Ada beberapa golongan yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahad bukan hujjah bagi aqidah. Karena, menurut mereka, Hadits Ahad itu bukan qath’iyus tsubut ( ketetapan yang pasti atas keberadaannya), maka mereka anggap tidak memberi (apa-apa) terhadap ilmu yakin/aqidah. Keyakinan ini adalah keyakinan yang salah.
Dinamakan dengan hadis ahad karena hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh bayak orang dan tidak mencapai syarat-syarat hadist mutawatir hal ini seperti disebutkan dalam Muqaddimah fii Mushthalahil Hadits oleh Al-Albani, hal 14), di sana –hadis ahad masih terbagi menjadi 3, diantaranya :
- Hadits ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan hadits gharib,
- dan bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut hadits ‘aziz,
- sedangkan hadits ahad yang diriwayatkan jama’ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits masyhur.
Jadi Hadits Ahad itu, hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang namun belum mencapai taraf hadis mutawatir.
Hadits Ahad, menurut muhadditsin (para ahli hadits) dan jumhur (mayoritas) ulama muslimin pada setiap masa dan tempat telah menyepakati kewajiban untuk mengamalkan dan mengambil hadits ahad sebagai landasan dalam hukum-hukum fiqih dan akidah apabila memenuhi syarat kesahihan dan diterimanya hadits itu.
Orang yang mengingkari khabar ahad sebagai hujjah dalam akidah maka itu adalah sebuah anggapan bodoh dan kesesatan. Semua ulama’ telah sepakat dengan pendapat tersebut bahkan mereka menganggap pendapat mereka bagian dari agama.
Makna Dzan
Seperti yang kita ketahui hadis ahad bukanlah hadis yang qath’iyus tsubut ( ketetapan yang pasti atas keberadaannya) tapi Dzan, para ahli hadis mengatakan bahwa apabila dzan jauh dari indikasi-indikasi yakin maka ia disebut wahm, takharrush, dan takhmin. Namun bila telah cenderung pada keyakinan maka disebut ilmu dan yakin. Pakar bahasa berkata:”Dzan adalah keraguan dan keyakinan.”
Apabila dalil-dalil kebenaran dan keraguan memiliki kekuatan yang sama, maka ia termasuk dalam kategori syak.
Maka jelas mengapa Allah mencela orang-orang musyrik yang mengikuti persangkaan mereka. Dzan orang-orang musyrik tersebut mengandung pengertian, wahm, takharrush, takhmin, kadzib termasuk pada sikap berkomentar tentang Allah tanpa didasari ilmu pengantahuan.
Tidak ragu lagi bahwa dzan yang dikandung oleh hadits ahad yang adil lebih cenderung kepada dalil-dalil kebenaran. Karena yang menolaknya ternyata menjadikannya sebagai dalil atau hujjah dalam hukum-hukum syari’ah, sebab dzan yang marjuh (jauh dari makna yakin tidak bisa dijadikan hujjah baik dalam hukum maupun ibadah.
Khawarij dan Mu’tazilah juga telah menjadikan ayat-ayat dzan sebagai dalil tidak bolehnya berhujjah dengan hadits-hadiits ahad, baik dalam masalah akidah atau hukum.
Jadi mereka salah ketika menafsirkan dzan yang dikandung hadits ahad. Karena mereka mengkiyaskan dengan persangkaan orang musyrik terhadap Rabb.
Ada beberapa ayat lain menegaskan, hadits ahad merupakan hujjah.
Firman Allah:
“Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122).
Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek akidah maupun hukum, niscaya Allah dalam ayat diatas, tidak mengkhususkan mereka untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungna hadits ahad.
Jadi hadits yang diriwayatkan oleh satu orang yang adil mengandung pengertian ilmu(yakin), karena hadits ahad yang dibawa orang adil tidak perlu mencari kejelasan dan pemeriksaan yang teliti.
Memilah-Milah Tanpa Dasar
Orang-orang yang mengatakan bahwa Hadits Ahad tidak jadi landasan ketetapan aqidah, mereka mengatakan pada waktu yang sama, bahwa hukum-hukum syara’ ditetapkan dengan Hadits Ahad. Dengan ini maka mereka telah membeda-bedakan antara aqidah dan hukum. Lalu dari mana mereka ini bisa membeda-bedakan seperti itu? Dan dari mana mereka mengadakan pertentangan yang nyata ini? Sedangkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’minah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam bukunya, Fathul Bari, kitab akhbarul ahad, bab apa yang datang dalam hal kebolehan khabarul wahid (hadits ahad) yang benar dalam adzan, shalat, puasa, dan kewajiban-kewajiban, dan hukum-hukum 13/231.
Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Ar-Rad ‘alaa man radda khabarul wahid idzaa kana zaidan ‘alal Qur’an, yang ringkasnya: Sunnah beserta Al-Quran itu ada tiga segi.
- Pertama : Sesuai dari semua seginya, maka ia menjadi dalil yang saling melengkapi.
- Kedua : Sunnah itu sebagai penjelasan terhadap apa yang dikehendaki Al-Quran.
- Ketiga : Sunnah itu menjadi petunjuk atas hukum yang didiamkan oleh Al-Quran.
Yang ketiga ini menjadi hukum yang diawali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajib ditaati. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati kecuali dalam hal yang menyepakati Al-Quran, maka tidak ada (perintah) ketaatan khusus kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak Mengambil Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah Itu Bid’ah
Sesungguhnya membedakan antara aqidah dan hukum dalam mewajibkan pengambilan hadits ahad itu adalah falsafah yang menyusup (dakhiilah) masuk ke dalam Islam. Sedangkan membedakan antara keduanya (aqidah dan hukum) itu adalah bid’ah temporer yang baru, yang tidak dikenal oleh salaful ummah (ummat terdahulu) dan tidak pula para imam sebelum kita.
Oleh karena itu, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim berkata dalam Kitab Mukhtashar As-Shawaa’iq 2/ 412) : “Pembedaan (aqidah dengan hukum) ini adalah batil secara ijma’ul ummah (kesepakatan ummat). Karena ummat itu senantiasa berhujjah dengan hadits-hadits ini maksudnya Hadits Ahad, dalam hal aqidah sebagaimana berhujjah dengannya dalam hal tuntutan beramal.”
Dalil-Dalil Wajibnya Memegangi Hadits Ahad Dalam Aqidah
Dalil Pertama:
Allah Ta’ala berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…” (Al-Hujuraat: 6).
Dalil Kedua:
Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu anhu , ia berkata: Sementara orang-orang di Qubba’ sedang shalat shubuh tiba-tiba datang kepada mereka seorang pendatang, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dituruni Al-Qur’an dan diperintah untuk menghadap ke Ka’bah”, maka mereka (yang sedang shalat itu) menghadapnya (ke Ka’bah), sedangkan tadi wajah-wajah mereka (menghadap) ke Syam, lalu mereka memutar diri ke Ka’bah. (HR Al-Bukhari 13/231 dalam kitab Fathul Bari, dan riwayat Muslim).
Dalil Ketiga:
Dari Sa’id bin Jubair Radhiallahu anhu , ia berkata: Saya berkata kepada Ibnu Abbas Ra : Sesung-guhnya Nauf Al-Nakali menyangka bahwa Musa teman Khidhr itu bukan Musa Bani Israil. Lalu Ibnu Abbaszberkata: Telah berdusta musuh Allah, telah mengabarkan kepadaku Ubai bin Ka’ab, ia berkata: Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami kemudian beliau menyebutkan peristiwa Musa dan Khidhr dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa Musa As adalah sahabat Khidhr. (dikeluarkan oleh Syaikhani secara panjang, dan As-Syafi’i demikian pula, diringkas).
Dalil keempat :
Para Ulama sepakat bahwa kedudukan hadits ahad sebaga hujjah harus diamalkan, akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap simpulan yang dihasilkan hadits ini, mayoritas ahli fiqih dan ahlu hadits berpandangan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari orang yang tsiqah adalah hujjah tetapi tidak memberikan simpulan yang bersifat pasti (ainul yaqin) tetapi sebagian ahli hadits sepertti Ahmad dan Imam Malik berpendapat bahwa hadits ahad juga memberi simpulan yang bersifat pasti. Ulama berpendapat bahwa hadits ahad dapat dipercaya karena ia dirujuk dalam menentukan halal dan haram dan mereka menggolongkannya sebagai salah satu sumber syariat.
Dalil kelima :
Abdullah bin Mas’ud r.a meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Semoga Alloh mencerahkan wajah hamba-Nya yang mendengar sabdaku, menghafal, memahami dan menyampaikannya. Bisa saja orang yang meriwayatkan tidak paham apa yaaang diriwayatkannya, mungkin saja orang yang mendeengar lebih paham dari perawi yang meriwayatkannya”.
Pada Hadits ini Rasulullah memotivasi seseorang untuk mendengar, menghafal dan menyampaikan sabdanya. Kata ‘seseorang’ disini artinya satu, ini menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan satu orang untuk menyampaikan apa yang terkait dengan halal dan haram, harta yang harus diambil dan diberikan dan nasihat soal agama dan dunia. Berarti, berita dari satu orang adalah hujjah.
Dalil keenam:
Diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa Nabi saw bersabda: “Aku tidak sekali-kali mendapati salah seorang dari kailain yang duduk diatas tempat duduknya lalu datang urusanku yang berkaitan dengan yang aku larang dan aku perintahkan, lalu ia berkata, “kami tidak tahu, apa yang kami dapati dalam kitab Alloh ituah yang kami ikuti”.Imam syafi’I berkata: “bahwa berita dari rasuullah saw harrus dilaksanakan, meskipun mereka tidak menemukan nash dalam kitab Alloh”.
Dalil Ketujuh :
Amalan sahabat: para sahabat mengikuti apa yaang diperintahkan dan apa yang dilarang Nabi saw dan mereka tidak membedakan antara hukum yang bersumber dari al quran atau dari Rasulullah
Dalil Kedelapan :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” [Al Hujurat : 6]
Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah)). Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu.
Ibnu Taimiyah dalam Al Musawaddah berkata:”Ijma’ mengenai hadits ahad memberikan pengartian ilmu (yakin), jika tidak maka apa yang tidak memberikan memberikan arti yakin dan tidak pula diamalkan, bagaimana mungkin akan dijadikan syariat.
Kesimpulan:
Bahwa setiap Muslim wajib meng-imani setiap hadits yang tetap (shahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama telah mengandung syarat-syarat shahih dan diterima bagi ahli ilmu tanpa ada cela dalam sanad ataupun matannya, baik itu dalam hal aqidah ataupun ahkam.
Referensi:
- Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, Dar Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm
- Sunnah dalam ancaman Hurgrounje sampai Belanda, Dr Daud Rasyid
- Tarikh Tasri’ Islami, Manna’ Qatthan
- Makalah ‘Berhujjah dengan Hadits Ahad dalam masalah Aqidah’.