Seteguh Al-Buwaithi

Seteguh Al-Buwaithi – Para ulama Islam pada masanya mendapatkan cobaan dari penguasa yaitu ketikka masa Khalifah Al-Makmun yang mendukung pemmahaman sesat Muktazilah bahwa Al-Quran adalah Makhluk. Dan ulama yang dengan tegas menolaknya sampai rela mengorbankan nyawanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Ya’qub Al-Buwaithi. Sudah beberapa artikel kami tulis tentang biografi Imam Ahmad, kali ini kita akan belajar mengenal ulama yang teguh ini yaitu Al-Buwaithi.

Nama lengkap beliau ialah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, lahir di desa Buwaith, Mesir  wafat pada tahun 231 H. Beliau ini adalah murid langsung dari Imam Syafi’i sederajat dengan al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi. Imam Syafi’i berkata: “Tidak seorang juga yang lebih berhak atas kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al Buwaithi”,

Di dalam Al-Intiqoo Ibnu Abdil Baar meriwayatkan dari Muhammad bin Fazaarah Ar-Raazi bahwa dia berkata: “Aku pernah mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya aku telah banyak menulis hadits, maka sudah seharusnya aku menulis pandangan-pandangan ulama. Imam Ahmad menjawab, “Jangan lakukan itu. Aku lalu menimpali, “Aku harus menulis pandangan Al Auza’i, As Tsaury atau Malik. Imam Ahmad menjawab, “Bila memang harus maka tulislah pendapat As-Syafi’i. Temuilah Al Buwaithi, dengarkan darinya, bila engkau tidak mendapatinya maka temuilah Abul Walid bin Abil Jaruud di Makkah.

Meski telah mencapai derajad mujtahid muthlak, Al Buwaithi tetap menjadikan ushul Imam Syafi’i sebagai acuan dalam melakukan istinbath.

Imam Syafi’i berwasiat, manakala beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pengajar adalah al-Buwaithi ini. Beliau menggantikan Imam Syafi’i berpuluh tahun dan pada akhir umur beliau ditangkap lantaran persoalan “fitnah Quran”, yaitu tentang makhluk atau tidaknya Quran yang digerakkan oleh kaum Mu’tazilah.

Fitnah Al-Qur’an Makhluk

Tepat pada tahun 218 H terjadi fitnah besar sebagai akibat doktrin Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah Makhluk. Para ulama dan hakim dimasa itu dipaksa mengakui doktrin tersebut. Siapa yang menolak akan dicopot dari jabatannya dan wajib menerima hukuman. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah memilih teguh diatas pendirian mereka, sehingganya tak sedikit yang mati tersiksa dalam penjara. Salah satu diantaranya adalah Al-Buwaithi.

Baca juga:   Bid'ah Besar

Kisah itu bermula saat orang-orang yang sebelumnya telah menaruh kebencian kepadanya mengirimkan surat kepada Ibnu Abi Du’ad al Mu’tazily, mentri Al Watsiq Billah yang isinya berupa pengaduan bahwa Al-Buwaithi tidak mau mengakui kalau Al-Quran adalah Makhluk Allah. Al Watsiq kemudian mengirimkan surat perintah kepada gubernur Mesir agar memaksanya mengucapkan kata-kata kufur tersebut.

Tetepi dengan tegas Al-Buwaithi menolak. Sang gubernur yang kwatir akan keselamatan Al-Buwaithi menawarkan opsi, “Katakan antara aku dan engkau saja, perlihatkan dihadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al-Quran adalah makhluk Allah, adapun didepan khalayak engkau bebas mengatakan apa saja semaumu.

Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak, dengan tegas ia mengatakan:

“Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku. Tidak demi Allah.. Adzab dunia jauh lebih ringan ketimbang adzab diakhirat. Dan ridho Allah merupakan sesuatu yang harus dicari. Tidak demi Allah… Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam..Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah..)… Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah…).”

Akhirnya Al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan Mesir menuju Baghdad. Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Muradi mengatakan, “Al-Buwaithi terus menerus menggerakkan kedua bibirnya untuk mengingat Allah. Aku tidak pernah melihat orang yang kuat dalam berhujjah dengan kitabullah seperti Al-Buwaithi. Aku melihatnya diatas keledai digantungi besi seberat 40 ritel. Lehernya dikalungi rantai besi, kakinya diikat. Antara kalung besi di leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat.

Dalam kondisi itu dia berkata, “Allah telah mencipkan makhluknya dengan kata “Kun”. Apabila (firman Allah ”kun”) itu adalah makhluk, itu berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk”. Bila aku masuk menemuinya (Al-Watsiq) aku pasti akan mengatakan kebenaran padanya. Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi.”

Al-Buwaithi mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka dia telah kafir.”

Akhirnya al Buwaithi ditangkap oleh Khalifah yang pro faham Mu’tazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai pada tubuhnya ke Bagdad. Beliau meninggal dalam penjara di Bagdad tahun 231 H.

Baca juga:   Biografi Imam Ja'far As-Shadiq, Perbandingan Sunni Syiah dan Serial Imamul Fuqaha'

Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’itiqad beliau, yaitu i’tiqad kaum ahlussunnah wal Jama’ah yang mempercayai bahwa Quran itu adalah kalam Allah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah”, (makhluk).

Kisah Imam Al Buwaithi diatas mengandung pelajaran penting tentang arti keteguhan dalam mempertahankan prinsip. Imam Al Buwaithi seolah mengajari kita bahwa seorang da’i atau ulama tidak boleh dibeli apalagi mau diajak untuk kompromi dalam kebatilan.

Dia mengajari kita untuk tetap teguh diatas kebenaran sekalipun dihadapkan pada kenyataan pahit. Ungkapan “dibelakangku ada ratusan ribu orang” memberi pesan bahwa seorang da’i harus sadar kalau dibelakangnya ada ummat yang selalu menunggu keputusannya, arahannya juga sikapnya dalam setiap permasaalahan.

Kisah ini juga mengingatkan kita akan keteguhan Imam Ahmad.
Keduanya baik Imam Ahmad maupun Imam Al Buwaithi memahami betapa mereka harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian dalam kondisi seperti itu. Mereka memilih drama jiwa itu, mereka memutuskan bertahan di tengah ratusan ribu orang yang hidup dalam ketidakmengertian. Dengan keteguhan mereka berusaha menggambarkan betapa serius permasalahan tersebut.

Di jalan dakwah ini.. banyak yang mundur ketika pertaruhannya adalah hidup atau mati. Tapi orang-orang besar memilih untuk terus berkarya, memberi dan berbagi untuk orang banyak baik dengan ilmu, arahan, atau bahkan dengan kematian itu sendiri. Semua demi balasan yang lebih terhormat di akhirat kelak.

Itulah arti keteguhan yang dapat kita terjemahkan dari rantai besi yang membelenggu Al-Buwaity.

“Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi”

Baca juga:   Data Syiah di Indonesia

Hari ini, ulama dan umat Islam di Indonesia sedang diuji keteguhannya, semoga ulama dan umat Islam yang terus berjuang membela agama Allah ini mendapatkan keteguhan sebagaimana keteguhan Abu Ya’qub Al-Buwaithhi yang lebih memilih mati dalam kondisi terikat besi karena mempertahankan keyakinan.

Selanjutnya mari kita kenali karya besar Imam al-Buwaithi yaitu Mukhtashar al-Buwaithi

mukhtashar al-buwaithi

Mukhtashar al-Buwaithi

Kitab Mukhtashar al-Buwaithi merupakan ringkasan bagi kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i. Dikatakan juga ia merupakan ringkasan dari beberapa karya al-Buwaithi yang disusun berdasarkan pengajaran Imam al-Syafi’i, iaitu; Kitab al-Mukhtashar al-Kabir, al-Mukhtashar al-Shaghir dan al-Faraidh. Kitab al-Mukhtashar ini, walaupun dianggap sebagai ringkasan “Kitab Al Umm” karya Imam al-Syafi’i,  namun begitu Imam al-Buwaithi tidak hanya sekadar meringkaskan sahaja, beliau juga ada menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap sejumlah masalah yang terkadang menyelisihi ijtihad Imam al-Syafi’i.

Kitab ini menjadi salah satu rujukan utama para ulama terkemudian,  bukan sahaja dari kalangan Syafi’iyah seperti al-Juwaini, al-Syairazi, al-Ghazali, al-Mawardi, al-Rafi’i, dan al-Nawawi, bahkan juga di kalangan para ulama mazhab yang lain.

Kitab Mukhtashar al-Buwaithi ini telah dicetak dan diterbitkan dalam satu jilid untuk pertama kalinya oleh Dar al-Minhaj. Cetakan ini berdasarkan kitab yang ditahkik oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin al-Qarhdaghi. Usaha pengeditan kitab ini berdasarkan tiga buah manuskrip lama, yang tersimpan lebih dari 1200 tahun tanpa usaha penerbitannya. Usaha pengeditan ini telah dimulakan sejak tahun 1980, baru tahun 2015 ia dapat diterbitkan dengan ketebalan kitab ini merangkumi 1152 halaman. Semoga bermanfaat

Sumber:

Share your love
Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *