Artikel ini membahas syiah syafawi dan pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu. Anda akan membaca akar permusuhan Iran dan Saudi Arabia, hakikat pernikaan Imam Husain dan Syahrbanu dan apakah pernikahan keduanya benar adanya.
Sila dibaca semua dengan teliti dai awal sampai akhir, atau Anda bisa jump ke tulisan yang Anda sukai dari daftar isi di bawah ini.
PERNIKAHAN IMAM HUSAIN DAN SYAHRBANU – Shafawiyah adalah nama negara yang didirikan oleh Syah Ismail As-Shafawi dan pengikutnya,ia adalah keturunan dari Syaikh Shafiyuddin Al-Aradabili, dan pernah belajar pada Tajuddin Az-Zahid Al-Kailani salah satu pendiri Tarekat Sufi. Dr. Ali Syari’ati, seorang pemikir dan sosiolog Syi’ah dari Iran, menyebutkan bahwa maksud dari Syiah Shafawi adalah Syiah yang tunduk pada kekuasaan Iran yang berpusat di Qumm dan meyakini wilayatul faqih di Teheran. Rivalnya adalah Syiah Arabi yang menolak kekuasaan Iran dan menolak Wilayatul Faqihdi Teheran.
Syiah Shafawi inilah yang menancapkan pola keberhalaan, syirik dan taqlid buta, sampai syiah ini bisa memasuki ranah kekuasaan politik secara umum, lalu dengan kekuasaan politik tersebut syiah bisa dengan cepat merubah negara Persia yang awalnya 90 % Ahlus Sunnah dengan mazhab Syafi’i menjadi syi’i melalui tekanan senjata.
Dengan kekuatan senjata itu, Syah Ismail As-Shafawi memerintahkan tentaranya untuk bersujud padanya ketika bertemu dengannya, membantai pengikut Sunni dari ulama sampai yang awam. Sekitar satu juta orang sunni jadi korbannya, tidak hanya itu, setelah mereka dikubur ia perintahkan untuk menggali kuburan itu lalu membakar tulang-belulang mereka. Syah Ismail juga memerintahkan para khatib jumat untuk menghina tiga Sahabat; Abu Bakar, Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan dan sebaliknya mengkultuskan 12 imam Syiah. Ia juga memaksa penduduk Iran untuk memeluk ajaran sekte Syi’ah yang menjadi doktrin resmi negara (baca: Mengapa Penduduk Iran Menjadi Syiah?)
Dan perlu diperhatikan, bahwa kedua kelompok syiah, shafawi atau arabi di atas tetap sama dalam hal ke-ghuluwan mereka, karena syiah dibangun di atas dua fondasi:
- Ghuluw kepada Ahlu Bait dan banyak memalingkan ibadah kepada mereka.
- Mencela sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Ummahatul Mukminin terutama Aisyah dan Hafshah dengan kata-kata yang tidak semestinya diucapkan seorang manusia, apalagi yang menyandarkannya kepada Islam.
Ghuluw dalam Syiah telah ada sebelum munculnya Shafawiyah, cukuplah kita melihat kitab al-Kaafi yang dianggap sebagai salah satu yang terpenting, di dalamnya tercantum banyak sekali ghuluw yang dilakukan oleh Syiah. Maka dari itu salah jika ada yang beranggapan bahwa syiah itu bersikap I’tidal sampai munculnya shafawiyah, dan sikap ghuluw itu muncul dengan kemunculan syiah itu sendiri, sebagaimana Ali telah membakar pendahulu mereka.
Pada masa Shafawi banyak terjadi kebid’ahan-kebid’ahan yang akhirnya menjadi aqidah mereka; sebagian dari bid’ah tersebut:
- Menghujat Sahabat dan tiga Khulafa’ Rasyidin; Abu Bakar, Umar dan Utsman di mimbar-mimbar, masjid dan pasar-pasar.
- Upacara Ta’ziyah, meratapai kematian Husain, yang idealnya dengan menyiksa diri dengan memukul kepala, dada dan punggung dengan benda-benda tajam, berpakaian serba hitam sambil menyenandungkan syair-syair ratapan dan terus menerus memelihara tingkat emosi yang tinggi dari “dendam Historis”.Memasukkan syahadat ketiga dalam adzan: أشهد أن لا عليّا وليّ الله (dan aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah) dan Tatswib: حي على خير العمل
- Bersujud di atas Tanah Husain (Turbah Husainiyah) yang diambil dari tanah Karbala
- Wajib menguburkan orang matinya Syiah di Najaf
- Merubah arah kiblat di masjid-masjid Syiah, yang menyelisihi masjid-masjid Ahlus Sunnah.
- Membolehkan manusia sujud pada yang lainnya.
- Memberikan untuk ulama-ulama mereka apa yang disebut dengan Al-Khumusyaitu 20% dari penghasilan, kepada imam hidup atau mujtahid bagi keperluan kehidupan keagamaan dan keumatan.
- Proyek Khomeini: pemakaian kembali kalender majusi sebagai penanggalan kenegaraan, yaitu kalender Matahari yang bertahun baru pada hari raya Nawruz,31 Maret,ketika matahari berada di titik equinox dan siang maupun malam sama panjang yang juga merupakan haru raya umat Baha’i.ketetapan ini dituliskan dalam konstitusi.
Kematian Husain di Padang Karbala yang cukup tragis diratapi oleh kalangan Syiah dari dulu sampai sekarang dengan keterlaluan seperti dengan menganiaya diri, memukul-mukul badan, dada dan kepala sampai bercucuran darah dengan alasan sebagai tanda kecintaan kaum Syiah kepada Husein, cucu Rasulullah saw. Tragedi itu juga dijadikan moment untuk propaganda agama Syiah, untuk menarik umat Islam agar masuk pada agama mereka.
Syiah menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk acara ini, karena mereka beranggapan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari agama dan syiar dari kegiatan ajaran Syiah. Anak-anak kecil diajar untuk membiasakan diri menangis untuk upacara seperti ini, sehingga nanti kalau sudah dewasa akan terbiasa dan dapat melakukan acara ini dengan sempurna.
Dan untuk terus menghidupkan rasa kebangsaan mereka, Syiah Shafawi melakukan segala cara, seperti dengan mencatut nama Ahlul Bait Nabi SAW ke dalam aqidah mereka dan membuat-buat riwayat dan hadits-hadits yang dibuat oleh para perawi Syiah. Salah satunya kisah ini, kisah pernikahan antara Imam Husain ra dan putri dari Yazdrajid ke tiga, Syahzanan yang disebut juga Syahbanu.
Mengetahui hakekat kisah tersebut amat urgen karena beberapa hal berikut:
- Riwayat ini telah disebukan dalam referensi utama Syiah seperti; Alkaafi, As-Shaduq, dan Almufid.
- Menjebol kejumudan kaum muslimin yang taqlid dan mengkultuskan kisah tersebut dan menganggapnya sebagai dogma yang tidak boleh dijamah.
- Kisah itu bukan Al-Quran atau wahyu yang turun, ia hanya kisah turun-temurun yang isinya bisa benar atau salah dan perawinya bisa majhul (tidak dikenal) atau math’un (cacat dalam riwayat).
- Mengetahui benar tidaknya kisah pernikahan itu selanjutnya dapat menyingkap hakekat-hakekat kisah lain yang bersumber dari Syiah.
Selanjutnya kita akan mengupas terlebih dahulu Akar Permusuhan Syiah Persia (Iran) terhadap Saudi Arabia
Akar Permusuhan Syiah Persia (Iran) terhadap Saudi Arabia
Bagi sebagian pihak, permusuhan Iran terhadap pemerintah Jazirah Arab (sebagai representasi dari Ahlus Sunnah) adalah politis belaka. Bahkan terlihat ada upaya pihak-pihak tertentu untuk menjadikan alasan politik itu menjadi wacana dominan. Sedemikian sehingga akar permusuhan bangsa Iran yang sebenarnya tidak terlihat bagi publik.
Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dan bagaimana permusuhan itu, kita dapat menguak akar-akar sentimen bangsa negeri mullah ini, seperti kultur, sejarah, keyakinan, dan lainnya.
Akar Historis
Iran memposisikan diri sebagai pewaris sah kebesaran Imperium Persia Zoroaster pra-Islam. Itu sebab sehingga sentimen kebencian Iran terhadap bangsa Arab, terutama terhadap mereka yang berasal dari Jazirah Arab dan Hijaz, adalah hal yang biasa. Sebab nenek moyang orang-orang Arab itulah yang dahulunya menyeberangi sungai Dajlah dan Furat, di era Khulafa Rasyidun, dan berhasil merebut kota-kota Persia. Mereka saat itu bahkan sempat melakukan shalat di Istana al-Abyadh di kota al-Mada’in.
Inilah akar historis yang demikian dalam tertanam dalam memori bangsa Iran. Sedemikian dalam sehingga berbagai upaya pernah dilakukan oleh bangsa Persia itu untuk meruntuhkan umat Islam. Antara lain tahun 136 H. oleh Astadzsis, Babek al-Kharmi tahun 202 H., pada tahun 224 oleh al-Afsyin, Mardawayij di tahun 323 H., Asfar bin Syirawaih di tahun 316 H. Bahkan serentetan pengkhianatan dan perlawanan terhadap khilafah Islam sebagai pemerintahan yang sah telah dilakukan oleh negeri-negeri yang dibangun di atas fondasi Persia, seperti dinasti Buwaihiyah, Samaniyah dan Zaydiyah.
Setelah itu, berdirilah dinasti Shafawiyah yang menjadi fondasi historis bagi negara Iran kontemporer. Dinasti Shafawiyah adalah dinasti yang menjadi musuh bebuyutan Khilafah Utsmaniyah, lantaran posisi yang terakhir ini sebagai representasi dunia Islam Sunni. Berkali-kali dinasti Shafawiyah terlibat perang terbuka dengan Khilafah Utsmaniyah. Dinasti ini juga berkali-kali bekerja sama dengan musuh-musuh Utsmaniyah, seperti Rusia, Portugis, Inggris, dll. Sehingga sikap permusuhan Shafawiyah terhadap Utsmaniyah lebih keras daripada sikapnya terhadap kaum Salib Eropa saat itu.
Alasan utama sikap permusuhan Shafawiyah itu adalah perselisihan mazhab belaka. Hal ini sebagaimana kajian dari Dr. Badi’ Muhammad Jum’ah, dengan merujuk ke berbagai literature tentang Iran, baik yang ditulis dalam bahasa Persia, Arab maupun Inggris yang menyebutkan fakta-fakta adanya hubungan kerja sama antara dinasti As-Shafawwi dengan Negara-negara Eropa untuk melawan musuh bersama yaitu Turki Utsmani.
Akar Ideologis
Negara Iran adalah negara sektarian yang sejak era dinasti Shafawiyah telah berperan besar dalam menyebarluaskan sekte syiah, walaupun itu harus menempuh jalan kekerasan. Konstitusi Republik Iran yang fondasinya diletakkan wilayah al-faqih menyebut jelas bahwa ajaran Syi’ah adalah ajaran resmi negara. Konstitusi juga menegaskan pentingnya menyebarluaskan doktrin-doktrin revolusi Khomeni ke seluruh dunia.
Akar Politik
Sejak awal kesuksesan revolusi Khomeini, Iran telah bermimpi untuk mendirikan kembali imperium Persia yang lama. Iran bercita-cita menjadi negara besar yang disebut sebagai Bulan Sabit Syi’ah, yang wilayahnya mencakup Suriah, Irak, Urdun, dan Selatan daerah Jazirah Arab. Oleh karena itu, Iran senantiasa berusaha tampil sebagai pemimpin dunia Islam. Tujuannya, untuk menarik simpati dan membentuk citra positif terhadap dirinya.
Majalah Albayan edisi ke 78 memuat artikel yang membongkar rencana rahasia Syiah dalam jangka 50 tahun yang mereka sebut dengan Khuttah Khamsiniyyah, yang bersumber dari Ikatan Ahlus Sunnah di Iran yang berpusat di London dengan judul“Alkhitthah As-Sirriyyah Lilaayaat fi Dhau’I Al-Waqi’ Al-Jadid” Khuttah Khamsiniyyah(program lima puluh tahun) ini terdiri dari lima tahap yang tiap langkah berjangka 10 tahun.
Poin penting dari khuttah itu adalah.
- Program tersebut ditujukan bagi Ahlus Sunnah yang ada di dalam atau di luar Iran.
- Bersikap lebih mesra kepada negara-negara yang memberikan keuntungan sebanyak mungkin dan memperbanyak tentara yang akan mengamankan negara ini. Sesuai dengan nasehat Husein Kasyful Ghitha’ dalam kitab Ashlus Syiah wa Ushuluha kepada umat Syiah: “Selama pemerintahan yang ideal belum bisa ditegakkan, hendaklah mereka berbaik-baik sebagai warga negara dan bekerja sama dengan pemerintahan setempat.”
- Memperbanyak transmigran (perpindahan penduduk) Syiah ke daerah-daerah Ahlus Sunnah dan agresif mendirikan Husainiyyah, Pusat-pusat studi, pusat-pusat kebudayaan dan kesehatan masyarakat dan perwakilan di seluruh dunia muslim.
- Infiltrasi terhadap organisasi-organisasi Islam dengan dalih pendekatan mazhab.
- Pemusatan angkatan bersenjata hanya di tangan Syiah
- Pembatasan laju pertumbuhan dan pembatasan keturunan (KB) penduduk Sunni.
Dan hari ini kita telah melihat perkembangan Syiah atau yang mengatas namakan mazhab Ahlul Bait di Indonesia sangat pesat sebagai akibat dari gema gerakan Syiah yang dihembuskan tokoh-tokoh Iran yang sengaja di sebar ke beberapa negara yang dikenal dengan Eksport Revolusi.
Untuk mengetahui reaksi pro-kontra revolusi ini, kami sarankan anda untuk membaca buku kumpulan artikel: “Gerbang Kebangkitan, Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan” yang diterbitkan oleh Shalahuddin Press). Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di beberapa kota di Indonesia,seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan di luar Jawa dan membanjirkan buku-buku Syiah yang sengaja diterbitkan oleh para penerbit yang berindikasi Syiah.
Sebagian dari fenomena sentimen kebangsaan Syiah Persia
- Orang Syiah menjadikan hari kematian Umar bin Khatab sebagai hari raya terbesar mereka.
- Menyebut pembunuh Umar bin Khatab yaitu Abu Lu’luah sebagai Baba Syujauddindan kuburannya dijadikan tempat berziarah.
- Syiah lebih memuliakan keturunan Husain dari pada Hasan saudaranya, karena anak-anak Husain berasal dari Persia dan mereka adalah Syahzanan binti Yazdrajid yang dinikahi oleh Husain ra.
- Mengagungkan sahabat Salman Alfarisi melebihi sahabat lainnya, sampai mereka mengatakan: “Ia diberi wahyu!! Yang tidak lain karena dia adalah orang Persia.”
- Syiah banyak meriwayatkan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa kelak ketika imam mereka yang bersembunyi di Sirdab muncul maka mereka akan membunuh kabilah-kabilah arab dan terkhusus kabilah Quraisy.
- Diriwayatkan dalam kitab mereka bahwa Ali mengatakan tentang Kisra:”Sesungguhnya Allah swt akan melepaskannya dari azab neraka, dan neraka haram baginya.”[1]
Hakikat Pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu binti Yazdrajid
Untuk terus menghidupkan rasa kebangsaan mereka, Syiah Shafawi melakukan segala cara, seperti dengan mencatut nama Ahlul Bait Nabi saw ke dalam aqidah mereka dan membuat-buat riwayat dan hadits-hadits yang dibuat oleh para perawi Syiah. Salah satunya kisah ini, kisah pernikahan antara Imam Husain ra dan putri dari Yazdrajid ke tiga, Syahzanan yang disebut juga Syahbanu.
Kematian Husain di Padang Karbala yang cukup tragis diratapi oleh kalangan Syiah dari dulu sampai sekarang dengan keterlaluan seperti dengan menganiaya diri, memukul-mukul badan, dada dan kepala sampai bercucuran darah dengan alasan sebagai tanda kecintaan kaum Syiah kepada Husein, cucu Rasulullah saw. Tragedi itu juga dijadikan moment untuk propaganda agama Syiah, untuk menarik umat Islam agar masuk pada agama mereka.
Syiah menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk acara ini, karena mereka beranggapan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari agama dan syiar dari kegiatan ajaran Syiah. Anak-anak kecil diajar untuk membiasakan diri menangis untuk upacara seperti ini, sehingga nanti kalau sudah dewasa akan terbiasa dan dapat melakukan acara ini dengan sempurna.
Mengetahui hakekat kisah tersebut amat urgen karena beberapa hal berikut:
Riwayat ini telah disebukan dalam referensi utama Syiah seperti; Alkaafi, As-Shaduq, dan Almufid.
Menjebol kejumudan kaum muslimin yang taqlid dan mengkultuskan kisah tersebut dan menganggapnya sebagai dogma yang tidak boleh dijamah.
Kisah itu bukan Al-Quran atau wahyu yang turun, ia hanya kisah turun-temurun yang isinya bisa benar atau salah dan perawinya bisa majhul (tidak dikenal) ataumath’un (cacat dalam riwayat).
Mengetahui benar tidaknya kisah pernikahan itu selanjutnya dapat menyingkap hakekat-hakekat kisah lain yang bersumber dari Syiah.
Selanjutnya kita akan mengupas kisah tersebut dari beberapa sisi seperti sisi ilmiah, historis, riwayah dan politik, dan selamat menyimak.
Secara Ilmiah, Historis dan Riwayat
Syiah akan terperanjat dan kaget ketika mereka mengetahui bahwa ahli sejarah telah bersepakat bahwa ibu dari Ali bin Husain adalah Ummu Walad, sebagaimana disebutkan oleh Albaladzi dalam kitab Alansab: juz 3 hal 146, Alkhawarizmi dalam Al-Manaqib hal 143, Alyafi’I dalam Miratul Jinan juz 1 hal 210, Ya’qubi dalam tarikhnya juz 3 hal 43, Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat juz 5 hal 156, Ibnu Thuulun dalam Alaimmah alitsna asar hal 78 dan Ahmad Amin dalam Dhuhal Islam juz 1 hal 11.
Dan mereka akan lebih kaget lagi ketika mereka mengetahui bahwa para peneliti (muhaqqiq) menyimpulkan bahwa Yazdrajid ketiga tidak pernah memiliki seorang putri pun yang bernama Syahzanan!!!.
Seorang peneliti dari Iran bernama Said Nafisi menyimpulkan hal itu dalam bukunya“Tarikh Iran Alijtima’I”, ia menyebutkan: “Yazdrajid ketiga tidak pernah sama sekali memiliki anak yang bernama “Syahzanan” sampai dia tertawan di Madain lalu diambil oleh Umar untuk dinikahkan dengan Imam Husain dan menjadi ibu dari Imam As-Sajjad, dan “Yazdrajid” ketika masa Umar baru berumur lima belas tahun, bagaimana ia bisa memiliki anak yang lalu dinikahkan oleh Umar!![2]
Dan Almas’udi dalam Murujuz Zahab juga menyebutkan bahwa Yazdrajid ketika itu berumur 35 tahun dan meninggalkan dua anak lelaki: Bahram dan Fairuz dan tiga anak perempuan: Adrak, Syahin dan Mardawanda.[3]
Dan riwayat tentang pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan itu saling bertentangan (mudhtharib), berikut ini hadits-hadits tersebut:
Riwayat dari Muhammad bin Hasan As-Shaffar (209 H)
قال: ((بسبب الحقد والكراهية التي كانت تكنها لخليفة العرب عمر بن الخطاب، الذي أصدر أمرا باحتلال إيران، وأسقط المملكة الساسنية، فإنها حين رأته في ((المسجد)) غطت وجهها وبكت وقالت: آه! بيروج بادا هرمز (أي: النصر لهرمز).
فهجم عليها عمر ليؤدبها –اعتقادًا منه أن الأميرة شتمته- ولكن الإمام علي بن أبي طالب –وبسبب الود المملوء بالسر الغيبي الذي كان يكنه للآل ساسان!-، تقدم بسرعة إلى الأمام، وأمسك بعمر وقال له: يا رجل! قف إنها لا تعنيك، ومن الأفضل أن تجعلها حرة، حتى تختار شخصًا من المسلمين زوجًا لها، فوافق عمر وقال:هو كذلك! فأنتي حرة، ولكِ أن تختاري.
فجاءت ممثلة الخونة ((نور)) الفرهة الإيزادية، وسليلة الأسرة الساسانية، التي أخذت ضيائها من اهوار مزاد ((إله المجوس))! تتقدم وتتقدم وتتقدم، فوضعت يدها على رأس الحسين بن علي لتتخذه زوجاً لها، واصلة بذالك بين وارث النبوة المحمدية، وبقية سلطنة ((اهورا)) الساسانية.[4]
Riwayat Muhammad bin Ali bin Husain atau As-Shaduq (381 H)
((قال: حدثنا الحاكم أبو علي الحسين بن محمد البيهقي قال: حدثنا محمد بن عيسى الصولي. قال: حدثنا سهل بن القاسم النوشجاني قال: قال لي الإمام الرضا (ع) بخراسان: إن بيننا وبينكم نسباً.
قلت: وما هو أيها الأمير؟
قال: إن عبد الله بن عامر بن كريز لما افتتح خراسان، أصاب ابنتين ليزدجرد بن شهريار ملك الأعاجم، فبعث بهما إلى عثمان بن عفان، فوهب إحداهما للحسن، والأخرى للحسين، فماتتا عندهما نفساوين. وكانت صاحبة الحسين نفست بعلي بن الحسين))[5]
Riwayat Muhammad bin Muhammad bin Nu’man yang dikenal dengan Almufid (413 H)
قال: ((وأمه شاه زنان بنت يزدجرد بن شهريار بن كسرى. ويقال: اسمها شهربانويه، وكان أمير المؤمنين (ع) ولى حريث بن جابر الحنفي جانباً من المشرق، فبعث إايه ابنتي يزدجرد بن شهريار بن كسرى، فنحل ابنه الحسين شاه زنان منهما، فأولدها زين العابدين، ونحل الأخرى محمد بن أبي بكر، فولدت له القاسم بن محمد بن أبي بكر، فهما ابنا خالة)).[6]
Pembaca yang teliti menyimak ketiga riwayat di atas dengan mudah akan mendapatkan pertentangan dalam hal waktu dan tempat dimana putri Kaisar Yazdrajid sekaligus istri Husain di tawan.
Riwayat pertama menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di kota Madain pada masa Khalifah kedua, Umar bin Khatab pada tahun kesembilan belas dari hijrah.
Riwayat kedua menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di kota Khurasan pada pemerintahan Utsman bin Affan. Dan riwayat ketiga menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di daerah timur ketika masa khalifah Ali bin Abi Thalib.
Dari bukti-bukti ilmiah dan historis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan adalah Dhaif dan dibuat-buat oleh Syiah. Bukan hanya kisah pernikahannya saja yang berbeda dan saling bertentangan, tetapi riwayat yang menyebutkan waktu dan tempat wafatnya Imam Husain dan Syahzanan juga berbeda-beda.
Perihal wafatnya Imam Husain sempat membingungkan umat Islam karena banyaknya simpang siur yang mengkhabarkan bahwa jasad Imam Husain dibawa ke Kairo, ada yang mengatakan dibawa ke Asqalan atau kepala Imam Husain yang katanya dibawa keDamsyiq lalu ke Mesir atau dibawa ke Madinah tanpa melewati Syam dan Mesir.
Untuk menjawab kebingungan tersebut, Syaikhul Islam telah menulis risalah pendek berjudul “Aina Ra’sul Husain” yang artinya dimanakah gerangan kepala Imam Husain? Lewat buku itu beliau singkap kebenaran dibalik khurafat berkenaan kepala Imam Husain yang hanya berdasar pada donngeng atau mimpi dan ngaku-ngaku saja, lalu dimanakah kepala Imam Husain? Ibnu Taimiyah lantas menyebutkan kesepakatan ulama bahwa kepala Imam Husain telah dikuburkan di kota Madinah.
Demikian pula tentang kematian Syahzanan, As-Shaduq mengatakan bahwa Ia meninggal di Madinah seperti Ali bin Husain. Tetapi Syiah membangun bangunan dan tempat ziarah di gunung kota Ray dekat Teheran, Iran yang disebut “Gunung Bibi Syahzanan”. Di atas kuburan itu dibangun marmer yang bertuliskan tahun keempat hijrah. Kuburan ini dimarmer ketika masa Buwaih dan Seljuk dan diperbaharui lagi pada masa As-Shafawi dan Al-Qajari. Di pintu masuk kuburan ini tertulis “Riwayat As-Shaffar” yang bercerita tentang kisahnya bersama Khalifah Umar dan Ali di masjid Madinah.
Kisah kuburan Imam Husain dan Syahzanan ini mirip dengan kisah kuburan Fairuz An-Nahawandi atau Abu Lu’luah (la’natullah ‘alaih), pembunuh Umar bin Khatab. Riwayat terpercaya menyebutkan bahwa dia dibunuh oleh Abdurrahman bin Auf setelah membunuh Umar bin Khatab di pertengahan shalat Subuh. Hanya saja Syiah membangun tempat ziarah untuk lelaki terlaknat ini di jalan antara kota Qom dan Kasan yang disebut Baba Syujauddin.
Pendapat Orientalis tentang kisah pernikahan Imam Husain dan Syahzanan
Orientalis Jerman Isbelir mengatakan: “Saya percaya bahwa pernikahan antara Husain bin Ali bin Abi Thalib dan putri kisra adalah kisah yang dibuat-buat, dan Syiah berusaha untuk mengait-kaitkan imam mereka dengan keturunan terakhir kerajaan Iran, mereka sangat perhatian terhadap masalah ini”.[7]
Sejarawan Denmark terkenal, Christein Sun, menyebutkan dalam bukunya “Iran fil ‘Ahdis Sasani” bahwa polemik pernikahan Imam Husain dan Syahzanan tidak bisa dipercaya.
Secara Politis
Imamah atau khilafah menurut Syiah termasuk ushuluddin atau salah satu rukun dari rukun agama, dan barang siapa ingkar terhadap imamah tersebut maka dia dianggap telah kafir. Syiah yang sekarang ada adalah Syiah Imamiyyah Itsna Asairah, Syiah ini lebih tepat disebut sebagai aliran politik dari pada aliran agama dan sebutan Imamiyyah tersebut memperkuat makna Syiah sebagai faham politik. Dan pengaruh Imamah lebih menonjol dalam moralitas Syiah, sehingga mewarnai semua ajarannya.
Seorang peneliti dan ahli sejarah, Dr. R. Nath menulis dalam artikel yang berjudul“Alislamu fi Iran” atau “Islam di negeri Iran” yang menyebutkan bahwa Islam di Iran memiliki corak khusus, Islam bagi orang Iran tidak bisa terlepas dari kebudayaan Iran. Budaya ini berbeda dengan adat dan kebiasaan masyarakat di negeri Arab seperti; Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir, Suriah, bahkan negara tetangganya, Iraq.
Corak itu bahwa Persia percaya dan meyakini kalau “seorang raja memiliki sifat tuhan”, bagi orang Persia, raja adalah penegak kebenaran, pemilik tujuh petala langit dan empat penjuru bumi, dan raja adalah titisan tuhan di bumi.
Oleh karena itu, mereka menolak pemilihan kepala negara lewat sistim khilafah karena belawanan dengan keimanan mereka terhadap raja. Inilah corak khusus dari Islam Iran seperti yang disebutkan Dr. R. Nath.
Kemudian agar kepercayaan pada raja itu tetap terus ada, sementara kerajaan terakhir mereka telah dihancurkan oleh umat Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar bin Khatab. Mereka membuat kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan, putri ketiga dari raja Persia yang terakhir, agar keturunan ini terus berlanjut dan membuat keturunan baru perpaduan antara seorang pemuda dari Bani Hasyim dan seorang pemudi dari Bani Assasin.
Inilah maneuver politik Syiah dalam kisah pernikahan Imam Husain dan Syahzanan untuk melegitimasi aqidah dan keyakinan mereka, yaitu dengan cara berdusta atas nama cinta Ahlul Bait dan menyembunyikan zindiq dan kemunafikan dalam hati. Artikel tentang pernikahan Imam Husain dan Syahzanan ini, yang ditulis dengan referensi yang kuat juga menjadi koreksi untuk kalangan yang menyebutkan bahwa Ali Zainal Abidin melalui jalur ibunya, terhitung keturunan Kaisar Gao-Zu, Pendiri Dinasti Tang, atau keturunan Cyrus II “The Great”, yang oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai Zulqarnain.
Apakah kisah pernikahan Imam Husain As dan Puan Syahrbanu itu benar adanya?
Website Islamquest.net pernah mendapatkan sebuah pertanyaan di atas yang sengaja saya nukilkan sebagai penguat dari apa yang ditulis sebelumnya.
Apakah kisah pernikahan Imam Husain As dan Puan Syahrbanu itu benar adanya? Tolong jawab dengan menyertakan sanad-sanad sejarahnya seperti Tarikh Bal’ami.
Jawaban Global
Terdapat beberapa pendapat sehubungan dengan pernikahan Imam Husain As dengan Syahrbanu yang menjadi tawanan pasukan Islam; karena pada sebagian riwayat tercatat bahwa Syahrbanu menjadi tawanan pasukan Islam pada masa pemerintahan Umar. Sebagian lainnya berpendapat pada masa khilafah Usman. Demikian juga tercatat beberapa nama untuknya dan untuk ayahnya.
Dengan memperhatikan hal ini nampaknya sulit bagi kita untuk menyatakan pendapat pasti terkait dengan apakah ia adalah seorang berbangsa Persia (dan wanita bernama Syahrbanu) istri Imam Husain As dan ibunda Imam Sajjad As.
Jawaban Detail
Terdapat beberapa pendapat di antara sejarawan dan ahli hadis sehubungan dengan pernikahan Imam Husain As dengan putri Yazdgerd III (Syahrbanu):
Syaikh Shaduq Ra sekaitan dengan ibunda Imam Zain al-Abidin As menyebutkan hadis ini bahwa Sahl bin Qasim Nusyjani berkata, “Imam Ridha As berkata kepadaku di Khurasan: Terdapat hubungan kekerabatan di antara kami dan kalian.” Saya berkata, “Kekerabatan apa itu?” Imam Ridha As bersabda, “Tatkala Abdullah bin Amir bin Kiriz menaklukkan Khurasan, ia menemukan dua putri dari putri-putri Yazdgerd Raja Iran dan membawa keduanya ke hadapan Usman bin Affan.
Usman bin Affan memberikan yang pertama kepada Imam Hasan dan yang kedua kepada Imam Husain As. Kedua putri ini wafat setelah melahirkan. Istri Imam Husain As melahirkan Imam Sajjad As. Setelah wafatnya istri Imam Husain, salah satu kaniz (budak perempuan) Imam Husain As yang merawat Imam Sajjad As.”
Berdasarkan riwayat ini, putri Yazdgerd dibawa ke Madinah pada masa pemerintahan Usman bin Affan bukan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Syaikh Abbas Qummi, tentang riwayat ini, berkata, “Hadis ini berseberangan dengan hadis-hadis yang menyatakan bahwa putri Yazdgerd dibawa pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis yang lebih masyhur dan lebih kuat.”
Kulaini Ra sehubungan dengan identitas ibunda Imam Sajjad As menyebutkan hadis ini, “Tatkala putri Yadzgerd dibawa ke hadapan Umar, gadis-gadis Madinah datang untuk melihatnya dan ketika ia memasuki masjid, maka masjid menjadi terang dengan sinarnya. Umar menatapnya, sang putri segera menutupi wajahnya dan berkata, “Af biruj bada hormoz (Celaka, nasib Hormoz telah menjadi hitam)!”
Umar berkata, “Putri ini berkata tidak senonoh kepadaku!” sambil berbalik kepadanya. Amirul Mukminin Ali As berkata kepada Umar, “Engkau tidak memiliki hak untuk mencelakakannya. Berikanlah pilihan kepadanya untuk memilih pria dari kaum Muslimin dan hitunglah saham pampasan perangnya.” Umar memberikan pilihan kepadanya. Sang Putri mendatangi dan meletakkan tangannya di atas kepala Imam Husain As.
Ali berkata kepadanya, “Siapakah gerangan namamu?” “Jahan Syah,” Pungkas putri tersebut. Imam Ali As berkata, “(Tidak) Engkau adalah Syahrbanu.” Kemudian Imam Ali berkata kepada Imam Husain As: “Wahai Aba Abdillah! Putri ini adalah sebaik-baik wanita di muka bumi yang terlahir untukmu dan Ali bin Husain akan lahir darinya. Ia akan dipanggil sebagai Ibnu al-Khiyaratain (Putra dua pilihan); karena merupakan pilihan Allah dari bangsa Arab (Hasyim) dan dari ‘Ajam (Fars).”
Riwayat ini telah mendapat kritikan dari sudut pandang sanad dan matan dari kalangan peneliti; misalnya disebutkan, “Dalam sanad riwayat ini terdapat seseorang bernama, Amru bin Syimr yang merupakan orang lemah dan tidak dapat dipercaya dalam pandangan ulama Rijal.
Dari sudut pandang matan (teks riwayat) juga mengandung banyak isykalan misalnya:
Tertawanannya putri Yazdgerd adalah sebuah cerita yang patut diragukan.
Pernikahan Imam Husain As dengan putri seperti ini pada masa seperti itu juga patut diragukan; karena sesuai dengan riwayat pertama putri ini tertawan pada penaklukan Khurasan yaitu pada tahun 22 Hijriah dan pada masa pemerintahan Usman sementara riwayat kedua menyebutkan pada masa pemerintahan Umar yang apabila hal ini dijadikan sebagai kriteria maka usia Imam Husain pada masa penaklukan Iran kira-kira antara 10 dan 11 tahun; karena penaklukan Iran terjadi pada tahun kedua pemerintahan Umar. Karena itu sangat jauh kemungkinan Imam menikah pada usia seperti ini.
Litetarur-literatur sejarah pertama dan riwayat juga berbeda pendapat tentang nasab (garis keturunan) ibunda Imam Sajjad As. Sebagian sejarawan seperti Ya’qubi (wafat tahun 284 H),[5] Muhammad bin Hasan Qummi, Kulaini (wafat tahun 329 H), Muhamad bin Hasan Shaffar Qummi[7] (W 290 H), Allamah Majlisi, Syaikh Shaduq (W 381 H),Syaikh Mufid (W 413 H), memandangnya sebagai putri Yazdgerd meski mereka tidak sepakat tentang namanya.
Sebagai bandingan pendapat ini, sebagaian literatur lawas dan anyar menyebutkan pandangan-pandangan lain terkait dengan tempat penawanannya seperti Siistan, Sinad, ada yang menyebutkan Kabul dan kebanyakan literatur tanpa menyebutkan tempat penawanannya. Ia hanya disebut sebagai Ummu Walad (kaniz yang memiliki anak).
Sebagian menyebutkan nama-nama orang-orang besar Iran seperti Subhan, Sanjan, Nusyjan dan Syairwiyah sebagai ayahnya.
Untuk mengkritisi dan mengkaji riwayat-riwayat ini kita tidak dapat bersandar pada pembahasan-pembahasan sanad riwayat-riwayat ini; karena tidak satu pun riwayat yang memiliki sanad yang kuat. Di samping itu, kebanyakan literatur sejarah seperti Târikh Ya’qubi mengutip riwayat-riwayat dalam bukunya tanpa menyebutkan sanad-sanad.
Karena itu kita hanya dapat mengkaji kandungan riwayat ini dengan beberapa kritikan sebagai berikut:
Kritikan yang paling penting atas riwayat ini adalah adanya perbedaan riwayat-riwayat dalam menyebut nama dan nama ayahnya sedemikian sehingga literatur-literatur sejarah menyebutkan nama beragam untuknya seperti Syahrbanu, Salkha, Ghazalah.
Perbedaan laporan sejarah pada masa penawanannya juga merupakan salah satu kritikan sehingga sebagian laporan sejarah menyebut bahwa ia ditawan pada masa pemerintahan Umar, sebagian lainnya pada masa khilafah Usman bin Affan dan sebagian lainnya seperti Syaikh Mufid menilai bahwa ia ditawan pada masa pemerintahan Imam Ali As.
Pada dasarnya, kitab-kitab seperti Târikh Thabari dan al-Kâmil Ibnu Atsir dengan menghitung tahun-tahun perang antara kaum Muslimin dan bangsa Persia, menunjukkan jalur pelarian Yazdgerd ke pelbagai daerah Iran. Kedua kitab sejarah ini sama sekali tidak menyebutkan tentang penawanan anak-anak Yazdgerd; sementara masalah ini adalah masalah yang lebih penting ketimbang masalah-masalah sepele yang disinggung dalam kedua kitab sejarah ini.
Sebagian sejarawan klasik seperti Mas’udi tatkala menyebutkan anak-anak Yazdgerd III, ia menyebut nama-nama Adrak, Syahin, Mardawan bagi sang puteri. Kritik yang dapat dilontarkan di sini adalah pertama, nama-nama ini sama sekali tidak sesuai dengan nama-nama yang pernah disebutkan untuk ibunda Imam Sajjad As dan kedua Mas’udi tidak menyebutkan kisah tentang penawanan mereka dalam bukunya.
Bagaimanapun dengan kumpulan indikasi dan pandangan ini tentang ibunda Imam Sajjad As dan demikian juga dengan memperhatikan poin bahwa hingga sebelum akhir-akhir abad ketiga kebanyakan penukil memandangnya sebagai kaniz (budak perempuan) dari Sinad atau Kabul, karena itu kita tidak dapat memperoleh pendapat pasti tentang ibunda Imam Sajjad As. [iQuest]
Semoga tulisan ini menjadi mata pisau kebenaran yang membedah tuntas kebohongan dan kepalsuan yang mengatasnamakan Agama Samawi (baca: Islam) yang selalu di klaim oleh penganut Syiah manapun. Meski demikian, makalah sederhana ini, tentu masih banyak kekurangan dan belum komprehensif dalam pembahasannya, namun dapatlah kita simpulkan bahwa Sunnah dan Syiah adalah dua ajaran yang saling bertentangan dan kisah pernikahan antara Imam Husain dan Syahzanan adalah palsu dan dibuat-buat.
Dan upaya-upaya pendekatan Sunnah-Syiah akan mendapatkan kendala yang sangat besar, terutama selama ulama Syiah masih saja melancarkan cacian dan hujatan terhadap para sahabat Nabi saw dan isteri Nabi saw yang sangat dihormati oleh kalangan Ahlus Sunnah.
Referensi:
Mengapa kita menolak Syiah, Kumpulan makalah seminar tentang Syiah tanggal 2 September 1997
Beberapa kekeliruan Aqidah Syiah, Muhammad Abdul Sattar Al-Tunsawi, terj. A. Radzafatzi, cet I, Surabaya, 1984
As-Syiah Itsna Asariyah wa Takfiruhum li Umumil Muslimin, Abdullah bin Muhammad As-Salafi, cet1, 2010, syabakah Ad-Difa’ Anis Sunnah
Al-Masyru’ Al-Irani As-Shafawi Al-Farisi, Dr. Muhammad Bassam Yusuf, cet1,2010, syabakah Ad-Difa’ Anis Sunnah
As-Syu’ubiyyah inda Syiatul Fursi, Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, cet I, 2009, Dar Al-Muntaqa
Aina Ra’sul Husain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, www.syamela.ws, makalah bahasa Indonesia sudah saya tuliskan di link ini: Dimana Kepala Imam Husain Dimakamkan?
Hidup dan pikiran Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Mizan, Bandung, cet I, 1983 M,
Majalah Albayan edisi 78
***
*Makalah pernah dimuat di blog wp.com pada tanggal 06 Desember 2011, namun hilang karena broken link ketika redirect diblog baru dan saya upload ulang disini.
*Makalah pernah dimuat di Fimadani pada tanggal 18 Maret 2013, cek tautan berikut: https://fimadani.com/hakikat-pernikahan-imam-husain-dan-syahzanan-putri-yazdrajid/.
Makalah di atas mendapat tanggapan dari Ali Reza di link berikut;
Shahrbanu: Relasi Islam dan Persia di Iran, https://ejajufri.wordpress.com/2013/03/25/relasi-islam-dan-persia-di-iran/