Benarkah Pendidikan Kita Tertinggal 45 Tahun dari Negara Maju?

Indonesia dianggap butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dalam hal membaca. Sementara untuk ilmu pengetahuan, Indonesia butuh waktu sampai dengan 75 tahun.

Demikianlah laporan terbaru dari Bank Dunia yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kantor Pusat Bank Dunia, Washington, seperti dikutip Senin dari detik.com (16/10/2017). Laporan tersebut didasarkan pada sistem pendidikan nasional yang berlaku sekarang.

“Hasilnya itu dari WDR (World Development Report) kita itu Indonesia untuk mengejar ketertinggalan pendidikan agar sama dengan OECD itu dibutuhkan 45 tahun, kalau sistem pendidikannya masih kayak gini,” papar Sri Mulyani.

“Kalau untuk science dibutuhkan 75 tahun untuk mengejar ketertinggalan. Ini hasil yang perlu untuk memperbaiki diri dalam kualitas pendidikan kita,” terangnya.

Sri Mulyani akan menyampaikan hasil tersebut kepada Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, serta pemerintah daerah karena ikut mengelola pendidikan. “Jadi Indonesia harus betul-betul melakukan reformasi,” ujarnya.

Penulis mencoba mengetengahkan pendapat beberapa ahli dalam bidang pendidikan terkait berita ini. Pertama, dari Guru Besar ITS Prof Daniel M Rosyid PhD, Kedua, Dr. Adian Husaini, Ketua program doktor di UIKA Bogor.

Tanggapan Prof Daniel M Rosyid PhD

Guru Besar ITS Prof Daniel M Rosyid PhD bersuara kritis atas pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di atas, menurut beliau, hasil riset yang dikutip Sri Mulyani itu betul tapi menyesatkan. “Betul kalau kita terus meniru OECD dan melihat model OECD itu sebagai model pembangunan teladan, dan menyesastkan karena secara diam-diam kita dibuat rendah diri dan dipaksa mengikuti model pembangunan mereka, yang kalau dilihat jernih adalah model pembangunan yang gagal. Peradaban OECD itu sebagian besar tidak layak dicontoh seperti kehancuran keluarga, hidup dari hutang, boros energi, dan eksploitatif serta invasif”.

OECD adalah Organisation for Economic Co-operation and Development atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi adalah sebuah organisasi internasional dengan 30 negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas.

Selanjutnya, menurut Prof Daniel untuk melakukan reformasi seperti yang diinginkan Sri Mulyani adalah dengan deschooling yaitu mengurangi dominasi persekolahan dalam Sisdiknas kita.Keterpurukan kita justru karena kita mengadopsi sistem persekolahan OECD, lalu meninggalkan model pendidikan kita sendiri, yang oleh Ki Hadjar disebut Tri Sentra Pendidikan yaitu keluarga, masyarakat, dan perguruan. perguruan atau persekolahan itu di urutan ke tiga.

Kemudian Prof Daniel menjelaskan, bahwa paradigma mutu berbasis standard atau penyeragaman harus dibuang jauh-jauh. Lalu kita harus mengutamakan relevansi personal, spasial, dan temporal agar pendidikan sebagai proses belajar menjadi lebih bermakna bagi setiap warga muda untuk hidup berjiwa merdeka, mandiri, sehat dan produktif. Selain itu, kita juga harus mengambil paradigma belajar, bukan paradigma bersekolah. Membangun pendidikan berarti memperluas kesempatan belajar, bukan memperbanyak sekolah dan memperlama bersekolah.

“Wajib Belajar” tidak boleh diartikan sebagai “Wajib Sekolah”. Justru dengan paradigma belajar itu, sumberdaya pendidikan menjadi melimpah. Sementara paradigma bersekolah justru membuat sumberdaya pendidikan menjadi langka dan terbatas. Maka dari 20 persen APBN/D perlu direalokasi ulang agar tidak habis di persekolahan. Keluarga, unit-unit kegiatan masyarakat, perpustakaan kecamatan, Karang Taruna, Remaja Masjid/Gereja, sanggar seni, dan klub olahraga serta Pramuka juga perlu didanai dengan dana yang sebanding.

Tanggapan Dr. Adian Husaini

Perlu dibedakan kemampuan science personal dan negara. Dunia Barat berkembang setelah mempelajari science dari dunia Islam, konsolidasi politik yang cepat dan stabil dan karakter yang kuat untuk berani melompat membuat mereka cepat berkembang.

Dr. Adian kemudian menyampaikan sebuah tulisan dari Prof Satrio berjudul ‘mempertanyakan cetak biru pendidikan Indonesia’. Hasil riset beliau terhadap 460 perusahaan di Indonesia, yang menyimpulkan bahwa perusahaan lebih menerima lulusan SMA daripada SMK. Ini jelas berbeda dengan konsep pemerintah yang membangun SMK dimana mana dengan niatan menyiapkan tenaga siap kerja namun ternyata salah sasaran. Perusahaan ini beralasan bahwa anak SMA lebih mudah dibina dan dididik, soft skill seperti kolaborasi, pantang menyerah dan lainnya lebih penting daripada hard skill.

Selanjutnya Dr. Adian menyampaikan makalah beliau yang disampaikan beberapa hari yang lalu di MPR bersama pakar pendidikan lainnya yang membahas tema besar ‘Pendidikan Nasional menurut UUD NRI 1945’.

Beliau menyinggung tentang hilangnya 7 kata dalam piagam Jakarta, banyak orang yang menyayangkannya, namun banyak kata-kata dalam UUD yang mendukung Islam dan Pendidikan Islam. Dalam Pancasila, terdapat unsur Ketuhanan yang Maha Esa yang mendukung konsep Tauhid, konsep Ahluss Sunnah wal Jamaah dan konsep Wasathiyah, dan pada sila selanjutnya ada konsep hikmah, adil dan musyawarah yang semuanya berasal dari Islam.

Kelima sila itu dirumuskan oleh 4 tokoh Islam 1 orang Kristen, mereka diundang di rumah Presiden Soekarno untuk merumuskan draft UUD 45 dan hasilnya seperti sekarang.

Pengamalan Pancasila yang sesuai dengan Islam telah disampaikan oleh NU dalam Munas NU Situbondo 1983, yang isinya sebagai berikut:

Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam 

Bismillahirrahmanirrahim

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama
Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H
(21 Desember 1983)

Pasal 31 Ayat 3 UUD 45 mengindikasikan bahwa Pendidikan adalah Takwa dan Akhlak Mulia.

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”

Penjelasannya bahwa dalam mengusahakan penyelenggaraan pendidikan menggunakan satu sistem pendidikan nasional sehingga tidak ada perbedaan pendidikan antara pusat dan daerah. Disamping pendidikan umum pemerintah juga harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia untuk peserta didik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan ahklak yang baik maka para generasi penerus bangsa akan menjadi pemimpin yang jujur, adil, amanah dan dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan baik sehingga tidak tertinggal dengan negara – nelain didunia, yang semuanya dalam pelaksanaannya diatur dalam undang – undang.

UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
juga menguatkan pentingnya pendidikan Akhlak pada anak didik.

Dalam UU ini penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip , yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Selain itu dalam penyelenggaraan juga harus dalam suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran melalui mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Terakhir beliau menyampaikan konsep Islam dalam membangun akhlak dengan menyebutkan perkataan Umar bin Khatab:

 تأدبوا ثم تعلموا

Belajarlah adab baru kemduian belajar Ilmu

Orang Barat bisa sukses karena menerapkan konsep ini, yaitu sikap dan karakter lebih dikedepankan daripada belajar itu sendiri.

Sekian tulisan kami, mohon maaf jika ada kekurangan.

Sumber:

Majelis Malam Rabu Insits, Selasa 31 Oktober 2017 bersama Dr. Adian Husaini

Prof Daniel M Rosyid PhD di https://www.pwmu.co/38929/2017/10/sri-mulyani-bilang-pendidikan-indonesia-tertinggal-45-tahun-ini-tanggapan-guru-besar-its-prof-daniel-m-rosyid/

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *