Syubhat-Syubhat Seputar Hadis, Menjawab Inkarus Sunnah

Telah diketahui bersama, bahwasanya sunnah merupakan hujjah (dalil) penting yang ke dua dalam dien ini setelah al Qur’an. Akan tetapi ada sebagian orang ataupun kelompok dari umat ini yang meragukan bahkan menolak sunnah (inkarus sunnah) sebagai pedoman hidup setelah al Qur’an.

Maka mereka kemudian membuat – buat berbagai macam syubhat yang menjadikan orang-orang Islam ini semakin ragu akan kebenaran sunnah Nabi Muhammad saw. Salah satu dari orang-orang yang mengadakan berbagai syubhat yaitu D.R. Muhammad Taufiq Sidqi. Kemudian juga ada kelompok yang secara terang-terangan menolak kehujahan sunnah, yang mereka menamakannya sebagai kelompok inkarus sunnah.

Adapun D.R. Muhammad Taufiq Sidqi, melontarkan syubhatsyubhat tentang sunnah dalam majalah “Al Manaar” dengan judul makalahnya “Al Islam Huwa al Qur’an Wahdah”. Dirinya menganggap bahwa dengan usahanya tersebut mampu membantu agamanya.[1]Diantara syubhatsyubhatnya yakni :

Bahwasanya Allah swt berfirman :

…مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ  #

“….Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”[2]

Dan dalam firman-Nya lagi :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ #

“…Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”[3]

Menunujukkan bahwa al Qur’an telah menghimpun segala sesuatu dari segala permasalahan dan ketentuan agama dan hukum-hukumnya, dengan penjelasan yang sempurna, terperinci dan jelas. Sehingga hal ini tidak lagi membutuhkan sunnah sebagai pen   jelas segala permasalahan hukum dalam agama ini.

Bantahan terhadap syubhat di atas :

Al-Qur’an surat Al-An’am : 38 yang dinyatakan oleh para pengingkar sunnah sebagai argumen untuk menolak sunnah adalah tidak benar dengan alasan bahwa :

  1. Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan al-kitab dalam ayat tersebut adalah al-Qur’an. Dalam al-Qur’an termuat semua ketentuan agama. Ketentuan itu ada yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci. Ketentuan yang bersifat global dijelaskan rinciannya oleh hadits Nabi r. Apa yang dijelaskan oleh Nabi r menurut al-Qur’an wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.
  2. Menurut sebagian ulama lagi, yang dimaksud dengan kata al-kitab dalam ayat tersebut adalah al-Lauh al-Mahfuzh. Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua peristiwa tidak ada yang dialpakan oleh Allah U. Semuanya termuat dalam al-Lauh al-Mahfuzh. Pengertian tersebut sesuai dengan kalimat yang sebelumnya.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ #

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.”[4]

Dalam ayat diatas Allah U menerangkan bahwa semua binatang yang melata dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya adalah umat juga sebagaimana manusia. Allah U telah menetapkan kehidupan dan  rezekinya, ajalnya, kebahagian dan kesusahannya yang termaktub di al-Lauh al-Mahfuzh.[5]

Dengan demikian, al-Qur’an surat al-An’am : 38 sama sekali tidak menunjukkan penolakannya terhadap hadits Nabi r. Menurut pendapat yang disebutkan pertama, ayat dimaksud justru menilai sangat penting kedudukan hadits dalam kesumberan ajaran Islam.

Ayat-ayat yang disebutkan oleh pengingkar sunnah sebagai petunjuk tentang pelaksanaan ibadah shalat, ternyata ayat-ayat yang bersangkutan masih bersifat global juga. Ayat-ayat itu masih sangat sulit diketahui pelaksanaan dan rinciannya, tanpa dibantu oleh hadits Nabi r. Apabila dinyatakan bahwa ibadah shalat telah disyari’atkan oleh Allah U kepada Nabi  Ibrahim ‘alaihis salam, maka untuk mengetahui secara benar apa yang telah disyari’atkan itu diperlukan penjelasan dan contoh dari Nabi  Muhammad r.

Tanpa bantuan hadits Nabi r, sangat sulit diketahui tata cara yang benar tentang ibadah shalat yang dikehendaki oleh Allah U, apalagi jarak waktu antara masa hidup Nabi  Ibrahim ‘alaihis salam dan Nabi  Muhammad r tidaklah pendek. Di samping itu, berdasarkan petunjuk al-Qur’an yang menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Nabi  Muhammad r adalah syari’at yang sempurna, maka hal itu menunjukkan ada beberapa perbedaan tertentu antara syari’at yang dibawa oleh Nabi  Muhammad r dan para Rasulullah sebelum beliau, termasuk yang telah dibawa oleh Nabi  Ibrahim ‘alaihis salam.

Apabila dinyatakan bahwa tata cara shalat tidaklah penting dan yang penting adalah subtansinya saja, maka hal itu menyalahi pentunjuk al-Qur’an sendiri, misalnya yang termuat dalam surat al-Ma’un : 4-7. Dari ayat itu dapat dipahami bahwa tata cara shalat sangat penting kedudukannya.[6]

Baca juga:   Hadis Palsu Seputar Ramadan Karya Prof. Ali Musthafa Yaqub

Apabila petunjuk hadits Nabi r berkenaan dengan ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya ditolak, maka:

  1. Setiap orang akan bebas untuk membuat tata cara sendiri dan menggunakan bahasa sendiri.
  2. Setiap orang akan bebas membikin cara beradzan.
  3. Orang-orang yang menunaikan ibadah haji akan bebas untuk membuat tata cara sendiri-sendiri.
  4. Ibadah zakat fithrah, shalat hari raya, shalat istisqa’ dan lain-lain tidak diperlukan lagi.

Al-Qur’an surat An-Nahl : 89 yang telah dikutip di atas sama sekali tidak memberi petunjuk bahwa sunnah tidak diperlukan. Ayat itu, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Syafi’i, mengandung pengertian dan petunjuk yang menjelaskan bahwa :

  1. Ayat al-Qur’an secara tegas menerangkan adanya: Berbagai kewajiban, misalnya kewajiban Shalat, puasa dan haji. Berbagai larangan, misalnya larangan zina, minuman keras, bangkai, darah, dan daging babi. Teknis pelaksanaan ibadah tertentu, misalnya tata cara berwudhu.
  2. Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, misalnya kewajiban shalat. Dalam hal ini hadits menerangkan teknik pelaksanaannya.
  3. Nabi Muhammad menetapkan suatu ketentuan yang dalam al-Qur’an ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadits tersebut wajib ditaati sebab Allah U menyuruh orang-orang yang beriman untuk mematuhi petunjuk Nabi r.
  4. Allah Swt mewajibkan para hambanya (yang memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan ijtihad. Kedudukan kewajiban melakukan ijtihad itu sama dengan kedudukan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diperintahkan oleh Allah U.[7]

Dengan demikian, surat An-Nahl : 89 sama sekali tidak menolak hadits (sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits (sunnah), disamping ijtihad.

Sebagian ulama lagi menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah semua ketentuan agama, yang didalamnya tercakup ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi r. Hadits Nabi r dicakup oleh QS. An-Nahl: 89 itu karena salah satu fungsi Nabi r menurut al-Qur’an adalah menjelaskan al-Qur’an.[8] Dengan demikian, ayat tersebut sama sekali tidak menolak hadits Nabi r. Bahkan hadits Nabi r merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam.

Khabar dari Nabi Muhammad saw yang menunjukkan atas tidak adanya kehujahan sunnah.

Diriwayatkan bahwa Nabi r memanggil orang-orang Yahudi, kemudian beliau menanyainya dan mereka pun menjawabnya dengan jawaban yang dusta atas Isa ‘alaihis salam. Maka Nabi r pun naik minbar dan berkhutbah dihadapan manusia. Beliau r bersabda : “Sesungguhnya hadits akan , maka apa saja yang datang kepada kalian yang bersesuaian dengan al Qur’an, maka itu dariku. Dan apapun yang menyelisihi al Qur’an, maka itu bukan dariku.”

Dan diriwayatkan juga, bahwa Nabi r bersabda, “Apabila kalian mengambil hadits dariku yang kalian ketahui, maka jangan kalian ingkari. Aku mengatakannya ataupun tidak maka benarkanlah. Sesungguhnya diriku mengatakan apa yang diketahui dan tidak diingkari. Dan apabila kalian mengambil hadits dariku, kalian mengingkarinya dan kalian tidak mengetahuinya, maka janganlah kalian membenarkannya. Karena sesungguhnya aku tidak mengatakan apa yang diingkari dan tidak diketahui.”

Diriwayatkan juga, bahwasanya beliau r bersabda, ” Sesungguhnya aku tidak menghalalkan kecuali apa yang telah dihalalkan oleh Allah U dalam kitab-Nya. Dan aku tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan oleh Allah U dalam kitab-Nya.”

Jawaban terhadap syubhat di atas :

Kedudukan semua hadits di atas adalah dhaif, tidak diperbolehkan untuk berpegang dengannya. Diantaranya munqati’, sebagiannya lagi riwayatnya tidak tsiqah atau majhul.

Imam Syafi’i mengatakan dalam kitab “Ar Risalah“, “Tidak ada seorangpun baik yang kecil maupun yang besar yang dapat dijadikan hujjah dalam meriwayatkan hadist tersebut. Hadits yang diriwayatkan oleh orang ini tidak dapat diterima. Dan riwayat ini juga munqati’ yang berasal dari seorang yang majhul (tidak dapat diterima periwayatannya). Dan kami tidak menerima riwayat seperti ini dalam segala sesuatu.”

Baca juga:   Hikmah Diciptakannya Bintang

Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitab jami’nya, “Abdurrahman bin Mahdi mengatakan,”Orang-orang zindiq dan khawarij, mereka memalsukan hadits ini.”

Kemudian ada beberapa syubhat dari kalangan yang menolak kehujahan sunnah, diantaranya syubhat tersebut :

Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah  swt kepada Nabi  Muhammad saw melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi saw. Dengan demikian, hadits Nabi r  tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al-Qur’an.

Jawaban :

Al-Qur’an memang benar tertulis dalam bahasa Arab. Didalamnya terdapat kata-kata yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, ada yang berstatus global dan ada yang berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa ayat itu khusus ataupun rinci, diperlukan petunjuk al-Qu’ran dan hadits Nabi saw. Di dalam al-Qur’an tidak diterangkan secara tegas, apakah wanita yang sedang haid, boleh shalat ataukah puasa. Melalui petunjuk hadits Nabi saw  maka jelaslah bahwa wanita yang haid tidak dikenakan kewajiban shalat dan tidak sah puasanya, dia dikenakan kewajiban meng-qadha’ puasanya diluar bulan Ramadhan.

Meskipun ada orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang bahasa Arab. Pada kenyataannya, banyak orang yang mendalam pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, tetapi mereka tetap menghajatkan kepada hadits Nabi r untuk memahami kandungan ayat-ayat al Qur’an.

Dalam  sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi r. Jadi, menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi r  merupakan sumber kemunduran  umat Islam. Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits Nabi saw.

Jawaban :

Memang benar umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam pecah bukan disebabkan oleh sikap mereka berpegang kepada hadits. Dalam sejarah umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M). puncak kemajuan terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. ulama’ besar yang hidup pada zaman itu tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Periode klasik berakhir ketika Baghdad jatuh ke tangan Hulago Khan.

Berdasarkan bukti sejarah tersebut, ternyata periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan lainnya. Ajaran hadits telah ikut mendorong memajukan umat Islam karena hadits Nabi r, sebagaimana al-Qur’an, telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menuntut pengetahuan.[9] Di samping itu, hadits Nabi r, sebagaimana al-Qur’an, telah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersatu dan menjauhi perpecahan.

Sesuai dengan argumen-argumen tersebut maka jelaslah bahwa hadits sama sekali bukan penyebab kemunduran umat Islam. Pengingkar sunnah yang menuduh bahwa hadits merupakan penyebab kemunduran umat Islam memberi petunjuk bahwa pengingkar sunnah tersebut tidak memiliki pengetahuan yang benar dan mendalam tentang sejarah Islam dan hadits Nabi r.

Landasan hukum dalam Islam terbatas pada al-Qur’an saja. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah U bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu dan Aku telah ridha Islam sebagai dien.”[10]

Sedangkan al-Quran telah menjelaskan segala sesuatunya. Adapun hadits, hanyalah merupakan kebijaksanaan seorang pemimpin dan ijtihadnya yang bisa berubah-ubah menyesuaikan kemaslahatan, bukan merupakan sumber hukum yang cocok untuk setiap keadaan & zaman. Bila hadits merupakan landasan hukum, tentu Rasulullah r menyuruh sahabat menulisnya agar tidak hilang.

Bantahannya :

Kandungan makna yang benar dari kedua ayat yang mereka paparkan adalah : telah sempurna dan lengkap apa yang kamu butuhkan dari dasar-dasar halal haram dan kaidah-kaidah dasar hukum segala sesuatu. Akan tetapi kesemuanya itu bersifat umum, global. Maka perlu ada penafsiran, perincian. Yang dalam hal ini diperankan oleh al-Hadits. Hal ini senada maknanya dengan firman Allah U :

Baca juga:   Pandangan Ali Musthafa Ya'qub Tentang Ilmu Hadis

“Dan Kami turunkan kepadamu ad dkir ( al Qur’an ) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya.”[11]

Sebagian mereka mengingkari keabsahan hadits ahad karena dia hanya melahirkan prasangka, sedangkan kita tidak boleh beribadah kepada Allah U hanya dengan prasangka.[12]

Bantahannya :

Bahwasanya Allah U berfirman :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ #

“Dan tidaklah sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ( ke medan perang ). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri.”[13]

Dalam ayat di atas, kata طَائِفَةٌ berarti dalam bahasa Arab dapat berarti satu orang. Kalau peringatan orang yang adil yang pergi untuk bertafaqquh fiddin saja wajib diterima, maka periwayatan orang yang adil yang haafidz juga harus diterima.

  1. Rasulullah r mengirim delegasi kepada raja-raja di berbagai negara untuk dakwah islamiyah, dan mereka itu perorangan. Ini adalah dalil yang nyata.
  2. Kita mengamalkan hadits ahad bukan berarti beribadah kepada Allah U dengan prasangka, tetapi kita beribadah kepada Allah U dengan prasangka kejujuran pembawa berita. Sebagaimana di dalam menetapkan hilal pada Ramadhan yang dilakukan oleh perorangan atas wajibnya puasa bulan Ramadhan.

Mereka mencela ahli hadits, diantaranya adalah Abu Hurairah t. Bahwa beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits tetapi tidak menulisnya, bahkan beliau juga

meriwayatkan hadits dari sahabat lainnya. Sedangkan sebagian sahabat diragukan kejujurannya. Diantara orang yang membuat-buat syubhat tentang Abu Hurairah t ini adalah Mahmud Abu Royah dalm kitabnya ” Adhwaa’u ‘Alas Sunnah al Muhammadiyyah”.[14]

Bantahannya :

  1. Beliau banyak meriwayatkan hadits karena kecerdasannya. Sebelum masuk islam jelek hafalannya, setelah masuk islam dan mendapat do’a Al-Qur’an Rasulullah r maka beliau menjadi sahabat yang paling bagus hafalannya serta paling banyak, disamping juga karena beliau memiliki waktu paling banyak untuk mendampingi Rasulullah r.
  2. Beliau tidak menulis hadits, ini bukanlah rahasia umum,  mayoritas sahabat juga tidak menulis hadits karena memang mereka tergolong masyarakat yang ummi (tidak bisa baca tulis).
  3. Beliau meriwayatkan hadits dari para sahabat, ini juga bukan merupakan sesuatu yang aib, mayoritas sahabat juga melakukan hal yang serupa, terutama para sahabat yang masih muda atau yang akhir masuk Islam. Hal itu mereka lakukan karena mereka tahu bahwa para sahabat itu adil dan diterima periwayatannya.

[1] D.R. ‘Abdul Ghina Muhammad ‘Abdul Khaliq,”Bayaanus Syubhah Allatii Auradahaa Ba’dhu Man Yunkiru Hujiyyatus Sunnah Wa Raddu  ‘Alaihaa”, dalam kitab “Difaa’un ‘Anis Sunnah”,karya Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Daarul Jiil, Cet I, Hal  396.

[2] Q.S. Al An’am : 38

[3] Q.S. An Nahl : 89

[4] Q.S. Al An’am : 38

[5] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Hal 397; Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, dar al-Katib al-‘Araby, Cet th 1387 H = 1967 M, juz IV, hal 420.

[6] Lihat pengertian kata saahun dalam ayat tersebut di kitab-kitab tafsir.

[7] al-Syafi’i, al-Risalah, naskah diteliti oleh Ahmad Muhammad Syakir, Maktabah Dar al-Turats, Kairo, Cet th 1399 H = 1979 M, hlm 21-39.

[8] Muhammad bin Ali bin Ahmad As-Saukany, Fathul Qadir, Dar al-Fikr, Beirut, Cet th 1393 H = 1973 M, juz III hlm 187.

[9] Lihat al-Qur’an misalnya; S. Fathir: 28, az-Zumar: 9, dan hadits Nabi  yang tercantum dalam kitab shahihain dan lainnya.

[10] Q.S. Al Maidah : 3

[11] Q.S. An Nahl : 44

[12] Manna’ Qattan.Tarikh At Tasyri’ Al Islamy.Cet V th 1422 H-2001M. Hal 84

[13] Q.S. At Taubah : 122

[14] D.R. Muhammad ‘Ajaaj Al Khatib, As Sunnah Qobla at Tadwin, Daarul Fikr, Cet IV th 1383H-1963M, Hal 447.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *