Kepribadian seorang muslim dalam mencari penghidupan bersumber dari yang halal. Hal itu telah dicontohkan oleh para nabi. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Daud bekerja sebagai pandai besi, Nabi Adam petani, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Demikian pula contoh yang dipraktikkan oleh para ulama salaf, terutama Rasulullah dan para sahabatnya.
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya),
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah SWT telah memerintah orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul, yaitu ‘Wahai sekalin rasul, makanlah dari harta yang suci dan kerjakanlah perbuatan shaleh.’ Kemudian beliau bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap: Ya Tuhan, ya tuhan. Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan mengkonsumsi yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (HR Muslim).
Dari Ibnu Syihab berkata, Urwah bin Zubeir memberitahukan kepadaku bahwa Aisyah r.a berkata, tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq menjabat sebagai khalifah ia berkata,
“Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku (keahlianku) mampu menopang kesulitan keluargaku. Dan (sekarang) saya sibuk dengan urusan kaum Muslimin. Apakah kemudian keluarga Abu Bakar akan makan dari harta ini (baitul mal), sementara saya bekerja di dalamnya untuk kaum Muslimin?”
Dari Miqdad r.a., dari Nabi saw.,
“Tidaklah seseorang memakan makanan pun yang lebih baik daripada ia makan dari pekerjaan tangannya dan bahwa Nabiyallah Daud a.s. makan dari pekerjaan tangannya.”
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bahwa Nabi Daud AS tidak makan kecuali dari pekerjaan tanganya.
Dari Abi Ubaid Budak Abdurarahman, budak Abdurrahman bin Auf, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
“Salah seorang dari kalian mengantar sesuatu barang di atas punggungnya (menjadi kuli) itu lebih baik daripada ia meminta kepada seseorang, lalu ia memberinya atau tidak memberinya.”
Contoh Para Ulama Salaf dalam Bermaisyah
Thalhah bin Ubaidillah
Dari Sa’di binti Auf berkata, “Thalhah datang kepadaku dan aku melihatnya dalam keadaan gelisah. Aku bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Ia menjawab, ‘Hartaku telah menjadi banyak dan itu menggelisahkanku.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang harus kamu lakukan?’ Ia menjawab, “Saya akan membagikannya.’ Maka, Thalhah pun kemudian membagikannya hingga tak tersisa sedirham pun untuknya.”
Dari Hasan berkata, “Thalhah menjual tanahnya seharga 700 ribu. Pada malam harinya ia tidak bisa tidur karena uang itu masih ada padanya. Keesokan harinya ia membagikan semua uang itu.” (HR Imam Ahmad).
Dari Hasan berkata, “Thalhah bin Ubaidillah menjual tanahnya dari Utsman seharga 700 ribu. Utsman kemudian membawakan uang itu kepadanya. Tatkala Utsman datang, ia berkata, ‘Seseorang telah menyimpan uang satu malam di rumahnya, sementara ia tidak tahu apa yang akan dipukulkan Allah dari perkara-Nya karena kelalaian terhadap-Nya. Ia kemudian tidur sementara utusannya menyelisihinya di jalan-jalan Madinah hingga datang waktu sahur dan tak ada satu dirham pun padanya.
Abdurrahman bin Auf
Dari Tsabit al-Banani dari Anas berkata, “Ketika Aisyah r.a. berada di rumahnya, tiba-tiba ia mendengar suara yang mengagetkan kota Madinah. Ia lalu berkata, ‘Ada apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam dengan 700 unta.’ Aisyah berkata, ‘Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.’ Ucapan ini sampai kepada Abdurrahman. Ia kemudian menemui Aisyah dan bertanya atas ucapan itu. Aisyah kemudian berkata kepadanya. Abdurrahkam lalu berkata, ‘Saya bersaksi kepadamu bahwa kafilah dengan muatan, pelana, dan alas pelananya (saya infakkan) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla’.”
Darinya berkata, ketika Aisyah berada di rumahnya ia mendengar suara dari kota Madinah. Ia lalu bertanya, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam membawa segala sesuatu.’ (Perawi berkata), ‘Yaitu 700 unta.’ (Perawi berkata), ‘Maka, terdengarlah suara gemuruh di kota Madinah karena kafilah itu.’ Aisyah berkata, ‘Saya mendengar Rasululah saw. bersabda, ‘Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.’ Ia berkata, ‘Kalau mampu, saya akan masuk ke dalamnya dengan berdiri.’ Maka ia menjadikan muatan dan pelana kafilahnya itu untuk di jalan Allah.” (HR Imam Ahmad).
Dari zuhri berkata, “Abdurrahman bin Auf bershadaqah pada masa Rasulullah saw. dengan setengah hartanya: empat ribu dinar. Kemudian, bershadaqah lagi dengan 40 ribu, kemudian bershadaqah lagi dengan 40 ribu dinar. Kemudian, ia membawa 500 kuda di jalan Allah. Kemudian, ia membawa 1500 unta di jalan Allah. Dan, mayoritas hartanya dari perdagangan.
Dari Said bin Ibrahim dari ayahnya, “Bahwa Abdurrahman bin Auf diberi makanan, sementara ia tengah berpuasa. Ia berkata, ‘Mushab bin Umair terbunuh, sementara ia adalah seorang yang dermawan (pemberi). Ia dikafani dengan kain yang bila kepalanya ditutup, kakinya terlihat; dan bila kakinya ditutup, kepalanya terlihat’.” (Dan menurutku) ia berkata, “Hamzah terbunuh, sementara ia seorang dermawan, yaitu tidak terdapat untuk mengkafaninya, kecuali sehelai kain. Kemudian dunia dilapangkan untuk kita selapang-lapangnya.” (Atau ia berkata), “Kami diberi dunia apa yang telah diberikan kepada kami, dan kami khawatir bahwa itu adalah kebaikan yang disegerakan untuk kita. Kemudian, ia menangis sehingga ia meninggalkan makanan. (HR Bukhari).
Dari Said bin Husain berkata, adalah Abdurrahman bin Auf tidak diketahui (bila) ia berada di antara para budaknya.
Salman al-Farisi
Dari Nukman bin Hamid berkata, “Saya datang bersama paman saya kepada Salman al-Farisi di Madain, sementara ia bekerja sebagai penjual daun kurma. Saya mendengar ia berkata, “Saya membeli daun kurma satu dirham, lalu aku kerjakan dan aku menjualnya dengan tiga dirham. Satu dirham saya jadikan modal. Satu dirham saya berikan kepada kelurga dan satu dirham saya infakkan. Meskipun Umar menghentikanku, tapi aku tidak menghentikannya.
Dari Abi Laila al-Kindi berkata, “Anak Salman berkata kepada Salman, ‘Berilah saya wasiat.’
Ia bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai sesuatu?’
Ia menjawab, ‘Tidak.’
Ia berkata, ‘Dari mana?’
Ia menjawab, ‘Saya meminta manusia.’
Ia berkata, ‘Kamu ingin memberiku kotoran manusia’.”
Abdullah bin Mubarak
Hibban bin Musa berakta, “Ibnu Mubarak dicela karena tidak memberikan jamuan dari hartanya, baik di negara lain maupun terhadap penduduk negerinya.”
Ia berkata, “Saya mengetahui tempat dari orang-orang yang memiliki keutaaman dan kejujuran dalam mencari hadits dan telah melakuan pencarian dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Bila kami meninggalkan mereka, ilmu mereka akan hilang. Sementara, bila kami menolong mereka, ilmu akan tersebar kepada umat Muhammad. Dan, saya tidak mengetahui setelah kenabian yang lebih utama daripada tersebarnya ilmu.”
Maksudnya adalah bahwa Ibnu Mubarak menyalurkan hartanya untuk kepentingan para pejuang pencari ilmu. Yaitu, mereka yang akan menyebarkan agama ini kepada umat manusia. Sementara, penuduk negeri tidak mengetahuinya, sampai-sampai ia mendapatkan celaan dari orang-orang.
Al-Husain bin Hasan al-Maruzi berkata, “Saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, ‘Penduduk dunia keluar dari dunia sebelum mereka makan yang terbaik di dalamnya.’
Orang-orang bertanya, ‘Apa yang terbaik di dalamnya?’
Ia menjawab, ‘Makrifah kepada Allah Azza wa Jalla’.”
Ali bin Hasan bin Syaqiq berkata, saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, “Saya menolak satu dirham dari yang syubhat itu lebih saya cintai daripada bershadaqah dengan seratus ribu, dan seratus ribu, hingga enam ratus ribu.”
Abdulah bin Khubaiq berkata, “Ibnu Mubarak ditanya apakah tawadhu itu?”
Ia menjawab, “Sombong di depan orang kaya.”
Sulaiman bin Daud berkata, “Saya bertanya tentang Ibnu Mubarak kepada manusia?”
Ia berkata, “Ulama.”
Saya bertanya, “Apakah ia dari raja?”
Ia berkata, “Dari orang yang zuhud.”
Saya bertanya, “Apakah ia termasuk orang jelata?”
Ia berkata, “Huzaimah dan teman-temannya.”
Saya bertanya, “Apakah ia termasuk orang rendahan?”
Ia menjawab, “Orang-orang yang hidup dengan agama mereka.”
Nasihat Menyikapi Harta dengan Zuhud
Nasihat Nabi saw
Beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang zuhud di dunia hatinya akan senang di dunia dan akhirat, sedangkan orang yang cinta dunia hatinya akan penat di dunia dan di akhirat”. (HR Bukhari: 6416)
Beliau juga bersabda: “Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan kemauannya dan akan menjadikan kekayaan dihatinya, yang mana dunia mendatanginya dalam keadaan tunduk. Namun barangsiapa menjadikan dunia sebagai cita-citanya, maka Allah swt akan mencerai-beraikan kemauannya, dan menjadikan serba merasa kekurangan selalu di hadapan matanya, dunia tidak akan mendatanginya melainkan sekedar apa yang telah ditetapkan baginya. Sedangkan orang yang memilih kenikmatan yang abadi dari bala’ yang azabnya tiada hentinya” (HR Al-Baihaqi)
Nasihat Sufyan ats-Tsauri kepada Ali bin al-Hasan.
Wahai saudaraku! Hendaknya kamu mencari harta yang halal dan apa yang engkau hasilkan dengan tanganmu. Hendaknya engkau jauhi kotoran manusia (shadaqah) untuk memakannya atau mencampurinya. Karena, orang yang memakan kotoran manusia seperti ketinggian bagi seseorang dan tidak memiliki bawahan. Ia senantiasa berada dalam ketakutan untuk terjerumus kepada bawahnya dan hancur ketinggiannya. Orang yang memakan kotoran manusia akan berbicara dengan hawa nafsu, dan merendah di hadapan manusia karena takut mereka akan menangkapnya.
Wahai saudaraku! Bila kamu menerima sesuatu dari manusia, lisanmu telah terputus. Dan, engkau telah memuliakan sebagian manusia dan merendahkan sebagaian lainnya. Padahal, ia tidak turun kepadamu pada hari kiamat. Sesungguhnya orang yang memberimu sesuatu dari hartanya, sebetulnya itu adalah kotorannya. Dan arti dari kotorannya adalah mensucikan amalnya dari dosa. Apabila engkau menerima sesuatu dari manusia, engkau akan memenuhi panggilannya bila ia mengajak kepada kemungkaran. Sesungguhnya orang yang memakan kotoran manusia seperti seseorang yang memiliki serikat terhadap sesuatu yang sudah semestinya ia membagikannya.
Wahai saudaraku! Laparlah dan sedikit beribadah itu lebih baik daripada engkau banyak beribadah tapi kenyang dengan kotoran manusia. Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seandainya salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian mengumpulkan sampai membelakangi punggungnya itu lebih baik daripada ia berdiri di atas kepala saudaranya, memintanya atau mengharapkannya.” (HR Bukhari).
Telah sampai kepada kami bahwa Umar r.a. berkata, “Barang siapa di antara kalian yang bekerja, maka kami memujinya dan bila ia tidak bekerja, kami menuduhnya.”
Ia berkata, “Wahai para pembaca! Tinggikan kepala kalian dan janganlah menambah kekhusyu’an atas apa yang ada di hati. Berlomba-lombalah dalam mencari kebaikan, dan jangan menjadi tanggungan manusia! Jalan sudah jelas.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya orang yang hidup dari tangan manusia, seperti orang yang menanam pohon di tanah orang lain.”
Maka, takutlah kepada Allah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah seseorang menerima dari manusia sesuatu kecuali ia menjadi hina dan rendah di sisi manusia, sementara orang Mukmin adalah saksi Allah di muka bumi.
Hendakanya kamu jangan mencari harta yang buruk, lalu menginfakkannya di dalam ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya meninggalkannya adalah kewajiban dari Allah. Sesunggunya Allah adalah bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih.
Apa pendapatmu terhadap seseorang yang pakaiannya terkena air kencing kemudian mensucikannya dengan air kencing lainnya? Apakah menurutmu itu akan membersihkannya? Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kotoran tidak bisa dibersihkan, kecuali dengan yang baik. Begitu pula kejelekan tidak akan terhapus kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah itu bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih. Dan, sesungguhnya yang haram tidak akan diterima dari amal apa pun. Atau, apakah seseorang yang melakukan dosa, lalu ia menghapusnya dengan dosa?
Meluruskan Hakikat Sabar, Qana’ah, Tawakal dan Zuhud
Saat ini sebagian besar umat Islam masih berada di bawah garis kemiskinan dan garis kekayaan, alasan kebanyakan mereka karena tidak memiliki pekerjaan. Mencari pekerjaan hari ini sulit kalau bukan sarjana, harus punya koneksi -sehingga saat ini ada orang yang berbangga bisa diterima kerja karena mampu menyuap koneksinya. Mereka melupakan teladan Nabi saw dalam mencari penghidupan.
Salahnya lagi, ada yang merasa bahwa keadaan miskin adalah cermin kehidupan orang shalih. Padahal, dengan miskin, tetapi merasa shalih justru ia telah terjatuh dalam sifat kesombongan yang dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Nabi saw: “Ada tiga macam orang yang tidak akan dipandang oleh Allah swt pada hari kiamat, tidak akan disucikan oleh-Nya, dan bagi mereka ada azab yang pedih. Pertama, orang tua yang berzina, kedua, orang miskin yang sombong dan ketiga orang yang menjadikan Allah swt sebagai barang dagangannya -ia tidak menjual dan tidak membeli kecuali dengan bersumpah atas nama-Nya. (HR Thabrani)
Sikap-sikap mulia seperti Sabar, Qana’ah, Tawakal dan Zuhud juga salah kaprah diartikan oleh umat Islam, seperti sabar yang mestinya itu proaktif, tangguh dan pantang menyerah kerap diartikan menunggu dengan pasif sehingga cenderung tidak berbuat apapun dan lamban. Padahal sabarnya Nabi Muhammad saw adalah sabar yang aktif, tidak berdiam diri dan menunggu tanpa pernah berbuat.
Qana’ah yang mestinya diartikan sebagai sikap berbesar hati dengan hasil yang dicapai sesuai dengan kemampuan, kerap diartikan sebagai sikap menerima apa adanya dan pasrah. Tawakal yang berarti maksimalis artinya berbuat dengan mengerahkan segenap kemampuan terbaik dan menerima hasilnya dengan berbesar hati dan segala sesuatu digantungkan kepada Allah swt, sikap mulia ini kerap diartikan dengan berserah diri pada nasib yang kerap pada ujungnya ‘menyalahkan’ Allah swt atas taqdir yang ia terima dengan mengatakan “Ya, memang sudah nasib saya begini. Mau apa lagi?”
Yang terakhir adalah sikap zuhud yang mestinya diartikan sebagai sikap tidak silau oleh keduniaan sehingga harta benda bukanlah segalanya. Sering diartikan dengan meninggalkan keduniawian dan hidup melarat, tetapi akhirnya jatuh menjadi pengemis.
Zuhud model demikian berasal dari pemikiran para sufi sedangkan zuhud menurut salaf di antaranya; Sufyan Ats-Tsauri yaitu membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan yang kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar. Yahya bin Muadz juga mengatakan bahwa zuhud menyebabkan kedermawanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan pada semangat kedermawanan.
Rasulullah saw sendiri pernah menyatakan hal di atas kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari: “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan perkara halal, juga bukan menyia-nyiakan harta, tetapi agar jangan sampai apa yang kamu miliki lebih kamu andalkan daripada apa yang ada dalam kekuasaan-Nya. Dan agar pahala musibah lebih kamu senangi, jika engkau tertimpa musibah yang permanen”.
Faktanya, Rasulullah saw tidak pernah meminggirkan dunia, tetapi lebih pada bagaimana mengelola dunia (harta) dengan baik. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah saw pernah menerima uang 90.000 dirham. Lalu, uang itu diletakkannya di atas tikar. Kemudian, uang itu dibagi-bagikan kepada orang banyak. Beliau tidak menolak permintaan siapa pun yang meminta sampai uang itu habis.
Suatu ketika, datang seseorang kepada beliau meminta sesuatu. Beliau memberikan orang itu kambing yang banyak. Saking banyaknya, kambing-kambing itu sampai memenuhi jalan antara dua bukit. Orang yang diberi begitu senangnya. Segera ia kembali kepada kaumnya. Ia pun berteriak lantang, “Hei, masuk islam-lah kalian semua. Sesungguhnya Muhammad saw jika memberi, dia seperti orang yang tidak takut miskin”.
Jadi, umat Islam tidak disarankan untuk rela miskin, apalagi mengaitkannya dengan nasib. Umat Islam perlu meluruskan pemahaman tentang apa yang disunnahkan oleh Nabi saw sebagai pedoman mendapatkan dunia sekaligus mendapatkan akhirat. Islam sangat mencela kemalasan dan kebodohan sehingga semangat mencari ma’isyah yang halal mestinya dimiliki umat Islam.
Dan salah satu praktek salaf dalam mencari penghidupan adalah lewat berdagang sehingga tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa berdagang adalah sunnah nabi, hal ini sesuai dengan keterangan Nabi saw bahwa: “Sembilan dari sepuluh rizki itu terdapat dalam usaha berdagang dan sepersepuluhnya dalam usaha berternak”. (HR Ibnu Manshur).
Islam tidak pernah menjauhkan pemeluknya dari perdagangan, cukup banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang menyiratkan etika berdagang serta keutamaan mencari nafkah sebagai amalan yang diridhai oleh Allah swt seperti Qs Al-Baqarah: 275 dan 279 tentang jual beli riba, Qs Al-Baqarah: 282 tentang pembukuan transaksi, Qs Al-Maidah: 1 tentang akad dan Qs Al-A’raf tentang pengaturan harta. Dan banyak juga hadits-hadits dari Nabi saw tentang ekonomi seperti yang telah dikompilasikan oleh Muhammad Akram Khan dalam bukunya Economic Teachings of Prophet Muhammad (may peace be upon him), dimana buku ini memuat 11 kegiatan pokok ekonomi seperti kepemilikan, kekayaan, mencari rizki, modal dan mekanisme pasar.
Banyak penulis baik Islam maupun non Islam yang mengakui kehebatan Nabi Muhammad saw dalam berdagang sehingga mereka menyebutnya sebagai enterpreneur sejati, seperti Sir George Berbard Shaw dan Karen Armstrong. Lalu jika ada yang berpendapat bahwa kemampuan Nabi saw dalam berdagang itu semata-mata timbul karena ketentuan Allah swt adalah anggapan yang salah atau karena mata pencaharian masyarakat arab kala itu memang berdagang.
Namun, semua itu merupakan tarbiyah dari Allah swt secara langsung dan agar menjadi ibrah bagi umat Islam bahwa keandalan sebagai manusia hendaknya ditempuh dengan enterpreneurship, karena usahanya sendiri dan bukan dengan jalan meminta-minta sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Muhammad Ramdhan Al-Buthy dalam bukunya yang aslinya berjudul Fiqhus Shirah: Dirasah Manhajiyyah Ilmiyyah li Sirati Musthafa Alaihis Shalawatu was Salam.
Berdagang juga menjadi jalan mencari penghidupan yang halal bagi mayoritas sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf dan generasi setelah mereka sebut saja Abdullah bin Mubarok, Imam Abu Hanifah yang menjadi juragan pakaian dan Imam Ibnu Hazm.
Berdagang juga menjadi sebab masuknya Islam ke nusantara, terutama perdagangan lewat jalur maritim, Ahmad Mansyur Suryanegara Ahli Sejarah Indonesia mengatakan dalam bukunya ‘Api Sejarah’ bahwa Islam telah masuk ke daerah nusantara dibawa oleh wiraniagawan muslim yang diutus oleh khalifah Muawiyah (661-750 H) -hal ini membantah anggapan sebagian sejarawan bahwa Islam baru masuk ke nusantara pada abad ke-13- ketika pusat pemerintahannya berada di Damaskus, begitu juga daerah India, sudah tersebar agama Isllam. Lebih jauh beliau menyebutkan bahwa Islam mulai didakwahkan oleh para wirausahawan muslim diawali dari pasar dengan masjid dan pesantrennya sebagai pusat penyebaran Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.