Penjelasan singkat pengertian ingkar sunnah, sejarah awal, latar belakang dan perkembangan ingkar sunnah, dan pokok ajaran ingkar sunnah.
Pengertian Ingkar Sunnah
Inkar sunnah adalah gerakan yang ada di kalangan umat Islam yang enggan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, mereka hanya berpegang kepada al-Quran saja, ada juga menyebut inkar sunnah dengan “Munkir Sunnah”, jadi inkar sunnah adalah kelompok dari kalangan umat Islam yang menolak otoritas dan kebenaran sunnah sebagai hukum dan sumber ajaran Islam. Secara paradigma pemikiran dan pemahaman, sejarah inkar Sunnah memang sangat erat dengan golongan Khawarij, Muktazilah, dan Syiah (Rafidhah).
Sejarah Awal Kemunculan, Latar Belakang dan Perkembangannya
Edi Safri mengatakan bahwa tidak diketahui kapan pertama kali munculnya kelompok inkar sunnah, menurut beliau setidaknya informasi imam Syafi’i menjadi informasi yang memberikan gambaran bahwa di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga Hijriyah, ada masyarakat yang menganut inkar sunah dan telah menampakkan diri sebagai kelompok tersendiri dengan berbagai alasan untuk mendukung keyakinan mereka, mereka menolak hadis sunah sebagai sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.
Menurut Edi Syafri yang mengutip pendapat A’zhamy mengatakan bahwa setelah kelompok inkar sunnah pada abad kedua hijriyah, tidak ditemukan lagi inkar sunnah bahkan hampir sebelas abad kemudian, tetapi inkar sunnah kembali muncul pada abad keempat belas Hijriyah atau peralihan abad kesembilan belas ke abad dua puluh Masehi.
Dan dari segi benih kemunculan, mereka sudah tampak sejak masa sahabat. Bahkan, kabar tentang akan adanya orang yang mengingkari Sunnah sudah pernah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi, dari segi golongan atau kelompok yang terpisah dan berdiri sendiri, inkar Sunnah ini sesungguhnya tidak pernah eksis kecuali pada masa penjajahan kolonial Inggris di India sekitar abad delapan belas.[2]
Munculnya kelompok inkar sunnah, telah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. ”Berita dari Yazid bin Harun berkata: berita dari Hariz dari Abdul al-Rahman bin Abi Auf al-Jurasyi dari al-Miqdam bin Madi berkata: Rasulullah bersabda: “Ingatlah al-Quran dan hal yang seperti al-Quran yaitu hadis telah diturunkan kepadaku. Waspadalah ! kelak akan muncul orang yang perutnya kenyang, ia malas-malas di atas kursinya. Ia mengatakan pakai al-Quran saja, apabila di situ ada keterangan yang menghalalkan, maka halalkan dan jika mengharamkan, maka haramkanlah}”
Kemunculan dan perkembangannya di Indonesia.
Faham sesat ini muncul di sekitar Indonesia sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan pengajian yang mereka adakan dengan sebutan kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Alqur’an).[3]
Pengajian mereka cukup ramai di mana-mana di Jakarta. Di maanapun pengajian itu mereka adakan, jamaahnya tinggal naik antar jemput. Beberapa masjid di Jakarta mereka kuasai, di antaranya Masjid Asy-Syaf’ii di Rumah sakit pusat Cipto Mangun Kusumo, Jakarta. Pengajian tersebut dipmpin oleh Haji Abdurrahman Pedurenan Kuningan Jakarta. Pengajian dimulai ba’da maghrib dan diikuti banyak orang.
Lama-kelamaan pengajian itu tidak mau pakai adzan dan iqamat setiap akan menunaikan shalat, Sedangkan seluruh shalat dijadikan dua raka’at. Di samping itu mereka tidak mau berpuasa pada bulan Ramadhan kecuali mereka yang langsung melihat bulan.
Klasifikasi Inkar Sunnah dan Argumennya
Orang-orang yang berpemahaman Inkar Sunnah atau Munkir As-Sunnah mereka itu oleh Imam Syafi’I dibagi 3 (tiga) golongan, yakni :
- Golongan yang menolak seluruh sunnah.
- Golongan yang menolak sunnah, kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an.
- Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad.[4] Golongan yang disebutkan terakhir hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir.
Inkar sunnah menolak sunnah secara umum, argumen mereka adalah secara naqli ataupun non naqli : Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat al-Qur’an saja, tetapi juga berupa Sunnah atau hadits Nabi. Kalau diperhatikan memang agak ironis juga bahwa mereka yang berfaham ingkar sunnah dan menganggap sunnah bukanlah sebuah hukum, ternyata telah mengajukan sunnah sebagai argumen membela faham mereka. Di bawah ini adalah beberapa argumen yang mereka lontarkan :
- Argumen mereka adalah, karena al-Quran, merupakan penjelas segala sesuatu, maka menurut mereka al-Quran sebagi penjelas segala sesuatu telah mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat-Nya. Jadi tidak perlu lagi penjelasan selain al-Quran.
- Hadis-hadis Rasululah sampai kepada kita melalui riwayat proses periwayatannya tidak terjamin dari kekeliruan, kesalahan dan kedutaan terhadap rasulullah, oleh sebab itu nilai kebenarannya tidak meyakinkan(zhanny). Tidak dapat dijadikan penjelas (mubayyin) untuk al-Quran yang telah diyakini kebenarannya (qathy). Untuk dalil hanya yang qathy, sedangkan hadis bernilai zhanny maka tidak dapat dijadikan hujah dan tidak juga untuk penjelas yat-ayat al-Quran.
- Para pengingkar sunnah mereka berargumen dengan firman Alalh SWT :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”[5]
Diantara argumen yang dilontarkan mereka adalah dengan menggunakan firman Allah SWT.
…مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“….Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”[6]
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya keterangan lain, misalnya dari Sunnah. Menurut mereka, shalat lima waktu sehari semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah sunnah atau hadits, melainkan ayat-ayat al-Qur’an, misalnya QS. Al-Baqarah: 238, Hud: 114, Al-Isyra’:78, dan 110, Thaaha: 130, Al-Hajj: 77, An-Nuur: 58, dan Ar-Ruum: 17-18.[7]
Dalam kaitannya dengan tata cara shalat, Kassim Ahmad pengingkar Sunnah dari Malaysia, menyatakan dalam bahasa Malaysia:
“Kita telah membuktikan bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan amalan ini telah diperturunkan generasi demi generasi, hingga kepada nabi Muhammad dan umatnya…?
Ada hikmah yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaidah shalat dalam al-Qur’an. Pertama, karena bentuk dan kaedah ini telah diajar kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya, dan disahkan untuk diikuti oleh ummat Muhammad. Kedua, karena bentuk dan kaedah ini tidak begitu penting, dan Tuhan ingin memberi kelonggaran kepada ummat Muhammad supaya mereka boleh melakukan shalat mereka dalam keadaan apa juga, seperti dalam perjalanan jauh, dalam peperangan, di Kutub Utara, atau di angkasa lepas, mengikuti cara yang sesuai….” [8]
Dengan demikian menurut pengingkar Sunnah, tata cara shalat tidaklah penting, jumlah rakaat, cara duduk, cara sujud, ayat dan bacaan yang dibaca diserahkan kepada masig-masing pelaku shalat. Jadi ibadah shalat boleh saja dilakukan dengan bahasa daerah.
Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur’an) itulah yang benar..”[9]
Sanggahan Terhadap Argumen Di Atas.
a) Al-Qur’an Surat An-Nahl: 89 yang telah dikutip di atas sama sekali tidak memberi petunjuk bahwa sunnah tidak diperlukan. Ayat itu, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Syafi’I, mengandung pengertian dan petunjuk yang menjelaskan bahwa:
Ayat al-Qur’an secara tegas menerangkan adanya:
- Berbagai kewajiban, misalnya kewajiban Shalat, puasa dan haji.
- Berbagai larangan, misalnya larangan zina, minuman keras, bangkai, darah, dan daging babi.
- Teknis pelaksanaan ibadah tertentu, misalnya tata cara berwudhu.
- Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertntu yang sifatnya global, misalnya kewajiban shalat. Dalam hal ini hadits menerangkan teknik pelaksanaannya.
- Nabi menetapkan suatu ketentuan yang dalam al-Qur’an ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadits tersebut wajib ditaati sebab Allah menyruh orang-orang yang beriman untuk mematuhi petunjuk Nabi.
- Allah mewajibkan para hambanya (yang memenuhi syarat) untuk melakukan kegiatan ijtihad. Kedudukan kewajiban melakukan ijtihad itu sama dengan kedudukan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diperintahkan oleh Allah.[10]
Dengan demikian, QS. An-Nahl: 89 sama sekali tidak menolak hadits (sunnah) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits (sunnah), disamping ijtihad.
Sebagian ulama’ lagi menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut ialah semua ketentuan agama, yang didalamnya tercakup ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi. Hadits Nabi dicakup oleh QS. An-Nahl: 89 itu karena salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah menjelaskan al-Qur’an.[11]
Dengan demikian, ayat tersebut sama sekali tidak menolak hadits Nabi. Bahkan hadits Nabi merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam.
b) Al-Qur’an surat Al-An’am: 38 yang dinyatakan oleh para pengingkar sunnah sebagai argumen untuk menolak sunnah adalah tidak benar dengan alasan bahwa:
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan al-kitab dalam ayat tersebut adalah al-Qur’an. Dalam al-Qur’an termuat semua ketentuan agama. Ketentuan itu ada yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci. Ketentuan yang bersifat global dijelaskan rinciannya oleh hadits Nabi. Apa yang dijelaskan oleh Nabi menurut al-Qur’an wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.
Dengan demikian, al-Qur’an Surat al-An’am : 38 sama sekali tidak menunjukkan penolakannya terhadap hadits Nabi. Menurut pendapat yang disebutkan pertama, ayat dimaksud justru menilai sangat penting kedudukan hadits dalam kesumberan ajaran Islam.
Ayat-ayat yang disebutkan oleh pengingkar sunnah sebagai petunjuk tentang pelaksanaan ibadah shalat, ternyata ayat-ayat yang bersangkutan masih bersifat global juga. Ayat-ayat itu masih sangat sulit diketahui pelaksanaan dan rinciannya, tanpa dibantu oleh hadits Nabi apabila dinyatakan bahwa ibadah shalat telah disyari’atkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, maka untuk mengetahui secara benar apa yang telah disyari’atkan itu diperlukan penjelasan dan contoh dari Nabi Muhammad.
Tanpa bantuan hadits Nabi, sangat sulit diketahui tata cara yang benar tentang ibadah shalat yang dikehendaki oleh Allah, apalagi jarak waktu antara massa hidup Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad tidaklah pendek. Di samping itu, berdasarkan petunjuk al-Qur’an yang menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah syari’at yang sempurna, maka hal itu menunjukkan ada beberapa perbedaan tertentu antara syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan para Rasulullah sebelum beliau, termasuk yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim.
Apabila dinyatakan bahwa tata cara shalat tidaklah penting dan yang penting adalah subtansinya saja, maka hal itu menyalahi pentunjuk al-Qur’an sendiri, misalnya yang termuat dalam S. al-Ma’un: 4-7.dan dari ayat itu dapat dipahami bahwa tata cara shalat sangat penting kedudukannya.[12]
Apabila petunjuk hadits Nabi berkenaan dengan ibadah shalat dan ibadah-ibadah lainnya ditolak, maka:
- Setiap orang akan bebas untuk membuat tata cara sendiri dan menggunakan bahasa sendiri.
- Setiap orang akan bebas membikin cara berazan.
- Orang-orang yang menunaikan ibadah haji akan bebas untuk membuat tata cara sendiri-sendiri.
- Ibadah zakat fithrah, shalat hari raya, shalat istisqa’ dan lain-lain tidak dperlukan lagi.
Syubha-Syubhat lainnya
Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril ‘alaihis salam dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi saw. Dengan demikian, hadits Nabi SAW tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al-Qur’an.
Jawaban
Al-Qur’an memang benar tertulis dalam bahasa Arab. Didalamnya terdapat kata-kata yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, ada yang berstatus global dan ada yang berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa ayat itu khusus ataupun rinci, diperlukan petunjuk al-Qu’ran dan hadits Nabi saw. Di dalam al-Qur’an tidak diterangkan secara tegas, apakah wanita yang sedang haid, boleh shalat ataukah puasa. Melalui petunjuk hadits Nabi saw maka jelaslah bahwa wanita yang haid tidak dikenakan kewajiban shalat dan tidak sah puasanya, dia dikenakan kewajiban meng-qadha’ puasanya diluar bulan Ramadhan.
Meskipun ada orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang bahasa Arab. Pada kenyataannya, banyak orang yang mendalam pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, tetapi mereka tetap menghajatkan kepada hadits Nabi SAW untuk memahami kandungan ayat-ayat al Qur’an.
Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi r. Jadi, menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi SAW merupakan sumber kemunduran umat Islam. Agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits Nabi saw.
Jawaban
Memang benar umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam pecah bukan disebabkan oleh sikap mereka berpegang kepada hadits. Dalam sejarah umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M). puncak kemajuan terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. ulama’ besar yang hidup pada zaman itu tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Periode klasik berakhir ketika Baghdad jatuh ke tangan Hulago Khan.
Berdasarkan bukti sejarah tersebut, ternyata periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan lainnya. Ajaran hadits telah ikut mendorong memajukan umat Islam karena hadits Nabi r, sebagaimana al-Qur’an, telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menuntut pengetahuan. Di samping itu, hadits Nabi SAW, sebagaimana al-Qur’an, telah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersatu dan menjauhi perpecahan.
Sesuai dengan argumen-argumen tersebut maka jelaslah bahwa hadits sama sekali bukan penyebab kemunduran umat Islam. Pengingkar sunnah yang menuduh bahwa hadits merupakan penyebab kemunduran umat Islam memberi petunjuk bahwa pengingkar sunnah tersebut tidak memiliki pengetahuan yang benar dan mendalam tentang sejarah Islam dan hadits Nabi SAW.
Landasan hukum dalam Islam terbatas pada al-Qur’an saja. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT bahwa Dia telah menyempurnakan agama-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu dan Aku telah ridha Islam sebagai dien.”
Sedangkan al-Quran telah menjelaskan segala sesuatunya. Adapun hadits, hanyalah merupakan kebijaksanaan seorang pemimpin dan ijtihadnya yang bisa berubah-ubah menyesuaikan kemaslahatan, bukan merupakan sumber hukum yang cocok untuk setiap keadaan & zaman. Bila hadits merupakan landasan hukum, tentu Rasulullah r menyuruh sahabat menulisnya agar tidak hilang.
Jawaban
Kandungan makna yang benar dari kedua ayat yang mereka paparkan adalah : telah sempurna dan lengkap apa yang kamu butuhkan dari dasar-dasar halal haram dan kaidah-kaidah dasar hukum segala sesuatu. Akan tetapi kesemuanya itu bersifat umum, global. Maka perlu ada penafsiran, perincian. Yang dalam hal ini diperankan oleh al-Hadits. Hal ini senada maknanya dengan firman Allah SWT:
“Dan Kami turunkan kepadamu ad dkir ( al Qur’an ) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya.”
Sebagian mereka mengingkari keabsahan hadits ahad karena dia hanya melahirkan prasangka, sedangkan kita tidak boleh beribadah kepada Allah SWT hanya dengan prasangka.
Jawaban
Bahwasanya Allah SWT berfirman :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ #
“Dan tidaklah sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ( ke medan perang ). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga diri.”
Dalam ayat di atas, kata طَائِفَةٌ berarti dalam bahasa Arab dapat berarti satu orang. Kalau peringatan orang yang adil yang pergi untuk bertafaqquh fiddin saja wajib diterima, maka periwayatan orang yang adil yang haafidz juga harus diterima.
- Rasulullah SAW mengirim delegasi kepada raja-raja di berbagai negara untuk dakwah islamiyah, dan mereka itu perorangan. Ini adalah dalil yang nyata.
- Kita mengamalkan hadits ahad bukan berarti beribadah kepada Allah SWT dengan prasangka, tetapi kita beribadah kepada Allah SWT dengan prasangka kejujuran pembawa berita. Sebagaimana di dalam menetapkan hilal pada Ramadhan yang dilakukan oleh perorangan atas wajibnya puasa bulan Ramadhan.
Pokok-pokok ajaran Inkar Sunnah
- Tidak percaya kepada semua hadits Rosulullah SAW, menurut mereka hadits itu bikinan Yahudi untuk menghancurkan Islam.
- Dasar hukum dalam Islam hanya Alqur’an saja.
- Syahadah mereka “”اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ[13] mereka tidak mengakui dua syahadat yang kita ucapkan karena tidak ada dalam Al Qur’an.
- Shalat mereka bermacam-macam, ada yang shalatnya dua rakaat dua rakaat dan ada yang hanya eling saja.
- Puasa hanya wajib bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja yang melihat bulan maka dialah yang wajib untuk puasa. Mereka berpendapat demikian merujuk pada ayat, فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ [14]
- Orang yang meninggal tidak dishalati karena tidak ada dalilnya dari Al Qur’an.
- Pakaian Ihram adalah pakaian orang Arab dan membikin repot. Oleh sebab itu waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta mamakai jas dan dasi.
- Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
- Nabi Muhammad tidak berhak untuk menjelaskan tentang ajaran Al Qur’an.
- Haji boleh dilakukan selama empat bulan Haram, yaitu Muharram, Rajab, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah.
- Masjidil Aqsha di Palestina bukan tempat suci umat Islam.
- Nabi Muhammad pernah sesat.
- Seluruh pengajar-pengajar Inkar Sunnah adalah yang diutus oleh Allah Ta’ala.[15]
- Edi Syafri,Al-Imam Syafi’I : Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 34.
- [2]. Diambil dari sumber http://antibidah.org, 26-12-2008. 13.00 WIB.
- 3. Nabi-Nabi palsu dan para penyesat umat Hartono Ahmad Jaiz, hal : 288-289. Pustaka Al-Kautsar.
- [4] Lihat Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Umm, disertai catatan pinggir (hamisy) dari karya al-Syafi’I juga dengan judul, kitab Ikhtilaf al-Hadits, Dar al-Sya’b, juz vii. Hlm. 250-265.
- [5] . An-Nahl : 89.
- [6] .Al-An’am : 38.
- [7] Musthafa al-Siba’I, as Sunnah wa Makanatuhu Fi At-Tasyri’ Al-Islamy, ad-Dar Al Qaumiyyah, 129-129, dan 138-140; al-A’zhami, 31-32; Muhammad Thahir Hakim, 72-76; Kasim Ahmad, 41-46, 50-57, dll.
- [8]. Kassim Ahmad, hlm 47
- [9]. Al-Fatir : 31.
- [10] lihat dalam al-Syafi’I, juz VII, hlm. 251-155; al-Syafi’I, al-Risalah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Ahmad Muhammad Syakir, Maktabah Dar al-Turats, Kairo, 1399 H = 1979 M, hlm 21-39.
- [11] Lihat, misalnya, Abu Zahuw, op. cit, hlm 22; Muhammad bin Ali bin Ahmad As-Saukany, Fathul Qadir, Dar al-Fikr, Beirut, 1393 H = 1973 M, juz III hlm 187.
- [12] Lihat pengertian kata sahun dalam ayat tersebut di kitab-kitab tafsir (Qurthubi, Ibnu Katsir dll).
- [13]. Ali Imran : 64.
- [14]. Al-Baqarah : 185.
- [15] . Bahaya inkar sunnah M.Amin Jalaluddin, lembaga pemelitian dan pengkajian Islam. Hal : 22-23.