Sibawaih dan Kisah Wafatnya yang Mengharukan

Ia adalah ‘Amr bin ‘Utsman bin Qanbar, Abu Bisyr, yang lebih dikenal dengan nama Sibawaih. Ia adalah seorang mawla (hamba yang dimerdekakan) dari Bani al-Harits bin Ka‘b, dan ada pula yang mengatakan dari keluarga al-Rabi‘ bin Ziyad.

Disebut “Sibawaih” karena ibunya sering bermain-main dengannya sembari memanggilnya dengan sebutan tersebut. Dalam bahasa Persia, Sibawaih berarti “harum apel”.

Pada awal perjalanannya dalam menuntut ilmu, Sibawaih lebih banyak bergaul dengan para ahli hadits dan fuqaha. Ia dikenal pernah mencatat hadits dari Hammād bin Salamah.

Suatu hari, ia melakukan kesalahan bahasa saat menyampaikan hadits di hadapan Hammād, lalu dibetulkan oleh gurunya. Ia merasa tersinggung dengan koreksi itu, dan sejak saat itu ia beralih mendalami ilmu nahwu di bawah bimbingan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi hingga mencapai derajat keunggulan dalam bidang tersebut.

Sibawaih kemudian berangkat dari Bashrah menuju Baghdad. Saat itu, Baghdad adalah pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan. Ia pun menemui Wazir Khalifah Harun al-Rasyid, yakni Yahya bin Khalid al-Barmaki. Pada masa itu, Sibawaih telah menjadi tokoh utama ilmu nahwu dari Bashrah tanpa ada yang menandinginya. Sementara itu, di Kufah, posisi yang sama dipegang oleh Imam al-Kisā’ī.

Di majelis Yahya bin Khalid, terjadilah pertemuan ilmiah yang sangat bersejarah antara dua pakar besar ini: Sibawaih dan al-Kisā’ī.

Al-Kisā’ī memulai perdebatan dengan berkata kepada Sibawaih:

“Apakah engkau ingin bertanya kepadaku, atau aku yang bertanya kepadamu?”

Sibawaih menjawab:

“Silakan engkau bertanya.”

Al-Kisa’i bertanya kepada Sibawaih. 

“Bagaimana pendapatmu tentang kalimat:

كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور

“Aku sungguh menduga bahwa kalajengking lebih gesit sengatannya daripada ‘zunbur’, maka demikianlah adanya. Bagaimana menurutmu kalimat ini,” tanya Al-Kisa’i, “dibaca marfu’ (hiya) atau manshub (iyyaha)?”

Baca juga:   Google plus penantang baru Facebook

(فإذا هو هي – فإذا هو إياها)

Note: ‘zunbur’ adalah hewan semacam kumbang.

Sibawaih menjawab: “Fa idzā huwa hiya” (ternyata dia itu dia).

Namun al-Kisā’ī menolak jawaban itu dan berkata: “Engkau keliru.” Maka terjadilah perbedaan pendapat antara keduanya.

Perselisihannya adalah: menurut Al-Kisai, kata “hiya” di akhir kalimat itu bisa pula dibaca manshub, “iyyaha”. Menurut Sibawaih, itu tak bisa, harus marfu’, “hiya”. Debatnya sengit dan ‘hanya’ soal itu. Tapi siapa sangka, ternyata di akhir cerita ia menyisakan luka.

Karena debat berlarut-larut, maka kemudian Wazir Abbasiyah, Yahya ibn Khalid al-Barmaki, menginterupsi di tengah perdebatan. “Kalian adalah penghulu dari mazhab masing-masing,” katanya, “kalau begitu terus, siapa yang pemutus perkara?”

“Di dekat sini ada kabilah ‘Arab,” timpal Al-Kisa’i, “datangkanlah mereka kemari.” Maka didatangkanlah kabilah Arab itu. Kabilah Al-Huthamah namanya.

Kedekatan al-Kisā’ī dengan para penguasa membuat para A’rab yang hadir di majelis itu berpihak kepadanya secara sengaja. Mereka pun berkata, “Yang benar adalah pendapat al-Kisā’ī.”

Sibawaih pun terdiam dan hatinya sangat terpukul mendengar pengingkaran itu.

Padahal, menurut banyak ulama nahwu, pendapat yang benar adalah pendapat Sibawaih. Namun karena kedekatan al-Kisā’ī dengan pihak istana, kebenaran terabaikan.

Yang lebih menyakitkan lagi bagi Sibawaih adalah ketika al-Kisā’ī berkata kepada wazir Yahya:

“Ia datang kepadamu dengan harapan akan mendapatkan penghargaan dan hadiah. Maka hiburlah hatinya dan kasihanilah dia.”

Ketika mendengar ucapan itu, Sibawaih keluar dari majelis dalam keadaan hancur hati atas perlakuan yang ia terima.

Sibawaih pulang dengan kegeraman. Ia merasa dicurangi.

Ia merasa malu untuk kembali ke Bashrah—kota yang darinya ia keluar sebagai seorang imam besar ilmu nahwu. Maka ia pun pergi ke daerah Persia dan tak lama kemudian wafat di sana dalam keadaan sedih dan pilu.

Baca juga:   Tragedi Mina Dan Makar Syiah

Pertama, bagi Mazhab Basrah, kabilah al-Huthamah itu tak layak jadi rujukan bahasa. Unsur kebaduiannya telah luntur, sebab tinggal dekat Baghdad, kota metropolis. Kearabannya tak lagi murni.

Mazhab Basrah memang terkenal sangat selektif memilih kabilah Arab yang jadi sumber bahasa. Mazhab Basrah cenderung preskriptif (mi’yariyyah), sedangkan Mazhab Kufah cenderung deskriptif (washfiyyah).

Beliau wafat dalam usia muda, belum genap mencapai usia tiga puluh lima tahun.
رحمه الله – Semoga Allah merahmatinya.

Sumber:

Jumal Ahmad. Kisah Debat antara Sibawaih dan Al-Kisa’i. https://ahmadbinhanbal.com/kisah-debat-antara-sibawaih-dan-al-kisai/. Januari 24, 2017

Jumal Ahmad
Jumal Ahmad

Jumal Ahmad Ibnu Hanbal menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam dan Magister Pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Aktif di lembaga Islamic Character Development dan Aksi Peduli Bangsa.

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *