Yahya Al-Buwaithi dan Kriminalisasi Ulama

Pada zaman dahulu, kriminalisasi terhadap para ulama sudah ada, diistilahkan dengan ‘Mihnah’ yaitu penguasa menangkap seseorang dengan tuduhan kemudian menginterogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan sampai mereka setuju dengan pendapat penguasa.

Mihnah yang paling dahsyat adalah ketika terjadi fitnah Khalqul Quran yaitu anggapan bahwa Al-Quran adalah Makhluk. Fitnah antara ulama dan penguasa. 

Ulama ulama yang ingin aman dan takut dihukum, menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluk, dan orang orang yang tetap berpegang teguh dan enggan membuat umat sesat tetap mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah makhluk. 

Ulama yang dikenal berada di garda depan dalam fitnah ini ada empat yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Pembaca yang ingin mengetahui perjuangan beliau, silahkan seacrh di blog ini tentang Ahmad bin Hanbal, sudah kami tuliskan beberapa tulisan tentang fitnah antara beliau dan penguasa kala itu. 

Kedua, Muhammad bin Nuh bin Maimun yang wafat ketika perjalanan dibawa ke penjara, ketiga,  Nu’aim bin Hammad Al-Khuza’i yang wafat di penjara dan yang keempat, Imam Al-Buwaithi. 

Kami ingin memperkenalkan Imam Al-Buwaithi, maka berikut ini kami tuliskan sedikit tentang biografi beliau dan bagaimana kesabarannya menghadapi fitnah. Imam Ahmad dan Imam Al-Buwaithi layak menjadi contoh dalam menghadapi ujian terhadap penguasa. 

Namanya Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi atau lebih dikenal dengan Imam Al-Buwaithi. Salah seorang ulama tertinggi dalam mazhab Syafi’i. 

Dr. Utsman Abdurrahman, dosen di Universitas Al-Azhar menyebutkan bahwa Al-Buwaithi lahir pada tahun 231 H di sebuah desa bernama Buwaith di Mesir, ada juga yang mengatakan beliau tidak lahir di Buwaith, beliau pernah belajar Kitab Al-Buwaithi sehingga dinasabkan ke beliau dan beliau lahir di kota Asyuth. 

Ketika kecil beliau mulai belajar menghafal Al-Quran, kemudian belajar fiqih, tafsir, ilmu kalam, bahasa Arab dan ilmu yang lain. Bersandar pada mazhab Imam Malik kemudian berpindah ke mazhab Syafi’i setelah Imam Syafi’i datang dan tinggal di Mesir. 

Al-Buwaithi menjadi murid spesial Imam Syafi’i sampai beliau wafat. Dan menjadi orang yang menyebarkan mazhab Syafi’i kepada masyarakat. 

Baca juga:   Ibarat Pedang

Jika saat ini di Indonesia ada laskar pembasmi maksiat seperti FPI, ternyata di Kairo dulunya ada lembaga penegak “Nahi Mungkar”yang dipimpin langsung Imam Al-Buwaithi atas perintah gurunya, Imam Syafi’i. Bergotong-royong bersama aparat setempat lembaga tersebut membasmi maksiat. 

Imam Al-Buwaithi juga memiliki kebiasaan membangun fasilitas umum untuk masyarakat, dan tidak jarang beliau mendapatkan kepercayaan dari Imam Syafi’i untuk berfatwa.

Suatu hari, datanglah seseorang kepada Imam Syafi’i untuk meminta fatwa atas garis pembatas tanah namun Imam Syafi’i tidak menjawab tetapi beliau membawa permasalahan tersebut kepada Imam Al-Buwaithi seraya berkata,“Orang ini (Imam Al-Buwaithi) adalah lisanku ”.

Menjelang detik-detik kepergian imam Syafi’i, Al-Humaidi sebagai murid yang dituakan mendekat ke ranjang imam Syafi’i, dia memohon agar sang guru menunjuk pewaris majlisnya sebab dia khawatir akan adanya perselisisihan kelak sepeninggalan beliau. “Tidak ada yang lebih berhak atas majlisku selain Al-Buwaithi” ujar Sang Guru. 

Beliau berwasiat pada para muridnya untuk terus berada di majlis imam Al-Buwaithi. Oleh karena itulah Imam Al-Buwaithi selalu menggantikan peranan Imam Syafi’i dalam segala hal setelah beliau wafat. Puncaknya, tidak sedikit para murid Al-Buwaithi yang menjadi imam dan menyebar keseluruh penjuru dunia.

Bersamaan dengan derajat dan kemasyhuran Imam Al-Buwaithi yang terus naik daun, tidak sedikit orang yang dengki dan ingin menjatuhkan beliau.

Abu Laits Al-Hanafi iri dengan pangkat dan derajat Imam Al-Buwaithi dalam mazhab Syafi’i dan disisi manusia. Maka dia melaporkan kepada Khalifah Al-Watsiq dan ketika itu sedang terjadi fitnah Khalqul Quran.

 Abu Laits ingin menjebak Al-Buwaithi dengan pertanyaan seputar Khalqul Quran, pertanyaan ini memang diujikan kepada semua ulama kala itu, bagi yang tidak setuju dengan penguasa akan dipenjara. 

 Tatkala kota Baghdad jatuh dalam cengkraman Mu’tazilah, mereka menyebarkan doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan menyiksa dengan kejam bagi siapa saja yang berselih paham dengan mereka. Banyak ulama Baghdad yang menyerah dan terpaksa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebab tak kuasa menerima siksaan tersebut.

Baca juga:   Muslim Mentawai Masih Makan Babi dan Solusinya

 Abu Bakar Al-Asyam sebagai hakim tinggi kaum Mu’tazilah menyurati hakim agung Ahmad bin Abi Daud untuk menangkap Al-Buwaithi. Imam Al-Buwaithi menegaskan pada gubernur Mesir: ”Pengikutku berjumlah ratusan ribu, sesatlah mereka jika aku berpura-pura hanya agar selamat dari siksa”. Maka dibelenggulah Imam Al-Buwaithi dan digiring ke Baghdad.

 Gubernur Mesir Al-Watsiq Billah yang sangat menghormati Al-Buwaithi hanya dapat berpangku tangan melihat kembali kejadian yang pernah menimpa Imam Ahmad bin Hambal hingga merenggut nyawanya atas Imam Al-Buwaithi.

Imam Robi’ bin Sulaiman berkata: “Aku melihat Imam Al-Buwaithi dinaikkan ke bighal, di lehernya terdapat belenggu seberat empatpuluh pon. Tangan kakinya dililit dengan borgol, antara belenggu leher dan borgol terdapat rantai besi terurai seberat empat puluh pon, di saat itu Imam Al-Buwaithi berkata:“Allah ciptakan makhluknya dengan berfirman ‘KUN’ maka terjadilah, seandainya firman ‘KUN’ ini makhluk, berarti Kholiq menciptakan makhluk yang akan menciptakan makhluk (lagi), andai aku bertemu Al-Watsiq, akan aku sampaikan ini padanya”.

Allahu Akbar, para pembaca sekalian, inilah akhlak ulama yang harus kita ikuti, tidak takut dalam membela kebenaran sekalipun kepada penguasa.   Jalan mana yang ingin kalian ikuti? 

Sayangnya justru karena ucapan tersebut Imam Al-Buwaithi dihalang-halangi agar tidak berjumpa Al Watsiq Billah. Salah seorang pengawal Mu’tazilah mencatat ucapan dan hujjah beliau kemudian melaporkannya pada Hakim Agung Ahmad bin Abi Daud, ia pun kaget mengetahui betapa cerdas Imam Al Buwaithi hingga mampu merubah faham Mu’tazilah hanya dengan beberapa kalimat, maka Ahmad bin Abi Daud semakin menghalangi Imam Al-Buwaithi untuk berjumpa Al-Watsiq Billah.

Mewarisi ketajaman logika Imam Syafi’i, kefasihan berbahasa dan kesantunan akhlaknya menjadi sebab Al-Buwaithi diisolasi. Para pembesar Mu’tazilah khawatir hal tersebut akan merenggut perhatian Khalifah yang selama ini mereka nikmati. 

Baca juga:   Benarkah Catatan Amal Dibuka pada Bulan Muharram?

Sungguh berbahaya, Imam Al-Buwaithi dikurung dalam penjara bawah tanah selama 4 tahun. Beliau paling tersiksa ketika tidak diperbolehkan beribadah dan sulit menentukan waktu sholat, hingga beliau menjadikan waktu-waktu siksa cambukan sebagai patokan waktu shalat karena sudah berbulan-bulan tidak pernah melihat matahari.

Meski demikian, beliau masih melakukan kebiasaannya seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir dan salat malam secara sembunyi-sembunyi, tidak ada waktu kosong yang disia-siakannya.  

Setelah lama meringkup dalam gelapnya buih bawah, disiksa di penjara akibat tidak mau merubah pendapatnya, Imam Al-Buwaithi masih sempat menuliskan surat bertintakan darahnya di atas kain kumal yang beliau kirim pada seorang Imam di Mesir bernama Abu Bakar Al-Asham, yang di kemudian hari Imam tersebut membacakannya di depan majlis “Aku terhalang untuk bersuci dan beribadah, berdoalah agar Allah memberi karunia jalan terbaik bagi hamba lemah sepertiku.” Tidak ada manusia yang tidak mengetahui surat beliau. 

Tidak lama berselang, Imam Al-Buwaithi dipanggil oleh Sang Khalik pada bulan Rojab tahun 231 H. Kepergian pahlawan kebenaran itu membuat para tokoh agama dari penjuru dunia terlebih ulama Mesir merasakan oase ilmu pengetahuan yang tak pernah kering ini hilang tertimbun. 

Dan benarlah firasat Imam Syafi’i tentang murid-muridnya yang beliau ungkapkan ketika masih hidup.  Suatu hari Imam Syafi’i berkata kepada muridnya Al-Muzanni dan Al-Buwaithi, Beliau melihat kepada Al-Muzanni dan berkata, ‘Engkau akan mati karena berdebat’ dan kepada Al-Buwaithi ‘Engkau akan mati dalam penjara’
Dan benar, Imam Al-Buwaithi menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara menjadi kenyataan.

Perjalanan Imam Al-Buwaithi mulai dari nol hingga wafat dapat menjadi suri tauladan bagi umat manusia bahwa memperjuangkan Islam mencapai membutuhkan pengorbanan dan berton-ton cucuran keringat.

 Keberanian beliau untuk menyatakan kebenaran sebagai sikap kepahlawanan juga merupakan hal yang sulit ditiru oleh orang lain. [] 

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *