(sebagai) sebaik-baiknya daya-upaya (yang) boleh dipergunakan” agar “jalannya budi akal masing-masing orang itu ada bersama-sama budi-pekerti…” negeri atau pemerintah “hendaknya tiada terkena pengaruhnya percampuran barang sesuatu agama, melainkan hendaklah melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu”. CSI pun “tidak mengakui sesuatu golongan rakyat (penduduk) berkuasa di atas golongan rakyat (penduduk) yang lain”.
Sebelum diadakannya Kongres SI kedua, di Jakarta muncul aliran revolusioner Sosialistis yang diwakili oleh Semaun, yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang.
9 Desember 1917
Mengikuti jejak murid-murid Jawa dari sekolah menengah, murid-murid Sumatra mendirikan Jong Sumatranen Bond di Jakarta. Maksud tujuannya antara lain adalah memperkokoh hubungan ikatan di antara murid-murid asal dari Sumatra dan menanam keinsyafan bahwa mereka kelak akan menjadi pemimpin, dan membangunkan perhatian dan mempelajari kebudayaan Sumatra. Di antara pemimpin-pemimpinnya terdiri Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin.
Januari 1918
Sarekat Sumatra berdiri, berpolitik “cooperatie” dengan azas “kebangsaan Sumatra”. Berdiri perkumpulan Serikat Sumatra di Jakarta, tidak lama sebelum pembukaan Volksraad terjadi. Lain dengan Budi Utomo dan Pasundan, Serikat Sumatra tidak berusaha dalam lapangan kebudayaan, tetapi terus diarahkan ke jurusan politik. Perserikatan ini berusaha untuk mendapatkan perwakilan dalam Majelis Haminte, di tempat-tempat yang banyak berpenduduk orang Sumatra. Tentang agama, Serikat Sumatra berpendirian netral, demokrasi sangat disetujui dan dikemukakan, juga berpendirian memajukan perekonomian rakyat di kalangan orang Sumatra.
April 1918
SI Afdelling B yang mendapat pengaruh Komunis terdapat di Priangan (Garut). Sebagai penyalur aspirasi dan wadah kepercayaan lokal, Afdeling B bertujuan menjalankan ketentuan agama Islam secara murni, berdasarkan prinsip “billahi fiisabilil-haq”, yang berarti akan diperangi setiap orang yang menghalangi agama Islam.
18 Mei 1918
Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum. Kongres Nasional Ketiga CSI yang diadakan di Surabaya pada tahun itu memutuskan untuk mengirimkan wakilnya dalam Volksraad. Dalam Volksraad, SI menempatkan dua orang. Cokroaminoto duduk sebagai anggota yang di angkat oleh pemerintah dan Abdul Muis sebagai anggota yang di pilih.
29 September – 6 Oktober 1918
Kongres SI Nasional yang ketiga dilangsungkan di Surabaya, memutuskan menentang pemerintah sepanjang tindakannya “melindungi Kapitalisme”, pegawai negeri Indonesia dikatakan sebagai alat, penyokong kepentingan Kapitalis. Oleh kongres dimajukan tuntutan mengadakan peraturan-peraturan sosial guna kaum buruh, untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang (upah minimum, upah maksimum, lamanya bekerja dan sebagainya). Diputuskan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menentang Kapitalisme, dan kongres memutuskan pula mengorganisasi kaum buruh.
Bersamaan dengan itu, berlangsung Kongres SI ketiga di Surabaya. Sementara itu, pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh SI.
16 Nopember 1918
Setelah Volksraad di bentuk pada tahun 1918, maka ada usaha mempersatukan aliran-aliran politik yang ada pada waktu itu, yang dapat di sebut golongan kiri. Karena itu atas prakarsa ISDV, didirikan suatu fraksi dalam Volksraad, yang di sebut Radicale Concentratie, yang kemudian bernama Politieke Concentratie didirikan dalam Volksraad.
Organisasi-organisasi yang ikut di dalamnya, yaitu Insulinde, SDAP, ISDV, BU, SI dan NIP (National Indische Partij). Sudah tentu tujuan fraksi ini bermaksud menyusun “parlementaire combinatie” untuk memintakan parlemen tulen dan hak rakyat yang luas, dengan mengajak anggota-anggotanya menuntut berbagai kepentingan kepada pemerintah. Tuntutan ini dilakukan dengan cara yang sangat radikal, yaitu dengan pemogokan dan pemberontakan. Periode radikal yang dikoordinasikan oleh Komunis berlangsung dari tahun 1918-1926.
18 Nopember 1918
Gubernur Jenderal Mr. Graaf Van Limburg Stirum mengumumkan dalam Volksraad janji pemerintah akan memberi kelonggaran dalam susunan pemerintahan dan hak-hak rakyat. Hak-hak Volksraad akan di tambah.
Tahun 1918
Kongres Tri Koro Dharmo yang pertama di Solo, namanya di ubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa), yang merupakan lembaga para mahasiswa yang pertama. Maksud tujuan perkumpulan adalah membangunkan suatu persatuan Jawa Raya yang akan di capai, antara lain dengan jalan mengadakan suatu ikatan yang baik di antara murid-murid sekolah menengah bangsa Indonesia, berusaha menambah kepandaian anggota-anggota dan menimbulkan rasa cinta akan kebudayaan sendiri. Oleh karena jumlah murid-murid Jawa merupakan anggota yang terbanyak, perkumpulan Jong Java tetap bersifat Jawa.
Pada tahun yang sama, berdirilah Sumatra Thawalib, yang bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kemajuan dunia dan akhirat menurut Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia, yang memperluas tujuannya “Indonesia Merdeka dan Islam Jaya”. Dalam gerakan politik mencapai Indonesia Merdeka ini, orang-orang Sumatra Thawalib tampil sebagai ujung tombaknya di Sumatra Barat.
Sementara itu, para ulama (diantaranya Syekh Sulaiman ar-Rasuly) yang tidak setuju dengan Thawalib, mendirikan Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (PERTI) di Sumatra Barat. Organisasi ini bermadzab Syafi’i dan mematuhinya secara konsekuen. Kegiatan utamanya dalam bidang pendidikan adalah mendirikan madrasah. Komunikasi dengan anggotanya dilakukan melalui majalah SUARTI (Suara Tarbiyatul Islamiyah), al-Mizan (bahasa Arab) dan PERTI Bulletin. Organisasi ini tidak bergabung dengan organisasi lain, dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdiri sebagai partai politik dengan nama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI).
Januari 1919
Gerakan SI Afdeling B yang di pimpin oleh H. Ismail mendapat izin dari SI Pusat, untuk menyebarkan organisasinya ke daerah Priangan.
Mei 1919
Dalam kongres PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera) di Bandung, pemimpin SI Sosrokardono (merangkap ketua PPPB) menganjurkan semua perkumpulan sekerja dijadikan satu federasi dalam satu badan sentral.
5 Juni 1919
Pemberontakan di Toli-Toli (Sulawesi) dimana Controleur de Kat Angelino dan lain-lain pegawai negeri turut di bunuh. Abdul Muis di dakwa sebagai penghasutnya, karena dia berpropaganda disitu dalam bulan Mei yang lalu.
7-9 Juni 1919
Indiers Congres dari Insulinde. Diputuskan Insulinde di rubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP).
7 Juli 1919
Perkara “Afdeling” B Garut dimana terjadi perlawanan Haji Hasan dan kawan-kawannya berhubung dengan angkutan padi (padi-requisite) oleh Pemerintah Belanda.
Terjadi peristiwa Cimareme, dimana beberapa anggota SI Afdeling B bersenjata golok datang ke Cimareme dan memberi bantuan kepada H. Hasan. Bantuan itu di pandang sebagai usaha memasukkan perlawanan H. Hasan dalam kerangka gerakan politik yang lebih luas, yaitu rencana pemberontakan Afdeling B. Akhirnya, Sekretaris SI Pusat, Sosrokardono, di tuduh pemerintah terlibat dalam gerakan Afdeling B, karena ia pernah hadir dalam rapat-rapat yang diselenggarakan oleh organisasi itu. Ia diajukan ke pengadilan dan di hukum empat tahun, sedangkan Cokroaminoto, ketua SI di tahan karena ia di tuduh memberikan keterangan palsu.
SI Pusat menolak adanya hubungan dengan Afdeling B, meskipun ada tuduhan bahwa Cokroaminoto, Sosrokardono dan pimpinan lainnya membeli jimat, yang berarti berpihak pada Afdeling B. Peristiwa Afdeling B menyulitkan kedudukan SI.
20 Juli 1919
Persidangan besar dari Radicale Concentratie di Jakarta, dimana di ambil mosi yang di kirim ke Sociale Democraten-fractie di Negeri Belanda yang membuat permintaan supaya pemerintah merubah sikapnya terhadap terdakwa-terdakwa dalam perkara Garut tersebut, oleh karena orang-orang desa itu hanya membela diri.
4 Agustus 1919
Java Instituut didirikan di Yogyakarta, bermaksud memajukan kebudayaan Jawa, Madura dan Bali.
1 September 1919
Mulai berlakunya perubahan ART-111 Regeeringsreglement, yang memuat pengakuan kebebasan rakyat akan bersidang dan berkumpul.
26-28 September 1919
Rapat umum Budi Utomo (BU) di Semarang membolehkan cabang-cabang mengadakan ranting sebagai usaha mendekati rakyat. Tindakan ini memang lalu menambah banyak cabang, akan tetapi dengan usaha ini pun BU tidak bisa menjadi perkumpulan rakyat umum, ia tetap tinggal perkumpulan lapisan atas. Pemimpin-pemimpin BU yang berpengaruh pada waktu itu adalah Dr. Rajiman Wediodiningrat dan Wuryaningrat, Dwijosewoyo dan R.M.A. Suryo Suparto (kemudian Mangkunegoro VII).
27 September 1919
Circulaire “berangusan” bagi pegawai-pegawai negeri, yang memuat larangan bagi mereka akan mengadakan propaganda politik di muka umum atau di muka ramai.
26 Oktober – 2 Nopember 1919
Kongres SI Nasional yang ke-empat di Surabaya, terutama membicarakan soal serikat kerja. Diputuskan memusatkan semua serikat kerja, antara lain supaya mengadakan Eerste Kamer (dari dewan perwakilan rakyat yang sejati) yang akan memimpin gerakan perlawanan kelas-kelas, perkumpulan-perkumpulan politik hendaklah mengadakan Tweede Kamer dari dewan itu. Kedua majelis ini akan merupakan Dewan Rakyat yang sesungguhnya. Diputuskan juga akan mengadakan beberapa Komite penyelidik, untuk mempelajari soal-soal yang penting bagi pergerakan rakyat, sebuah penyelidikan akan dipergunakan memperbaiki aksinya.
Dalam kongres ini dibicarakan tentang faedahnya pergerakan sekerja, ekonomi dan agama. Comite adat, comite pergerakan sekerja dan comite cooperatie akan mempelajari soal-soal itu.
Dalam Kongres SI ke-empat, SI memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja (SS), karena SS akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Kemudian terbentuklah persatuan SS, yang beranggotakan SS Pegadaian dan SS Pegawai Pabrik Gula dan SS Pegawai Kereta Api.
Di dalam tahun ini pula, pengaruh Sosialis-Komunis telah masuk ke tubuh SI Pusat maupun cabang-cabangnya, setelah aliran itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebutnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).
Sejarah Pergerakan Umat Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia sejak tahun 1920-1930
PSII : Partai Sarikat Islam Indonesia 24-27 Januari 1930
Kongres PSII diadakan di Yogyakarta. Dibicarakan nasib PNI, H. Agus Salim menerangkan hasil kepergiannya ke Geneve. Sesudah dibicarakan hal-hal yang biasa (tanah partikulir, tanah erfpah, aksi-tandhim dan sebagainya), diusulkan suatu pembagian baru dalam organisasi, bermaksud akan memperbaiki keadaan serikat itu, usul itu di terima oleh kongres.
PSII dipimpin oleh :
- Dewan Partai, atau Majelis Tahkim sebagai suatu badan pembuat aturan partai. Ketua Cokroaminoto, dan anggota (Agus Salim, Suryopranoto dan 4 orang lain).
- Lajnah Tanfidhyah, sebagai suatu badan menjalankan penetapan-penetapan partai itu, terdiri dari semua direktur departemen (urusan umum, keuangan, ibadat, pengajaran, perburuhan dan pertanian, pergerakan wanita, pergerakan pemuda). Ketua Sangaji dan ketua muda Dr. Sukiman.
Cabang-cabang partai adalah bagian-bagian yang biasa, tidak mempunyai kedudukan istimewa, cabang-cabang itu di pimpin oleh pengurus-pengurus cabang yang diawasi oleh suatu badan (majelis) yang terdiri dari anggota-anggota yang boleh dipercayai, majelis ini berhubung dengan Dewan Partai.
Anggaran dasar yang baru, menyebutkan antara lainnya, bahwa tujuan PSII ialah :
- Membangunkan suatu persatuan yang kokoh antara semua Muslim menurut peraturan-peraturan agama Islam untuk memajukan kesentausaan negeri dan rakyat.
- Bekerja bersama-sama dengan perkumpulan yang lain-lain, untuk kepentingan umum.
22 Maret 1930
Istri Sedar berdiri. Pemimpinnya nona Suwarni, ia tidak masuk ke dalam PPII karena dipandangnya kurang demokratis dan terlalu mementingkan urusan rumah tangga.
Maret 1930
Berhubung dengan tiadanya aksi PNI (aksi ini sangat berbahaya bagi SI untuk mendapat banyak anggota) dan dengan adanya harapan baik untuk mendapat kembali lapangannya, sebagai pada waktu kaum Komunis ditangkapi dahulu, berangkatlah Cokroaminoto dan Salim ke seluruh Jawa untuk mengadakan propaganda di 8 tempat.
6-8 April 1930
Kongres PSII di Pare-Pare; diperbincangkan oleh H. Agus Salim hasil bepergiannya ke Geneve; dibicarakan pula hukum adat dan hukum Islam dan hukum perkawinan dalam Islam; soal ekonomi.
20 April 1930
Perserikatan Celebes didirikan di Jakarta oleh Lengkong.
5 Mei 1930
Diadakan rapat SI yang bersamaan di 23 tempat di Jawa. Sekali ini bermaksud terdapatnya penghapusan segala jenis kerja paksaan (heerendienst).
15 Juli 1930
Kaum Ambon di Jakarta yang mengasingkan dirinya dari Sarekat Ambon mendirikan Moluksch Politik Verbond (MPV) di bawah pimpinan Dr. Apituley dan Dr. Tehupeory.
14 September 1930
Berdirilah Partai Rakyat Indonesia (PRI) di Jakarta oleh M. Tabrani. PRI berusaha menuju kemerdekaan Indonesia, yang akan dicapainya dengan jalan parlementer (cooperatie). PRI bertujuan mencapai pemerintahan sendiri (dominion status) melalui cara-cara parlemen dan kerjasama dengan Belanda.
Nopember 1930
Kelompok Studi Indonesia di Surabaya, mengubah namanya menjadi PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), dimana Sutomo dan elit baru lainnya berkewajiban memperbaiki kesejahteraan rakyat.
28 Desember 1930
PSII mengadakan persidangan di beberapa tempat untuk menyatakan tidak-setujunya dengan sikap pemerintah dalam waktu penghematan yang menambah beban-beban rakyat.
Rapat yang diadakan oleh 22 cabang SI di Jawa, untuk mendapatkan keringanan beban pajak, penghapusan kerja paksa, penghapusan potongan upah dan gaji, tidak memperpanjang lamanya erfpah. Juga diumumkan tentang keluarnya PSII dari gabungan PPPKI.
28 Desember 1930 – 2 Januari 1931
Kongres Indonesia Muda di Solo. Disahkan berdirinya Indonesia Muda (fusie dari Jong Java, Pemuda Indonesia, Jong Celebes dan Pemuda Sumatra yang telah membubarkan diri).
Tahun 1930
Organisasi Persatuan Muslimin Tapanuli (PMT) didirikan dengan alasan yang sama dengan PERTI, berupa penolakan terhadap pemakaian madzab dalam Thawalib.
Syekh Musthafa Purbabaru sebagai pendirinya, dan setelah kemerdekaan organisasi ini bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang menebar di Sumatra Utara.
Persoalan madzab tidak pernah terselesaikan di dalam Thawalib, PERTI dan PMT, mendorong timbulnya al-Jam’iyatul Wasliyah, yang berusaha mempertemukan pendapat yang berbeda-beda dari berbagai macam aliran yang timbul di Sumatra Utara. Organisasi ini menekankan pada madzab Syafi’i, tetapi bagi anggotanya bebas mengamalkan dan mengembangkan ilmunya masing-masing.
Pada tahun yang sama, berdiri Musyawaratut Thalibin di Kalimantan Selatan. Organisasi ini dimajukan oleh Syekh Abdurrasyid Amuntai, dengan mengadakan modernisasi di bidang pendidikan.
Sementara itu di Nusa Tenggara Barat, berdiri pula Nahdlatul Wathan. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan, dengan membuka sekolah-sekolah. Dalam perjuangannya, ia menggabungkan diri dalam MIAI.
4 Januari 1931
Indonesische Studie Club berubah nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dengan anggaran dasar yang baru pula. PBI di bawah pimpinan Dr. Sutomo, berusaha “menyempurnakan derajat” bangsa dan tanah air, berdasarkan kebangsaan Indonesia.
Maklumat dari Perhimpunan Indonesia dan Perserikatan Pembela Bangsa di Kairo untuk memerangi percekcokan Islamieten kontra Nasionalisten.
Januari 1931
Didirikan “Persatuan Rakyat Madura” (non-cooperatie) yang bertentangan dengan sikap Sarekat Madura.
30 April 1931
Mr. Sartono mendirikan partai sekuler dan non-koperasi, yang bernama Partindo (Partai Indonesia). Pada hakikatnya Partindo adalah PNI dengan nama lain. Partindo tidak seperti masa kejayaan PNI, ia lebih menekankan swadaya, koperasi dan swadesi.
Sasarannya adalah kemerdekaan menyeluruh melalui cara non-koperasi, namun dengan pendekatan yang lebih moderat daripada PNI. Partindo didirikan dengan bertujuan Indonesia merdeka. Tujuan ini akan di capai dengan jalan :
- Perluasan hak-hak politik dan penteguhan keinginan menuju suatu pemerintah rakyat berdasarkan demokrasi.
- Perbaikan perhubungan-perhubungan dalam masyarakat.
- Perbaikan keadaan ekonomi rakyat Indonesia.
Sekelompok minoritas PNI yang penting mendirikan Golongan Merdeka, yang programnya hampir sama dengan induknya (PNI). Sutan Syahrir dan Dr. Mohammad Hatta, yang telah bekerjasama dalam Himpunan Pelajar Indonesia di Negeri Belanda bergabung dengan Golongan Merdeka yang tak lama kemudian karena adanya pengaruh Syahrir, menamakan dirinya Club Pendidikan Nasional Indonesia.
27 Juni 1931
Pada “Congres al-Islam Indonesia” didirikan “Pergerakan al-Islam Indonesia” di bawah pimpinan Sangaji; bermaksud akan mempertahankan Islam atas serangan-serangan dan mempersatukan Islam.
1 Nopember 1931
Golongan Merdeka, yaitu anggota-anggota dari PNI yang tidak setuju dengan pembubaran PNI dan berdirinya Partai Indonesia, mengadakan rapat umum di Jakarta, yang dapat banyak perhatian.
Desember 1931
Partai Daulat Rakyat Indonesia (Padri) yang tadinya menamakan dirinya Golongan Merdeka mengganti namanya menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (di kenal dengan PNI-Pendidikan).
Tahun 1931
S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSII. Central Comite al-Islam (di bawah pengaruh PSII) mengadakan Kongres al-Islam ke-9 untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Islam di Tripolis.
Dalam kongres, dibicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan timbulnya krisis ekonomi semenjak penghabisan tahun 1929, yaitu antara lain rancangan-rancangan pemerintah tentang perhentian belanja negeri dan maksud pemerintah hendak memperhentikan banyak pegawai sekaligus berhubung dengan penghematan itu, misalnya pegawai pegadaian. Juga di ambil keputusan, supaya anggota-anggota yang mempunyai tanah menanami 1/3 dari tanahnya itu dengan kapas untuk keperluan tenun dalam negeri.
3 April 1932
Perserikatan Kaum Buruh Indonesia berdiri di Jakarta atas anjuran S.O. Yusuf.
14-18 April 1932
Kongres propinsi dari PSII di Padang Panjang. Dibicarakan pemberian hak tanah kepada bangsa Indo; rodi dan rintangan-rintangan pergerakan.
15-19 April 1932
“Pergerakan al-Islam Indonesia” yang berdiri di bawah pengaruh PSII mengadakan kongres di Malang.
1-6 Juli 1932
Himpunan Pemuda Islam Indonesia mengadakan konferensi di Padang Panjang (Sumatra).
17 Juli 1932
Segenap cabang PSII mengadakan rapat umum. Dibicarakan tersiarnya agama Islam di Jawa dan jatuhnya Majapahit.
Agustus 1932
Beberapa perkumpulan kaum ibu menyatukan diri dalam satu fusi dengan nama –Istri Indonesia–. Pengurus Besarnya berkedudukan di Jakarta.
September 1932
Di Surabaya didirikan PTI (Partai Tionghwa Indonesia) di bawah pimpinan Liem Kun Hian, Tjoa Sik Ien dan kawan-kawannya; suatu partai peranakan Cina yang berpaling ke Indonesia dan bukan ke Cina, bertujuan ikut menegakkan Indonesia merdeka dengan hak-hak yang sama untuk semua golongan penduduk. Lawannya di lapangan politik adalah Tinghwa Hwee dan golongan Siu Po (condong Belanda).
11 Desember 1932
PSII dan PPPKI mengadakan aksi umum di seluruh pulau Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar (yaitu sekolah partikulir yang tak mendapat sokongan dari pemerintah), aturan tentang “sekolah liar” itu pun juga jadi soal hangat yang diperhatikan segenap lapisan pergerakan.
16 Desember 1932
H. Agus Salim berangkat ke Lampung untuk memimpin PSII disana, berhubung partai ini mendapat beberapa kesukaran.
18 Desember 1932
Aksi umum PSII di luar Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar dan keberatan-keberatan pajak. Di Tanette rapat dilangsungkan dengan penjagaan militer. Di Mendayun rapat tak dapat diteruskan karena larangan, demikian pula di Payakumbuh rapat umum tak dapat berlangsung karena larangan. Di Padang Panjang rapat umum dilangsungkan tetapi dapat banyak teguran.
Akhir 1932
Dr. Sukiman di pecat dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii) di Yogyakarta.
Maret 1933
PSII mengadakan kongres, antara lainnya dibicarakan tentang perlunya penghapusan Undang-undang tentang perkawinan antara orang Islam dan daya-upaya yang perlu untuk memajukan kesentausaan kaum tani (menyerahkan kepada penduduk tanah-tanah hutan yang bukan persediaan kehutanan, menghentikan pemberian tanah erfpah, tidak memperpanjang hak atas tanah erfpah yang belum diusahakan, mendirikan perkumpulan-perkumpulan kaum tani supaya dapat mengadakan perusahaan-perusahaan bersama).
Ketika kongres SI diadakan di Jakarta, masalah Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) ini menjadi salah satu pokok bahasan. Cokroaminoto dan Agus Salim menekankan kepada kongres untuk mengeluarkan Sukiman dan Suryopranoto, karena mereka telah menyalahi adat dalam PSII. Sebab masalah seperti yang terdapat di dalam PPPH itu haruslah lebih dahulu di bawa ke dan diselesaikan di dalam Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah dan bila perlu, Majlis Tahkim.
Akhir Desember 1933
Mohammad Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia di Yogyakarta, yang berdasarkan Nasionalisme dan demokrasi.
Tahun 1933
Pemerintah menyatakan bahwa PSII (seperti juga PNI dan Partindo) suatu organisasi yang terlarang dimasuki oleh pegawai negeri dan dikenai pula aturan pembatasan berapat untuk sebagian dari Sumatra (jadi bukan untuk Jawa).
20-26 Mei 1934
PSII mengadakan kongres tahunan di Banjarnegara. Di kongres ini dibicarakan antara lainnya segala adat yang di rasa bertentangan dengan agama Islam. Lagi pula di ambil keputusan jika menilik keadaan setempat-setempat di anggap perlu akan mengadakan cabang-cabang istimewa untuk kaum wanita, yang berdiri di bawah Komite Eksekutif dari Pengurus Sentral.
Tahun 1934
H. Umar Sa’id Cokroaminoto meninggal.
Tahun 1934
Di Semarang AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia, dimana partai ini menekankan Indonesia sebagai tanah airnya. Organisasi ini mempunyai cabang di daerah-daerah dan juga mempunyai organisasi pemuda dengan nama “Lasykar PAI”.
Maret 1935
H. Agus Salim sebagai ketua Dewan Partai SI melihat bahwa sikap pemerintah cenderung tidak menguntungkan partainya. Maka ia kemudian mengeluarkan pernyataan politik, yang di kenal sebagai “Pedoman Politik” atau istilah lain “Memori Salim”, untuk menyelamatkan partai SI.
9-11 Mei 1935
Perpecahan di kalangan pimpinan PSII terus berlanjut, yang tercermin dalam dua kelompok yang masing-masing mempertahankan sikapnya. Pertama adalah kelompok pimpinan dalan Dewan Partai di bawah pengaruh Agus Salim, A.M. Sangaji, Moh. Rum dan Sabirin. Kedua kelompok pimpinan dalam Lajnah Tanfidziyah (LT) di bawah pengaruh Abikusno, Wondoamiseno dan S.M. Kartosuwiryo. Abikusno memperjuangkan politik non-koperasi (tidak mau bekerjasama) dengan pihak kolonial, sedangkan H. Agus Salim cenderung pada sikap untuk bekerjasama dengan kekuasaan kolonial
Kedua kelompok yang saling bersengketa itu mengadakan suatu pertemuan bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah di Jakarta, yang memutuskan untuk menangguhkan pembahasan masalah Pedoman Politik pada kongres yang akan datang.
Sebelum kongres diselenggarakan, Abikusno dan sekretarisnya S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari Lajnah Tanfidziyah dan kemudian memimpin PSII cabang Jakarta. Kedudukannya kemudian digantikan oleh A.M. Sangaji dan Sabirin.
April-Juli 1935
PSII melakukan penyelidikan tentang keadaan perekonomian rakyat, penyelidikan itu dijalankan dengan memakai daftar-daftar pertanyaan tentang pengangguran, penghidupan, beban rakyat, kekurangan uang yang tersebar, kemiskinan, akibat kemiskinan itu bersangkut dengan keamanan umum dan kesehatan dan tentang daya-upaya untuk meringankan kesusahan.
30 Juli – 4 Agustus 1935
Segala hasil penyelidikan yang dilakukan dengan tidak keahlian ini, dibicarakan di kongres kilat PSII (Kongres al-Islam ke-10) yang diadakan di Malang. Oleh karena ternyata, bahwa keterangan-keterangan itu kebanyakan amat kurang tepat dan kurang jelas sekali, dan hanya mengenai keadaan yang umum saja, jadi sebagai penyelidikan sedikit sekali harganya, maka diambillah keputusan akan mengulangi penyelidikan itu, untuk didirikan suatu bagian baru dari partai itu.
Di kongres ini diberikan juga keterangan tentang sikap partai bersangkutan dengan soal non-koperasi, mungkin sekali sebagai reaksi terhadap aliran dalam kalangan PSII yang hendak melepaskan sikap non-koperasi.
24-26 Desember 1935
Terjadilah kongres fusi di Solo antara Budi Utomo, PBI, Partai Sarekat Selebes, Sarekat Sumatra, Tirtayasa dan lain sebagainya, dan kemudian membentuk partai yang bersikap moderat, yaitu Parindra (Partai Indonesia Raya) dan berkedudukan di Surabaya.
Sebagai ketua pengurus besar terpilih dr. Sutomo. Dasarnya Nasionalisme Indonesia raya dan bertujuan Indonesia mulia dan sempurna; berhaluan koperator, tapi bercorak pula Opportunisme; usahanya antara lain membentuk gerakan pemuda Surya Wirawan, Rukun Tani. Adanya fusi itu Parindra mudah mendirikan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Banyak di antara tokoh PNI kemudian ikut memperkuat Parindra, antara lain Mr. Iskaq Cokroadisuryo dan Mr. Sunaryo.
8-12 Juli 1936
Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII pada kongres partai ke-22 di Batavia. Ia kemudian mengangkat S.M. Kartosuwiryo sebagai Wakil Ketua (Ketua Muda) PSII.
Kartosuwiryo ditugaskan oleh kongres untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hijrah partai PSII.
Pedoman Politik Salim tidak dimasukkan dalam agenda pembicaraan kongres. Wondoamiseno sebagai pimpinan kongres memberikan alasannya, bahwa tidak dibahasnya Pedoman Politik itu karena sempitnya waktu untuk mempelajari secara matang.
15 Juli 1936
Salah satu usaha yang berhasil memanfaatkan modernisasi kehidupan politik lewat parlemen adalah munculnya Petisi Sutarjo. Ia mengajukan petisi kepada Dewan Rakyat yang minta kepada Parlemen Belanda agar di beri otonomi politik. Petisi yang ditanda-tangani I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong, dapat di pandang sebagai upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para Nasionalis. Tuntutan “Indonesia Berparlemen” memang tuntutan yang baik sekali dan di dukung oleh anggota Indonesia dan Belanda, dan akhirnya petisi itu di tolak oleh pemerintah tanpa menimbulkan protes.
30 Nopember 1936
Sebagai akibat ketidak-setujuannya terhadap politik non-koperasi PSII dan politik “hijrah” S.M. Kartosuwiryo, H. Agus Salim membentuk fraksi tersendiri di dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Mohammad Rum, yang bernama “Barisan Penyadar PSII” (BP-PSII. Maksud barisan ini ialah hendak “menyadarkan” PSII itu atas “kehendak-kehendak zaman” yang sudah berubah itu.
Barisan Penyadar PSII ini dimaksudkan hanya bergerak dalam lingkungan PSII, yaitu mengajak supaya setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi, yang selama dan sesudah kongres PSII ke-22 di langgar oleh Lajnah Tanfidziyah dan Dewan Partai. Dengan cepat aksi Barisan Penyadar ini menyebar ke cabang-cabang PSII di seluruh Indonesia. Dukungan yang sangat besar diberikan oleh cabang PSII Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Sumatra Barat.
19 Desember 1936
Aksi oposisi dari Salim melalui Barisan Penyadar ini menggoyahkan kedudukan Abikusno. Oleh karena itu pimpinan PSII mengadakan rapat bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah. Rapat menegaskan kembali bahwa “hijrah” adalah politik resmi partai dan memerintahkan kepada semua pimpinan partai untuk menyebar-luaskan politik ini.
Rapat itu juga melarang cabang-cabang untuk memberi bantuan kepada Barisan Penyadar dalam mengadakan pertemuan-pertemuannya serta membahas pula kemungkinan-kemungkinan pemecatan terhadap tokoh-tokoh Pergerakan Penyadar.
Akhir Januari 1937
Partai SI memberlakukan skorsing kepada pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar.
13 Pebruari 1937
H. Agus Salim, Mohammad Rum, Sabirin, Sangaji, Muslikh dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII.
23-26 Pebruari 1937
Pemecatan-pemecatan terhadap tokoh-tokoh Barisan Penyadar, membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri, lepas dari PSII. Oleh karena itu suatu konferensi dengan maksud ini kemudian diselenggarakan di Jakarta. Konferensi ini mengambil satu keputusan penting, yaitu membentuk partai sendiri dengan nama “Pergerakan Penyadar”.
Pertengahan April dan Mei 1937
PSII menjalankan aksi umum, bentuknya ialah cabang-cabang mengadakan rapat-rapat umum yang di pimpin oleh wakil-wakil pengurus besar. Di rapat-rapat ini dijelaskan antara lainnya, sikap partai berupa non-koperasi, dikemukakan pula keberatan tentang pajak-pajak, rodi, beban desa, sedang segala yang harus dikerjakan pada waktu melakukan nikah menurut aturan agama Islam, dibicarakan juga.
24 Mei 1937
Partai kiri yang mau bekerjasama dengan pemerintah, ialah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo menjunjung azas koperasi, jadi mau bekerja bersama-sama dengan pemerintah jajahan. Ia tinggal tetap perkumpulan untuk rakyat umum, yang berusaha mencapai bentuk pemerintahan negara berdasarkan kemerdekaan di lapangan politik, ekonomi dan sosial.
Para pemimpin Gerindo terdiri dari orang-orang Sosialis Internasional dan perjuangannya secara Internasional menentang perluasan Fasisme. Di antara pemimpinnya adalah Drs. A.K. Gani, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Amir Syarifudin dan Mr. Sartono.
Mr. Mohammad Yamin akhirnya di pecat dari Gerindo dan kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Parpindo berusaha bekerja bersama-sama pemerintah dan berusaha mencapai kemajuan ke arah suatu masyarakat dan bentuk negara, yang tersusun menurut keinginan rakyat. Partai itu mempergunakan sebagai dasarnya :
“Sosial-Nasionalisme” (Nasionalisme bersendi atas persatuan Indonesia yang sempurna dan atas kedaulatan rakyat), dan “Sosial-demokrasi” (demokrasi rakyat umum)
19-23 Juli 1937
Kongres PSII ke-23 di Bandung di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di bentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hijrah” (Daftar Usaha Hijrah PSII). Kongres ini mengambil beberapa mosi dan keputusan.
Mosi pertama mencela penyerahan kekuasaan majelis-majelis agama (priesterraden) tentang hukum warisan kepada Landraad (Staatsblad 1937 No. 116), sedang di samping itu dinyatakan pula, bahwa Ummat Islam mempunyai hak yang penuh untuk menyelesaikan, mengambil keputusan dan mengatur segala hal yang semata-mata hanya mengenai pendirian-pendirian Islam. Selanjutnya diharapkan, supaya pemerintah akan mengangkat ketua dan anggota-anggota majelis priesterraad daripada orang-orang Islam yang ahli dalam agama Islam, dan juga supaya pemerintah akan mengembalikan hak mengadili hal warisan kepada majelis agama itu.
Mosi yang kedua mengenai adanya Mahkamah Islam Tinggi, PSII mencela adanya badan itu. Juga dinyatakan dalam mosi itu maksud supaya oleh tiap-tiap cabang partai didirikan sebuah Majelis Ulama yang terdiri atas wakil-wakil segala organisasi Islam, untuk memusyawarahkan, mengatur dan mengambil keputusan tentang segala sesuatu soal yang terdapat dalam hal warisan atau harta-benda keluarga. Juga dinyatakan dalamnya, bahwa PSII bersedia akan bekerja bersama-sama dengan organisasi Islam lain-lain untuk mengadakan sebuah Kongres Islam Umum, yang berusaha mendirikan sebuah pengadilan Islam.
Mosi yang ketiga menentang rancangan yang di buat oleh pemerintah tentang aturan bagi pencatatan dengan sukarela daripada perkawinan untuk mereka yang hukum perkawinannya belum ditetapkan dengan peraturan umum negeri, penentangan itu disebabkan, karena hal yang demikian itu di anggap berlawanan dengan hukum-hukum Islam. Dalam mosi itu disebutkan juga, bahwa rancangan itu mengandung arti pemerintah lebih banyak campur-tangan dalam hal siaran-siaran agama Islam (suatu hal yang di anggap tidak baik), sehingga diharapkan pemerintah tidak menetapkan rancangan itu menjadi Undang-undang. Jika hal itu terjadi juga, maka PSII mengancam akan melarang anggota melakukan pernikahan menurut Undang-undang itu.
Dengan mosi yang ke-empat, kongres itu menyatakan kekecewaannya tentang maksud akan membagi-bagi Palestina.
Diambillah pula keputusan akan mengadakan panitia, yang akan bekerja bersama-sama dengan pengurus besar Parindra, untuk mengadakan suatu kongres umum yang akan membicarakan soal majelis agama, Mahkamah Islam Tinggi dan segala peraturan yang merintangi kemajuan pergerakan rakyat dan perekonomian rakyat.
Kongres itu mengambil juga keputusan akan mencabut pemecatan atas diri anggota-anggota yang dalam tahun 1933 sudah dikeluarkan oleh PSII (dan yang sudah mendirikan Parii) dan akan memberi kesempatan kepada mereka itu masuk PSII kembali.
Agustus 1937
Di Jakarta berdiri “Persatuan Guru-guru dan Muballigh Islam”, pendiri dan pengurusnya Moh. Lawit, Amir Hamzah, Hayat Sudirjo, Kartosudarmo dan lain-lainnya. Tujuan pokok ialah pengembangan Islam secara modern dalam arti luas. Di antara pemudanya memasuki partai politik.
September 1937
Atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berdirilah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), di sebut orang Majelis Islam Luhur.
17 September 1937
Dr. Sukiman, Wali al-Fatah dan lain-lain yang tergabung dalam Parii, menggabungkan diri kembali dalam PSII.
30 Juli – 7 Agustus 1938
Kongres PSII ke-24 di Surabaya oleh S.M. Kartosuwiryo dijelaskan, bahwa “hijrah” yang jadi sikap partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non-koperasi yang diadakan oleh partai-partai lain terhadap pemerintah. Kongres itu menyerahkan jabatan ketua dari Dewan Partai kepada W. Wondoamiseno dan jabatan ketua dari Lajnah Tanfidhyah kepada Abikusno. Kartosuwiryo diserahi pekerjaan penyelenggaraan azas hijrah itu dalam lapangan politik, ekonomi dan sebagainya.
Kongres PSII di Surabaya merencanakan untuk menindak-lanjuti “program aksi hijrah”. Dalam kongres ini juga diputuskan, supaya di bawah pimpinan Kartosuwiryo didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Suffah PSII”, yang sudah akan di buka pada tanggal 20 Pebruari 1939 khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.
6 Desember 1938
Perdamaian yang sudah di buat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman), tidak lama umurnya. Sehingga akhirnya mereka mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) di Solo dan diketuai oleh R.M. Wiwoho Purbohadijoyo (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). PII berkembang cepat di daerah karena mendapat bantuan sesama anggota GAPI, terutama dari Partai Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR. Baswedan.
Sebelum PII itu didirikan, pengurus PSII sudah menerima surat dari Dr. Sukiman, Wali al-Fatah, K.H.M. Mansur dan lain-lain yang menerangkan, bahwa mereka itu akan masuk PSII, kalau partai ini :
Mau melepaskan azas “hijrah” (pengirim-pengirim surat itu berpendapat, bahwa “hijrah” tidak boleh dijadikan azas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan).
Semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain).
Mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah.
PSII membalas surat ini dengan menolak permintaan itu, hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu mungkin akan dibicarakan lagi.
Tahun 1938
Di kalangan Islam ada tendensi untuk bersatu tanpa melihat perbedaan, yang kadang-kadang mengganggu, yaitu dengan mendirikan MIAI (Majlisul Islami A’la Indonesia), meskipun antara PSII Abikusno dan PII Wiwoho saling berebut pengaruh dalam MIAI. Berkat diplomasi Wondoamiseno, konflik intern itu dapat diselesaikan.
MIAI mengadakan Kongres al-Islam ke-11, adapun yang menjadi sebab ialah tulisan Nona Siti Sumandari tentang Islam yang dianggapnya sangat menghina agama Islam dan minta kepada pemerintah agar lekas menetapkan sikap tentang hal ini. Juga diputuskan meminta kepada pemerintah agar penyelesaian urusan waris diserahkan kembali kepada raad agama (jadi di ambil lagi dari landraad).
Mei 1939
Kongres al-Islam ke-12 berlangsung di Solo. Dalam kongres ini diulangi lagi putusan-putusan kongres yang sudah (penghinaan agama Islam dan peraturan urusan waris) dan seterusnya antara lain juga di ambil putusan :
Pekerjaan propaganda di daerah-daerah kolonisasi diserahkan kepada Muhammadiyah (NU yang juga memperhatikan hal ini, tidak menggabungkan diri dalam kongres ke-12 ini).
Meminta kepada pemerintah jangan mencabut pasal 177 Indische Staatstregeling
Jong Islamieten Bond diwajibkan berhubungan dengan organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya, untuk pembentukan satu badan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan ini semuanya. Di samping sekretariat MIAI, didirikan satu departemen buat urusan luar negeri.
5 Mei 1939
Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bentuk di Peusangan, Beureun, yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI.
21 Mei 1939
Semua partai Nasionalis Indonesia, baik yang sekuler maupun religius, koperasi dan nonkoperasi bersatu-padu dalam sebuah federasi politik, yang di sebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang meneruskan kampanye bagi parlemen Indonesia dan memiliki kekuasaan sendiri.
Organisasi ini adalah gabungan dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Pasundan dan PSII. GAPI menyusun pimpinan harian yang di pegang oleh sekretariat yang terdiri dari tokoh politik Abikusno Cokrosuyoso, Mohammad Husni Thamrin dan Mr. Amir Syarifudin.
24 Desember 1939
GAPI membentuk sebuah badan Kongres Rakyat Indonesia (KRI), yang bertujuan untuk membahagiakan dan mensentausakan penduduk. Kegiatan GAPI selanjutnya dilakukan oleh KRI, yang kemudian mengadakan kongres-kongres. Kongres Rakyat Indonesia yang disponsori GAPI diikuti oleh sebanyak 90 organisasi politik, sosial dan ekonomi. Kongres menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bendera Merah-Putih sebagai bendera Nasional, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Kongres ini mengadakan kampanye untuk mengubah Volksraad menjadi Parlemen Indonesia dan mengingat situasi Internasional yang kritis, menuntut kerjasama yang lebih besar di antara rakyat Indonesia dan Negeri Belanda melalui pemberian hak-hak demokratis yang lebih luas kepada rakyat Indonesia.
Sejarah Pergerakan Umat Islam dalam Pergerakan Nasional Indonesia sejak tahun 1940-1947
Tahun 1940
Kongres PSII ke-25 di Palembang. Pada kongres ini diputuskan untuk memecat Ketua Muda S.M. Kartosuwiryo, Yusuf Tauziri, Akis, Kamran dan Sukoso dari jabatannya. Hal ini disebabkan dia memaksakan tuntutannya agar partai melaksanakan politik hijrah secara terus-menerus.
Sebab pemecatan ini ialah Kartosuwiryo dan beberapa teman-temannya sudah menyatakan bantahannya dengan cara yang di pandang tidak baik, terhadap perbuatan PSII menggabungkan diri dalam GAPI itu, mereka itu tidak setuju dengan gerakan mencapai parlemen.
Maret 1940
Terbitlah “Daftar Usaha Hijrah PSII”, yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosuwiryo ketika dia masih menjabat sebagai Wakil Ketua PSII.
24 April 1940
Sebagai reaksi dari pemecatan dirinya, maka S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Yusuf Tauziri dan Kamran mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Syarikat Islam Indonesia (KPK-PSII), yang kemudian di ubah menjadi PSII tandingan. Organisasi ini hanya berhasil di Jawa Barat.
Pada kongres pertamanya, hanya enam cabang yang hadir :
- PSII Cirebon.
- PSII Cibadak.
- PSII Sukabumi.
- PSII Pasanggarahan.
- PSII Wanaraja.
- PSII Malangbong.
KPK-PSII bertujuan :
- Menjalankan politik hijrah dalam segala hal.
- Mengadakan pendidikan kader-kader pimpinan yang ahli sebagai pembela Islam yang kokoh.
- Mendirikan Negara Islam Indonesia.
Untuk merealisasikan tujuannya, S.M. Kartosuwiryo mengadakan rapat terbuka pertama kali di Malangbong Barat pada tanggal 24 Maret 1940. Di rapat ini diterangkan, bahwa akan dijalankan “politik hijrah” yang kokoh. Juga disiarkan keputusan akan mengadakan suatu “suffah”, yaitu suatu badan untuk mendidik menjadi orang-orang pemimpin yang ahli, seperti juga di masa Nabi Muhammad didirikan sesudah hijrah itu suatu suffah, yang melahirkan pembela-pembela yang tulen untuk Islam dengan yang sempurna dan keimanan yang teguh kuat.
10 Mei 1940
Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan bahaya perang (staat van beleg), yang mengakibatkan semua kegiatan politik di larang.
Maret 1940
S.M. Kartosuwiryo kembali ke Malangbong dan mendirikan institut “Suffah” di suatu tempat antara Malangbong dan Wado, yang di bangun di atas tanah yang luasnya kira-kira 4 hektar. Lembaga Suffah tersebut dia bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, dimana para siswanya juga bertempat tinggal disana. Maka S.M. Kartosuwiryo menjadikan “Suffah” sebagai pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam pada umumnya dan pemuda-pemuda Hizbullah-Sabilillah pada khususnya, yang berasal dari Priangan Timur.
Ateng Jaelani Setiawan, seorang perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) menjadi pelatih utamanya. Tenaga-tenaga pengajarnya adalah ulama-ulama terpilih, antara lain : Yunus Anis (Bandung), Yusuf Taujiri (Wonorejo), Musthafa Kamil (Tasikmalaya), Abdul Qudus Ghazali Tusi (Malangbong) dan R. Oni Qital (Tasikmalaya), Abu Suja’, Ais Kartadinata, H. Sulaeman, Umar Hamzah dan lain-lain.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. ash-Shaff : 4)
14 September 1941
Untuk lebih mengefektifkan perjuangan GAPI, KRI yang sudah ada itu di ubah menjadi Majlis Rakyat Indonesia (MRI) dalam sebuah konferensi di Yogyakarta. MRI di anggap badan perwakilan segenap rakyat Indonesia, yang akan mencapai kesentausaan dan kemuliaan berdasarkan demokrasi.
Sebagai satu federasi, maka yang duduk dalam dewan pimpinan adalah GAPI mewakili federasi organisasi politik, MIAI mewakili organisasi Islam dan PVPN mewakili federasi serikat pekerja dan pegawai negeri.
Akhir tahun 1941
Kartosuwiryo di hukum oleh pengadilan negeri Subang dengan hukuman penjara 1 ½ bulan, karena dia di tuduh menjadi mata-mata Jepang. Dia menjalani hukuman di penjara Purwakarta.
29 April 1942
Jepang membentuk gerakan 3A, dengan semboyannya yakni “Jepang Pemimpin Asia”, “Jepang Cahaya Asia”. Gerakan ini tidak mendapat dukungan dan simpati dari rakyat Indonesia.
13 Juli 1942
Untuk mengambil simpati terhadap golongan Islam agar mendukung rencana Jepang di Indonesia, maka Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dihidupkan kembali.
Agustus 1942
Di Bayu, Lhok Seumawe, meletus perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang, yang di pimpin oleh Teungku Abdul Jalil.
Di Kalimantan Barat terjadi perlawanan terhadap Jepang oleh Nissinkai di bawah pimpinan Mate Suyono, bekas Komisaris Parindra (Partai Indonesia Raya) Kalimantan Barat.
Tahun 1942
Dalam zaman Jepang PSII pecah dalam 3 aliran : PSII Abikusno, PSII Kartosuwiryo (KPK-PSII) dan PSII Sukiman-Wiwoho.
9 Maret 1943
Angkatan Perang Jepang mendirikan sebuah Pusat Organisasi Nasional yang meliputi semua, yaitu PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Pihak Jepang berjanji bahwa pemerintahan sendiri akan diberikan dalam waktu dekat. Maksud pemerintah militer Jepang mendirikan PUTERA ialah untuk menyelenggarakan “Kemakmuran Asia Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang dan mengerahkan tenaga rakyat untuk kepentingan perang demi kemenangan pihak Jepang.
“Empat serangkai yang terdiri dari Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Haji Mansur, bersedia memimpin organisasi baru yang di sebut Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Organisasi ini dimaksudkan untuk membujuk bangsa supaya lebih banyak “pengabdian” kepada Jepang, maka PUTERA digunakan sebagai alat dan penggerak tenaga bangsa Indonesia. Sukarno sebagai ketua PUTERA harus sering memperdengarkan suaranya dan memperlihatkan dirinya di muka rakyat, yang akan dikerahkan demi kepentingan balatentara pendudukan dalam melancarkan perang sucinya.
22 April 1943
Jepang membentuk Heiho (pembantu prajurit). Heiho semula merupakan tenaga pekerja kasar, tetapi kemudian dikerahkan untuk tugas-tugas bersenjata dan merupakan barisan pembantu tentara, yang menjadi bagian langsung dari kesatuan angkatan darat dan angkatan laut. Anggota Heiho adalah pemuda-pemuda yang berumur antara 18-30 tahun.
29 April 1943
Di samping itu, Jepang juga memobilisasi para pemuda untuk digunakan dalam angkatan bersenjata Jepang dan digunakan dalam organisasi pertahanan sipil. Kemudian dibentuklah Seinendan (barisan pemuda yang berumur 14-22 tahun) dan Keibodan (barisan pembantu polisi). Para anggota Seinendan dan Keibodan itu mendapat latihan kemiliteran.
Juni 1943
Selama kunjungannya ke Jakarta, Perdana Menteri Jepang Tojo menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus ikut ambil bagian dalam pemerintahan mereka sendiri.
7 September 1943
Bappan, seksi khusus dari bagian intelejen militer Jepang, di beri tugas membentuk PETA yang seolah-olah timbul karena inisiatif bangsa Indonesia. Cara ini sudah barang tentu untuk mengelabui bangsa Indonesia, agar menaruh simpati kepada Jepang, maka dipilihnya salah seorang pemimpin Nasionalis, Gatot Mangkupraja, untuk mengajukan permohonan pembentukan PETA atas nama bangsa Indonesia kepada Guiseikan.
13 September 1943
Sementara itu para pemimpin Islam cukup tanggap terhadap situasi peperangan di Laut Pasifik dimana angkatan perang Jepang makin terdesak. Oleh karena itu tokoh-tokoh Masyumi yang terdiri dari KH. Mas Mansyur, KH. Mohammad Adnan, H. Abdul Karim, Amarullah, H. Cholid, KH. Abdul Majid, H. Yakub, KH. Jumaidi, H. Mohammad Sadri, H. Muchtar datang ke kantor Gunseikanbu mengajukan surat permohonan kepada pemerintah militer Jepang untuk mendirikan barisan perjuangan pemuda Islam yang di beri nama Hizbullah. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah militer Jepang dan pada tanggal 14 September 1944 Hizbullah didirikan di Jakarta.
September 1943
Tentara Jepang mengadakan penangkapan-penangkapan di Kalimantan Selatan. Ada sekitar 700 atau 800 orang yang dicurigai bersikap anti Jepang yang ditangkapi, lalu di tahan. Dari jumlah itu, ada yang di bunuh tanpa melalui proses pengadilan lebih dahulu, jumlah mereka sampai sekitar 150 orang. Di antara sejumlah korban yang disebutkan itu, salah seorangnya adalah Dokter R. Susilo. Bersama-sama Dokter R. Susilo, turut di tangkap Kyai Noor Hanafiah dan Kyai A. Gudai dan beberapa pemuka masyarakat lainnya.
3 Oktober 1943
Permohonan Gatot Mangkupraja dikabulkan dan Jepang kemudian membentuk pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Manfaat yang dapat di petik dari pembentukan tentara PETA adalah timbulnya inspirasi bagi anggota PETA, sebab dengan latihan-latihan militer yang berat, memperkuat rasa percaya diri sendiri untuk menghadapi kekuatan musuh yang lebih besar. Selain itu, juga tumbuh perasaan harga diri yang sepadan dengan bangsa lain, khususnya bangsa Barat dan kesempatan ini harus direalisasikan dalam bentuk solidaritas bersama guna menciptakan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Para pemuda yang mendaftarkan untuk menjadi anggota PETA mendapat latihan di Bogor. Pemuda-pemuda Islam yang menjadi anggota PETA dan mengikuti latihan di Bogor adalah Sudirman, Mulyadi, Joyomartono, Aruji Kartawinata, Kiai Khotib, Iskandar Idris, Iskandar Sulaiman, Kiai Basuni, Mr. Kasman Singodimejo, Yunus Anis, Kiai Idris, Kiai Haji Mochfuda, Kiai Kholiq Hasyim, Kiai Sami’un dan sebagainya.
16 Oktober 1943
Suatu pertemuan di Pontianak, yang dihadiri oleh kurang-lebih 70 orang tokoh dari Kalimantan Barat dari berbagai golongan. Mereka merencanakan mengadakan perlawanan terhadap Jepang yang akan dilancarkan pada tanggal 8 Desember 1943. Akan tetapi rencana itu tercium oleh Jepang.
Seminggu kemudian, Jepang mengadakan pembersihan dan penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh penggerak pertemuan tersebut. Di Kalimantan Barat, ada sekitar 21.000 orang yang pada masa penjajahan Jepang telah di pancung kepalanya.
Diantaranya terdapat raja-raja, tokoh-tokoh serta orang-orang terkemuka di Kalimantan Barat, seperti Sultan Pontianak Syarif Muhammad Algadri, Sultan Sambas Moh. Ibrahim Tsafiuddin, Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid, Panembahan Sanggau Ade Mohammad Arief, Panembahan Tayam Gusti Jafar, Panembahan Mempawah Muhammad Taufik, Panembahan Sekadau Gusti Ketip, Panembahan Kubu Syarif Saleh Idrus, Panembahan Ketapang Gusti Saunan, Panembahan Sukadana Tengku Idris, Panembahan Simpang Gusti Mesir, Penambahan Sintang Raden Abdul Bahri.
Oktober 1943
Di Kalimantan Barat, timbul perlawanan terhadap Jepang yang dipelopori oleh Pemuda Muhammadiyah di bawah pimpinan Pattiasina.
Sementara itu di daerah Tondano, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, tidak sedikit keturunan Kyai Maja dan keturunan pengikut-pengikutnya, yang menjadi korban keganasan tentara Jepang. Antara lain yang dapat di catat disini, yaitu :
Amirullah Masloman yang di pancung kepalanya oleh tentara Jepang di Tomohon, karena menolak untuk melakukan saikeirei di kantor Kenpeitai. Selain dia, ada pula orang lain yang di bunuh oleh tentara Jepang karena penolakan yang sama, yaitu Abdullah Nurhamidan.
Hamzah Tumenggung Sis, yang di bunuh oleh tentara Jepang dengan tuduhan sebagai mata-mata Sekutu.
Gaffar Thayeb, orang yang mendapat hukuman pancung karena menolak membantu menangkap babi milik tentara Jepang, yang terlepas dari gerobaknya.
Nopember 1943
MIAI dibubarkan oleh Jepang. Ketika Jepang menguasai Indonesia, semua partai-partai Islam dibubarkan dan terjadilah fusi mengikuti kehendak Jepang, dan terbentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), sebagai pengganti MIAI.
Tahun 1943
Kartosuwiryo menjadi Sekretaris Majelis Baitul Mal, sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) yang baru di bentuk di bawah pimpinan Wondoamiseno.
Di Banjarmasin timbul pemberontakan kaum terpelajar yang diselenggarakan oleh Parindra. Pemberontakan ini makan korban lebih dari 1.600 orang, di bunuh secara kejam oleh pihak Jepang.
Pada tahun yang sama, terjadi pemberontakan di Biak yang makan korban sebanyak 800 orang. Pemberontakan merembet dari pantai Irian Barat ke pedalaman di Serui Nimrod di bawah pimpinan S. Pare-pare.
14 Pebruari 1944
Meletus pemberontakan PETA di daidan Blitar di bawah pimpinan Syudanco Supriyadi. Untuk menghadapi pemberontakan itu pihak Jepang terpaksa mengerahkan tenaga militer lebih-kurang satu batalyon beserta pasukan-pasukan berlapis baja.
Banyak opsir PETA yang mati terbunuh dan di tawan. Supriyadi berhasil lolos, hilang hingga sekarang, menjadi tokoh misterius, tidak di ketahui kemana perginya dan dimana kuburnya.
25 Pebruari 1944
Pemberontakan di desa Sukamanah, kecamatan Singaparna, Tasikmalaya di bawah pimpinan. Kiai Zainal Mustofa, yang diikuti sekitar 1.000 orang di samping murid-murid pesantrennya.
Mereka merencanakan penculikan orang-orang Jepang dan mengadakan aksi sabotase terhadap bidang prasarana. Akhirnya, 800 orang dipenjarakan di Tasikmalaya dan Zainal Mustofa beserta keluarganya di tembak mati di Jakarta.
1 Maret 1944
Sebagai pengganti PUTERA, didirikan sebuah organisasi baru : PKR (Perhimpunan Kebaktian Rakyat) atau dalam bahasa Jepang Jawa Hokokai. Anggota organisasi ini sudah kehilangan keberanian karena adanya perasaan anti Jepang pada para pelajar.
April 1944
Pemberontakan petani desa Kaplongan, distrik Karangampel (Indramayu) di bawah pimpinan Kyai Srengeng menolak untuk menyerahkan beras mereka kepada pegawai-pegawai Indonesia, yang bertanggung-jawab atas pelaksanaan penyerahan besar tersebut.
Tentara Jepang dengan di bantu oleh pamong praja dan polisi dengan kekerasan senjata menumpas usaha rakyat untuk melawan. Perlawanan rakyat di desa Kaplongan dapat di tumpas oleh pemerintah Jepang sebelum menjalar ke desa lainnya.
Juni 1944
Melihat sikap permusuhan para pemuda terpelajar yang meningkat, Jepang lalu melontarkan sebuah organisasi lagi : Angkatan Muda. Keadaan Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu, mendorong timbulnya organisasi pemuda, yang dinamai Angkatan Muda Indonesia (AMI). Mula-mula organisasi ini didirikan atas inisiatif Jepang, tetapi kemudian tumbuh menjadi organisasi pemuda yang anti Jepang. AMI kemudian berubah menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI).
30 Juli 1944
Terjadi perlawanan rakyat terhadap kekuasaan tentara Jepang di desa Cidempet, kecamatan Lohbener yang di pimpin oleh Haji Madrais dan Haji Kartiwa. Hal ini disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang dari pejabat-pejabat dan semua unsur pamong praja setempat, yang mengambil padi rakyat di daerah Lohbener dan Sindang secara paksa. Rakyat memilih lebih baik mati daripada harus mati kelaparan.
September 1944
Perdana Menteri Jepang (Kaiso) menjanjikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Koiso di parlemen Jepang bahwa Indonesia akan segera di beri kemerdekaan, Sukarno-Hatta dan yang lain-lainnya diizinkan untuk secara terbuka menganjurkan kemerdekaan.
Perkembangan mengejutkan adalah didirikannya Asrama Indonesia Merdeka di Jakarta oleh Kepala Badan Intelijen Angkatan Laut Jepang, Laksamana Maeda, yang kemudian memainkan peranan penting pula pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Nopember 1944
Pemberontakan PETA di Aceh di bawah pimpinan Teuku Hamid dari Meureude. Dua peleton PETA melarikan diri ke gunung. Pihak Jepang mengambil tindakan, menawan keluarga-keluarga yang ditinggalkan dengan ancaman akan di bunuh, jika Teuku Hamid dan kawan-kawannya tidak turun. Karena ancaman itu Teuku Hamid menyerah.
Desember 1944
Atas desakan Masyumi, Jepang memberikan dan mengizinkan pembentukan Hizbullah, yang direncanakan sebagai cadangan PETA. Hizbullah merupakan organisasi pemuda yang di dukung oleh pihak Jepang, di samping organisasi pemuda yang lain yang juga mendapat latihan militer, seperti Keibodan (pertahanan sipil), Seinendan (barisan pemuda), yang anggotanya pemuda Islam dan bukan Islam. Sebagai tambahan, suatu pasukan polisi pembantu yang berkekuatan satu juta orang, yang di sebut Korps Kewaspadaan, juga didirikan di daerah-daerah pedesaan Jawa.
Januari 1945
Diumumkan susunan pengurus Hizbullah sebagai berikut :
- Pengurus Hizbullah Ketua : KH. Zainal Arifin
- Wakil Ketua : Mohammad Rum
- Pengurus Umum :
- S. Surowiyono
- Suyono
Urusan Propaganda :
- Anwar Cokroaminoto
- KH. Zarkasi
- Masyhudi
Urusan Perencanaan :
- Sumaryo Mangunpuspito
- Yusuf Wibisono
- Mohammad Junaidi
Urusan Keuangan :
- RHO. Junaidi
- Prawoto Mangunsasmito
28 Pebruari 1945
Sementara itu setelah para ulama berhasil merekrut para pemuda untuk berjuang melalui badan perjuangan Hizbullah, maka mereka di latih pada suatu pusat latihan yang terletak di Cibarusa, ± 28 km dari Bogor, Jawa Barat.
Pusat latihan di buka oleh Abdul Kahar Muzakir dan disaksikan oleh tokoh Masyumi antara lain KH Wahid Hasyim dan Mohammad Natsir. Latihan diikuti kurang-lebih 500 orang pemuda Islam berasal dari berbagai daerah Jawa, yakni karesidenan Banten, Jakarta, Sukabumi, Priangan, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Pekalongan, Kedu, Surakarta, Semarang, Pati, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Malang, Surabaya, Besuki. Khusus untuk Madura diadakan latihan tersendiri.
Latihan ini berlangsung selama ± 3 bulan dari tanggal 28 Pebruari hingga 15 Mei 1945. Pelatihnya berasal dari serdadu-serdadu Jepang yang di bantu sejumlah instruktur PETA dan diawasi oleh perwira Jepang yang bernama Yanagawa. Sedang di bagian rohani pengajarnya antara lain KH. Mustofa Kamil dari Jawa Barat, KH. Mawardi dan Kyai Tohir Basuki dari Surakarta, KH. Zarkasi dari Ponorogo, Kyai Mursid dari Pacitan, Kiai Sahid dari Kediri, KH. Abdul Halim dari Majalengka, Kiai Roji’un dari Jakarta.
1 Maret 1945
Pemerintah militer Jepang di Jawa di bawah pimpinan Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan pembentukan suatu Badan Untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, di singkat menjadi Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Cosakai). Maksud tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan segi-segi politik, ekonomi, tata pemerintahan dan lain-lainnya, yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.
Susunan pengurusnya terdiri dari sebuah badan perundingan dan kantor tata-usaha. Badan perundingan terdiri dari seorang ketua, 2 orang ketua muda, 60 orang anggota, termasuk 4 orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.
29 April 1945
Pengangkatan badan perundingan badan penyelidik persiapan kemerdekaan diumumkan, dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : dr. K.R.T. Rajiman Wediodiningrat
Ketua muda :
- Ichibangase (Syucokan Cirebon)
- R. Surowo (Syucokan Kedu)
Kepala sekretariat : R.P. Suroso
Di bantu oleh :
Toyohiko Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo
15 Mei 1945
Latihan Hizbullah di Cibarusa di tutup secara resmi oleh KH. Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Mudzakkir, keduanya dari Masyumi. Selanjutnya para pemuda yang telah mengikuti latihan di Cibarusa itu kembali ke daerah asalnya dan mendirikan cabang-cabang Hizbullah di daerahnya masing-masing.
16 Mei 1945
Kongres Pemuda seluruh Jawa di Bandung, yang disponsori oleh Angkatan Muda Indonesia. Kongres itu dihadiri oleh lebih dari 100 pemuda terdiri dari utusan-utusan pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh Jawa, antara lain Jamal Ali, Chairul Saleh, Anwar Cokroaminoto dan Harsono Cokroaminoto serta mahasiswa-mahasiswa Ika Daigaku di Jakarta.
Dalam kongres itu, dianjurkan agar supaya para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan mempersiapkan dirinya untuk pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, bukan sebagai hadiah Jepang.
28 Mei 1945
Dimulailah upacara pembukaan sidang pertama BPUPKI bertempat di gedung Cuo Sangi In. Pada kesempatan itu pula dilakukan upacara pengibaran bendera Hinomaru oleh Mr. A.G. Pringgodigdo, yang kemudian di susul dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih oleh Toyohiko Masuda.
Sebelum sidang pertama BPUPKI berakhir, di bentuk suatu panitia kecil untuk :
- Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
- Menjadikan dokumen itu (Piagam Jakarta) sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia merdeka.
29 Mei 1945
Mr. Muhammad Yamin di dalam pidatonya, mengemukakan lima “Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” sebagai berikut :
- Peri Kebangsaan.
- Peri Kemanusiaan.
- Peri Ketuhanan.
- Peri Kerakyatan.
- Kesejahteraan Rakyat/Keadilan Sosial.
31 Mei 1945
Prof. DR. Mr. R. Supomo menyampaikan pidatonya mengenai “Dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka”, sebagai suatu filosofische grondslag, yaitu :
- Persatuan
- Kekeluargaan.
- Keseimbangan Lahir dan Batin.
- Musyawarah.
- Keadilan Rakyat.
1 Juni 1945
Ir. Sukarno menyampaikan pidatonya dengan nama Lahirnya Pancasila mengenai “Dasar Indonesia Merdeka”, dimana materi Pancasila yang dikemukakan ialah sebagai berikut :
- Kebangsaan Indonesia.
- Internasionalisme, atau Peri Kemanusiaan.
- Mufakat atau Demokrasi.
- Kesejahteraan atau Keadilan Sosial.
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
15 Juni 1945
Sekelompok pemuda mendirikan Gerakan Angkatan Baru Indonesia, yang berpusat di Menteng 31, Jakarta. Ketua organisasi itu adalah BM Diah dan anggotanya yaitu Sukarni, Sudiro, Chaerul Saleh, Syarif Thayeb, Wikana, Supeno, Asmara Hadi dan P. Gultom.
22 Juni 1945
Sesudah sidang pertama itu, 9 orang anggota BPUPKI atau di kenal juga dengan Panitia 9, bersidang yang menghasilkan suatu dokumen, berisikan tujuan dan maksud pendirian negara Indonesia merdeka, yang akhirnya di terima dengan suara bulat dan ditanda-tangani. Dokumen tersebut di kenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter), sesuai dengan penamaan oleh Mr. Muh. Yamin.
Panitia 9 beranggotakan :
- Abikusno Cokrosuyoso.
- Sukarno.
- K.H. Wahid Hasyim.
- K.H. Agus Salim.
- Ahmad Subarjo.
- Mohammad Hatta.
- A.A. Marimis.
- Abdul Kahar Mudzakir.
- Mohammad Yamin.
Dalam Piagam Jakarta di atas sama sekali tidak di sebut pemerintah balatentara Jepang yang menghadiahi kemerdekaan. Yang dikehendaki oleh pemerintah balatentara Jepang ialah perumusan yang akan dikemukakan oleh BPUPKI, dimana di sebut peranan pemerintah balatentara Jepang. Oleh karena Piagam Jakarta di susun di luar pengetahuan balatentara pendudukan Jepang, naskah itu di sebut ilegal. Lagi pula isinya bertentangan dengan maksud pemerintah balatentara Jepang.
10-16 Juli 1945
Perumusan terakhir materi Pancasila sebagai dasar filsafat negara dilakukan dalam sidang BPUPKI, dimana telah di bahas Rencana Undang-undang Dasar melalui suatu panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia tersebut kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar beranggotakan tujuh orang, yakni :
- Prof. Dr. Mr. Supomo.
- Mr. Wongsonegoro.
- Mr. Achmad Subarjo.
- Mr. A.A. Maramis.
- Mr. R.P. Singgih.
- H. Agus Salim.
- dr. Sukiman.
Kewajiban Panitia Kecil ini adalah merancang UUD dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang dimajukan di rapat besar dan rapat Panitia Perancang UUD. Dalam Rapat Panitia Perancang UUD, di ambil keputusan mengenai :
- Bentuk Negara Unitarisme (Kesatuan).
- Preambule setuju di ambil dari Jakarta Charter (Piagam Jakarta).
- Kepala Negara 1 orang.
- Nama Kepala Negara adalah Presiden.
Hasil perumusan panitia kecil disempurnakan bahasanya oleh sebuah panitia lain, yang terdiri dari :
- Prof. Dr. Mr. Supomo.
- H. Agus Salim.
- Prof. Dr. P.A. Husein Jayadiningrat.
Di dalam merumuskan Undang-undang Dasar, panitia tersebut menggunakan Piagam Jakarta sebagai konsep perumusannya, yang mengandung pula perumusan dasar filsafat negara, yang kemudian di kenal dengan nama Pancasila.
28 Juli 1945
Gerakan Rakyat Baru diresmikan pembentukannya oleh Letnan Jenderal Y. Nagano. Kemudian dua organisasi besar, yaitu Jawa Hokokai dan Masyumi digabungkan menjadi satu di dalamnya. Tidak seorang pun dari tokoh golongan pemuda yang radikal, seperti Chairul Saleh, Sukarni, Harsono Cokroaminoto dan Asmara Hadi yang bersedia menduduki kursi yang telah disediakan untuk mereka.
7 Agustus 1945
Panglima balatentara Jepang di Asia Tenggara yang bermarkas besar di Dalat, Saigon mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebagai pengganti Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). PPKI bertugas mempercepat segala usaha yang berhubungan dengan persiapan terakhir guna membentuk pemerintahan Republik Indonesia.
Para anggota di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu digerakkan oleh pemerintah, sedangkan mereka diizinkan melakukan segala sesuatunya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri, tetapi di dalam melakukan kewajibannya itu mereka diwajibkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, karena itu harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya.
Kemerdekaan negara Indonesia itu merupakan anggota lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu.
Anggota PPKI adalah Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, BPH. Purboyo, KRT. Rajiman Wediodiningrat, Sutarjo Kartohadikusumo, Andi Pangerang, MR. IGK Puja, dr. Mohammad Amir, Otto Iskandardinata, R. Panji Suroso, PBKA. Suryohamijoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Abdul Abas, Dr. J. Latuharhary, AA. Hamidhan, Abdul Kadir, Dr. Supomo, K.H. Wahid Hasyim, Dr. Teuku Mohammad Hassan, Dr. GSJJ Ratulangie, Drs. Cawan Bing. Selain itu, Subarjo di angkat sebagai penasehat khusus panitia itu.
14 Agustus 1945
S.M. Kartosuwiryo memproklamasikan Darul Islam di daerah yang terbatas. Namun kemudian ia menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta 17 Agustus 1945.
18 Agustus 1945
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Mr. Ratulangi) minta kepada Hatta supaya Piagam Jakarta di coret dari pembukaan UUD 1945, karena kalau tidak, kemungkinan golongan Kristen dan Katolik di Indonesia Timur akan berdiri di luar Republik. Maka Hatta berhasil melobi kelompok Islam sehingga dapat memperoleh persetujuan mereka untuk menghapuskan ke tujuh kata itu. Akhirnya, Piagam Jakarta di coret dari Mukadimah UUD 1945.
Alasannya, ada keberatan sangat oleh pihak lain yang tidak beragama Islam. Menurut pendapat mereka, tidak tepat di dalam suatu pernyataan pokok yang mengenai seluruh bangsa ditempatkan suatu penetapan yang hanya mengenai sebagian saja daripada rakyat Indonesia, sekalipun bagian itu bagian terbesar. Dengan demikian tidak lagi terdapat tujuh kata yang mewajibkan Ummat Islam untuk menjalankan syari’at agama Islam, juga tidak ada lagi ketentuan bahwa Presiden harus seorang Islam.
1 September 1945
Sekelompok kecil mahasiswa kedokteran, termasuk Johan Nur, Bahar Rezak dan Wahidin Nasution membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia), yang ditujukan bagi pengkoordinasian sejumlah kelompok pemuda lainnya di dalam kota. API beroleh banyak pendukung dan segera mengeluarkan sebuah manifesto yang ditujukan kepada seluruh pemuda Indonesia untuk segera merebut senjata, kantor dan perusahaan milik Jepang.
18 Oktober 1945
Haji Achmad Chaerun di Curug, sisi Barat-daya Tangerang, mengkoordinasikan pemberontakan rakyat dan berhasil menumbangkan seluruh aparat formal pemerintahan yang masih tersisa. Dukungan utama diberikan oleh orang-orang Muslim. Banyak sekali haji di antara para pengikutnya. Para pengikutnya yang bersenjata dijuluki Laskar Ubel-ubel (laskar bersorban). Ia pun memiliki hubungan erat dengan Syekh Abdullah, peranakan Arab, seorang pemimpin kelompok bersenjata yang di kenal dengan nama Barisan Berani Mati atau Laskar Hitam.
11 Nopember 1945
Pembentukan Masyumi baru di Yogyakarta, dengan susunan Dewan Eksekutif sebagai berikut :
- Ketua Umum = Hasyim Ashari
- Ketua = Ki Bagus Hadikusumo
- Wakil Ketua = Wahid Hasyim
- Wakil Ketua I = Abikusno Cokrosuyoso
- Sekretaris = S.M. Kartosuwiryo
Ketika itu juga, NU dan Muhammadiyah menggabungkan diri ke dalam partai Masyumi yang baru, maka dengan demikian partai ini praktis mewakili semua partai-partai dan organisasi Islam yang ada pada waktu itu.
Kongres itu memutuskan bahwa Masyumi memerlukan badan perjuangan di luar kesatuan-kesatuan Hizbullah yang bersifat militer untuk mobilisasi penduduk yang beragama Islam secara umum. Kemudian diprakarsai berdirinya Sabilillah yang berpusat di Malang. Adapun pengurus pusat barisan Sabilillah di pimpin oleh KH. Masykur.
Sabilillah dan Hizbullah tidak memiliki perbedaan yang tajam dan tegas, bahkan satuan-satuan gerilya Islam di sebut Hizbullah-Sabilillah tanpa perbedaan fungsi mereka yang berlainan. Hanya saja barisan Hizbullah terdiri atas kesatuan pejuang Ummat Islam yang di koordinasi di asrama, sedangkan barisan Sabilillah tersebar di masyarakat dan dikoordinir melalui susunan organisasi di kecamatan dan kelurahan.
Nopember 1945
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama dengan Kamran, Sanusi Partawijaya, Haji Jaenuddin, Gandawijaya dan lain-lain, masuk Markas Daerah Perjuangan Pertahanan Priangan di Bandung. Kamran dalam tempo yang tidak lama, berhasil menduduki kursi pimpinan dan ia terpilih sebagai ketuanya.
Awal tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo bersama-sama Kamran mengunjungi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, yang pada waktu itu berada di Bale Endah, kira-kira 12 km dari kota Bandung arah ke kota Majalaya. Dalam kunjungannya itu, ia telah mendesak kepada Sutoko, Wakil Ketua Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, agar memberi landasan Islam kepada pasukan-pasukan dan lasykar-lasykar yang tergabung di dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Ternyata Sutoko tidak memberikan sambutan terhadap desakan itu.
1 Pebruari 1946
Markas Daerah Perjuangan Pertahanan Priangan berubah menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, yang berhasil di bina atas prakarsa Sutoko, yang pernah pula menjadi murid pada Institut Suffah.
Maret 1946
Peristiwa “Bandung Lautan Api” dimana pasukan Indonesia yang meninggalkan daerah Bandung Selatan karena adanya ultimatum Inggris, menjalankan taktik membumi-hanguskan daerah tersebut ketika mereka meninggalkan bagian dari kota ini.
14-25 April 1946
Perundingan Hooge Veluwe merupakan perundingan lanjutan dari perundingan-perundingan yang telah dilakukan dalam usaha menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda. Dalam perundingan ini delegasi Belanda diwakili Dr. H.J. Van Mook, Dr. Idenburg, Prof. Logemann, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II dan Suryo Santoso. Sedangkan delegasi Indonesia diwakili Mr. Suwandi, dr. Sudarsono dan Mr. Abdul Karim Pringgodigdo. Perundingan ini mengalami kegagalan, karena masing-masing pihak tetap pada pendiriannya masing-masing.
Belanda tetap menginginkan memberi pengakuan atas Jawa dan Madura saja dikurangi daerah-daerah yang diduduki pasukan Serikat, menginginkan RI tetap menjadi bagian Kerajaan Nederland dan menolak campur-tangan Republik dalam menentukan perwakilan daerah di luar daerah Indonesia.
Pihak Indonesia menginginkan Belanda mengakui RI secara de facto atas Jawa dan Sumatra dan agar Belanda dan RI bersama-sama membentuk RIS. Akibat perbedaan pendapat di antara keduanya, akhirnya konferensi berakhir tanpa menghasilkan apa-apa bagi perbaikan hubungan kedua pihak yang bersengketa.
Juni 1946
Konferensi Masyumi Daerah Priangan di Garut, dimana memilih pengurus yang baru sebagai berikut :
- Ketua Umum = K.H. Muchtar
- Wakil Ketua = S.M. Kartosuwiryo
- Sekretaris = Sanusi Partawijaya
Dalam kesempatan itu, Kartosuwiryo mengucapkan sebuah pidato tentang “Haluan Politik Islam”.
Tahun 1946
S.M. Kartosuwiryo telah merencanakan untuk menyerbu Markas Divisi Siliwangi, yang pada waktu itu berada di kota Malangbong. Sehingga oleh Panglima Divisi Siliwangi pada waktu itu, Jenderal Mayor A.H. Nasution terpaksa memerintahkan menangkap S.M. Kartosuwiryo. Sepuluh hari kemudian mereka itu dilepaskan kembali.
16-22 Juli 1946
Konferensi ini diselenggarakan di sebuah daerah sejuk dekat Makasar Sulawesi Selatan bernama Malino. Dalam konferensi yang di pimpin Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook itu, di undang tokoh-tokoh pribumi terkemuka yang di pandang Belanda dapat mewakili daerah-daerah Indonesia Timur dan Kalimantan. Tujuh tokoh terkemuka yang hadir pada konferensi tersebut :
- Najamuddin Daeng Malewa (Sulawesi Selatan)
- Sukawati (Bali)
- Dengah (Minahasa)
- J. Tahya (Maluku Selatan)
- Dr. Liem Cae Le (Bangka-Biliton, Riau)
- Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan)
- Uray Saleh (Kalimantan Barat).
Tujuan konferensi menurut konsepsi Belanda adalah untuk memusyawarahkan pengembangan ketata-negaraan Negara Indonesia yang hendak di bentuk bersama. Di dalam konferensi ini dibicarakan persoalan-persoalan pokok yang berkaitan dengan pembentukan negara bagian. Tiga persoalan pokok yang dibicarakan, yaitu tentang sistem yang akan di pakai dalam pembentukan NIT yang akan di bentuk federal atau Unitarisme, perlunya masa peralihan di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, tetapi dengan kerjasama yang erat untuk menyusun dan melengkapi negara yang akan di bentuk dan soal ikatan abadi negara Belanda dan Indonesia, dan mempertahankannya setelah Negara Indonesia Timur mencapai kedaulatannya.
Dari konferensi ini dihasilkan keputusan untuk memilih bentuk negara federal yang terdiri dari kesatuan-kesatuan yang tidak begitu kecil. Selain itu, keputusan yang menjelaskan hubungan istimewa yang abadi antara negeri Belanda dan Indonesia dapat didasarkan atas sejarah maupun atas kepentingan bersama. Untuk pembicaraan selanjutnya mengenai NIT diputuskan untuk dibicarakan pada konferensi di Bali.
1-12 Oktober 1946
Sebagai kelanjutan Konferensi Malino, diselenggarakan konferensi di Pangkal Pinang, pulau Bangka. Konferensi dihadiri golongan-golongan minoritas dengan maksud meminta pendapat golongan-golongan minoritas tentang rencana pembentukan ketata-negaraan Negara Indonesia Timur menurut konsepsi Belanda. Kelompok terbesar yang hadir dalam konferensi itu datang dari golongan Cina dan Belanda yang menempati 1/3 dari jumlah peserta yang hadir.
Dalam konferensi yang diketuai Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, timbul berbagi pendapat antara pro dan kontra terhadap rencana Belanda tersebut. Sementara itu Letnan Gubernur tetap berpendapat bahwa perlu adanya suatu daerah dimana golongan minoritas dapat hidup sejajar dengan golongan-golongan masyarakat lain.
Oleh karena itu selain membentuk NIT, pimpinan konferensi berpendapat Irian Barat dapat dijadikan suatu daerah penampungan bagi kelebihan penduduk negeri Belanda. Walaupun muncul berbagai pendapat dan kecaman, konferensi berlangsung sebagai tindak-lanjut dari rencana pembentukan negara federal, yang akan dibicarakan pada Konferensi Denpasar.
7-14 Oktober 1946
Perundingan gencatan senjata antara Belanda-Indonesia, yang dilanjutkan dengan perundingan politik mulai tanggal 7 Nopember 1946 di Jakarta.
10-15 Nopember 1946
Perundingan Linggarjati dihadiri oleh kedua belah pihak yang bertikai (Indonesia-Belanda) dan seorang duta istimewa Inggris untuk Indonesia, Lord Killearn, yang bertugas sebagai pemimpin perundingan.
Delegasi Indonesia diketuai Sutan Syahrir, dengan anggota delegasi tiga orang yaitu Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Rum, Mr. Susanto Tirtoprojo dan dr. A.K. Gani, beserta anggota-anggota cadangan Mr. Amir Syarifuddin, dr. Sudarsono dan Dr. J. Leimena. Sedangkan delegasi Belanda beranggotakan tiga orang, yaitu Max Van Poll, F. de Broer dan Dr. H.J. Van Mook, di bawah pimpinan Prof. William Schermerhorn.
Dari perundingan itu, berhasil di susun sebuah naskah persetujuan yang terdiri atas 17 pasal. Isi dari Persetujuan Linggarjati itu antara lain :
Pemerintah Belanda mengakui secara de facto kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra.
Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI akan segera bersama-sama menyelenggarakan berdirinya Negara Indonesia Serikat (NIS)
Wilayah Negara Indonesia Serikat akan meliputi Hindia-Belanda, dengan ketentuan bahwa penduduk suatu daerah secara demokrasi dapat menyatakan tidak atau belum suka masuk ke dalam NIS.
Negara Indonesia Serikat meliputi negara-negara RI, Kalimantan dan Timur Besar.
Sedangkan pasal-pasal lain memuat hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan NIS.
Walaupun dapat menghasilkan kesepakatan, ternyata Persetujuan Linggarjati tidak memberi manfaat bagi perbaikan hubungan Indonesia-Belanda, karena masing-masing pihak menginterpretasikan perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Masyumi dan PNI merasa dukungan politik mereka sendiri lebih besar daripada dukungan Partai Sosialis Syahrir. Pendukung perjanjian Linggarjati adalah sayap kiri yang terdiri atas Partai Sosialis, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), dan partai-partai buruh dan Komunis, selain partai-partai Katolik dan Kristen yang kecil.
22-24 Nopember 1946
Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) mensponsori sebuah kongres di Karawang yang dihadiri oleh sejumlah organisasi laskar rakyat di Jawa Barat. Kongres itu mengutuk persetujuan Linggarjati dan kemudian mengumumkan terbentuknya sebuah Laskar Jawa Barat, sebagai suatu federasi dari satuan-satuan laskar rakyat di Karawang, Cirebon, Sukabumi, Banten, Bogor, Purwokerto dan Tegal. Sidik Kertapati di pilih memimpin organisasi itu. Achmad Astrawinata, mantan pemimpin API Bandung, di tunjuk sebagai wakil. Maulana dan Armunanto, masing-masing di tunjuk sebagai sekretaris dan kepala bagian politik.
7-24 Desember 1946
Sebagai tindak-lanjut dari Konferensi Malino, Konferensi Denpasar merupakan babak akhir dari konferensi pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam konferensi yang diadakan di pendopo Hotel Bali, Denpasar-Bali ini hadir wakil-wakil dari daerah Sulawesi Selatan (20), Minahasa-Sulawesi Utara (3), Sulawesi Tengah (6), Bali (7), Lombok (5), Flores (3), Sumbawa (3) dan Sumba (3). Konferensi di buka secara resmi oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook pada tanggal 18 Desember 1946. Sebelumnya pada tanggal 7 Desember dilakukan konferensi informal di bawah pimpinan Komisaris Pemerintah untuk Kalimantan dan Timur Besar, Dr. W. Hoven.
Dalam konferensi yang di buka tanggal 18 ini, dibicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan NIT yang akan di bentuk. Masalah yang di bahas antara lain, rencana peraturan tentang pembentukan NIT, penetapan peraturan tersebut, keputusan Pemerintah Belanda untuk mendirikan NIT, pemilihan kepala negara, pemilihan ketua DPRS, keputusan pengangkatan peserta konferensi sebagai anggota DPRS, penyumpahan Ketua DPRS oleh Letnan Gubernur dan lain-lain. Dalam waktu seminggu program kerja dapat diselesaikan. Konferensi di tutup pada tanggal 24 Desember 1946.
Dari hasil konferensi terpilih Cokorde Gede Rake Sukawati dari Bali sebagai Kepala Negara (Presiden), Mr. Tajudin Noor seorang pengacara di Makasar sebagai ketua DPRS dan Najamudin. Daeng Malewa sebagai penyusun Dewan Menteri.
Selain keputusan tersebut, konferensi juga menetapkan Makasar sebagai ibukota NIT. Wilayah NIT adalah Karesidenan Timur Besar, sesuai dengan yang termaktub dalam Staatblad Nomor 264, kecuali Irian Barat yang kedudukannya terhadap NIT dan Jawa-Sumatra masih akan ditetapkan.
Di samping itu, ditetapkan pula bahwa hak-hak dan wewenang Pemerintah Hindia-Belanda dipindahkan kepada NIT, kecuali hak-hak dan wewenang yang dalam rangka rencana susunan ketata-negaraan akan jatuh ke tangan Negara Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda. Dengan terbentuknya NIT, berarti gagasan Van Mook untuk memecah-belah Negara Indonesia menjadi kenyataan.
April 1947
R. Oni menjadi ketua Sabilillah Daerah Priangan.
27 Mei 1947
Adanya perbedaan penafsiran terhadap Persetujuan Linggarjati, yang ditanda-tangani pada bulan Maret 1947, dimana di satu pihak Belanda menganggap “kerjasama” yang terdapat dalam pasal 2 persetujuan tersebut sebagai kedaulatan Belanda di Indonesia tetap berlangsung sampai terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
Di pihak lain Indonesia mengartikan “kerjasama” dalam pasal tersebut sebagai suatu kerjasama dengan pertanggung-jawaban bersama dalam membentuk federasi dengan kedudukan yang setaraf. Sementara itu Belanda mengeluarkan nota yang merupakan ultimatum yang harus di jawab Pemerintah RI 14 hari sejak tanggal 27 Mei 1947.
Dalam notanya itu Belanda menuntut pembentukan pemerintahan ad-interim bersama, mengeluarkan uang bersama, menyelenggarakan pemilikan ekspor dan impor bersama, di samping menuntut agar RI mengirim beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda. Hal ini tentu saja di tolak Pemerintah RI. RI bersedia mengakui kedaulatan Belanda hanya selama masa peralihan dan menolak gendamarie bersama.
15 Juli 1947
Belanda yang tidak puas dengan jawaban tersebut kembali mengirim nota, yang isinya tetap menuntut gerdamarie bersama dan menuntut agar RI menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Dalam nota itu Belanda juga memberi ultimatum bahwa dalam waktu 32 jam RI sudah harus memberi jawaban terhadap tuntutan-tuntutan Belanda. [ ]
Link terkait dari blog ini;
- Agama dan Negara Di Mata Muslim Indonesia
- Masa depan Gerakan Islam di Indonesia
- Apa sih liberalisme ?
- Politik Identitas Kaum Minoritas
- Nasionalisme dalam Perspektif Islam
Link terkait dari blog/web lain