Rumah sebagai Pusat Pendidikan keluarga

Sudah menjadi kenyataan bahwa anak adalah harapan umat di masa yang akan datang dan lingkungan pertama yang sangat berperan dalam menjaga keberadaan anak tersebut adalah keluarganya, sebagai lembaga pendidikan pertama yang ia rasakan.

Oleh karena itu ulama menyebutkan bahwa kerusakan pada seorang anak adalah bersumber dari orang tuanya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah: “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”

Dari sebuah rumah yang Islami akan lahir penopang-penopang perbaikan bagi masyarakat, berupa da’i-da’i teladan, penuntut ilmu, mujahid yang sesungguhnya,  isteri shalihah, ibu pendidik yang menjadi unsur pembangun kebaikan lainnya.

Dan dari kisah  Musa vs Firaun yang dikisahkan oleh al-Quran kita akan mempelajari bagaimana konsep dan fungsi  rumah menurut Islam berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.

Sebab Turunnya Surat Yunus: 87

Ada tiga riwayat yang menyebutkan awal kemunculan peristiwa dalam ayat ini.

  • Mujahid mengatakan: Musa dan pengikutnya sejak mula telah diperintahkan untuk melaksanakan shalat di rumah mereka karena taku dari ancaman Firaun, maka mereka disiksa dan dianiaya sebagaimana keadaan umat Islam terdahulu di Makkah.
  • Ibnu Abbas dan Ikrimah: Ketika Musa di utus kepada Firaun, Firaun memerintahkan juru tentaranya untuk merobohkan masjid-masjid milik bani Israil dan melarang mereka untuk shalat disana, maka Allah y memrintahkan untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai masjid.
  • Ketika Musa diutus kepada bani Israil dan Firaun banyak melakukan kekejian dan penindasan kepada mereka, Allah Swt memerintahkan Musa, Harun dan kaumnya untuk berlindung di masjid dari ancaman musuh-musuh mereka.

Tafsir Tahlili

{ أن تبوَّءا }:

Abu Hayan menyebutkan bahwa kata أن تبوءا adalah sinonim dari kata توطن yang artinya menjadikan rumah sebagai center untuk beribadah dan untuk shalat dan secara dhahir berarti mengambil rumah di Mesir untuk tempat tinggal .[1] Qatadah menyebutkan bahwa perintah ini muncul ketika bani Israil dilarang oleh Firaun untuk mengerjakan shalat, maka turunlah perintah untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai termpat beribadah.[2]

{بِمِصْرَ}:

Ad-Dhahaq menyebutkan bahwa yang dimaksud Mesir disini adalah Mesir yang terletak dari laut sampai Aswan dan kota Iskandariyah masuk ke Mesir, demikian juga pendapat yang disampaikan oleh Mujahid, Abu Hayan dan Ibnu Jarir.

{ بيوت }:

Ada dua tafsiran tentang ayat di atas:

  1. Mayoritas Mufasir seperti Ikrimah dan Ibnu Abbas, mereka mengatakan: mulanya orang-orang bani Israil tidak melaksanakan shalat kecuali di tempat ibadah mereka, dan ketika nabi Musa diutus kepada mereka, Firaun memerintahkan untuk merobohkan tempat ibadah tersebut. Maka bani Israil diperintahkan untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai masjid dan tempat shalat disebabkan takut dari ancaman Firaun.
  2. Mujahid mengatakan: Musa dan para pengikutnya takut untuk melaksanakan shalat di tempat ibadah mereka, oleh karena itu mereka diperintahkan untuk menjadikan rumah mereka masjid yang menghadap kiblat, lalu mereka mengerjakan shalat disana secara sembunyi-sembunyi. Jadi menurut Mujahid makna ayat ini adalah: Jadikanlah rumahmu menghadap kiblat..[3]

Kalangan Mufasir yang menafsirkan ayat ini dengan rumah secara mutlak terbagi menjadi dua pendapat:

  1. Al-Farra’ mengatakan: Maksudnya adalah: Jadikanlah rumahmu menghadap kiblat
  2. Perkataan yang lain menyebutkan: Jadikanlah rumahmu berhadap-hadapan.

Dan mereka berselisih pendapat tentang arah kiblatnya secara pasti, Ibnu Abbas dan Hasan al-Bashri mengatakan: “Ka’bah adalah kiblatnya Musa dan pengikutnya” sedangkan yang lain mengatakan bahwa kiblatnya adalah Baitul Maqdis.[4]

Baca juga:   Menutup Aib Orang Lain

{وبشر المؤمنين}:

Dengan kemenangan di dunia dan surga di akhirat. Ada yang mengatakan ayat ini ditujukan untuk Musa dan Harun, ada yang mengatakan untuk Musa, Harun dan kaumnya dan ada yang mengatakan khusus untuk Musa saja.[5]

Pelajaran dari Ayat

1. Rumah sebagai Pusat Kaderisasi

Rumah adalah sebuah kenikmatan, hal ini sebagaimana tersinyalir dalam firman Allah Swt:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا

Artinya:

“Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (Qs. An-Nahl : 80)

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Allah menyebutkan kesempurnaan nikmat-Nya atas hamba-Nya, dengan apa yang Dia jadikan bagi mereka rumah-rumah yang merupakan tempat tinggal mereka. Mereka kembali kepadanya, berlindung dan memanfaatkannya dengan berbagai macam manfaat”

Rumah mempunyai banyak fungsi, diantara fungsi yang terpenting adalah untuk pusat kaderisasi anak-anak umat Islam. Mari kita simak bagaimana para salah al-Shalih mengerahkan segala usaha dan waktu mereka dalam rangka mentarbiyah anak-anak mereka yang kelak akan menjadi penentu baik buruknya umat ini.

Shofiyah binti Abdul Mutholib, bibinya Rasulullah dan saudara perempuannya Hamzah telah berhasil mendidik anaknya, Zubair bin Awwam yang menjadi salah seorang dari pasukan Rasulullah s, yang Rasulullah s pernah menyatakan: “Satu orang Zubair menandingi seribu orang laki-laki”.

2. Rumah sebagai Pusat Ibadah

Para ahli tafsir berbeda pendapat di dalam memahami ayat di atas, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah perintah untuk menjadikan rumah sebagai masjid dan tempat ibadah, karena pada waktu itu Fir’aun melarang Bani Israel untuk beribadah di masjid-masjid dan biara-biara mereka, maka Allah Swt memberikan jalan keluar yaitu dengan melakukan sholat di rumah-rumah mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu fungsi rumah adalah sebagai pusat ibadah.

Ibnu Katsir berkata: “Hal ini seakan-akan – Wallahu a’lam – ketika siksaan dan tekanan Fir’aun beserta kaumnya semakin menjadi-jadi atas mereka, maka mereka disuruh untuk memperbanyak shalat sebagaimana firman Allah y : “Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu”. (Al-Baqarah: 153).

Dan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:

Artinya:

“Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menghadapi suatu kesulitan, maka beliau melakukan shalat”.[6]

Hal ini menegaskan betapa pentingnya ibadah di dalam rumah-rumah,terutama dalam waktu-waktu lemah dan tertindas, demikian pula dalam beberapa kesempatan manakala umat Islam tidak mampu menampakkan shalat mereka di hadapan orang-orang  kafir. Dalam hal ini kita juga perlu mengenang kembali mihrab Maryam, yakni tempat peribadatan beliau, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah y:

“Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab ia dapati makanan di sisinya”. (Qs. Ali lmran : 37)

Rasulullah s di dalam banyak hadistnya menganjurkan kepada kita untuk menjadikan rumah sebagai pusat ibadah kita. Diantara hadist-hadist tersebut adalah:

Sabda Rasulullah Saw:

مثل البيت الذي يذكر الله فيه، والبيت الذي لا يذكر الله فيه مثل الحي والميت.

Perumpamaan rumah yang di dalamnya selalu disebut nama Allah Ta’ala dengan rumah yang di dalamnya tidak pernah disebut nama Allah adalah sebagaimana orang hidup dan orang mati.” [7]

Dan sabdanya yang lain:

لا تجعلوا بيوتكم قبورا، إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة.

Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syetan itu akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” [8]

Baca juga:   Kepribadian Tidak Berkembang Karena Tekanan

Para sahabat  juga amat memperhatikan masalah shalat di dalam rumah mereka selain shalat fardhu. Sebuah kisah di bawah ini menarik sebagai pelajaran bagi kita :

“Dari Mahmud bin Ar-Rabi’ Al-Anshari, bahwasanya Itban bin Malik – dia adalah  salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang ikut serta dalam perang Badar,  dari kaum Anshar – ia datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam lalu berkata:

“Wahai  Rasulullah!, pandanganku telah menipu tapi aku tetap shalat bersama  kaumku, apabila turun hujan, mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka sehingga aku (tak) bisa datang ke masjid mereka dan shalat bersama-sama, aku sangat ingin wahai Rasulullah, jika engkau datang kepadaku dan shalat di dalam rumahku sehingga aku menjadikannya sebagai mushalla (tempat shalat)”.

Ia berkata: “Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda kepadanya: “Akan aku lakukan Insya Allah“.” Itban berkata: “Maka berangkatlah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam dan Abu Bakar ketika siang (nampak) meninggi, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam meminta izin, lalu aku mengizinkan kepada beliau, beliau tidak duduk sebelum masuk ke dalam rumah lalu beliau berkata: “Di bagian mana engkau suka aku melakukan shalat dari rumahmu?” .

“Ia berkata: “Maka aku tunjukkan kepada beliau suatu arah dari rumahku, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam berdiri kemudian bertakbir, lalu kami semua berdiri membentuk barisan, dan Nabi Shallallahu alaihi wasalam shalat dua rakaat kemudian salam”.

Dalam memetik pelajaran dari hadits di atas, Ibnu Hajar berkata:

“Di situ merupakan pelajaran, agar kita menggunakan tempat tertentu untuk melakukan shalat dalam rumah. Adapun larangan untuk menjadikan tempat tertentu dalam masjid adalah hadits Abu Daud, dan itu jika ia lakukan untuk riya’ atau yang sejenisnya.

Menjadikan tempat tertentu dalam rumah untuk shalat bukan berarti menjadikan tempat tersebut sebagai wakaf – tidak berlaku padanya hukum wakaf – meski secara umum dikategorikan dengan nama masjid”.

3. Rumah sebagai Pusat Pedidikan Keluarga

Mengajar adalah kewajiban yang mesti dilakukan oleh pemimpin keluarga yaitu seorang suami,sebagaimana perintah Allah  Swt.

يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة.

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (Qs. At-Tahrim : 6).

Ayat di atas merupakan dasar pengajaran dan pendidikan anggota keluarga, memerintah mereka dengan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran.

Di bawah ini beberapa komentar ahli tafsir tentang ayat tersebut, yakni berkaitan dengan kewajiban yang dibebankan atas pemimpin keluarga.

  • Qatadah berkata: “Dia hendaknya memerintah mereka berbuat taat kepada Allah y serta mencegah mereka dari maksiat kepadaNya, hendaknya menjaga mereka untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah y dan membantu mereka di dalamnya. Maka apabila kamu melihat kemaksiatan, hendaknya engkau menjauhkan mereka daripadanya dan memperingatkan untuk tidak melakukannya”.
  • Adh-Dhahhak dan Muqatil berkata: “Merupakan kewajiban setiap muslim, mengajarkan keluarganya dari kerabat dan hamba sahayanya akan apa yang diwajibkan oleh Allah y atas mereka dan apa yang dilarangNya”.
  • Ali radhiyallah ‘anhu berkata: “Ajari dan didiklah mereka”.
  • Al-Kiya At-Thabari berkata: “Kita hendaknya mengajari anak-anak dan keluarga kita masalah agama dan kebaikan, serta apa-apa yang penting dan dibutuhkan dalam persoalan adab dan akhlak”.

Selain dalam al-Quran, dalam hadits-hadits Rasulullah s juga banyak ajuran untuk mendidik anak dan istri.

Dari Aisyah radhiallahu anha ia berkata:

Artinya:

“Suatu ketika Rasullah Shallallahu alaihi wasalam, mengerjakan shalat malam, ketika akan witir beliau mengatakan: “Bangunlah, dan dirikanlah shalat witir wahai Aisyah!”.[9]

Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah s bersabda:

Baca juga:   Pendidikan Adalah Sebuah Proses

رحم الله رجلا قام من الليل فصلى فأيقظ امرأته فصلت، فإن أبت نضح في وجهها الماء.

Artinya:

“Allah akan merahmati seseorang yang bangun malam, kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. [10]

Imam Bukhari rahimahullaahu ta’ala mengatakan dalam Shahihnya, dalam bab: Seseorang yang Mengajari Budaknya dan Isterinya. Kemudian beliau menyebutkan hadits Rasulullah s: Ada tiga orang yang akan mendapat pahala dua kali;……Dan seseorang yang memiliki hamba sahaya wanita lalu dia memperlakukannya dengan baik, mendidiknya dengan baik, dan mengajarkan kepadanya dengan sebaik-baik pengajaran, kemudian membebaskannya dan menikahinya, maka baginya dua pahala“. [11]

Ketika menjelaskan hadits, Ibnu Hajar mengatakan: “Kesesuaian hadits dengan tarjamah – maksudnya judul bab – dalam masalah hamba sahaya perempuan adalah dengan nash, dan dalam masalah keluarga dengan qiyas, sebab perhatian dengan keluarga yang merdeka dalam soal pengajaran kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah y dan sunnah-sunnah RasulNya adalah sesuatu yang harus dan pasti daripada perhatian kepada hamba sahaya perempuan”.

Selain itu Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya juga membuat bab yang berjudul “Bab: Apakah bagi Wanita Disediakan Hari Khusus untuk Ilmu?” Lalu menyitir hadits Abu Said AI-Khudri radhiyallah ‘anhu :

– قالت النساء للنبي صلى الله عليه وسلم: “غلبنا عليك الرجال، فاجعل لنا يوما من نفسك، فوعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن.

Artinya:

“bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Kaum lelaki telah mengalahkan kami untuk bertemu dengan engkau, maka berilah kami satu hari untuk bermajelis dengan dirimu.” Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berjanji kepada mereka untuk bertemu pada suatu hari, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberikan pelajaran dan memberikan perintah kepada mereka. [12]

Ibnu Hajar berkata: “Dalam riwayat Sahl bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah mirip dengan kisah ini, ia berkata; “Perjanjian kalian di rumah Fulanah, maka Rasulullah mendatangi mereka dan memberi ceramah kepada mereka”.[13]

Penutup

Setelah mempelajari tafsir dari Qs Yunus: 80 di atas dapat kita simpulkan bahwa fungsi rumah dalam Islam bukan hanya sebagai tempat berteduh saja, Islam mengatur konsep rumah dengan agung sekali bahwa rumah  sebagai pusat ibadah, pusat kaderisasi dan pusat pendidikan.

REFERENSI:

  1. Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, 40 Nasihat Memperbaiki Rumah Tangga,diterbitkan oleh Yayasan al-Sofwa.
  2. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith (http://www.altafsir.com) Maktabah Syamilah
  3. Abu Hafs Sirajuddin ad-Damsyiqi, Tafsir al-Lubab fi Ilm al-Kitab (http://www.altafsir.com) Maktabah Syamilah
  4. Jalaluddin al-Suyuthi, Dur al-Mantsur, (http://www.altafsir.com) Maktabah Syamilah
  5. Abu Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir al-Quran al-Adhim, tahqiq:Sami bin Muhammad Salamah (Riyadh: Malik Fahd, 1999 M) tanpa tahun cetak.

[1] Tafsir Abu Hayan, 6: 360

[2] Tafsir Dur al-Mantsur fi Ta’wilbil Ma’tsur: 5: 260

[3] Tafsir al-Baghawi, 4: 146

[4] Al-Lubab, 9: 32

[5] Tafsir al-Lubab fi Ulum al-Kitab, 1: 328

[6] Tafsir Ibnu Katsir, hal.4:224

[7] HR. Muslim,

[8] HR. Muslim, (1/539).

[9] Hadits riwayat Muslim, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 6/23

[10] HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam Shahih al-Jami’, (no. 3488).

[11] HR. al-Bukhari, dalam Shahihnya, (no. 98).

[12] HR. al-Bukhari, dalam Shahihnya, (no. 101).

[13] Fathul Baari, hal. 1:195

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

One comment

  1. assalamualaikum…alhamdulilah wa syukru lilallah wala haulah wala kuwata illa billah..,puji syukur senantiasa saya ucapkan kepada sang pencipta dan sang penguasa dari apa yang ada di bumi ini…, saya ucapkan banyak terima kasih atas artikel in sehingga saya dapatlah mengerti akan keilmuan-keilmuan yang sedang saya cari…, dan semogah allah senantiasa memberikan taufik dan hidayahnya kepada anda..,wassalamualaikum wr,wb.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *