Pukulan yang Mendidik
Islam memandang pukulan yang mendidik sebagai sebuah Pendidikan. Hukuman yang dimaksud bukanlah hukuman dengan niat untuk balas dendam atau emosional, tetapi untuk mendidik.
Ada perspektif umum bahwa aktivitas “memukul” sudah seharusnya dihindari atau bahkan dihilangkan, khususnya dalam masalah mendidik murid atau anak.
Lantas bagaimana menyikapi hadis Nabi Saw. dari riwayat Abu Daud dan Imam Tirmidzi yang mengatakan bahwa orang tua wajib memerintahkan anak salat pada usia tujuh tahun dan boleh memukul apabila anak tersebut tidak mau mendirikan salat di usia 10 tahun?
Secara garis besar, hukum guru atau orang tua memukul murid atau anaknya demi tujuan baik (mendidik) adalah diperbolehkan. Pada konsep pendidikan Islam zaman dahulu, memukul dengan rotan dilakukan sebagai teknik menjaga kemalasan dan kelemahan menghafal. Disiplin ini digunakan sebagai bentuh peneguhan pembelajaran, namun tidak boleh dilakukan sesuka hati tanpa panduan.
Beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi apabila seorang guru atau orang tua hendak memukul murid atau anaknya:
- Diharamkan menggunakan alat yang dapat melukai fisiknya, seperti pisau, palu, dan benda-benda berbahaya lainnya.
- Pukulan tersebut tidak boleh sampai menyebabkan keluarnya darah, memar, atau luka parah.
- Pemukulan tersebut dilakukan apabila sebelumnya sudah ada pendekatan seperti memberi nasihat atau peringatan. Apabila keduanya tidak membuatnya jera, maka alternatif memukul diperbolehkan.
- Diharamkan memukul pada bagian wajah dan organ-organ vital.
- Pemukulan tersebut murni karena urusan pendidikan dan demi kemaslahatan mereka, bukan karena kepentingan lain atau emosi pribadi (pelampiasan emosi).
- Snak atau murid yang boleh dipukul adalah sudah menginjak usia tamyiz atau sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Adapun dalilnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:
“Guru boleh memberi hukuman dengan syarat mendapat izin dari wali murid. Akan tetapi, al-Khawarizmi dan yang lain tidak mencantumkan syarat tersebut.”
(I’anah ath-Thalibin Juz 4: 169)
Dan di dalam kitab At-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami dijelaskan:
“Pukulan yang tidak melukai adalah pukulan yang ringan. Sebagian ulama menafsiri bahwa pukulan tersebut ialah pukulan yang menyakitkan, tetapi tidak sampai mematahkan tulang dan tidak membuat tubuh berdarah. Pendapat lain mengatakan bahwa pukulan tersebut tidak sampai membuat hitam pada kulit, tidak mengalirkan darah, dan yang umum digunakan sebagai pelajaran.”
(At-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami, Juz 1: 417)
Di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juga dijelaskan:
“Boleh memukul dengan beberapa syarat. Pertama, tidak menggunakan benda yang melukai. Kedua, tidak mematahkan tulang. Ketiga, memberikan efek jera. Keempat, sudah tidak bisa menggunakan ancaman atau menakut-nakuti. Kelima, tidak pada muka. Keenam, tidak pada bagian yang mematikan (organ vital). Ketujuh, pemukulan dilakukan untuk kebaikan anak, bukan untuk kepentingan wali atau guru. Kedelapan, anak sudah masuk usia tamyiz.”
(Hasyiyah al-Jamal, Juz 8: 50)
Salah satu ilmuan pendidikan Islam seperti al-Qabisi memberikan nasehat kepada para guru agar bersederhana ketika mendisiplinkan pelajar, membatasi hukuman rotan tidak lebih dari tiga pukulan, jika lebih dari itu harus mendapatkan persetujuan dari penjaga murid. Al-Qabisi juga memberikan nasehat kepada para guru ketika memukul muridnya, kata beliau “Guru sebenarnya berinteraksi dengan maruah dan tubuh badan seorang Muslim (semasa hendak merotan murid), maka beliau tidak boleh menyakiti murid itu secara yang tidak adil dan semberono.”
Guru jangan memukul di bagian muka dan kepala, pukulan hendaknya cukup dalam kadarnya untuk mengingatkan murid agar tidak mengulangi lagi kesalahan. Nasihat al-Qabisi, guru juga dinasihatkan oleh al-Qābisi supaya tidak menghukum murid semasa dirinya mungkin diselubungi kemarahan. “Ini (proses menghukum murid) bukan tempat untuk marah!”.
Dalam sejarah Islam disebutkan bagaiamana Umar bin Abdul Aziz mendapatkan hukuman karena terlambat shalat jamaah hanya karena sibuk menyisir rambut.
Muhammd Al-Fatih mendapatkan didikan yang keras dari gurunya Aq Syamsyuddin yang mengantarkannya menjadi pembebas dan penakluk konstantinopel.
Dunia Pesantren sudah biasa menjalankan hukuman agar para santri bisa mentaati peraturan dari pesantren, misalnya shalat jamaah tidak boleh terlambat, berbicara dengan bahasa daerah. Hukumannya bisa fisik berupa push up atau lari, atau yang non fisik seperti menghafal kosa kata bahasa Arab atau membaca 1 juz Al-Quran.
Pesantren tidak diikut campuri oleh wali santri sehingga pihak pesantren lebih bebas membuat aturan dan hukuman di Pesantren, berbeda dengan sekolah umum non pesantren yang walinya bisa dengan mudah mendapatkan laporan tentang aktifitas anak, apalagi dengan keluarnya UU Perlindungan anak, jika aduan anak ditelan mentah-mentah, anak-anak bisa merasa di atas angin yang imbasnya tentu tidak baik bagi guru dan murid.
Undang-undang yang kerap dipakai untuk menjerat guru yang melakukan pemukulan terhadap siswa yaitu pasal 80 ayat 1 undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Sementara itu secara umum tindakan penganiyaan bisa dijerat pasal 352 ayat 1 KUHP yang berbunyi :
“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Selain itu ada juga pasal 335 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, yang lengkapnya berbunyi :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah : …barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”.
Sanksi dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Pendidikan
Tema disertasi doktoral di SPs UIN Jakarta oleh ibu Nurbaiti tentang pengaruh pemberina hukuman terhadapa santri usia SMP terhadap kualitas pendidikan. Disertasi ini membuktikan, pendidikan pada siswa Sekolah Menengah ke bawah dengan cara pemaksaan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin tinggi tingkat pemaksaan, kualitas pendidikan menjadi semakin tinggi.
Disertasi ini telah penulis ringkas dalam tugas critical review di program Magister UIN, artikel bisa dibaca di ResearchGate di bawah ini.
Memukuli anak tidak berbahaya, jika anak-anak merasa dicintai, klaim studi
Menjadi ibu dan ayah yang tegas bisa baik untuk anak-anak. Asal, anak-anak tahu bahwa disiplin yang diterima untuk alasan yang tepat dan mereka merasa dicintai, menurut studi terhadap para remaja yang dipublikasikan dalam jurnal Parenting: Science and Practice, baru-baru ini.
Meski begitu, kelompok orang tua beberapa lembaga bereaksi keras terhadap temuan ini. Menurut mereka, disiplin fisik hanya akan menyebabkan penderitaan jangka panjang.
Tim dari Albert Einstein College of Medicine di New York, Amerika Serikat, ini menemukan efek menyakitkan dari disiplin keras—semisal—ancaman lisan atau memukul—terhapus ketika anak merasa dicintai. Hukuman, menurut para peneliti, tidak lantas membuat anak berperilaku antisosial, asalkan anak percaya bahwa hukuman itu memang tepat, mengutip Telegraph, Kamis (18/4).
Para peneliti mempelajari sekelompokremaja Meksiko-Amerika. Dari studi ini, peneliti menemukan bahwa punya ibu yang penuh kasih—atau “persepsi kehangatan ibu—memberi perlindungan terhadap perilaku antisosial. Persepsi itu menghasilkan hubungan yang positif antara disiplin keras dan cara mereka untuk mengajarkan anak mereka mengatasi suatu masalah di kemudian hari.
Dr Miguelina Jerman, penulis utama, menjelaskan “teori lampiran”–yang dapat berfungsi sebagai kerangka teori untuk mempelajari hubungan yang signifikan–menyatakan bahwa tanggapan hangat dari orang tua merupakan faktor penting dalam menciptakan kebahagiaan dan rasa aman anak-anak.
Berpegang pada keyakinan bahwa mereka dicintai oleh orang tua mereka, dapat melindungi para remaja dari perasaan ditolak, bahkan ketika mereka disetrap atau mendapat disiplin keras. Dr German mengatakan disiplin tidak secara otomatis menyebabkan perilaku antisosial.
“Hubungan antara keduanya adalah bersyarat dan tunduk pada faktor-faktor lain,” kata Dr German yang menekankan bahwa memberikan batasan-batasan ketat atas para siswa juga menjadi norma dalam budaya Latin. “Selalu ada pengaruh lain yang dapat berperan mengurangi potensi-potensi yang berbahaya bagi anak kecil,” kata Dr German.
Namun, memukul anak masih menjadi perdebatan seru dan ditemukan berisiko lebih besar membuat anak agresif, nakal, dan hiperaktif. Temuan ini segera memancing kontroversi dan keprihatian para orang tua soal cara terbaik untuk membesarkan anak-anak.
Di Inggris misalnya, orang tua tidak secara eksplisit dilarang memukul anak-anak mereka. Tetapi, hukum yang berlaku sekarang menunjukkan mencederai anak hingga kulitnya memerah adalah ilegal.
Jeremy Todd, Kepala Eksekutif Family Lives, tegas mengatakan tidak pernah mendukung orang tua memukul anak. Menurut dia, cara terbaik untuk memberi pelajaran adalah dengan berkomunikasi dengan anak.
Menurut dia, orang tua yang menghubungi lembaganya mengatakan “memukul muncul sebagai reaksi” dan terjadi dalam situasi yang tidak terkendali. “Mereka sering menyatakan penyesalan, itu bukan sesuatu yang membuat perasaan mereka nyaman. Kami tidak mendukung penelitian itu.”
Sebagian pihak berpendapat memukul bukan bentuk hukuman yang efektif dan malah dapat merusak kepercayaan antara anak dan pengasuh mereka. Satu hal yang penting, memukul sama saja mengajari anak untuk memukul juga.
Meski begitu, studi sebelumnya menemukan bahwa anak-anak lebih cenderung tumbuh dewasa dan lebih menyesuaikan diri dengan baik, jika orang tua mengasuh mereka dengan disiplin. Pengasuhan tradisional yang “otoriter” dikombinasikan kehangatan dan kepekaan dengan harapan yang tinggi tentang perilaku akan menghasilkan anak-anak yang lebih “kompoten”, menurut studi yang digelar para peneliti London Institute of Education pada 2009.
Justine Roberts dari Mumsnet Founder berpendapat, “Jelas lebih baik memukul “dengan maksud baik” daripada “dengan maksud buruk.”.
Tapi, para pengguna Mumsnet percaya bahwa lebih baik tidak menggunakan kekerasan terhadap anak-anak.
“Rasanya munafik memberitahu anak-anak agar tidak memukul orang lain, namun melakukan hal yang sama pada mererka,” kata Roberts.
Cara Memukul Anak yang Dibolehkan
Orangtua disarankan tidak mendidik anak dengan cara kekerasan fisik karena mental dan fisiknya masih lemah yang bisa berakibat buruk. Anak-anak harus dilindungi bagaimana pun susahnya dia didik. Jika diberi tahu lewat kata-kata saja tidak cukup, ada cara yang dibolehkan untuk memukulnya tapi bukan sembarang memukul.
Dalam Children’s Act 2004 ada batasan-batasan yang diperjelas bagi orangtua jika ingin memukul anaknya, yaitu tidak boleh menimbulkan bekas atau luka, tidak memukul dengan keras dan tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.
“Orangtua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat,” ujarMarjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010).
Bagaimana memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun.
Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orangtuanya.
Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata positif agar anak tahu apa kesalahannya.
Jika tepukan ringan tersebut dilakukan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.
Tapi orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat, karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi agresif.