Hari ini kita sedang dihebohkan dengan disertasi doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melegalkan praktik seks di luar nikah dengan judul ‘Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital’. Promovendus bernama Abdul Aziz, seorang dosen di Solo. Ia mengetengahkan pemikiran dari Muhammad Syahrur, pemikir liberal dari Syiria.
Kali ini saya ingin membahas mode pembaruan yang dibawa Muhammad Syahrur, kemudian dilanjutkan dengan beberapa pelomik dalam konsep Milkul Yamin yang dibawa Syahrur dan polemik lain tentang batasan Aurat yang pernah kami tulis dulu.
Model Pembaruan Muhammad Syahrur
Model pembaruan yang dia lakukan adalah dengan melakukan pembacaan Al-Qur’an dengan menggunakan metode linguistik-historis-ilmiah (al-manhaj al-lughawī al-tārikhī al-‘ilmī) dengan menggunakan linguistika modern dengan tetap bersandar pada syair-syair jahiliyyah.
Dengan metode linguistik-historis-ilmiahnya tersebut, Syahrūr melakukan beberapa langkah yang berakhir dengan dekonstruksi hukum Islam.
- Menafikan al-Sunnah sebagai wahyu kedua. Ia menganggap sunnah rasul SAW. sebagai pemahaman awal terhadap Al-Qur’ān.[2] Oleh karenanya, keputusan hukum akan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.
- Keyakinannya kepada anti sinonimitas istilah dalam al-Qur’an. Misalnya ia membedakan al-hanafiyyah yang diartikannya gerak berubah dan al-istiqāmah (lurus tetap). Menurutnya, al-hanafiyyah berlaku untuk ayat-ayat hukum. Dengan kata lain hukum akan selalu berubah. Padahal kata hanīf di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 135 ataupun di dalam kamus (Tājul Urūs, Lisān ’Arab, al-Muhīth, Maqāyis al-Lughah) menunjukan arti tetap, lurus, dan istiqamah.
- Memaparkan tiga teori filsafat dalam menginterpretasi ayat-ayat ahkām, yakni kondisi berada (kaynūnah), kondisi berproses (sayrūrah), dan kondisi menjadi (shayrūrah). Dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa.
Polemik Milkul Yamin Kontemporer
Jumhur ulama menyatakan bahwa pemberlakuan ayat tentang kepemilikan budah (milkul yamin) sudah berhenti karena ketiadaan locusnya. Namun Syahrur menemukan locusnya dengan asumsi bahwa konteks milkul yamin saat ini sama dengan konsep nikah kontrak yang kemudian diganti dengan istilah aqdul ihsan (komitmen hubungan badan) sebagai bentuk upaya melegitimasi hubungan intim tanpa melalui pernikahan yang masih hidup dalam tradisi sosial masyarakat Barat.
Term milkul yamin telah mengalami perubahan konsep karena adanya perubahan konteks. Syahrur berasusmsi bahwa ayat-ayat milkul yamin harus direkonstruksi agar tidak mati. Oleh sebab itu, menurut Syahrur ketetapan dalam term milkul yamin yang ada harus dipahami secara lebih esensial.
Dengan mengacu pada adanya relasi seksual antara tuan dan budah, yang terekam pada beberapa ayat; Al-Ahzab: 50, Al-Mukminun: 5-6 dan An-Nur: 31, Syahrur berasumsi bahwa relasi seksual itulah yang menjadi inti konsep milkul yamin kontemporer.Syahrur memandah bahwa relasi seksual tersebut tidak ada unsur atau tujuan untuk membangun rumah tangga melainkan hanya sekedar melampiaskan nafsu seksual.
Kesalahan fatal promovendus adalah mengkiyaskan budak dalam konsep Milk Al Yamin kepada kawin kontrak atau mut’ah dan hidup seatap tanpa pernikahan (kumpul kebo) yang menjadi sama-sama halal. Penulis menyamakan budak dengan kondisi sekarang dan memperbolehkan hubungan di luar nikah atas dasar suka sama suka.
Abdul Aziz mengatakan, menurut Muhammad Syahrur, hubungan intim disebut Zina apabila dipertontonkan ke publik. Bila hubungan itu dilakukan di ruang privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, tidak ada penipuan, dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut Zina. Maka hubungan tersebut halal.
Berikut ini pernyataan MUI tentang disertasi konsep Milk alYamin Muhammad Syahrur yang ditanda tangani oleh Prof. Yunahar Ilyas dan Dr. Anwar Abbas tanggal 3 September 2019
Selanjutnya ditanggal yang sama, penulis disertasi ini memberikan pernyataan untuk merevisi tesis berdasarkan kritik dan masukan dari para promotor dan penguji dan mengubah judul menjadi ‘Problematika Konsep Milk Alyamin dalam Pemikiran Muhammad Syahrur’.
Polemik Menutup Aurat
Muhammad Syahrur mengartikan aurat berangkat dari rasa malu, dan rasa malu itu bersifat relatif serta tidak mutlak dan mengikuti kebiasaan.
Pertama;
QS an-Nuur: 31 “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…“.
Muhammad Syahrur menyimpulkan bahwa aurat di situ berarti: “apa yang membuat seseorang malu jika terlihat”. Dan aurat itu tidak ada kaitannya dengan halal-haram, baik dilihat dari dekat maupun dari jauh. Maka secara kebahasaan, aurat itu relatif.
Kemudian Syahrur memberi contoh: “Apabila seorang yang botak (ashla’) tidak suka botaknya terlihat orang lain, dia akan memakai rambut palsu. Sebab dia menganggap bahwa botak di kepalanya adalah aurat”. Relatifnya makna aurat ini, dia kuatkan dengan mengutip Hadits Nabi: “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya”. Menurutnya, bahwa menutupi aurat mukmin dalam hadith itu, bukan berarti meletakkan baju hingga tidak kelihatan.
Maka Syahrur pun menegaskan bahwa: “Aurat itu datang dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif, bisa berubah sesuai dengan adat istiadat. Maka dada (al-juyub) adalah permanen, sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan tempat”.
Kedua;
QS al-Ahzab: 59 Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu“.
Dalam kitabnya Nahwa Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami, 2000: 372-373, Muhammad Syahrur menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Ayat ini didahului dengan lafadz ‘Hai Nabi’ (ya ayyuhan nabi), yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran (ta’lim) dan bukan untuk pemberlakuan syariat (tasyri’).
Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal (fahman marhaliyyan), karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, yakni ketika para wanita sedang keluar rumah. Namun alasan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, sekarang ini sudah tidak ada lagi”.
Selanjutnya Muhammad Syahrur menganjurkan kepada wanita muslim untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan. Dan gangguan itu ada dua jenis: gangguan alam dan gangguan sosial. Gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam.
Sedangkan gangguan sosial terkait dengan adat istiadat suatu masyarakat. Maka pakaian mukminah untuk keluar rumah harus menyesuaikan kondisi lingkungan masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan dan gangguan mereka.
Dan akhir dari kesimpulan ide-ide Muhammad Syahrur dapat kita simpulkan dalam point-point berikut.
- Batasan pakaian wanita dibagi dua: batasan maksimal (al-hadd al-a’la) yang ditetapkan Rasulullah yang meliputi seluruh anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Batasan minimal (al-hadd al-adna) yaitu batasan yang ditetapkan oleh Allah s.w.t., yang hanya menutup juyub.
- Juyub tidak hanya dada saja, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Sedangkan semua anggota tubuh selain juyub, boleh diperlihatkan sesuai dengan kultur masyarakat setempat, termasuk pusar (surrah). Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah kultur, tidak ada hubungannya dengan iman dan Islam.
- Muhammad Syahrur memandang adanya kesalahan fatal yang jamak terjadi di kalangan ulama Fiqih, karena mendudukkan Hadith Rasulullah s.a.w bahwa semua anggota tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, sebagai batasan aurat wanita.
Lebih lengkapnya sila kunjungi tautan tulisan kami dulu.
Silakan Bu Sinta.
Terima kasih.
Jazakumullah khoiron katsir. Boleh saya share ya?