Dokumen pertama yang menunjukkan kedatangan orang luar ke pulau Mentawai adalah laporan dari John Crisp, pegawai Sipili pemerintahan Belanda yang mengunjungi pulau Pagai pada Agustus 1792.
Kunjungan dilakukan dengan kapa yang disewa dengan biaya sendiri, perjalanan ini muncul dari fakta aneh bahwa meskipun pulau ini dekat dengan Sumatera namun dia menemukan ras yang berbeda, bahasa yang berbeda dan kebiasaan hidup yang sangat berbeda, lebih mirip ke peradaban penduduk pulau di Samudra Pasifik.
Laporan dari Crisp ini membuat orang-orang Eropa lainnya ingin berkunjung ke pulau ini, antara lain John Criste pada tahun 1825, simak laporan lengkapnya di https://www.mentawai.org/miscellaneous-articles/historical-background-history-and-prehistory-of-the-mentawai-islands/
Asal orang Mentawai menurut Neuman J. B
Neumann J.B menggolongkan orang Mentawai dalam tipe Melayu Polinesia. Semenjak dahulu pulau Sumatera didiami oleh orang Polinesia, kemudian datang orang Melayu dan mengusir mereka. Jadi menurut Neumann, orang Mentawai adalah sisa orang Polinesia yang terusir.
Asal orang Mentawai menurut Stefano Coronese
Sementara itu, Stefano Coronese menulis bahwa orang Mentawai meyakini mereka berasal dari Nias, tetapi keyakinan itu lemah karena berdasar pada dongeng. Mereka menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang Nias bernama Ama Tawe pergi memancing ke laut. Sedang terapung-apung di tengah lautan, turunlah badai dahsyat yang menyeret Ama Tawe terdampar ke Mentawai di tepi pantau barat Pulau Siberut.
Ama Tawe naik ke darat dan dia melihat tanah yang amat subur. Pohon sagu dan keladi tumbuh sendiri tanpa ada orang yang menanamnya dan merawatnya. Ama Tawe kembali ke Nias untuk mengambil istri dan anak-anaknya. Dia ingin pindah dari Nias dan menetap di Mentawai. Migrasi Ama Tawe banyak diikuti orang Nias lainnya yang ingin merantau ke Mentawai. Akhirnya mereka mendiami daerah itu, kemudian lama-kelamaan menduduki seluruh kepulaian. Nama Mentawai berasal dari ‘Aman Tawe’.
Masih menurut Corosse, menurut dia suku Mentawai mirip dengan suku Sakei di Malaysia. Sekalipun ada perbedaan, tetapi dalam banyak hal ada persamaannya. Adat istiadat dan tata cara hidup hampir serupa. Seperti dua suku ini memakan sagu dan tidak mengenal beras. Sama-sama memakan monyet. Perbedannya terletak pada cara berburu.
Suku Mentawai menggunakan panah, sedangkan suku Sakei menggunakan sumpitan untuk melepaskan damak beracun. Rokok pun mereka kenal. Suku Mentawai menyulut tembakau, sedangkan suku Sakei mengunyah seperti menyirih saja yang tidak ada di Mentawai. Nampak ada kesamaan asal usul namun tidak ditemui bukti tentang asal-usul Mentawai.
Asal orang Mentawai menurut Van Beukering
Menurut Ahli Fisik Van Beukering, secara prinsip orang Mentawai termasuk dalam ras proto Melayu terutama di daerah timur laut Siberut. Di daerah Sipora dan Pagai termasuk dalam ras detero-Melayu.
Perbedaan ini pada prinsipnya hampir tida ada, proto Melayu lebih menjurus ke Mongoloid dibanding dengan detero Melayu. Sedangkan para antropologi menyatakan bahwa orang Mentawai adalah ras campuran dengan rambut lurut dan ada juga yang berombak, kulit berwarna serta bagi wanitanya berwajah kekanakan dan bertubuh pendek.
Eijkman Institute; Keragaman Genetika di Indonesia
Penelitian keanekaragaman genetika (DNA) untuk menggambarkan peta penggambaran manusia di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh Eijkman Institute di Jakarta.
Hasilnya pemetaan itu mendukung teori penyebaran bahasa yang dianggap sesuai dengan penyebaran variasi genetis manusia. Satu kelompok yang memiliki bahasa yang sama, umumnya berasal dari nenek moyang yang sama.
Seperti yang diperkirakan sebelumnya, hasil pengujian DNA menunjukkan sekitar 60.000 hingga 40.000 tahun SM terjadi migrasi manusia memasuki Indonesia dari daratan Asia. Sisa mereka masih banyak bisa kita lihat di Papua dan daerah Alor yang berbahasa Melanesia. Disusul oleh migrasi berikutnya pada sekitar tahun 2000 SM dari manusia pemakai bahasa Austronesia.
Ada hal yang menarik dari Penelitian Eijkman Institute bahwa orang-orang Mentawai dan Nias walaupun menggunakan bahasa yang tergolong dalam bahasa-bahasa Austronesia, namun kedatangan mereka berbeda dengan kebanyakan pengguna bahasa Austronesia lainnya. Jika pemakai bahasa Austronesia pada umumnya datang ke Nusantara pada sekitar 2000 SM, maka mereka datang dari masa yang jauh lebih tua.
Selain itu, variasi mutasi genetis orang-orang Nias dan Mentawai ternyata berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia, utamanya dengan populasi dipulau Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang dulu pernah menjadi satu pada masa plestosen.
Mentawai terpisah dengan Sumatera sejak satu juta tahun yang lalu dan migrasi manusia pertama ke Indonesia terjadi hanya 60.000 tahun yang lalu.Pulau-pulau sebelah barat Sumatera yang terpisah itu tampaknya tidak memiliki sejarah pencampuran genetis dengan Pulau Sumatera atau pulau-pulau besar di sekitarnya dalam waktu yang sangat lama.
Menyikapi kenyataan ini Herawati mengajukan dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut;
- Orang Mentawai merupakan sekumpulan gen yang terisolasi selama puluhan ribu tahun.
- Orang Mentawai merupakan sumber genetis orang Indonesia sehingga kemungkinan mereka adalah nenek moyang bangsa Indonesia.
Menurut Boedhihartono, ahli anthropologi ragawi dari Universitas Indonesia, orang Nias dan Mentawai adalah lapisan dasar orang Indonesia. Bentuk tubuh,tulang serta ciri-ciri kultular pada pola makannya mirip dengan orang-orang didaerah Papua.
Sumber makanan Orang Mentawai dan Papua sama-sama didapat dari tanaman vegetatif, seperti: sagu, talas, dan pisang bukan dari tanaman biji atau benih. Mereka juga suka memakan tutube (ulat sagu yang kaya protein). Seperti orang Papua, orang Mentawai juga belum mengenal proses fermentasi dan pembuatan alkohol.
Herawati menyebut, genetik orang Indonesia sangat beragam, berkat pembauran dari beragam genetika. Pembauran gen itu menjadi jawaban mengapa kedekatan geografis tidak serta-merta menghasilkan kedekatan genetik suatu etnis. Ia mencontohkan genetik orang di timur Indonesia ternyata lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan orang di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara.
Begitu pula genetik orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan Formosa (suku asli Taiwan). Meski secara geografis Nias dan Mentawai dekat dengan orang Sumatra, sama sekali tidak ada hubungan secara DNA. Malahan Orang Nias justru bertalian darah dengan penduduk Taiwan, yang terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah timur laut.
Begitu juga Orang Batak Toba dan Batak Karo (termasuk juga orang Melayu) ternyata punya pertalian darah dengan orang India. Sangat dimungkinkan jika terus diriset akan terungkap seperti apa kerekatan pertalian darah antara Batak (dan Melayu) dengan India ini.
Menurut Herawati, sains genetik membuka cakrawala berpikir kita soal migrasi leluhur Indonesia dan sebarannya. Temuan riset genetika bisa dimanfaatkan untuk memperkaya dan menopang pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, khususnya bagi generasi millenial yang punya rasa penasaran tinggi.
Sumber:
- Bambang Rudito, Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai, Padang: Fisip Universitas Andalas, 1999.
- Neuman. J.B, Mentawei-enlanden, Amsterdam: KNKG, XXVI, 1909.
- Stefano Coronesse, Kebudayaan Suku Mentawai, Jakarta: Grafidian Jaya, 1986.
- Truman Simanjuntak. Herawati Sudoyo, Multamia RMT Lauder dkk, The Melanesian Diaspora in Indonesia; From Prehistory to the Present, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016