Kurikulum PAI Kontra Radikalisme

Evaluasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu kebijakan didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum harus terbuka untuk di evaluasi demi tercapainya tujuan dari kurikulum pendidikan Islam

Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menyatakan pihaknya telah menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam. Menurutnya, penghapusan konten radikal ini merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag).

“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” kata Fachrul dalam keterangan resminya Kamis (2/7).

Fachrul menjelaskan ratusan judul buku yang direvisi berasal dari lima mata pelajaran, yakni Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Alquran dan Hadis, serta Bahasa Arab.

Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme. Meski demikian, buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia.

Fachrul memastikan 155 buku pelajaran agama Islam yang telah direvisi itu sudah mulai dipakai pada tahun ajaran baru 2020/2021.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200702181303-20-520184/kemenag-resmi-hapus-konten-radikal-di-155-buku-pelajaran

Menurut Fahmi Zarkasyi, penghapusan konten jihad dan khilafah merupakan akibat proses lama gerakan liberalisai dan sekulerisasi yang sudah dimulai sejak tahun 2001. Sejak saat itu, Hamid dan teman-temannya di INSITS giat menjelaskan bahaya liberalisme dan sekulerisme ke masyarakat dan pesantren namun sulit diterima karena menurut mereka pemikiran itu hanya masuk ke kalangan akademisi dan politikus.

Lebih lanjut Hamid menilai istilah moderat atau wasathiyah saat ini diartikan dengan moderat dalam pandangan barat. Salah satu peneliti dari Barat menyebutkan selama orang Islam menjalankan syariat adalah tidak moderat. Menurtnya, jika ingin menjadikan Islam moderat, fahamkan Islam apa adanya, kalau takut Islam menjadi teroris maka sebenarnya takut dengan sesuatu yang benar.

Sementara Dr. Fahmy Lukman menilai bahwa perubahan terjadi dalam model pembelajaran, maka substansi dan konten yang ada harus tetap ada dan disajikan dengan cara yang baik dengan sudut pandang Islam, bukan sekulerisme dan liberalisme. Sehingga jika demikian Islam menjadi cenderung salah. (Webinar Polemik penghapusan Ajaran Islam di Kurikulum PAI)

Sepertinya, Menteri Agama saat ini tidak melakukan evaluasi kurikulum dengan melibatkan para ahli dalam pendidikan Islam dari berbagai ormas sebagaimana yang pernah dilakukan Menteri Agama pada masa Mukti Alie.

Baca juga:   Apa Kewajiban Kita Terhadap Al-Quran?

Hemat kami, evaluasi kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu kebijakan didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum harus terbuka untuk di evaluasi demi tercapainya tujuan dari kurikulum pendidikan Islam dan hendaknya melibatkan berbagai ahli dari elemen masyarakat.

Evaluasi Kurikulum menurut Hamid Hasan dalam bukunya Evaluasi Kurikulum mengartikannya sebagai;

Usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk di gunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu.

Tujuan dari kurikulum PAI adalah tercapainya manusia seutuhnya, tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat dan untuk menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi dan patuh pada perintah Allah swt. Fungsi dari kurikulum PAI dalam pendidikan yaitu pertama; untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan kementrian pendidikan nasional, kedua; sebagai kurikulum bagi siswa, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat.

Menurut Omar Muhammad Al Toumy Alsyaibani, dalam pendidikan Islam kurikulum dikenal dengan kata “manhaj” berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik beserta anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. Kurikulum pendidikan Islam menjadi khas dan berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang kiblatnya pada negara-negara maju. Menurut Omar Muhammad Al Toumy Alsyaibani, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah:

  1. Kurikulum Pendidikan Islam harus menonjolkan tujuan agama dan akhlak dalam materi pelajarannya , metode, alat serta teknik pembelajarannya. Segala yang diajarkan dan diamalkan dalam lingkungan agama dan akhlak harus berdasarkan Alqur’an, sunah serta peninggalan orang-orang yang shaleh
  2. Kurikulum dalam pendidikan Islam mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran-ajaran yang memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, social dan spiritual.
  3. Kurikulum dalam pendidikan Islam memberikan perhatian untuk mencapai perkembangan yang menyeluruh, lengkap melengkapi dan berimbang antara orang dan masyarakat
  4. Kurikulum juga memperhatikan seni halus yaitu seni ukir, pahat, tulisan indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu memperhatikan pendidikan jasmani , latihan gerak, teknik keterampilan, latihan kejuruan. Pertukangan dan bahasa asing.
  5. Kurikulum islam juga memperhatikan perbedaan –perbedaan kebudayaan di tengah masyarakat. Kurikulum pendidikan islam juga memiliki keserasian dengn kesuaian perubahan zaman
Baca juga:   3 Paradigma Pembelajaran Abad 21

Tentang polemik penghapusan agama ini, Muhamad Mustaqim menyebut beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama, kebebasan beragama adalah hak konstitusional. Artinya, setiap warga berhak menganut –dan mempelajari– agamanya masing-masing. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal kiranya harus memfasilitasi hal tersebut. Sehingga jika pendidikan agama “dihapus” dari kurikulum sekolah, bahkan dilarang –sebagaimana yang pernah diisukan– maka bertentangan dengan konstitusi.

Hal ini diperkuat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 12 ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan bahwa anak didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Upaya untuk menghilangkan pendidikan agama dari kurikulum, baik konten maupun metodenya dalam konteks ini menjadi sangat bias dan mentah.

Kedua, jika maraknya fenomena radikalisme dan politisasi agama merupakan akibat secara kausalitas dari variabel pendidikan agama, maka kiranya ada yang perlu dibenahi dengan kurikulum pendidikan agama kita. Namun sekali lagi, hal ini harus dibuktikan dengan riset yang relevan. Berbicara tentang kurikulum pendidikan agama, maka meniscayakan setidaknya tentang empat komponen, yakni tujuan, materi, strategi, dan evaluasi. Artinya, kurikulum bukan hanya menyangkut isi dan konten tekstual materi ajar saja, namun juga membahas tentang tujuan, metodologi pengajaran, serta instrumen evaluasi yang digunakan.

Sampai di sini, maka peran guru agama memiliki posisi yang cukup signifikan dalam implementasi kurikulum. Belum lagi faktor lingkungan, konteks sosial budaya, kebijakan (otonomi) daerah, yang semuanya tentu saja memberi andil dalam mewarnai pembelajaran pendidikan agama.

Ketiga, materi pendidikan agama harus diajarkan secara holistik. Secara garis besar, materi pendidikan agama (Islam misalnya) setidaknya meliputi tiga aspek, yakni aspek aqidah, aspek syariah, dan aspek akhlak. Ada kecenderungan pendidikan agama selama ini lebih tampak pada aspek aqidah dan syariah saja. Pendidikan agama seakan berbicara pada hubungan Tuhan dan aspek syariah atau fiqih-centris. Ini halal, itu haram, ini wajib, itu sunah, ini makruh, yang ketika dimaknai secara tekstual maka akan membentuk karakter formalis. Sementara aspek akhlak, etika berinteraksi dengan orang lain sering kali tidak begitu menonjol, bahkan terkesan terabaikan.

Baca juga:   Menjadi Bagian dari Islamic Character Development

Padahal pendidikan agama sejatinya bermuara pada pembangunan akhlak dan moral peserta didik. Aspek akhlak ini tentunya akan menjadi formalitas jika metode pengajarannya hanya teks book. Aspek akhlak ini harus diajarkan tidak hanya melalui kurikulum yang manifest (senyatanya), namun juga perlu penguatan melalui hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Sekolah atau madrasah, guru, tenaga kependidikan, lingkungan sekolah, budaya organisasi menjadi kurikulum tersembunyi yang akan membangun akhlak peserta didik, dan tentu saja hal ini bukan semata tugas pendidikan agama saja.

Dengan kata lain, tidak bisa pembangunan sikap –termasuk sikap beragama– hanya dibebankan pada pendidikan agama. Durasi alokasi waktu, keterkaitan dengan sistem serta budaya organisasi yang terbangun semuanya berperan penting dalam mengembangkan sikap beragama peserta didik. Jika ada kekurangan dalam pendidikan agama kita, tentunya tidak serta-merta pendidikan agama harus dihapus dan dikeluarkan, namun harus diobati dan disempurnakan.

Sumber:

Hasan Hamid, Evaluasi Kurikulum, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya,2009

Ahmad, Jumal. (2002). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Jumal Ahmad, Evaluasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, https://ahmadbinhanbal.com/2013/01/15/evaluasi-kurikulum-pendidikan-agama-islam-pai/. Diakses tanggal 11 Juli 2020.

Muhamad Mustaqim, Bola Liar Penghapusan Pendidikan Agama
https://news.detik.com/kolom/d-4615238/bola-liar-penghapusan-pendidikan-agama. Diakses pada tanggal 11 Juli 2020.

Artikel terkait dari blog ini

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *