Biografi Singkat Prof. Dr. Deliar Noer, MA

Biografi

Prof. Dr. Deliar Noer, MA adalah seorang tokoh intelektual, pemikir, peneliti, dan pengamat politik Indonesia. Beliau adalah orang pertama kali di Indonesia yang mendapat gelar Doktor bidang politik.

Study untuk mendapatkan PhD, beliau dapatkan di Universitas Cornell, Amerika. Beliau telah membuat suatu otobiografinya dalam dua buah buku Buku pertama, adalah biografi beliau masa kecil hingga berumur 70th (diterbitkan oleh penerbit mizan bekerja sama dengan yayasan risalah, jakarta, cet. Ke II, jumadil ula 1417/September 1996, berjumlah 1031 lembar isi.).

Adapun buku kedua adalah  biografi  beliau sejak umur 70 th hingga umur 80th (. Diterbitkan yayasan Risalah, April 2007, cet. I dengan pengantar Prof. george McT Kahindengan lembar 535 halaman).

Nama “Deliar Noer”

Beliau bernama Deliar Noer bin Noer bin Yoesoef. Kedua orang tuanya, sebelumnya dari Padang, kemudian pindah ke Medan tahun 1925. ayahnya bernama Noer, bekerja sebagai pegawai pegadaian di Medan dan sekitarnya. Ia menjadi kepala Pegadian setempat, ketika Deliar umur 12 tahun.

Sebelum Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942, ketika itu ia bersekolah di Sumatera Utara, Pangkalan Susu, Tebing Tinggi, Medan, namanya Deliar. Namun ketika lulus HIS di Tebing Tinggi, Abang dan Deliar meminta agar namanya disambung dengan Noer Joesoef. Ambilan dari ayah dan iyik (kakek)nya. Tapi ketika lulus Tyukgakko (SMP) tambahan namanya hanya Noer. Sehingga ia sering dipanggil Noer.

Menurut Ibunya, nama Dalier adalah nama kemudian. Aslinya ia bernama Muhammad Zubair. Dalam benak Deliar, nama ini lebih tegas, berkarakter laki – laki dan berwibawa. Adapun sebab mengapa ia diberi nama Deliar, karena nama Dalier ini mirip dengan perempuan yang identik dengan sifat lemah, yang ketika itu ada teman perempuan juga bernama Deliar. Adapun sebab utama mengapa namanya diganti dengan nama Deliar yaitu ketika di Medan, ia sering sakit sakitan. Dadanya pernah diperban, hingga teman temannya banyak menyarankan untuk mengganti namanya. akhirnya berubah jadi Deliar cermin dari kelahiran ditanah Deli.

Dalam otobiografinya ia menyebutkan beberapa julukan buatnya. Diantara Julukan itu : anak Medan, Deliaar panggilan guru kepadanya tatkala di SMU Jakarta, tapi ia tidak setuju), anak minang (dinisbatkan kepada daerah asal orang tuanya). Deliar Noer seorang anak yang mempunyai cita cita tinggi, salah satu cita cita sejak kecil adalah ingin menjadi seperti Soekarno. Hal ini terbukti di akhir dan awal Mushaf Al Qur’annya tertulis kalimat “Jika Deliar besar ingin seperti Sokarno.

Didalam otobiografinya bahwa ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Djuswar. Ia lahir tahun 1923 (selisih 2,5 th). Dan wafat tahun 2005. Kakaknyalah yang memberikan dorongan kepadanya untuk tetap melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi darinya, kakaknya yang hanya menyelesiakan pendidikan hingga setingkat SMU sekarang (tapi ia lebih memilih STM, agar cepat bekerja sehingga bisa membantu orang tuanya dalam membiayai pendidikan adik adiknya). Rosma, adalah adik perempuannya. Ia lahir bulan September 1929. Ia sudah pulang kehadirat ilahi rabbi, bagian dari takdir Allah kepadanya, ia telah meninggal di masa kecilnya.

Kelahiran hingga masa Dewasa

Masa Kecil

Beliau lahir di Bukit Tinggi, Medan, pada tanggal 9 Februari 1926, bertepatan dengan peristiwa agung dalam islam 27 Rajab 1344 H sebagai hari Mi’raj nabi Muhammad, di siang hari. Tahun kelahirannya disebut tahun gempa, akibat gunung merapi di Padang Panjang meletus. Tahun kelahirannya juga disebut tahun panas bagi pergerakan nasional karena orang radikal (islam dan komunis) mempersiapkan pemberontakan. Dengan tahun kelahirannya yang bertepatan dengan hari Mi’raj, ia mulai giat baca buku seputar pergerakan islam.

Dalam Proses kelahirannya, seorang dokter asal Jawa, bernama Pringadi yang membantu proses kelahirannya, ia seorang tokoh pergerakan pengurus PARINDRA (partai Indonesia raya), oleh Deliar Noer sendiri tidak setuju dengan pendirian dan pemikiran dr. Pringadi. Sebab pendiriannya dalam menghadapi kebijaksaanaan Jepang. Hal ini diungkapkan tatkala Deliar dalam masa pendidikan, setelah ia bertemu dengannya dikala SMP. Walaupun demikian ia tetap akrab berteman dengan anaknya dr. Pringadi yang bernama Ade.

Diumur 10 tahun, Aktifitas ngajinya di Sayyid Muhammad, guru asal Pariaman. Deliar sering dihukum dengan rotan, karena kenakalannya. Sayyid Muhammad dalam mengajar dibantu oleh istrinya, disamping tugas membuat makanan untuk anak anak yang belajar ngaji dengan dipersilahkan mengambil, tapi membayar terakhir. Dengan system pembelian seperti ini membuat Deliar banyak hutang, terpaksa tiap bulan harus membayar hutang tadi dengan dua rupiah.

Ayahnya, di tahun 1942 pernah mau ditangkap oleh Jepang, karena rupa wajahnya seperti orang Belanda. Tapi akhirnya, ayahnya membuktikan diri dengan memakai peci dan dengan membawa mushaf Al -Qur’an. Baru kemudian tentara Jepang itu percaya kepadanya, bahwa ia penduduk pribumi. Ayahnya, bukan simpatisan dengan tokoh pergerakan nasional Soekarno, terbukti kontradiktif kedudukan ayahnya sebagai pegawai negeri masa kolonial.

Aktifitas yang tidak pernah ditinggalkan yaitu silaturahim. Deliar sering berkunjung ke rumah Iyik, hingga iyiknya meninggal dunia tahun 1934/1935. Diantara saudara kandungnya yang paling kenal dengan iyik adalah Dalier Noer. Kedua saudara Deliar tidak pernak ketemu kecuali dimasa bayi. Tatkala kematian iyik, malam hari diadakan tahlilan sekalian sunatannya dengan abangnya.

Otobiografi beliau disebutkan keadaan masa kecil kedua, dimulai tahun 1932 ketika pindah dari Pangkalan Susu ke Tebing Tinggi, Deli berjarak 82 km. ditahun ini, ayahnya pindah kerja sebagai Beheerder kantor pegadian yang tinggal di hotel, tapi akhirnya pindah ke rumah dinas tepatnya di jalan Hoogsrtaat (jaman merdeka bernama jalan Merdeka). ditahun ini Deliar masuk HIS Taman Siswa, karena terlambat masuk di HIS negeri.

Tiap malam kegiatan di rumah dinas ayahnya adalah mengaji, walaupun keadaan masyarakat kebanyakan kulit putih yang serba bebas. Aktifitasnya ketika dikamar menjelang senja sehabis sholat maghrib selalu berbincang dengan ayah, seputar keadaan perpolitikan di Indonesia. Materi yang diperbincangkan dari berita Koran, yang biasa ayahnya berlangganan Koran pedoman Masyarakat terbit tahun 1935. pimpinan redaksinya adalah HAMKA (haji Amrullah Karim Abdullah).

Ayahnya meninggal tahun 1945 tatkala ia di Jakarta zaman revolusi, korban keganasan di kota Tebing Tinggi oleh Jepang pada Desember. Suasana di Jakarta mendukung dengan kedewasaannya terhadap pergerakan kebangsaan yang ketika itu berumur 11-12 tahun.

Ditahun 1933 pindah di HIS negeri dikelas 2 sebelumnya di HIS swasta kelas 7,   ia sangat suka oleh raga, karena ayahnya penggemar Meneer Bachtiar, lulusan sekolah raja, seorang petenis andalan(guru Dalier Noer kelas 3).

Guru gurunya ketika di HIS ada yang dari belanda dan penduduk Pribumi diantaranya adalah Stiekunst, yang pada umumnya tidak disukai oleh anak dan guru. Oleh raga yang digemarinya Dalier diantaranya adalah lari, ia seorang anak juara lari 100, 400, 1500 M dalam kejuaraan tingkat sekolah, mewakili Medan sebagai kontingen dimasa Jepang. Permainan kasti dan bola keranjang juga menjadi kegemarannya.

Tahun 1950-an pindah ke Jakarta, mulai mengumpulkan keterangan penangkapan / pembuangan tokoh pergerakan diantaranya Sutan Said Ali, Deliar juga pernah bertemu dengannya tatkala Sutan ceramah di SMU Jakarta tahun 1956, Datuk Bandaharo, Haji Iyas Ya’kub (anggota wakil konstitusi wakil Masyumi tahun 1956).

Deliar Noer juga mempunyai ibu tiri. Sebenarnya ayahnya mempunyai dua istri, hal ini disebabkan atas dorongan iyik (yang menikah 30 kali, tiap kali dibatasi 4 dan dicerai) kepadanya. Ketika di Bukit tinggi sebagai singgahan, iyiknya pernah berkata, “Seorang laki berbangsa tidak patut hanya beristri satu.

Masa Remaja

MULO adalah[1] sekolah pertama masa remajanya. Pada pertengahan 1939 M bersama abang, kakaknya ke Medan untuk melanjutkan studinya di MULO dengan tempat tinggal mengontrak di rumah teman ibunya.

Setelah kelas satu, ia tetap dalam pendidikan MULO, tapi kakaknya melanjutkan ke sekolah tehnik menengah di Semarang (technische school), biar cepat bekerja yang nantinya sebagai harapan pembiayaan pendidikan adik adiknya. Sebelumnya kedua kakak beradik itu singgah di Jakarta dan tinggal dirumah pak Alam suddin tokoh murba pada awal orde baru sebagai wali kota Jakarta timur.

Sekolah MULO pengajarnya ada yang dari orang non pribumi. Dalam soal memperagakan kenasionalan, ia dan teman temanya tatkala membaca buku (system sima’) oleh guru non pribumi. Kata Inlaners diganti Inheems artinya menunjukkan pribumi (bumi putra). Tapi dalam pengertian pergerakan nasional, kata inlander dianggap menghina, oleh sebab itu tidak ditolirer. Yang ideal ialah kata indonesier tapi ini mengandung konotasi politik yang tegas, jati diri bangsa dan kemerdekaan. Memang kata keindonesiaan tak diakui pemerintah, walau kemudian kata indonesier diterima.

Salah satu hal yang menjadi kegemarannya adalah memperhatikan keadaan pergerakan nasional. Salah satu kegiatan adalah dengan menghadiri sidang Jahja Yakub[2]. Ketika itu, Dalier menjadi anggota persatuan pemuda islam dengan penasehat pak MA Dasuki. Namun dimasa revolusi Yahja Yakub aktif dalam profesi wartawan tapi kemudian bergabung dengan PKI, pernah juga berjumpa dirumah bung Hatta tahun 1947. Salah satu bentuk sikap kesosialan beliau, yaitu tatkala mendengar orang Indonesia (mukiman di makkah) kesulitan, akibat Perang Dunia I, dan mereka memerlukan bantuan. segera mungkin Deliar berinisiatif menggalang dana dan menitipkan ke panitia.

Pelajaran agamanya didapat dari H Bustami Ibrahim,[3] dalam seminggu sekali. Seorang partisipan Muhammadiyah asal Minangkabau, Sumatera Utara. Pelajaran yang diajarkan diantaranya seputar Iman, ibadah, pemikiran manusia, alam dan Tuhan serta akhlak. Pelajaran yang masih teringat sampai sekarang adalah pembagian makhluk Allah ada 4 : bernafsu saja, berakal saja, bernafsu berakal, tidak bernafsu dan tidak berakal (salah satu pemikiran Al Farabi, yang diketahui Deliar setelah duduk di universitas). Kegiatan PPI diantaranya dengan Pemuda Muhammadiyah, Kepanduan Surya Wartawan. Deliar selalu diajak berorganisasi oleh Alisati.

Diwaktu pecah perang pasifik Desember 1941, antara Jepang dan pro Jerman, Italia vs Belanda dan sekutunya. Melihat situasi yang mencekam, dalam kegiatan belajarnya, ia masih menjalankan aktifitas belajar. Karena pendidik lama ada yang ikut berperang, akhirnya pengajar diganti oleh para pastor gereja katolik, para guru kristelijke MULO, sekolah swasta Kristen. Tanggapan Deliar terhadap mereka, tidak senang dengan pengajar barunya. Akhirnya, diwaktu liburan bulan Desember itulah Deliar ke Tebing Tinggi. Ia balik kerumah kelahirannya yaitu Bukit Tinggi, melanjutkan sekolah MULO di Bukit Tinggi dengan pengajar wanita Belanda semua, tapi akhirnya sekolah itu bubar di bulan Februari karena kurang professional dalam pengajaran.

Walaupun dimasa itu, Deliar Noer mempunyai kesempatan untuk meneruskan ke sekolah menengah Islam di Bukit Tinggi, berbentuk College, ia lebih suka menunggu sekolah menengah pengganti MULO. Selama itu ia masuk sekolah berijazah bidang pengetikan di Yacob’s college. Ia juga pernah kursus bahasa Jepang selama 3-4 bulan di Bukittinggi. Disamping diajari dengan lagu Jepang raya. Hal ini disebabkan karena sekolah menengah tidak terbuka, akhirnya ia melanjutkan di INS Kayatunanam, Payakumbuh (sekolah praktik ketrampilan gambar, musik, kerajinan tangan, olah raga).

Ditahun 1943 Deliar kembali ke Medan melanjutkan sekolahnya di Tyugakko, sekolah menengah umum tingkat pertama. Disamping itu, Deliar Noer juga mendapatkan pelajaran latihan kemiliteran terutama baris berbaris dengan pelatih orang Jepang dari Seinen. Deliar Noer sering membaca buku sejarah Barat, lewat buku pinjaman guru matematikanya Melanthon Siregar.[4] Setelah kelas tiga, Deliar Noer minta pendapat para pejabat di Medan tentang kelanjutan pendidikannya, diantaranya Amir Hasan, dan dr. pirngadi (datang bersama rekannya diantara ade, anak dr. pirngadi, ketika ia menjadi orang pergerakan nasional parindra). Selama itu, Deliar Noer mendapatkan Kohisei (beasiswa) dari pemerintahan Jepang yang sebelumnya meminta pendapat tentang beasiswa tadi apakah boleh atau tidak kepada Bustami dan Amir Hamzah, guru bahasa Jepang yang termasuk aktif di Jong Islamieten Bond. Akhirnya Deliar Noer memutuskan ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya.

Masa Dewasa

Perjalanan ke Jakarta memerlukan waktu 1,5 bulan. Lewat pas jalan yang disetujui oleh pemerintahan Jepang (mendapatkan rekomendasi surat jalan itu dari paman Badris, karena bosnya orang Jepang). Setelah sampai di Jakarta, pada bulan Maret 1945 tahun ajaran baru dimulai.

Di Jakarta perjalan banyak dibantu bibi Deliar Noer, setelah itu Deliar Noer dan kawannya sampai di SMT di Menteng Raya (Kanisius sekarang), diterima oleh wakil direktur sekolah itu Tn. Manusama (seorang tokoh Republik Maluku Selatan). Mereka berasrama di Jl Basuki milik tokoh nasional MH Tamrin yang bubar tahun 1946.

Di asrama inilah kemandirian diri tumbuh  pada diri Deliar Noer. Diwaktu Proklamasi 1945 tepatnya bulan Ramadhon, pembicaraan seputar perjuangan kemerdekaan dan tokoh tokoh nasional semakin memanas. Deliar Noer sering membicarakan tokoh tokoh nasional seperti Hatta dan Yamin. Menurutnya, Yamin lebih radikal dari Hatta yang menginginkan federasi Indonesia, bukan Negara kesatuan. Sewaktu Deliar Noer diasrama, pada bulan September terpaksa pindah, karena asrama yang menjadi tempat tinggalnya digrebek oleh serdadu NICA(Netherlands Indies Civil Administration), adalah sebuah pemerintahan sementara bentukan Hindia Belanda pelarian pemerintahan di Australia. Disela itu ia pernah masuk di akademi militer di Yogyakarta tapi tidak diterima.

Di SMT mulai masuk tangal 20 April 1945, salah satu pengajar ada yang beragama Kristen yaitu Pandjaitan, guru bahasa Jepang yang belajar kepada Deliar Noer membaca Al Qur’an dan ketika itu Deliar Noer sekolah di STI islam yang diketuai oleh Muhammad Hatta dengan administrasi dipegang oleh Muhammad Natsir. Karena diwaktu itu terjadi peristiwa proklamasi kemerdekaan,  sekolah-sekolah tetap tutup hingga Januari 1946 (ketika itu Deliar sudah bekerja sebagai korektor Koran di percetakan Negara bagian administrasi) di Pegangsaan Timur. Setelah di berita nasional tidak terbit, Deliar akhirnya pindah kerja di kementrian penerangan, bagian pemberitaan dalam negeri selama satu bulan. Sewaktu SMT mulai buka, kembali ia mendaftarkan diri.

Nampaknya ketua mengetua ini sudah terbiasa terpupuk dalam diri Deliar Noer sejak SMA. Terbukti, Ia pernah dijadikan ketua perkumpulan pelajar SMA dan pernah menjadi ketua Grap (gerakan rahasia pemuda) misinya yaitu mencatat semua konsentrasi tentara Belanda di Jakarta hingga dibuat peta pergerakan mereka.

Setelah aksi militer Belanda 21 Juli 1947 usai, sekolah sekolah RI umumnya ditutup. Walau demikian untuk pelajaran SMA didapatkan Deliar dengan system belajar yang diadakan dari rumah ke rumah. Diwaktu malam hari, Deliar dan teman seasramanya pernah ditangkap belanda (NICA). Hal ini sebagai bukti bahwa perjuangan yang dihadapi Deliar tatkala berada di Jakarta adalah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan hidup. Inilah yang menjadikan ia pindah ke pegangsaan barat, mendaftarkan diri sebagai tentara kebangsaan (BKR= badan keamanan rakyat).

Pembiayaan dalam meneruskan studinya tidaklah mudah. Apalagi ia menjadi anak yatim di bulan Desember 1945, ditambah lagi kehidupan ekonomi di Jakarta semakin sempit, akhirnya ia memutuskan untuk mendaftarkan diri bekerja di RRI sebagai penyiar dan aktif disana mulai Januari 1947. disinilah profesi diasah, sehingga Deliar Noer sebagai tenaga Ahli dalam penyampian berita, komentar, pendamping pembicara dll. Sewaktu itu Jepang masih berkuasa.

Pertemuan Deliar Noer dengan Ibrahim Saleh,[5] menjadikan Deliar ingin mencari pengalaman baru ke negeri Singapura. Perjalanan ke negeri Singapura menggunakan kapal Malioboro tidak disiasiakannya, dalam perjalanan laut itu Deliar Noer belajar mengemudikan kapal laut hingga bisa. Di Singapura setelah ia bekerja sebagai staf perwakilan RI, ia mulai melanjutkan studynya, disamping bekerja di trade departement bagian perdagangan perwakilan RI. Disinilah keahlian administrasi terasah. Deliar Noer diserahi dalam tulis menulis surat, laporan, pemikiran dan ketentuan yang akan dijadikan peraturan dalam rangka hubungan dagang antara daerah replublik yang masih tersisa di Sumatera dan Jawa. setelah perkara itu dirapatkan bersama, penyusunannya diserahkan kepada Deliar Noer. Akhirnya, Deliar Noer menghabiskan waktunya di Singapura hingga tahun 1951, yang kemudian kembali ke Jakarta sebagai staf di kementrian Luar Negeri.

Setelah berada di Trade Departement, Deliar Noer pindah ke Clyde Street, rumah seorang broker haji, A Syukur, asal Banjar. Ketika itu, Deliar Noer sebagai wartawan di koran berita harian, pelangi (Koran Medan). Di tempat inilah, Deliar Noer banyak ditanya tentang keadaan perpolitikan pasca merdeka. Disamping sebagai staf kerja diperwakilan RI, Deliar Noer ikut les privat bahasa Inggris, diantaranya kepada orang Austria yang punya tujuan sama, hingga di Januari 1949 menempuh ujian matriculation ( yaitu tegabung dalam ujian bahasa Inggris, matematika, jerman, pengetahuan umum) yang diadakan oleh London University dengan nilai ujian yang didapat Deliar Noer adalah B.

Akhirnya, Deliar Noer kembali bekerja di perkapalan. karena study di singapura tidak membuahkan hasil, perjuangan disana tidak terwujudkan, maka akhirnya Deliar Noer memutuskan kembali ke negeri Indonesia di penghujung tahun 1949 tepat peristiwa penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia bulan Desember.

Keberadaan beliau diantara Indonesia dan Australia

Dari tahun 1980 sampai tahun 1985, beliau hidup diantara Indonesia dan Australia. Tiap tahun praktis enam bulan di Jakarta dan enam bulan di Australia. Hal ini didasarkan pada perencanaan beberapa kawannya di Jakarta. Tentu dengan persetujuannya yang mendirikan lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat. Pihak Universitas Griffith menyetujui hal ini, dan perjanjian dibuat antara perwakilan Rabithah alam islamy Jakarta, Muhammad Natsir dengan rektor Universitas Griffith.

Proyek yang dikerjakan dalam lembaga penelitian itu adalah 1) penelitian tentang peran dan kedudukan DPR mulai tahun 1945 sampai tahun 1985, 2) tentang riwayat hidup Muhammad Hatta. Sebenarnya lembaga ini sudah direncanakan tatkala dalam konferensi dakwah Asia Tenggara dan Pasifik di Kuala Lumpur Januari 1980 untuk mendirikan LIPPM. Diantara yang merapatkan Muhammad Natsir, Muhammad Daud Ali, A. Rahman, Zainuddin, AM Lutfi, Deliar Noer yang nantinya akan dimasukkan juga Safrudin Prawiranegara, Muh. Roem, Rasjidi, dan Deliar Noer yang nantinya memimpin lembaga ini selama 3 tahun pertama.

Walaupun penelitian belum bisa diharapkan semaksimal mungkin (perlunya pelatihan bagi peneliti), Deliar tetap istiqamah didalam penelitiannya yang ia pimpin.  Beliau membagai penelitian sesuai job masing masing, seperti penelitian Srengseh Sawah, daerah islam tapi anak anak kampung itu, dibiayai oleh misisonaris, penelitian kegiatan kalangan protestan dan kebatinan di Cikember, Sukabumi, penelitian hubungan Islam dan Kristen dan usaha Kristenisasi disamping sebagai barometer kegiatan dakwah islam sendiri, penelitian tentang hasil persidangan dewan gereja dunia dan dewan gereja Indonesia disamping mengkaji citra, cara kerja, programnya. Usaha yang dilakukan Deliar untuk menambah wawasan para peneliti yaitu mengadakan seminar intern. Tapi rencana ini tidak disetujui oleh pak Natsir, walaupun sudah menjelaskan sedemikian, tetap beliau jalankan – seputar kedudukan dan peran umat islam dan pendidikan islam – disamping perlunya ilmu pengetahuan dan riset, penerapan hasil riset dalam rangka keperluan dakwah dan penggunaan perpustakaan. Perkembangan lembaga ini menjadikan para tokoh seperti Amien Rais, Syafii Ma’arif lainnya berkeinginan andil dan bergabung dalam lembaga itu.

Selama beliau memperoleh kesempatan di Griffith untuk cuti enam bulan yang dipergunakan untuk menambah kajian sendiri : Outside studies Proggamer (program study luar), tepatnya di bulan Desember 1980 mulai menambah wawasan dalam studynya ke Singapura, Jeddah, Makkah, Kairo, Belanda, London, New York, Chicago, Ithaca, Jepang, Taiwan, Manila. Keliling di negeri itu tujuannya tidak lain memperkenalkan diri dengan ceramah dan tukar pikiran serta pengenalan LIPPM. Hingga di bulan Februari 1981 kembali ke Jakarta.  Disamping kesibukan sebagai LIPPM, beliau sibuk dalam bidang pengurusan pendidikan yayasan Islam Al Ahzar atas permintaan Buya Hamka dan Safrudin Prawiro Negara pada pertengahan tahun 1980.

Mulai tahun 1985 beliau mulai mengambil cuti di luar tanggungan Griffith untuk tiga tahun berturut turut. Ini berarti sampai tahun 1986 / 1987 harus kembali ke Griffith. Tapi karena penelitian yang dilakukan belum selesai akhirnya beliau meminta cuti lagi hingga akhirnya beliau mengundurkan diri dari mengajar di universitas ini.

Penelitian tentang DPR, dibiayai oleh Asia Foundation. Beliau bekerja bersama bekas mahasiswanya di FISIP UI diantaranya, Arbi Samit, Z. Ghazali, Amir Santoso. Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan pihak pemerintah Indonesia, bukan persetujuan dari rektor UI.

Kepribadian Deliar Noer

Prof. Dr. HAMKA menuturkan :

Prof. Dr. Deliar adalah dikenal sebagai Sarjana Muslim, seluruh tulisannya baik yang bersifat agama (-baca Islam) politik, kebudayaan dan pendidikan, adalah hal-hal yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Indonesia, hal itu menunjukkan bahwa pengarang yang sedang berada di perantauan orang, tetap mengikuti keadaan yang sedang berlangsung di tanah ainya dan buku-buku yang beliau terbitkan patut disebut demikian. Beliau bukan hanya seorang yang cuma merenung dan berfikir bagaikan seorang sarjana yang duduk diatas singgasana gading, dialah seorang pejuang Islam di samping kesarjanaannya.”

Menurut George McT Katin (seorang yang mengusahakan untuk membantu mengatasi kekurangan yang diakui luas terdapat pada pengetahuan dan pengertian Amerika mengenai masyarakat dan Negara Indonesia pasca revolusi, Universitas Cornell tahun 1954 – 1955 dan Ford Foundation) dalam perkataannya :

“….adalah lumrah bahwa dalam mencari nasehat tentang bagaimana penelitian tentang masalah ini dapat dihadapi, saya pergi menemui dua kawan lama yang saya kenal di masa revolusi, yang keduanya saya anggap sebagai sangat luar biasa berkemampuan untuk memberi saya petunjuk, yaitu Muhammad Hatta dan Muhammad Natsir. Saya menemui masing masing mereka secara terpisah, menanyakan siapa menurut mereka pemuda Indonesia yang sesuai untuk melakukan penelitian itu. Saya terheran bahwa masing masing mereka serta merta mengemukakan nama yang sama – Deliar Noer. Kenyataan bahwa dua orang pemimpin Indonesia yang sangat saya hormati, menyebut tanpa keraguan sedikitpun nama yang sama, tentulah meyakinkan. Ketika bertemu pertama kali dengan deliar noer di rumah natsir, segera saja jelas bagi saya bahwa penilian kedua tokoh Indonesia itu sangat cocok. Walaupun kerendahan hati Deliar ketika itu,……[6]

Pernikahan Deliar Noer

Pernikahan berlangsung di Medan pada bulan April 1961 dengan diwakilkan oleh ipar tertua dari Zahara. Dari perkawinannya dengan Zahara, dikaruniai dua putra, pertama, Muhammad Dian, kedua, Muhammad b. Deliar Noer pada tahun 1968 (namun Allah Menakdirkan umurnya pendek, Ia meninggal diwaktu masih kecil).

Menikah bukan penghalang kuliahnya, disamping kesibukan belajarnya, ia menyempatkan menulis untuk Indonesia diantaranya di majalah Media (milik HMI Yogja). Pada September pulang ke tanah air translit dari Eropa.

Karya-karya Tulis Deliar Noer

Deliar Noer adalah seorang tokoh intelektual muslim yang aktif dalam pergerakan islam zaman Orde lama dan Orde baru. Selain aktif dalam ceramah, beliau juga aktif dalam penulisan yang membuahkan beberapa karya tulis, diantaranya :

  1. Islam dan masyarakat (2003)
  2. Islam dan Politik (2003)
  3. Muhammad Hatta, hati nurani bangsa 1902 – 1980 (2002)
  4. Membincangkan tokoh tokoh bangsa (2002),
  5. Mencari Presiden (1999)
  6. Aku bagian umat, aku bagian bangsa : otobiografi Deliar Noer (1996)
  7. Muhammad Hatta: Biografi politik (1990)
  8. Culture, philosophy, and the future : essays in honor of Sultan Takdir Alisahbana on his 80th birthday. (1988)
  9. Perubahan, pembaharuan, dan kesadaran menghadapi abad ke-21 (1998)
  10. Partai islam dipentas nasional 1945 – 1965 (1987)
  11. Administrasi islam di Indonesia (1983)
  12. Islam, pancasila dan asas tunggal (1983) mengenang arif rahman hakim (1983)
  13. Bunga rampai dari negri kanguru (1981) administrasion of islam in Indonesia (1978)
  14. Sekali lagi, masalah ulama intelektual atau intelektual –ulama:suatu tesis buat generasi muda islam (1974)
  15. Guru sebagai benteng terakhir nilai nilai ideal; tuntunan : bekerja tertib (1973)
  16. The kontemporerist muslim movement in Indonesia, 1900 – 1942 (1973) kemudian diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul “gerakan kontemporer islam di indonesia 1900 – 1942. (1900)
  17. Beberepa masalah politik (1972)
  18. IKIP D Sewindu : pidato/ laporan rektor pada dies natalis keVIII IKIP D, diutjackan pada tanggal 20 mei 1972. (1972)
  19. Kitab tuntunan untuk membuat karangan ilmiyah, termasuk skripsi (1964)
  20. The rise and development of the kontemporerist muslim movement in indonesia during the Dutch colonial period 1900 – 1942 (1963)
  21. Partisipasi dalam pembangunan (1977), 22) Pengantar ke pemikiran politik islam (1965)

Selain karya tulis yang dihasilkan lewat buku buku, beliau aktif dalam seminar, diskusi, ceramah, khutbah, wawancara, menulis kata pengantar dalam sebuah buku.[7]


[1] Sekolah menengah pertama di zaman belanda yang menggunakan bahasa belanda sebagai pengantar

[2] Seorang wartawan sinar Deli yang dituntut pemerintahan hindia belanda karena artikelnya yang dianggap menghasut, malah berpihak ke pada musuh, Jerman. Ketika itu jerman menyerbu belanda, hingga ibukota belanda di pindah ke London, hingga ratu Wilhelmina ngungsi ke Inggris. Bersama  Harun Dalimunthe

[3] pernah belajar di Makkah

[4] yang pernah ditahan Jepang, dimasa revolusi anggota KNIP dan pemimpin Parkindo, wakil ketua MPRS.

[5] seorang kapten kapal yang berlayar dari Tegal ke Singapura, ia tangan kanannya Zulkifli Lubis (bapak intel Indonesia)

[6] (XII, 80 tahun Deliar Noer).

[7] seperti menulis kata pengantar buku berjudul “konsep Negara islam menurut fazlur rahman terbitan UII, konsep negara demokrasi indonesia, darul falah, Jakarta 1999.

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

3 Comments

  1. Prof Deliar Noer adalah doktor politik pertama Indonesia tapi tidak dimuat dalam majalah gatra Edisi XV 6 Mei 2009 malah doktor Sosiologi pertama Prof Selo Sumarjan dan doktor Komunkasi pertama DR Alwi Dahlan dimuat. Padahal dia pak Selo dan Pak Alwi sama2 mengajar di FIS UI Pak Deliar dan Pak Selo juga sama2 alumni Cornell University, AS.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *